BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kelembagaan
2.1.1.1 Pengertian Kelembagaan
Konsep mengenai kelembagaan telah diuraikan oleh para ilmuwan. Koentjaraningrat 1981, menyebutnya dengan istilah ”pranata sosial”. Sistem-
sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi dalam ilmu sosiologi dan antropologi
disebut “pranata” atau “institution”. Di sisi lain “pranata” juga dapat dikatakan sebagai suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola
mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat. Di dalam bahasa sehari-hari istilah “institution” sering dikacaukan
dengan istilah “institute” lembaga. Padahal kedua istilah tersebut jelas memiliki perbedaan mendasar. Pranata adalah sistem norma atau aturan-aturan mengenai
suatu aktivitas masyarakat khusus, sedangkan lembaga adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas tersebut. Apabila istilah lembaga
dikaitkan dengan istilah perkumpulan atau kelompok, lembaga merupakan suatu bentuk perkumpulan yang khusus.
Sementara itu, Kasryno dan Stepanek 1985, juga menjelaskan perbedaan antara lembaga dan organisasi. Lembaga didefinisikan sebagai aturan perilaku
yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial. Organisasi adalah kesatuan sosial yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keluarga,
perusahaan, kantor- yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai
sumberdaya. Apapun yang diterima oleh suatu organisasi rumah tangga atau suatu perusahaan, umpamanya sebagai pengaturan tingkah laku yang sifatnya eksternal
selalu merupakan hasil dari tradisi atau keputusan yang diambil oleh organisasi lain misalnya sistem peradilan di suatu negara atau praktek hubungan kerja dalam
suatu organisasi.
2.1.1.2 Jenis dan Ciri Kelembagaan
Menurut Hasansulama dkk 1983, jenis kelembagaan antara lain sebagai berikut :
1. Kumpulan norma-norma untuk mengatur pemenuhan kebutuhan kekerabatan,
yang pada dasarnya merupakan kebutuhan akan dorongan kelamin, menurunkan keturunan, dan kebutuhan akan hubungan akrab adalah institusi
atau lembaga keluarga; menurut perkembangannya terbagi lagi ke dalam institusi atau lembaga perkawinan termasuk pelamaran dan perceraian,
keluarga inti batin, keluarga besar dan seterusnya. 2.
Kumpulan norma-norma untuk mengatur kegiatan mencari nafkah, yang pada dasarnya menyangkut usaha memperoleh dan menyalurkan pangan, sandang
dan perumahan adalah institusi atau lembaga perekonomian, yang dapat terbagi lagi menjadi institusi-institusi yang lebih khusus, menurut jenis lapang
pencahariannya seperti pertanian, peternakan, perikanan, industri dan sebagainya. Lembaga pertanian terbagi lagi menjadi lembaga-lembaga
persawahan, pertanahan, ijon, gadai, tebasan, bagi hasil, perkreditan, pengairan, pemasaran hasil, dan sebagainya.
3. Kumpulan norma-norma untuk mengatur kegiatan memenuhi kebutuhan akan
pendidikan, yang pada dasarnya menyangkut hal-hal menambah ilmu pengetahuan adalah lembaga atau institusi pendidikan, baik resmi atau tidak
resmi dalam perencanaan, maupun tidak resmi tanpa perencanaan; menurut jenis dan tingkatannya dari pesantren, madrasah, taman kanak-kanak, sekolah
dasar, sekolah lanjutan, perguruan tinggi, kursus-kursus ketrampilan dan sebagainya.
4. Kumpulan norma-norma yang mengatur kegiatan untuk memenuhi kebutuan
masyarakat, rasa kekaguman dan keindahan, adalah institusi atau lembaga- lembaga keagamaan, kesusasteraan, kesenian dan sebagainya.
5. Kumpulan norma-norma yang mengatur kegaitan memenuhi kebutuhan akan
pemeliharaan jasmani adalah lembaga-lembaga kesehatan, lingkungan sehat, taman, gizi, keluarga berencana, olahraga, dan sebagainya.
6. Kumpulan norma-norma yang mengatur kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
akan menjaga kelestarian alam adalah institusi atau lembaga alam, penghijauan, pemeliharaan dan lain sebagainya.
