44 karena serial-serial Korea lebih banyak memuat tradisi-tradisi mereka dengan tampilan
visual yang menarik, sedangkan sinetron kita sangat jarang yang menonjolkan sisi budaya bangsa Indonesia. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat televisi sebagai media
massa yang efektif dalam menyampaikan pesan-pesan budaya dan melestarikan budaya bangsa tidak dimanfaatkan secara maksimal.
II.4 Teori Triple M
Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi
pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan, dan mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T. Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah
komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu
masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma komunikasi yang
dianggap sesuai untuk kelompok tertentu. Tema tentang komunikasi bukan hal baru, namun ia menjadi lebih menarik
setelah dihubungkan dengan konsep ”antarbudaya”. Istilah antarbudaya interculture pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada 1959 dalam
bukunya The Silent Language Liliweri, 2001 : 1. Karya Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaan konsep-konsep unsur kebudayaan, misalnya sistem ekonomi, religi,
sistem pengetahuan sebagaimana adanya. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan satu tahun setelah itu, oleh David K. Berlo melalui bukunya
The Process of Communication an intoduction to the theory and practice pada 1960. Menurut Berlo, komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor
Universitas Sumatera Utara
45 SMCR, yaitu sources, message, channel, dan receiver. Semua tindakan komunikasi itu
berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berartai kontribusi latar belakang
kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari
kebudayaan yang berbeda. Komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu
budaya lainnya. Dalam keadaan demikian kita segera dihadapkan pada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi dimana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus
disandi balik dalam budaya lain. Alo Liliweri dalam bukunya Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya mengartikan komunikasi sebagai proses peralihan dan pertukaran informasi
oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem kehidupan manusia dan lingkungannya. Proses peralihan dan pertukaran informasi itu dilakukan melalui simbol-
simbol bahasa verbal maupun nonverbal yang dipahami bersama. Ada dua bentuk simbol dalam pengertian komunikasi yang dikemukakan Alo
Liliweri yakni verbal dan nonverbal. Manusia melahirkan pikiran, perasaan, dan perbuatan melalui ungkapan kata-kata yang kita sebut verbal. Kalau kata-kata itu diucapkan disebut
verbal-vokal, kalau dengan tulisan disebut verbal-visual. Selain itu ada juga simbol nonverbal untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan perbuatan yang disampaikan
bukan dengan kata-kata melainkan memakai gerakan-gerakan anggota tubuh, ekspresi wajah, pakaian, waktu, dan ruang jarak fisik, dan lain-lain.
Sekitar tahun 1980-an sebagian ahli komunikasi massa mulai menaruh perhatian terhadap hubungan antara media massa dengan kebudayaan. Teori Triple M adalah salah
satu teori yang menggambarkan hubungan antara media massa dengan masyarakat hingga terbentuknya budaya massa. Definisi komunikasi antarbudaya itu sendiri menurut Stewart
Universitas Sumatera Utara
46 adalah komunikasi yang terjadi di bawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa,
norma-norma, adat istiadat, dan kebiasaan. Menurut Mowlana Liliweri, 2001 : 67 ada tiga unsur penting dalam teori ini,
yaitu masyarakat massa, media massa, dan budaya massa. Ketiga unsur tersebut berkaitan satu sama lain membentuk satu segi tiga sebagaimana terlihat dalam gambar berikut :
masyarakat massa
media budaya massa
massa
Dalam segitiga ini kita bisa melihat hubungan antara individu dalam masyarakat massa ibarat ”titik singgung” yang tidak diatur secara organik. Teori Triple M memandang
media massa merupakan media yang berfungsi sebagai pembagi pesan. Pesan-pesan yang dibagi dan dipertukarkan ke dalam masyarakat itu selalu mengandung nilai-nilai dan
norma, ide-ide, dan simbol yang mewakili pola pikir, perasaan, tindakan suatu masyarakat tertentu yang kita kenal dengan kebudayaan.
Ketika masyarakat ingin supaya media harus memenuhi keinginan mereka yang sama, perasaan yangn sama, emosi, pikiran-pikiran yang rasional yang sama. Pada saat ini
berarti media sudah menciptakan suatu budaya massa. Proses penukaran pesan melalui media massa didukung oleh perkembangan teknologi komunikasi yang memerlukan biaya
yang semakin mahal sehingga timbullah paham media massa dengan mengandalkan pengeluaran yang kecil namun pesan dapat menyebar luas kepada khalayak.
Secara ringkas teori Triple M menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat di antara tiga aspek masyarakat massa, media massa, dan budaya massa. Hukumnya adalah
masyarakat massa melahirkan media massa, media massa melahirkan budaya massa.
Universitas Sumatera Utara
47 Selanjutnya, budaya massa yang terbentuk dalam konteks ini tidak lain mengacu pada
berbagai perilaku yang bersumber dari nilai, norma, ide-ide, serta simbol-simbol dari masyarakat massa tersebut. Nilai, norma, ide, simbol masyarakat itu dipertukarkan melalui
media dan didukung oleh perkembangan teknologi media yang semakin maju. Kerapkali nilai-nilai itu malah mengubah ide-ide dasar yang dimiliki oleh suatu masyarakat, hanya
karena media lebih mementingkan aspek komersial atau daya jual di pasar khalayak massa. Arti budaya massa kerap dipergunakan sebagai tanda terhadap suatu produk
budaya yang memassa, misalnya seni, musik, opera, komedi, dan produksi material yang disebarluaskan media massa sehingga menjadi komoditi budaya suatu masyarakat massa.
II.5 Kebudayaan Korea