138
hasil belajar peserta didik, guru menyebutnya dengan penilaian konvensional untuk Kelas IX dan sistem PBK untuk Kelas VII dan VIII. Berikut ini paparan
tentang keduanya.
a. Penilaian konvensional
Penilaian konvensional merupakan sistem penilaian yang digunakan dalam penilaian formatif yang terbentuk karena kebiasaan.
Guru melakukan penilaian secara terpisah dengan pembelajaran dan cenderung menggunakan penilaian tunggal sebagaimana dipaparkan oleh
Guru SLD berikut ini. Penilaian
konvensional memiliki
karakteristik yakni:
1 dilaksanakan secara terpisah dengan PBM, guru menentukan waktu khusus untuk mengadakan penilaian setelah guru
menerangkan beberapa pokok bahasan, 2 tidak berorientasi pada prosedur yang benar, yakni tanpa melalui perancangan dan tindak
lanjut, 3 guru cenderung menentukan salah satu cara penilaian sehingga tidak dapat mengungkap data dan informasi secara
menyeluruh. Jadi intinya penilaian ini hanya menekankan pada hasil belajar siswa. Selain itu, guru memberikan pertanyaan dan
melakukan pengamatan pada saat pembelajaran akan tetapi tidak mencatat hasilnya. CL 05: 02
Pada tataran praktik ditemukan Guru CH mengisi satu jam pelajaran penuh hanya untuk melakukan penilaian dengan langkah-
langkah sebagai rerukut: 1 guru membuka pertemuan dengan ucapan selamat pagi dan menanyakan kehadiran siswa, 2 guru menginformasikan
kepada siswa bahwa hari itu ulangan dan memerintahkan siswa untuk bersiap-siap, 3 guru membagikan soal ulangan kemudian menunggui
sampai selesai, 4 guru mengumumkan bahwa waktu habis lalu meminta
139
siswa untuk mengumpulkan lembar jawab, dan 6 guru menutup pertemuan serta memerintahkan siswa istirahat.
Peneliti menanyakan beberapa pertanyaan sebagai klarifikasi seusai melakukan pengamatan di kelas dan mendapat jawaban dari Guru
CH yang salah satunya sebagai berikut.”Kegiatan seperti ini ulangan harian sudah biasa dilakukan guru-guru termasuk diri saya” CL 27. Hal
ini disebabkan karena guru belum mempunyai pemahaman yang baik tentang perbedaan penilaian formatif dan penilaian sumatif beserta
instrumen penilaiannya. Kenyataan ini menyebabkan kebiasaan guru menggunakan waktu dan cara penilaian sumatif ke dalam penilaian
formatif. Berdasarkan data-data di atas ditemukan adanya kelemahan dalam
sistem penilaian tersebut. Hal ini dikemukakan pula oleh Guru SLD ketika menjawab pertanyaan peneliti tentang hal itu ia mengatakan sebagai
berikut. ”Ada Bu, kurang dapat mengukur kemampuan siswa yang sebenarnya, tidak bisa mengungkap seluruh aspek penilaian, kurang valid,
dan pelaksanaannya kurang terprogram” CL 05: 02. Banyaknya kelemahan yang menyertai ini rupanya tidak mengurangi daya tarik
penilaian konvensional. Sistem penilaian ini terbukti tetap diminati oleh kebanyakan guru karena ingin mencari praktisnya dan tidak bertele-tele.
Hal yang demikian tercermin pula pada aktivitas guru ketika melaksanakan KBM di kelas IX. Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan oleh peneliti, rata-rata guru kelas IX mengajar dengan langkah-
140
langkah sebagai berikut: a apersepsi dengan menanyakan tentang materi pelajaran yang telah diajarkan pada pertemuan sebelumnya, b membahas
Pekerjaan Rumah PR, c menerangkan, d memberi pertanyaan, dan e memberi pekerjaan rumah PR. Fakta yang telah ditemukan peneliti
ini juga didasarkan pada jawaban siswa ketika menjawab pertanyaan peneliti tentang langkah-langkah guru dalam KBM. Siswa menjawab
sebagai berikut ”Menanyakan tentang PR, melanjutkan materi, memberikan pertanyaan, dan memberikan tugas CL 08:01.
