Efektifitas Pengelolaan Taman Nasional

81 Optimasi perikanan tangkap yang dihasilkan dalam penelitian ini bisa digolongkan kedalam ”classical one-parameter harvest policies” Thompson, 1999, yaitu hanya menghasilkan parameter penangkapan optimal konstan. Meskipun hasilnya memiliki fleksibilitas rendah dan secara substansi bisa saja di bawah optimal sub-optimal, namun lebih mudah dipahami dan ditelusuri prosesnya Thompson, 1999.

6.2 Efektifitas Pengelolaan Taman Nasional

Penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap pola pengelolaan sangat menentukan efektifitas dari pengelolaan tersebut. Tidak efektifnya pengelolaan kawasan perlindungan alam di Karimunjawa selama ini terutama disebabkan oleh kurangnya apresiasi dan keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan. Penyebab kurangnya peran aktif masyarakat adalah : 1 Kurangnya sosialisasi program-program pengelolaan di Taman Nasional Karimunjawa kepada masyarakat, 2 Kurangnya upaya membangun kepedulian masyarakat dalam hal perlindungan kelestarian alam, 3 Tidak terbangunnya komunikasi dua arah antara balai taman nasional dengan masyarakat sehingga terbentuk pola pikir “konservasi berarti pelarangan”. Hal ini juga disadari oleh pengelola taman nasional, yang kemudian menginisiasi perubahan zonasi pada tahun 2003 dan disahkan tahun 2005 melalui SK Dirjen PHKA. Keterlibatan masyarakat dalam penentuan zonasi baru tersebut merupakan penggerak utama revisi zonasi tersebut. Lebih khusus lagi keterlibatan masyarakat ini ditekankan oleh Kelleher 1999, yang menyatakan penetapan zonasi dilaksanakan bersama dengan, untuk dan oleh masyarakat lokal, tidak lagi sebagai pihak pasif dari kebijakan daerah perlindungan melainkan sebagai mitra aktif, atau bahkan sebagai inisiator dan dapat juga sebagai pelaku utama; dikelola untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, yang merupakan kebutuhan esensial dari suatu kebijakan daerah perlindungan baik secara ekonomi maupun budaya. 82 Pelibatan peran serta masyarakat merupakan syarat mutlak ketimbang keputusan politis pada penetapan sebuah taman nasional atau kawasan lindung lainnya Buscher et al., 2007. Selain menekankan aspek sosial terkait dengan taman nasional pada aspek pelibatan masyarakat dalam penentuannya, Buscher juga menyinggung masalah kesejahteraan nelayan di sekitar kawasan lindung merupakan akar permasalahan yang perlu ditanggulangi. Senada dengan Buscher, Braak et al. 2004 dalam King 2007 menyoroti keterkaitan antara keberadaan taman nasional dan kesejahteraan masyarakat dengan menyatakan bahwa fokus utama adalah bagaimana upaya memberdayakan masyarakat dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat sekitar kawasan lindung sehingga mampu membalikkan posisi masyarakat yang tadinya dianggap sebagai ancaman terhadap keberlanjutan kawasan lindung menjadi faktor pendukung melalui kemitraan yang saling menguntungkan semua pihak, masyarakat, pengelola dan ekosistem itu sendiri. Pertimbangan sosio-ekonomi tersebut semakin menjadi penting dalam pengelolaan kawasan lindung. Permasalahan yang menyelimuti keberlanjutan Taman Nasional Karimunjawa terkait dengan masyarakat sekitar disadari oleh semua pihak tidak hanya pada keterlibatan pada penetapan zonasi semata. Masalah yang mendasar justru adalah pada kesejahteraan masyarakat itu sendiri, yang umumnya miskin, minim pendidikan dan ketergantungan terhadap sumberdaya laut sangat tinggi WCS, 2003. Dua unsur biaya yang terkait dengan kawasan lindung Kelleher, 1999, yaitu kompensasi terhadap masyarakat lokal atau keuntungan yang didapat dengan ditetapkannya kawasan lindung; dan biaya pengelolaan kawasan lindung. Unsur biaya yang pertama dapat bernilai sangat besar, dalam hal ini termasuk kompensasi kepada nelayan yang kehilangan pendapatannya akibat ditutupnya area penangkapan fishing ground mereka. Namun jika kawasan lindung berhasil dalam menciptakan kegiatan pariwisata dan memulihkan stok ikan sebagai tujuan utama, maka biaya kompensasi tersebut tidak akan menjadi beban yang perlu dipertimbangkan oleh pengelola, kecuali mungkin dalam masa transisi. Pembiayaan ini tentunya menjadi tanggungjawab pengelola, yang dalam kasus taman nasional adalah pemerintah. Di Taman Nasional, pemerintah selama 83 ini hanya mampu menganggarkan untuk biaya pengelolaan, itupun seringkali tidak mencukupi, apalagi untuk menganggarkan kompensasi terhadap masyarakat yang terkena dampak khususnya nelayan. Kebuntuan seperti ini dapat diatasi dengan diterapkannya kebijakan yang mampu memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pemerintah dalam hal ini tetap harus mengeluarkan sejumlah biaya, namun tidak akan sebesar biaya kompensasi langsung yang sangat rawan masalah sosial dalam pelaksanaannya. King 2007 mencontohkan adanya kebijakan yang diterapkan di taman nasional di Afrika Selatan melalui gerakan ”Swi ta Lunga” , bahasa setempat yang artinya ”keadaan akan membaik”. Gerakan ini memfokuskan pada pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar taman nasional melalui pembaharuan berbagai sumber ekonomi bahkan hingga aspek tata pemasarannya. Sebagai satu contoh inisiasi di Indonesia, mungkin adalah seperti yang dilaporkan Meyer et al. 2004 dalam Asia Pacific Marine Finfish Aquaculture Network Magazine Vol. IX No. 4 mengenai pemberdayaan ekonomi masyarakat oleh pengelola taman nasional melalui inisiasi kegiatan pembenihan dan pembesaran ikan kerapu di kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Barat. Sejalan dengan berbagai kajian tersebut, melalui penelitian ini penulis mencoba menggugah kembali perhatian pada aspek sosio-ekonomi khususnya kesejahteraan nelayan untuk menghasilkan sebuah solusi bagi keberlanjutan taman nasional. Didapatnya hasil bahwa sektor perikanan tangkap tidak mampu memberikan penghasilan yang memadai dan potensi usaha budidaya rumput laut mampu memberikan penghasilan yang lebih baik, dapat dijadikan acuan bagi penentuan kebijakan ataupun aturan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa. Satu hal yang perlu ditekankan adalah perlunya pengelola Taman Nasional Karimunjawa, dalam hal ini pemerintah, secara konsisten menjalankan kebijakannya sehingga masyarakat tidak merasa diabaikan ataupun termarjinalkan. Konsistensi dari pemerintah sangat diperlukan agar pemberdayaan masyarakat tidak hanya berhenti pada inisiasi kegiatan produksi tapi juga mencakup pada aspek pemasaran yang mampu menjamin keberlanjutan usaha 84 yang dilakukan masyarakat dengan membuka akses dan menggalang kemitraan dengan dunia swasta.

6.3 Kebijakan Pengelolaan Di Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional