Komposisi kimia pearl millet dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.

7 Perbedaan kadar komposisi pearl millet dari beberapa sumber literatur disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan, dan keakuratan alat uji yang dipakai. Perbedaan hasil analisis kimia biji jewawut juga disebabkan oleh faktor pra panen seperti teknik penanaman, tingkat kesuburan tanah, faktor lingkungan seperti radasi matahari, suhu, dan varietas yang berbeda Yanuwar, 2009. Perbandingan nutrisi pearl millet dan bahan pangan lainnya dapat dilihat pada Tabel 4. Menurut Sari 2010, pearl millet memiliki kandungan protein yang hampir sama dengan terigu dan bahkan mengandung sedikit protein gluten. Gluten adalah protein lengket dan elastis yang dapat membuat adonan menjadi kenyal dan dapat mengembang karena bersifat kedap udara. Meskipun demikian, Serna-Saldivar dan Rooney 1995 menyebutkan bahwa pearl millet memiliki kandungan protein lebih tinggi dari jenis jewawut lainnya. Hal ini karena pearl millet memiliki lembaga germ yang besar sehingga kaya protein albumin dan globulin. Dengan tingginya protein albumin dan globulin, maka kandungan asam amino esensial lisin pun tinggi. Tabel 4. Kandungan nutrisi pearl millet dibandingkan bahan pangan lainnya per 100 g bahan edible; kadar air 12 Bahan Pangan Protein a g Lemak g Mineral g Serat Kasar g Karbohidrat g Energi kcal Ca mg Fe mg Thiamin mg Riboflavin mg Niacin mg Beras 7.9 2.7 1.3 1.0 76.0 362 33 1.8 0.41 00.04 40.3 Terigu 11.6 2.0 1.6 2.0 71.0 348 30 3.5 0.41 00.10 50.1 Jagung 9.2 4.6 1.2 2.8 73.0 358 26 2.7 0.38 00.20 30.6 Sorgum 10.4 3.1 1.6 2.0 70.7 329 25 5.4 0.38 00.15 40.3 Pearl millet 11.8 4.8 2.2 2.3 67.0 363 42 11.0 0.38 00.21 20.8 Sumber: Hulse et al., 1980; Keterangan: a N x 6.25. Pearl millet mengandung senyawa anti nutrisi antara lain asam fitat, goitrogen, dan asam oksalat Lestienne et al., 2007. Kandungan asam fitat pearl millet berkisar 0.7-0.8. Asam fitat menurunkan bioavilabilitas mineral seperti Fe dan Zn. Penghambatan Fe dan Zn tergantung kadar fitat. Kadar fitat 1-2 dapat menghambat penyerapan 2-5 Fe dan 2-10 Zn Hurrel dan Egli, 2010. Jadi asam fitat yang terkandung pada pearl millet tidak berdampak signifikan pada penurunan bioavilabilitas Fe dan Zn. Selain itu, proses penyosohan 100 detik dapat menurunkan kadar asam fitat pearl millet sebesar 27-53 Puspawati, 2009 karena proses penyosohan mengikis bagian kulit biji testa dan perikarp yang mengandung senyawa asam fitat. Namun asam fitat diketahui baik untuk menurunkan resiko penyakit degeneratif seperti kanker. Konsumsi asam fitat yang direkomendasikan sebesar 375 mghari Puspawati, 2009. Komponen goitrogen diidentifikasi sebagai penyebab off-odors pada tepung pearl millet Reddy et al., 1986, dan dikarakterisasi juga sebagai flavor mousy. Komponen goitrogen pearl 8 millet ini umumnya berupa senyawa flavonoid. Keberadaan asam oksalat dalam pearl millet dapat menurunkan penyerapan kalsium yang terkandung dalam pearl millet Leder, 2004. Kandungan oksalat pada pearl millet berkisar 3.54-4.41 Sukanya et al., 2003. Asam oksalat sebanyak 180 mg menyebabkan penurunan penyerapan kalsium dari 300 mg Ca sebesar 7.6, dari 200 mg Ca sebesar 5.9, dan dari 100 mg Ca sebesar 9.1 Liebman dan Chai, 1997. Namun asam oksalat ini dapat larut dalam air pada suhu 40 C-50 C sebanyak 60-70 sehingga dapat dihilangkan dari jewawut. Menurut Dykes dan Rooney 2006, flavonoid terbukti memiliki kemampuan dalam menangkal radikal bebas. Komponen flavonoid yang ada pada pearl millet adalah senyawa flavon. Senyawa flavon yang terdeteksi pada pearl millet yaitu