kesulitan. Setiap anggota harus bersifat sosial dalam memberikan suatu bantuan terhadap orang-orang yang sedang menghadapi kesulitan dalam hidupnya secara
material, spiritual, dan sosial bagi diri dan sukarela dan penuh dengan rasa solidaritas, dengan cara mengumpulkan biaya untuk
menanggulangi beban yang dihadapi setiap anggota secara musyawarah diantara para anggota masyarakat.
Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial yang meliputi rasa keselamatan dan keterampilan, bebas dari kemiskinan, ketakutan, kekecewaan dan ketidakpastian
dalam kehidupan jasmaniah maupun rohaniah sehingga setiap anggota masyarakat dapat berfungsi secara wajar sesuai norma-norma kehidupan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidup, baik keluarganya di dalam lingkungan masyarakatnya.
38
Dengan demikian hal-hal yang akan dialami masyarakat maupun individu di desa Tongkoh akan tertanggulangi
berkat rasa solidaritas yang diwujudkan oleh masyarakatnya melalui lembaga- lembaga sosial yang ada di desa tersebut.
4.2.3 Sosial Budaya
Masyarakat desa
Tongkoh sebelum adanya pengaruh-pengaruh dari luar jika
ditinjau dari segi etnis secara homogen adalah masyarakat Karo. Dengan demikian salah satu faktor yang turut membentuk sikap mental dalam hidup bermasyarakat
mereka adalah budaya Karo, yang lazim disebut “merga silima, tutur siwaluh”. Warisan sosial budaya ini kemudian diwariskan dari satu generasi, selanjutnya secara
38
Sajogyo dan Pujiwati Sajogyo, op.cit., hlm. 135.
Universitas Sumatera Utara
berkesinambungan melalui cara hidup bermasyarakat, masing-masing tiap generasi mempelajarinya serta mengajarkannya pula kepada generasi berikutnya.
atang sesuai dengan warisan sosial budaya yang melekat pada diri masing-masing pendatang, dengan
demikian pola kebudayaan yang homogen berubah menjadi heterogen walaupun Awalnya yang mendirikan desa ini adalah keturunan marga Karo-karo Bukit,
namun pada proses perkembangan selanjutnya, kelompok marga yang lain akhirnya berkembang juga sebagai pihak Kalimbubu dan Anak Beru, sehingga kelima induk
marga yang dimiliki masyarakat Karo terdapat di desa ini. Dengan demikian jika ditinjau dari aspek marga, masyarakatnya walaupun homogen tetapi marga yang ada
bersifat heterogen, dan kehidupan sosial budaya berkembang dengan teratur. Hal ini memungkinkan karena seluruh marga yang berbeda tersebut terikat terhadap budaya
“merga silima, tutur siwaluh” tadi. Desa ini dianggap strategis untuk dijadikan sebagai kawasan penelitian
pertanian karena alamnya yang sangat mendukung, sehingga pada dekade tahun 1970-an terbukalah desa ini bagi masyarakat lain untuk dijadikan sebagai tempat
tujuan migrasi dengan sasaran utama adalah untuk mendapatkan peluang kerja yang memang terbuka sejak berdirinya perusahaan swasta di sekitar daerah tersebut.
Dengan demikian penduduk yang berasal dari luar Tanah Karo seperti, Simalungun, Mandailing, Jawa dan Toba mulai berdatangan dan menetap di desa ini, sehingga
pola kebudayaan yang awalnya bercorak homogen, mulai berubah sesuai dengan masuknya kebudayaan yang dibawa oleh masing-masing pend
Universitas Sumatera Utara
secara umum masih tetap dominan kebudayaan yang homogen yaitu sosial budaya masyarakat Karo.
Pola kebudayaan yang bersifat heterogen ini, tidak lantas membawa pertikaian dan konflik diantara masyarakatnya, melainkan dengan perbedaan budaya ini mereka
hidup berdampingan serta saling bertoleransi antara sesama budaya yang ada. Hal tersebut dapat terjadi karena kebudayaan manusia dianggap tidak benar dan salah jika
bertentangan dengan kemanusiaan dan tidak memanusiakan manusia atau engha
a erasal dari manusia dan untuk manusia itu sendiri. Kebudayaan juga turut
usia dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat m
ncurkan manusia. Kebudayaan akan dianggap biadap jika melalui kebiadapannya manusia membuat manusia lainnya menjadi menderita, sengsara dan
diperlakukan tidak seperti manusia lagi.
39
Jika dikaji secara mendalam, sebenarnya kebudayaanlah yang membantu manusia agar hidup tenteram dan sejahtera, sebab kebudayaan pada hakekatny
b membatasi ruang gerak man
baik selaku makhluk individu maupun secara berkelompok. Terjadinya budaya yang heterogen dalam masyarakat di desa Tongkoh bukan berarti melahirkan suatu
anggapan tentang penilaian budaya yang mana lebih baik, masyarakat menganggap walaupun mereka berbeda budaya suku dan agama, namun mereka menyadari
bertempat tinggal yang sama sebagai suatu kesatuan komunitas.
39
Suprihadi Sastropono, Manusia, Alam dan Lingkungan, Proyek Penulisan dan Penerbitan BukuM
, 1984, hlm. 24. ajalah Pengetahuan Umum dan Profesi
Universitas Sumatera Utara
Kebanyakan manusia mengira bahwa masyarakat dalam komunitas yang lebih kecil akan melaksanakan budaya tolong-menolong hanya karena terdorong oleh
eh masyarakatnya secara bersama-sama. keinginan spontan untuk berbakti kepada sesamanya. Tetapi akhirnta dalam
masyarakat yang sedemikian rupa, tidak selalu manusia tolong-menolong karena suka berbakti kepada sesamanya, sebab tolong-menolong yang mereka lakukan didasari
karena adanya perasaan saling membutuhkan antara sesamanya sebagai anggota masyarakat.
40
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa seluruh kehidupan masyarakat di desa Tongkoh ada berdasarkan perasaan yang terkandung dalam jiwa warganya, rasa
solidaritas yang berubah dari bentuk “tanpa pamrih” menjadi “pamrih”, jelas masih kelihatan, sehingga berlangsungnya keharmonisan diantara sesama penduduk adalah
berkat adanya kesadaran yang dipelihara ol
4.2.4 Kegiatan Pendidikan