Berdasarkan ciri tersebut, pesantren merupakan salah satu jenis kelembagaan pendidikan dimana di dalamnya terdapat norma-norma yang
mengatur kegiatan memenuhi kebutuhan akan pendidikan, yang pada dasarnya menyangkut hal-hal menambah ilmu pengetahuan. Pesantren Pertanian Darul
Fallah juga berusaha memenuhi kebutuhan guna menopang kegiatan pendidikan dengan usaha dalam bidang pertanian secara umum. Salah satu turunan dari usaha
di bidang pertanian adalah agribisnis peternakan. Agribisnis peternakan dapat dikatakan juga sebagai salah satu kelembagaan perekonomian menurut jenis mata
pencahariannya dimana di dalamnya terdapat kumpulan norma-norma yang mengatur kegiatan mencari nafkah melalui bidang peternakan.
2.1.2 Agribisnis 2.1.2.1 Pengertian Agribisnis
Pengertian pertanian, secara tradisional dianggap sebagai kegiatan bercocok tanam saja. Pada tahapan berikutnya seiring dilaksanakannnya
pembangunan, pertanian diidentikkan dengan kegiatan produksi usaha tani semata proses budidaya. Pada dasawarsa tahun 1950-an muncul konsep agribisnis
sebagai sebuah sistem pertanian yang kompleks. Menurut Saragih 2000
1
, sistem agribisnis tidak sama dengan sektor pertanian. Sistem agribisnis jauh lebih luas daripada sektor pertanian yang dikenal
selama ini. Sistem agribisnis terdiri dari tiga subsistem utama, yaitu: Pertama, subsistem agribisnis hulu upstream agribusiness yang
merupakan kegiatan ekonomi yang menyediakan sarana produksi bagi pertanian, seperti industri dan perdagangan agrokimia pupuk, pestisida, dll, industri
agrootomotif mesin dan peralatan, dan industri benihbibit. Kedua, subsistem usahatani on-farm agribusiness yang merupakan
kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi yang dihasilkan oleh subsistem agribisnis hulu untuk menghasilkan produk pertanian primer. Termasuk
ke dalam subsistem usahatani ini adalah usaha tanaman pangan, usaha tanaman
1
http:icdscollege.comartikelagribisnis_sbg_landasan_pemb_ekonomi.pdf [diakses diakses, 22
Desember 2008 ]
hortikultura, usaha tanaman obat-obatan, usaha perkebunan, usaha perikanan, usaha peternakan, dan kehutanan.
Ketiga, subsistem agribisnis hilir down-stream agribusiness yang berupa kegiatan ekonomi yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk
olahan, baik produk antara maupun produk akhir, beserta kegiatan perdagangan di pasar domestik maupun di pasar internasional. Kegiatan ekonomi yang termasuk
dalam subsistem agribisnis hilir ini antara lain adalah industri pengolahan makanan, industri pengolahan minuman, industri pengolahan serat kayu, kulit,
karet, sutera, jerami, industri jasa boga, industri farmasi dan bahan kecantikan, dan lain-lain beserta kegiatan perdagangannya.
Keempat, subsistem penunjang merupakan seluruh kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis, seperti lembaga keuangan, lembaga penelitian
dan pengembangan, lembaga transportasi, lembaga pendidikan, dan lembaga pemerintah kebijakan fiskal dan moneter, perdagangan internasional, kebijakan
tata-ruang, serta kebijakan lainnya. Arsyad dkk. 1985 dalam Soekartawi 1993, menyebutkan bahwa
agribisnis merupakan kegiaan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran, yang ada
hubungannya dengan pertanian dalam arti luas. Sementara itu, David dan Golberg 1957 dalam Soekartawi 1994, mendefinisikan agribisnis sebagai satu kesatuan
kegiatan yang meliputi industri dan distribusi sarana produksi pertanian, kegiatan budidaya tanaman dan atau ternak, dan penanganan pascapanen penyimpanan,
pemrosesan, dan pemasaran komoditi.
Menurut Departemen Pertanian 2008, agribisnis adalah rangkaian kegiatan usaha pertanian yang terdiri atas 4 empat sub-sistem, yaitu a
subsistem hulu yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi input pertanian; b subsistem pertanian primer yaitu kegiatan ekonomi yang
menggunakan sarana produksi yang dihasilkan subsistem hulu; c subsitem agribisnis hilir yaitu yang mengolah dan memasarkan komoditas`pertanian; dan
d subsistem penunjang yaitu kegiatan yang menyediakan jasa penunjang antara lain permodalan, teknologi dan lain-lain
2
.
