sebuah Sekolah Dasar di desa Tongkoh pada tahun 1982, dengan demikian pendidikan akan diharapkan berkembang di desa ini.
Umumnya para murid-murid Sekolah Dasar ini jika telah selesai mengecap pendidikan tingkat dasar, orang tuanya akan menyekolahkannya ke Berastagi atau
Kabanjahe untuk melanjutkan pendidikan, dan bahkan banyak di antara mereka menitipkan anak-anaknya pada kerabat-kerabat mereka yang berada di kota Medan
walaupun masih tingkat Sekolah Menengah Pertama. Untuk mengatasi agar tenaga-tenaga pendidik betah mengajar di desa ini,
meri
masuknya para pendatang pe
ntah kemudian membangun perumahan guru-guru diatas tanah milik rakyat yang diberikan secara cuma-cuma. Kerelaan masyarakat menghibahkan tanah
miliknyasudah merupakan suatu keiklasan sebagaiwujud dari sikap kepedulian mereka terhadap pendidikan. Dari antusiasnya mereka menyekolahkan anaknya dapat
dilihat dari jumlah murid Sekolah Dasar yang ada di kedua desa tersebut. Dari dua Sekolah Dasar yang ada, jumlah murid seluruhnya adalah 360 orang pada tahun 1986,
sedangkan tahap-tahap sebelum berkembangnya pendidikan pada saat pertama sekali didirikan sekolah pada tahun 1973 jumlah yang bersekolah hanya sebanyak 32 orang
saja. Jadi sangat jelas terlihat perubahannya, setelah mulai yang datang dari berbagai tempat.
4.2.5 Kehidupan Beragama
Masyarakat di desa Tongkoh telah menganut ajaran-ajaran agama seperti Islam dan Kristen, tetapi masih banyak diantaranya yang masih menganut ajaran
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan yang bersifat tradisional, yaitu Perbegu. Masyarakat yang menganut ajaran Perbegu ini masih percaya terhadap hal-hal yang bersifat gaib, seperti
memanggil roh-roh orang yang telah meninggal, kepercayaan terhadap adanya kekuatan-kekuatan orang pintar atau dukun yang dapat membantu kehidupan mereka,
juga mereka percaya terhadap hal-hal yang dianggap keramat. Tetapi setelah ajaran- ajaran agama mulai masuk dan diresapi oleh masing-masing penganutnya sesuai
dengan agama yang dianutnya, maka kepercayaan-kepercayaan yang bersifat disio
rcayaan yang lama mulai ditinggalkan kemudian ajaran agama
ini berlangsung secara perlahan-lahan setelah ajaran agama Kristen yang masuk tra
nal ini sudah mulai berkurang secara perlahan-lahan. Berkurangnya kegiatan-kegiatan masyarakat terhadap pelaksanaan upacara-
upacara yang bersifat tradisional ini terutama adalah akibat faktor-faktor tertentu yang telah mempengaruhi masyarakat desa ini. Faktor-faktor tersebut antara lain
adalah adanya sikap masyarakat yang mulai berpikir secara maju karena telah dapat membandingkan antara hal yang dapat diterima secara rasional oleh akal dan
pikirannya serta berguna atau tidak bagi kehidupannya. Selain dari faktor tersebut, masuknya ajaran agama baru turut serta merubah sikap dan pola pikir mereka
sehingga ajaran kepe yang baru mulai diyakini oleh masing-masing masyarakat.
Ajaran agama-agama yang ada di desa Tongkoh bukanlah berlangsung secara spontanitas dan langsung diterima oleh masyarakat, sebab kepercayaan-kepercayaan
lama yang bersifat tradisional ini sudah berlangsung dari nenek moyang orang-orang Karo serta sudah merupakan suatu kelaziman bagi mereka. Oleh karena itu perubahan
Universitas Sumatera Utara
sekitar tahun 1971, memberi suatu pengaruh yang baru bagi kehidupan sebahagian masyarakatnya dengan cara meninggalkan sikap-sikap tradisi yang lama, demikian
juga halnya dengan masuknya ajaran agama Islam pada tahun 1973. hasilnya terlihat dengan jelas, pada tahun 1986, seluruh masyarakat desa ini telah menganut ajaran
agama dengan komposisi 90 telah memeluk agama yang diyakini baik itu agama Islam maupu Kristen, sedangkan sisanya masih tetap terikat dengan ajaran
tradisional. Adanya proses perubahan ini membuat masyarakat desa Tongkoh telah
banyak yang meninggalkan upacara-upacara ritual yang berifat tradisional seperti memberikan sesajen kepada roh-roh nenek moyang. Adapun upacara-upacara ritual
yang berbau gaib terutama hanya dilaksanakan oleh masyarakat yang telah berusia lanjut serta masih tetap terikat dengan pola-pola ajaran tradisional, sedangkan
masyarakat yang telah menganut salah satu agama sudah jarang melaksanakannya, dan kalaupun mereka ikut melaksanakannya semata-mata hanyalah untuk
menghormati orang tua mereka yang masih berpendirian teguh terhadap ajaran tradisional tersebut.