glucosylvitexin, glucosylorientin, vitexin dengan rasio 29:11:4 Reichert et al., 1980. Pearl millet juga mengandung asam fenolat yang berada pada perikarp, testa, lapisan aleuron, dan endosperma. Pada umumnya, asam ferulat, p-kaumarat, dan asam sinamat merupakan senyawa fenolat utama pada pearl millet McDonough dan Rooney, 2000. Proses penghancuran, seperti penggilingan, dapat menurunkan komponen flavonoid secara signifikan El hag et al., 2002. Kandungan fenol total pearl millet non sosoh sebesar 5.12 mg TAEg biji. Kandungan fenol total jewawut non sosoh tersebut lebih tinggi bila dibandingkan kadar fenol total rye, barley, dan gandum, yaitu berurutan 1.026, 0.879, dan 0.562 mg TAEg biji Ragee et al., 2006. Sejauh ini, beberapa penelitian tentang pearl millet telah dilakukan di Indonesia. Salah satunya, penelitian yang telah dilakukan Yanuwar 2009 berupa perbandingan antara pearl millet, ketan hitam, dan sorgum yang menunjukkan kandungan proksimat kadar abu, protein dan lemak pearl millet lebih tinggi dibandingkan sorgum dan ketan hitam. Kemudian masih berlandaskan pada penelitian Yanuwar 2009, dua waktu sosoh terpilih berdasarkan kandungan fenol total dan aktivitas antioksidan pada pearl millet yakni 100 dan 300 detik. Semakin lama waktu penyosohan, semakin rendah kandungan fenol total serealia. Kandungan fenol total pearl millet setelah diberi perlakuan sosoh 100 detik sebesar 3.51 mg TAEg biji Yanuwar, 2009. Senyawa fenolik serealia berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidan. Semakin besar jumlah fenol total, akan semakin besar pula aktivitas antioksidannya. Selain itu, menurut Yanuwar 2009 pearl millet memiliki keunggulan pada berbagai atribut sensori dan tidak berbeda nyata dengan kontrol yaitu oatmeal. Manfaat kesehatan dari mengkonsumsi pearl millet dilaporkan oleh Rooney et al. 1992 yang menyatakan bahwa dedak pearl millet memiliki kemampuan menurunkan kadar kolesterol lebih baik dibanding jagung dan gandum. Selain itu, peranan pearl millet dalam mencegah penyakit kardiovaskular dilaporkan oleh Cho et al. 2000 yang menyatakan bahwa ekstrak heksan pearl millet dapat menghambat pembentukan 3-hidroksi-3-metilglutaril CoA HMG-CoA reduktase pada sel hati tikus. Penelitian tentang potensi biologis pearl millet sebagai pangan di Indonesia telah dilakukan Puspawati 2009 dengan tikus percobaan melalui aktivitas proliferasi sel limfosit limfa dan kapasitas antioksidan hati melalui aktivitas antioksidan, malondialdehida dan aktivitas enzim antioksidan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi 50 dan 100 pearl millet sebagai sumber karbohidrat tidak memberikan efek negatif pada kesehatan dilihat dari grafik pertumbuhan yang meningkat, berat organ seperti hati dan ginjal yang tidak mengalami perubahan dari berat normal serta tidak mempengaruhi selera makan tikus dibandingkan dengan kontrol. 9 Pemberian 50 dan 100 jewawut sebagai ransum tikus dapat meningkatkan proliferasi limfosit limfa tikus secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Pemberian 50 dan 100 jewawut dibandingkan kontrol dapat meningkatkan aktivitas antioksidan hati dengan metode DPPH berturut-turut sebesar 27 dan 30, penurunan kadar malondialdehid MDA hati berturut-turut sebesar 13 dan 14, peningkatan aktivitas enzim antioksidan hati meliputi aktivitas enzim superoksid dismutase SOD berturut-turut sebesar 85 dan 88, aktivitas enzim katalase berturut-turut sebesar 14 dan 16, aktivitas enzim glutation peroksidase GPx berturut-turut sebesar 29 dan 33. Sehingga konsumsi pearl millet 50 dan 100 baik untuk pangan sebagai sumber karbohidrat dan kesehatan pada tikus Puspawati, 2009.