2.1.2.2 Strategi dan Aspek Penting Pengembangan Agribisnis
Strategi pengembangan agribisnis menurut Jiaravanon 2007, adalah penerapan teknologi, peningkatan aspek pembiayaan, pengembangan sumberdaya
manusia, industrialisasi dan korporasi pertanian, liberalisasi pedesaan dan kebijakan perpajakan. Strategi ini dipertegas oleh Soekartawi 1993, yang
menyebutkan 4 aspek penting yang perlu diperhatikan secara serius dalam pembangunan agribisnis.
Pertama, pemanfaatan sumberdaya alam dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Hal ini dapat ditempuh dengan 4 cara yakni : 1
meningkatkan produktivitas pertanian productivity dengan rekayasa teknis atau sosial-ekonomi, 2 meningkatkan kestabilan produktivitas stability, 3
mempertahankan aspek kesinambungan sustainability, dan 4 mempertahankan dan meningkatkan pemerataan equitability. Kedua, memperhatikan aspek
pemanfaatan teknologi agar produksi pertanian meningkat. Ketiga, memperhatikan aspek kelembagaan baik yang bersifat formal maupun non-formal.
2
http:database.deptan.go.idPUAPtampil.php?page=pedum [diakses, 22 Desember 2008 ]
Keempat, memperhatikan aspek kebudayaan yang berkembang secara dinamis. Adanya faktor resiko dan ketidakpastian, tidak maunya petani mengadopsi
teknologi, tidak maunya petani mengikuti program pertanian dan sebagainya merupakan suatu contoh agar memperhatikan aspek budaya dalam pembangunan
agribisnis. Namun, kegiatan agribisnis juga menuai kritik berdasarkan orientasi basis
pengembangannnya. Kritik tersebut didasarkan pada pandangan bahwa di dalam pembangunan nasional sistem pengembangan agribisnis lebih mengarah kepada
modal ekonomi saja yakni sumberdaya alam dan manusia, investasi, dan inovasi. Menurut Sitorus, dkk 2001, jika pengembangan agribisnis hanya dipandang dari
tiga sisi tersebut, maka akan memunculkan kesenjangan sosial dimana petani kuat akan semakin kuat karena memiliki modal besar mudah mendapatkan akses
terhadap sumberdaya. Begitupun sebaliknya, petani miskin akan semakin miskin karena rendah akses akibat keterbatasan modal. Pada akhirnya posisi petani
miskin ini hanya akan menjadi objek karena dianggap sebagai modal atau tenaga kerja.
Maka Sitorus, dkk 2001, menggagas konsep agribisnis berbasis komunitas ABK. Konsep ini menekankan pada pemahaman bahwa agribisnis
dipandang sebagai proses interaksi sosial sekaligus proses kerja. Petani diposisikan sebagai subjek bukan objek. Proses interaksi sosial menunjuk pada
hubungan komunikatif antara -subjek-subjek- pelaku kegiatan agribisnis, sedangkan proses kerja menunjuk pada tindakan-tindakan teknis subjek pelaku
terhadap objek kegiatan agribisnis. Konsep ini lebih dekat dengan strategi pemberdayaan masyarakat.
2.1.3 Pemberdayaan Masyarakat sebagai Strategi dalam Pembangunan 2.1.3.1 Pengertian Masyarakat
Istilah masyarakat di dalam Bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris society atau community Nasdian, 2003. Konsep society dan
community memiliki perbedaan. Koentjaraningrat 1981, menyebutkan bahwa society merupakan kesatuan
hidup manusia yang saling berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh rasa identitas bersama. Cirinya ada tiga;
adanya interaksi antar anggotanya, adanya pola tingkah laku yang khas dalam semua faktor kehidupannya, dan adanya rasa identitas diri antara anggotanya.
Sedangkan community merupakan komunitas atau masyarakat setempat, Nasdian, 2003. Koentjaraningrat 1981, menyebut komunitas sebagai satu
kesatuan manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat serta yang terikat oleh rasa identitas komunitas.