Di samping itu, dalam pelaksanaan penilaian formatif guru kelas IX cenderung menggunakan teknik tertulislisan dalam bentuk objektif atau
uraian. Hal ini dilaksanakan pada saat ulangan. Fakta ini didukung oleh data-data dalam administrasi Kegiatan Belajar Mengajar KBM yang
telah dianalisis oleh peneliti yang meliputi Program Satuan Pembelajaran PSP, Rencana Pembelajaran RP, kisi-kisi soal, soal ulangan, dan
Program Analisis Evaluasi serta Program PerbaikanPengayaan. Semua administrasi yang dianalisis memuat data-data tentang penilaian yang
menunjukkan bahwa Teknik Penilaian yang digunakan adalah teknik tertulis dalam bentuk pilihan ganda atau uraian.
Berdasarkan analisis dokumen yang telah dilakukan oleh peneliti tentang perangkat Kurikulum 1994, di dalamnya telah dijelaskan petunjuk
pelaksanaan penilaian. Namun demikian, guru cenderung melaksanakan penilaian formatif tidak sesuai dengan petunjuk yang sudah ditentukan
melainkan hanya melaksanakan sebagian saja yang dianggap mudah dan
141
bisa dilaksanakan. Penilaian semacam ini terbentuk karena kebiasaan yang dilakukan oleh kebanyakan guru. Ketika peneliti bertanya ”Mengapa
sistem penilaian yang demikian cenderung digunakan dan diminati guru ?” Guru SR menjawab ”Karena kebanyakan guru dalam melaksanakan KBM
yang berorientasi pada Kurikulum 1994 mempunyai kecenderungan untuk mencari praktisnya dan tidak bertele-tele” CL 06: 01.
Perlu dikemukakan juga bahwa waktu yang seharusnya digunakan guru untuk mengajar, oleh guru dipergunakan untuk membahas soal.
Ketika peneliti mengkonfirmasikan masalah ini, Guru SM menjawab sebagai berikut ”Karena saya khawatir kalau sampai anak-anak saya tidak
lulus.” Lalu, peneliti bertanya lagi ”Mengapa dalam KBM Ibu hanya menggunakan satu teknik penilaian saja?” Guru SM menjawab sebagai
berikut. Sebetulnya saya juga senang menerapkan cara-cara baru dalam
penilaian tetapi karena dengan cara itu kita butuh waktu yang leluasa padahal kita dituntut memenuhi target kelulusan yang mau
tidak mau harus berorientasi terhadap soal UN dengan bentuk instrumen pilihan ganda. CL 24: 01
Jawaban guru SM di atas menjadi salah satu alasan mengapa
penilaian konvensional selalu bertahan karena guru berorientasi pada soal- soal UN yang selama ini cenderung dengan soal tertulis yang berstandar
nasional. Hal demikian menimbulkan distorsi dalam pembelajaran yang seharusnya berorientasi kepada pencapaian tujuan pembelajaran, yaitu
pengembangan potensi
siswa. Namun,
kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran dilakukan semata-mata hanya
142
mepersiapkan siswa untuk menghadapi UN yang kelulusannya ditentukan secara nasional. Hal yang demikian menjadi pilihan guru karena hasil UN
merupakan tolok ukur keberhasilan suatu lembaga pendidikan. Anggapan ini mampu membentuk kesan masyarakat bahwa sekolah bermutu adalah
sekolah yang berhasil dalam mengikuti UN. Temuan semacam ini diperkuat pula dengan hasil analisis dokumen
terutama pada administrasi KBM yang disusun oleh guru kelas IX. Dalam PSP pada rencana penilaian ditulis bahwa penilaian yang digunakan oleh
guru adalah penilaian proses dan hasil belajar. Secara konseptual penilaian proses dan hasil belajar dilakukan ketika proses dan akhir pembelajaran
dalam bentuk pertanyaan, pengamatan, dan tugas Depdikbud, 1996: 32- 33. Namun, kenyataan di lapangan dalam KBM guru hanya memberikan
pertanyaan-pertanyaan saja. Ketimpangan antara teori dan praktik tersebut bisa menjadikan kekhawatiran apabila implementasi KBK akan
mempunyai nasib yang sama yaitu adanya pelaksanaan yang tidak sesuai dengan konsepnya. Hal yang demikian akan menjadi salah satu faktor
penyebab kegagalan implementasi sistem PBK.
b. Sistem PBK