Sebahagian dari
upacara-upacara yang masih kelihatan hingga tahun 1990
adalah upacara “erpangir kulau” cuci kepala yang dilaksanakan pada sebuah sungai atau pancoran dari sebuah mata air. Kegiatan upacara ini dilaksanakan untuk meminta
anugrah serta rejeki kepada roh-roh nenek moyang, agar diberikan rejeki yang melimpah ruah demi kesejahteraan kehidupan mereka. Selain itu, upacara ini juga
Universitas Sumatera Utara
dilakukan sebagai pertanda ucapan rasa syukur dan berterima kasih serta penghormatan mereka terhadap roh-roh nenek moyang yang telah mendahului.
Pelaksanaan upacara ini biasanya dilakukan secara individu dengan cara melaksanakan pesta serta mengundang seluruh kerabat saudara sipelaksana upacara.
Mereka kemudian pergi ke sungai secara bersama-sama setelah terlebih dahulu
h sambil menari dan bahkan sampai ada yang diadakan musyawarah untuk menentukan waktu yang tepat. Biasanya ketika
berangkat ke sungai mereka membawa “cimpa matah” makanan yang berupa tepung beras yang sudah dicampur dengan gula merah, pisang, daging ayam, dan berbagai
jenis bunga yang sudah ditentukan. Kemudian yang melaksanakan upacara beserta keluarganya secara beramai-ramai mencuci kepala dengan mempergunakan air bunga
yang telah disediakan, setelah upacara ini selesai mereka melanjutkan upacara ini dirumah dengan diiringi musik gendang tradisional Karo. Pada upacara ini biasanya
mereka mengenakan kain puti kesurupan yang menandakan mereka telah bertemu dengan roh nenek moyangnya.
Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh masyarakat yang tingkat ekonominya mampu, sehingga sanggup untuk membuat upacara yang menelan banyak biaya tersebut.
Awalnya ketika ajaran-ajaran agama sedang berkembang, masyarakat desa Tongkoh dalam pelaksanaan ibadahnya harus ke Berastagi, akan tetapi setelah Gereja
Protestan di bangun di desa Lau Gendek pada tahun 1981, masyarakat sudah dapat beribadah di Gereja tersebut sehingga tidak harus menempuh jarak yang jauh untuk
pergi beribadah. Demikian juga halnya bagi pemeluk agama Islam, Mesjid baru dapat diselesaikan pembangunannya pada tahun 1983 yang didirkan di desa Tongkoh dan
Universitas Sumatera Utara
di desa Lau Gendek. Rumah ibadah yang terdapat di kedua desa ini seluruhnya dibangun berdasarkan swadaya masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya,
rang terhadap agamanya adalah persoalan ribadinya dengan Tuhan. Dengan adanya pemikiran yang demikian perbedaan
i pengaruh terhadap adapt maupun dalam hubungan
maan, walaupun
menganggap keharmonisan antara umat beragama dapat dilaksanakan secara walaupun ajaran Kristen lebih dahulu masuk dan berkembang di desa ini, namun
dalam kenyataannya masyarakat yang menganut agama Islam memiliki umat yang lebih banyak dibandingkan umat Nasrani.
Perbedaan agama ini tidak mempengaruhi aktivitas masyarakatnya, sebab mereka menganggap keyakinan seseo
p agama tidak mempunya
kekerabatan, mereka saling pengertian satu sama lainnya dan yang terpenting bagi mereka adalah perbedaan agama ini dapat menciptakan suasana yang harmonis dan
membawa masyarakat kearah kemajuan dalam suasana damai serta saling menghormati antara sesamanya.
Selain dari pada keterangan diatas, kelihatan juga bagaimana keharmonisan masyarakat desa Tongkoh ketika berlangsung hari-hari besar keaga
berbeda agama tetapi ketika Hari Natal tiba, penduduk yang beragama Islam akan mengucapkan “Selamat Hari Natal” serta berkunjung ke rumah rekan-rekan mereka
yang beragama Nasrani ketika Tahun Baru tiba. Sebaliknya ketika Hari Raya Idul Fitri tiba, penduduk yang beragama Nasrani datang pula berkunjung dan
mengucapkan “Selamat Hari Raya Idul Fitri” dan datang ke rumah-rumah penduduk yang beragama Islam. Dengan cara yang demikian masyarakat desa Tongkoh
Universitas Sumatera Utara
harmonis dan berusaha menghindarkan hal-hal yang dapat menimbulkan konflik diantara mereka.
Dengan demikian masyarakat desa Tongkoh telah mentaati sesuai dengan yang dianjurkan oleh pemerintah untuk menjaga kerukunan antara umat beragama
sesuai dengan sila yang pertama dari Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dimana masyarakat bebas menganut dan meyakini ajaran agama masing-masing serta
tidak membedakan ras dan warna kulit.
4.2.6 Sarana Kesehatan