Dasar-dasar komunitas adalah sifat lokalitas dan perasaan masyarakat setempat Soemarjan, 1962 dikutip Nasdian, 2003.
Menurut Ife 1995 dikutip Nasdian 2003, komunitas dibagi menjadi dua, yakni geographical community dan functional community. Geographical
community didasarkan bahwa komunitas yang terlibat atas kesamaan lokalitas atau satu kesatuan tempat tinggal. Functional community didasarkan bahwa komunitas
yang terikat adalah komunitas berdasarkan pada hal lain yang lebih umum dan menimbulkan rasa identitas sendiri.
Sementara itu, Soekanto 2002, menyebut komunitas adalah suatu unit atau kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan
kepentingan bersama baik yang bersifat fungsional maupun teritorial. Pesantren adalah sebuah institusi pendidikan keagamaan tertua yang
tumbuh dan berkembang secara swadaya dalam masyarakat muslim Indonesia. Lembaga pendidikan yang khas Indonesia indigenous ini bisa dilacak sejak awal
kehadiran dan da’wah Islam di Indonesia. Pesantren merupakan pioner dan corong sosialisasi Islam di Indonesia, bahkan pada era kolonialisme, pesantren tidak saja
bermain dalam wilayah da’wah dan pendidikan akan tetapi juga secara signifikan telah memberikan kontribusi bagi terwujudnya iklim kemerdekaan Mastuhu,
1994. Kata pesantren berasal dari akar kata santri dengan awalan pe dan
akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Di dalam istilah lain, kata santri berasal dari
kata shastri yang dalam bahasa India adalah orang-orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu
Zamakhsari;1983 dikutip Mastuhu, 1994. Sejak awal keberadaannya hingga perkembangan yang terakhir, pesantren
dapat didefinisikan sebagai lembaga pendidikan yang sekurang-kurangnya memiliki tiga unsur, yaitu: Pertama, kiai sebagai tokoh spiritual yang memiliki,
yang mendidik dan mengajar di pesantren yang bersangkutan. Kedua, santri yakni orang-orang yang punya kesadaran untuk menjadi orang saleh dan karenanya mau
belajar. Ketiga, masjid tempat mereka belajar dan mengajar Bernadien, 2009.
Hampir seluruh pesantren di Indonesia konsisten dengan ketiga unsur yang menjadi definisi lembaga pendidikan itu.
Sejarah menunjukkan bahwa pesantren mempunyai akar tradisi yang sangat kuat di lingkungan masyarakat Indonesia yang merupakan produk budaya
asli masyarakat Indonesia. Sejak awal kehadirannya pesantren telah me- nunjukkan watak populisnya dengan memberikan sistem pendidikan yang dapat
diakses oleh semua golongan masyarakat. Hal itu merupakan pengejawantahan dari konsep “ummah” dalam Islam yang menempatkan harkat dan martabat
manusia secara egaliter di hadapan Tuhan Mastuhu, 1994. Oleh karena itu masyarakat pesantren merupakan kelompok sosial yang hidup di pondok dengan
kegiatan utama belajar ilmu agama ataupun ilmu pengetahuan umum.
2.1.3.2 Batasan dan Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Allah berfirman di dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ra’du ayat 11 yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasibkeadaan suatu kaum sebelum
kaum tersebut merubah nasibkeadaannya sendiri”. Maksudnya, bahwa konsep tentang pemberdayaan masyarakat telah ada sejak masa kepemimpinan
Rosululloh SAW. Keadaan suatu kaum atau masyarakat akan ditentukan oleh diri mereka sendiri. Apabila masyarakat mampu memenuhi kebutuhannya berarti
masyarakat tersebut telah berdaya. Rosulullah Muhammad SAW memfungsikan masjid sebagai pusat pemberdayaan selain pusat pendidikan.
3
Kisah itu berawal
3
http:arachnoiza.blog.friendster.com200609 [diakses diakses, 22 Desember 2008 ]
dari masjid yang pertama didirikan nabi di Kota Makkah yakni Masjid Quba dan pembangunan masjid selanjutnya yakni Masjid Nabawi di Kota Madinah.