B. Pangan Instan

Perkembangan zaman menyebabkan masyarakat menuntut segala sesuatu yang serba cepat dan praktis. Demikian pula dalam hal makanan, masyarakat cenderung lebih menyukai produk pangan yang berbentuk instan. Produk pangan instan merupakan jenis produk pangan yang mudah untuk disajikandikonsumsi dalam waktu yang relatif singkat Lawal, 2007. Menurut Bender 2005, pangan instan adalah pangan kering yang dapat kembali ke bentuk aslinya secara cepat setelah direhidrasi. Produk pangan instan berkembang untuk mengatasi masalah penggunaan dan penanganan produk pangan yang sering dihadapi, misalnya penyimpanan, transportasi, tempat, dan waktu konsumsi Hartomo dan Widiatmoko, 1992. Sehingga produk pangan instan berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan masyarakat yang menuntut adanya produk pangan yang mudah dikonsumsi, bergizi, dan mudah dalam penyajiannya. Istilah instan telah digunakan pada berbagai industri seperti industri makanan, farmasi, pakan hewan, dan kimia untuk menerangkan karakteristik dispersi atau kelarutan suatu bubuk. Beberapa bubuk instan yang tersedia secara komersil yaitu minuman, kopi, cokelat, makanan bayi, sup, saus, soft drink, vitamin. Pengertian pangan instan menurut Johnson dan Peterson 2000 adalah pangan yang dapat dimakan atau diminum langsung atau tanpa dimasak lama. Meskipun beberapa bubuk secara alami bersifat instan, namun instan mengarah pada perlakuan khusus yang dikenal dengan proses instanisasi suatu bahan menjadi bentuk bubuk yang mudah larut atau berdispersi di dalam air dibandingkan sifat bubuk aslinya Juliano et al., 2005. Menurut Juliano et al. 2005 ada dua cara untuk menginstanisasi yaitu dengan aglomerasi dan tanpa aglomerasi. Aglomerasi merupakan proses untuk membuat partikel-partikel menjadi sebuah agregat yang menyatu dengan memberikan perlakuan khusus yaitu berupa panaskelembaban pada permukaan bahan. Setelah bahan menjadi agregat yang berpori maka bahan memiliki kapasitas adsorpsi yang besar, sehingga bahan mudah tenggelam. Sedangkan perlakuan tanpa aglomerasi yaitu meliputi freeze drying, pengeringan osmotik, pengeringan drum, dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan seperti lesitin. Menurut Winarno 2002, gelatinisasi diperlukan untuk membuat makanan menjadi instan. Gelatinisasi adalah perubahan granula pati akibat pemanasan yang terus-menerus dalam waktu lama sehingga granula pati membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali ke bentuk semula Winarno, 2002. Pati yang sudah tergelatinisasi lalu dikeringkan memiliki kemampuan untuk menyerap air kembali rehidrasi dengan mudah Winarno, 2002. Gelatinisasi dapat terjadi jika terdapat jumlah air yang cukup sehingga menyebabkan granula pati mengembang. Jumlah air yang terserap pada proses perendaman serealia pada suhu ruang dan bahkan dilanjutkan dengan pengukusan tidak cukup untuk membuat pati tergelatinisasi sehingga ketika sudah dikeringkan dengan double drum drier, pati sulit direhidrasi Felicia, 10 2006. Berbeda halnya dengan serealia yang sudah tergelatinisasi melalui perebusan, patinya mudah direhidrasi Felicia, 2006. Menurut Hartomo dan Widiatmoko 1992 kriteria yang harus dimiliki bahan makanan agar dapat dibentuk produk pangan instan antara lain: a memiliki sifat hidrofilik, yaitu sifat mudah mengikat air, b tidak memiliki lapisan gel yang tidak permeabel sebelum digunakan yang dapat menghambat laju pembasahan, dan c rehidrasi produk akhir tidak menghasilkan produk yang menggumpal dan mengendap. Produk instan yang telah dihasilkan dari proses pengeringan dapat secara normal direkonstitusi untuk dikonsumsi. Kemampuan rekonstitusi adalah kecepatan produk hasil pengeringan untuk menyerap air, dibandingkan produk yang tidak dikeringkan Huber et al., 2006. Pada kasus bahan bubuk yang dikeringkan, beberapa karakteristik instan yang penting meliputi kemampuan pembasahan, kemampuan dispersi, dan kemampuan mengendap Juliano et al., 2005. Proses instan sempurna tampak dari urutan kejadian yaitu bubuk terkenai media basahair menjadi basah dalam beberapa saat lalu tenggelam, dan segera larut atau terdispersi merata dalam mediumnya Hartomo dan Widiatmoko, 1992. Namun dalam kenyataannya, instanisasi produk yang dihasilkan melalui proses pengeringan jarang yang memiliki kriteria sempurna instan seperti di atas disebabkan karakteristik komposisi produk tersebut Huber et al., 2006. Metode pengeringan terpilih dan perlakuan sebelum pengeringan juga dapat mempengaruhi karakteristik rehidrasi produk yang dihasilkan Juliano et al., 2005.

C. Pembuatan Pangan Instan