4
Pada masa setelah Rosulullah Muhammad SAW, konsep pemberdayaan mulai tampak ke permukaan sekitar dekade 1970-an, dan terus berkembang
sepanjang dekade 1980-an hingga dekade 1990-an Makmur, 2003. Berbagai batasan dan pengertian mengenai konsep pemberdayaan masyarakat memiliki
makna tersendiri menurut para ilmuwan. Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris empowerment. Konsep ini dijadikan alternatif terhadap konsep-konsep
yang selama ini dianggap gagal memberikan jawaban yang memuaskan terhadap masalah-masalah pembangunan khususnya masalah kekuasaan power dan
ketimpangan inequity Kartasasmita, 1996. Lebih lanjut, Kartasasmita 1996, mengatakan bahwa kata power dalam
empowerment diartikan daya sehingga empowerment diartikan sebagai pemberdayaan. Ia merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan
yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan. Kartasamita 1996, juga menyebutkan bahwa pemberdayaan merupakan konsep yang
menyeluruh yakni menyangkut konsep ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Artinya bahwa pemberdayaan masyarakat menyangkut bukan hanya kesejahteraan
dalam ukuran material, tetapi juga berkenaan dengan harkat dan martabat kemanusiaan dan dambaan setiap orang untuk menentukan apa yang terbaik bagi
dirinya.
4
Masjid Quba saat itu digunakan sebagai pusat pemberdayaan perekenomian, pusat pembelajaran, perpustakaan, tempat merundingkan strategi sebelum berperang, tempat atau benteng umat muslim
dikumpulkan sewaktu akan menghadapi peperangan. dan bukan hanya masjid quba saja, masjid yang terletak di Madinah masjid Nabawi lebih memperlihatkan perannya sebagai tempat dalam
masyarakat yang mutlak diperlukan dan sangat sentral sebagai tempat penampungan baitul mall yang digunakan untuk kaum fakir dan miskin untuk memperoleh modal dalam berdagang.
Ife 1995 dikutip Nasdian 2003, menerangkan bahwa pemberdayaan masyarakat berarti melengkapi masyarakat dengan sumberdaya, kesempatan,
pengetahuan, dan ketrampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menentukan masa depan mereka sendiri dan untuk turut berpartisipasi dalam
memberi pengaruh pada kehidupan masyarakat mereka. Secara ringkas, pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang selalu bersumber pada
keswadayaan lokal serta mengandung unsur partisipasi dan kemandirian warga. Hal ini dipertegas oleh Zakaria 2006 dengan menjelaskan 2 elemen penting
pemberdayaan yakni partisipasi dan kemandirian. Partisipasi adalah keterlibatan atau peran seseorang secara penuh dalam setiap langkah dan tindakan
pengambilan keputusan. Sedangkan kemandirian adalah kemampuan untuk meningkatkan, mempertahankan, dan mengelola berbagai kegiatan, kelembagaan,
potensi, dan sumberdaya lain yang dimiliki tanpa menggantungkan sepenuhnya pada pihak lain.
Ife 1995 dikutip Nasdian 2003, juga menjelaskan 3 prinsip yang saling berkaitan dalam pengembangan masyarakat, yakni pemberdayaan, partisipasi, dan
kemandirian. Pemberdayaan memiliki makna -memfasilitasi- komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas komunitas
meningkat sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas. Proses pemberdayaan tidak cukup hanya dengan retorika bahwa
masyarakat pasti bisa melakukannya sendiri. Hal ini penting sebatas untuk memberikan motivasi tetapi tidak cukup. Partisipasi diartikan sebagai peran serta
warga komunitas secara aktif dalam proses pengambilan keputusan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, implementasi, dan evaluasi program. Kemandirian
diartikan bahwa warga komunitas mengidentifikasi dan memanfaatkan sumberdaya untuk menciptakan proses pembangunan yang berkelanjutan dengan
menggunakan potensi lokal. Lebih lanjut, Ife 1995 dikutip Nasdian 2003, menegaskan tentang 4
azas pemberdayaan masyarakat, antara lain: 1 komunitas dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan, 2 mensinergikan strategi komprehensif
pemerintah, pihak-pihak terkait dan partisipasi warga, 3 membuka akses warga atas bantuan professional, teknis, fasilitas, serta insentif lainnya agar
meningkatkan partisipasi warga, dan 4 mengubah perilaku profesional agar lebih peka pada kebutuhan, perhatian, dan gagasan warga komunitas.
Craig dan Mayo 1995 dikutip Nasdian 2003, mengaitkan antara pemberdayaan dan partisipasi bahwa “empowerment is road to participation”.
Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri dengan menggunakan sarana dan
proses lembaga dan mekanisme dimana mereka menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dikategorikan : Pertama, warga komunitas dilibatkan
dalam tindakan yang telah difikirkan atau dirancang dan kontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari
masalah mereka sendiri. Titik tolaknya adalah memutuskan, bertindak, kemudian merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar. Cohen dan Uphoff
1980 dikutip Nasdian 2003, menegaskan bahwa partisipasi melihat adanya keterlibatan masyarakat mulai tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan,
penikmatan hasil dan evaluasi.
Ife 1995 dikutip Nasdian 2003, menyebutkan bahwa seseorang dikatakan berpartisipasi dalam suatu kegiatan jika ; Pertama, merasa bahwa
kegiatan tersebut penting. Kedua, yakin bahwa tindakannya akan membawa perubahan. Ketiga, kegiatan yang dilaksanakan diakui dan memiliki nilai bagi
warga. Keempat, keadaan memungkinkan serta mendukung partisipasi seseorang. Kelima, struktur dan proses dari kegiatan tidak membuat seseorang merasa
diasingkan. Partisipasi yang tercapai akan menimbulkan kemandirian self-relience
bagi komunitas Nasdian, 2003. Menurut Ife 1995 sebagaimana dikutip Nasdian 2003, mengartikan self-relience bahwa komunitas pada dasarnya
bergantung pada sumberdaya sendiri daripada sumberdaya dari luar dirinya. Menurut Nasdian 2003, terdapat tiga kategori kemandirian: Pertama,
kemandirian material, yakni kemampuan produktif guna memenuhi materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan dalam waktu kritis. Kedua,
kemampuan intelektual, yakni pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi
yang lebih halus diluar kontrol dari pengetahuan tersebut. Ketiga, kemampuan manajemen, yakni kemampuan otonom untuk membina diri dan menjalani serta
mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan mereka. Agusta 2002, mendefinisikan pemberdayaan sebagai tindakan individu
untuk menguatkan statusperanan sosialnya dengan cara mengubah struktur atau mencari peluang untuk berkembang. Pada struktur sosial yang ada, proses
pemberdayaan idealnya merupakan suatu gerakan sosial atau tindakan kolektif yang memungkinkan adanya proses saling-menguatkan antar individu. Lebih
lanjut, Agusta 2002, menggariskan bahwa partisipasi individu dalam tindakan kolektif akan bermakna pemberdayaan, hanya apabila ia merupakan tindakan
rasional sukarela yang bebas dari dominasi kekuasaan. Sementara itu, ciri-ciri masyarakat yang telah berdaya menurut Sumardjo,
dkk 2004, antara lain: 1 mampu memahami diri dan potensinya, 2 mampu merencanakan mengantisipasi kondisi perubahan ke depan dan mengarahkan
dirinya sendiri, 3 memiliki kekuatan untuk berunding dan bekerjasama secara saling menguntungkan dengan “bargaining power” yang memadai, dan 4
bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Dari berbagai konsep yang diuraikan di atas, menurut peneliti bahwa
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya berlanjut dalam proses pembangunan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat
dalam meningkatkan taraf hidupnya. Dalam proses tersebut masyarakat bersama- sama : 1 mengidentifikasi dan mengkaji permasalahan dan potensinya, 2
mengembangkan rencana kegiatan kelompok berdasarkan hasil kajian, 3 menerapkan rencana tersebut, dan 4 secara terus-menerus memantau dan
mengkaji proses dan hasil kegiatannya. Sementara itu, dimensi pemberdayaan masyarakat adalah partisipasi dan
kemandirian warga. Partisipasi diartikan sebagai peran serta warga komunitas secara aktif dalam proses pengambilan keputusan dalam tahap perencanaan,
pelaksanaan, implementasi, dan evaluasi program. Kemandirian diartikan bahwa warga komunitas mengidentifikasi dan memanfaatkan sumberdaya untuk
menciptakan proses pembangunan yang berkelanjutan dengan menggunakan potensi lokal.
2.1.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberdayaan Masyarakat