Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia SMP

58

4. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia SMP

Pembelajaran kontekstual Contextual Teaching and Learning atau CTL merupakan konsep belajar yang mengaitkan antara materi yang diajarkan oleh guru dengan situasi dunia nyata siswa dan membantu siswa menghubungkan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Proses pembelajaran bukan sekedar mentransfer pengetahuan guru ke siswa, melainkan cenderung ke arah aktivitas siswa dalam mempraktikkan atau mengalami sendiri secara alamiah pengetahuan yang dimiliki Depdiknas, 2003b: 1. Zoharik 1995: 14-22 menyebutkan lima elemen dasar yang harus diperhatikan dalam praktik pembelajaran kontekstual, yaitu: 1 pengaktifan pengetahuan yang sudah ada activating knowledge; 2 pemerolehan pengetahuan baru acquiring knowledge, dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya; 3 pemahaman pengetahuan understanding knowledge, yaitu dengan cara menyusun konsep sementara hipotesis, melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan validasi dan atas dasar tanggapan itu konsep tersebut direvisi dan dikembangkan; 4 mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut applying knowledge; dan 5 melakukan refleksi reflecting knowledge terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Sejalan dengan konsep Zoharik, Depdiknas, dan C-Star pembelajaran CTL melibatkan tujuh komponen dasar, yaitu berlandaskan aliran filsafat konstruktivisme Contructivism, berprinsip menemukan Inquiry, melatih 59 bertanya Questioning, menciptakan masyarakat belajar Learning Community, menggunakan pemodelan Modeling, melaksanakan refleksi Reflection, dan melaksanakan penilaian otentik Authentic Assesssment. Masing-masing komponen dasar CTL tersebut akan dibahas secara singkat di bawah ini. a. Berlandaskan Aliran Filsafat Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan CTL yang memandang pengetahuan dapat dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat Suparno, 1997: 19. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Pengalaman-pengalaman tersebut dapat mengembangkan pengetahuan, sedangkan pengalaman yang baru dapat menguatkan pemahaman. Dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia, misalnya keterampilan membaca dari yang sederhana akan berkembang untuk mampu membaca wacana yang lebih kompleks sesuai dengan berkembangnya penguasaan struktur dan kosakatanya. Konstruktivisme adalah roh dari CTL Depdiknas ,2003b: 10-12. b. Berprinsip Menemukan Menemukan memiliki siklus observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan. Pengetahuan dan 60 keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat fakta-fakta, melainkan hasil dari menemukan sendiri. Dengan demikian, guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan atas materi yang diajarkan. Adapun langkah-langkah kegiatan menemukan adalah sebagai berikut: 1 Merumuskan masalah seperti bagaimana cara membuat paragraf deskripsi, 2 Mengamati atau observasi; membaca buku tentang karangan deskripsi, 3 Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan bagan, tabel, dan karya lain, 4 Mengomunikasikan atau mengajukan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audience lain; siswa membacakan atau menuliskan paragraf deskripsinya sendiri di depan kelas dan menjawab langsung pertanyaan-pertanyaan tentang karyanya dari teman sekelas dan guru Depdiknas, 2003b: 13. c. Melatih Bertanya Bertanya merupakan strategi utama dalam CTL, baik bagi guru maupun siswa. Dengan bertanya, guru bisa mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Sementara itu, siswa bisa menggali informasi, mengkonfirmasikan yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, tanya jawab antara siswa dan siswa ditemukan pada saat mereka mengerjakan tugas kelompok, berdiskusi, dan mengamati, seperti membedakan bentuk wacana. Tanya jawab antara guru dan siswa diawali dengan pertanyaan tingkat rendah ke 61 tingkat yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan guru agar siswa lebih aktif dalam pembelajaran.Tanya jawab antara siswa dan guru maupun dengan orang yang didatangkan ke kelas dilakukan pada saat siswa minta penjelasan, seperti teori berpidato Suyanto, 2002: 7. d. Menciptakan Masyarakat Belajar Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah, dengan melibatkan dua kelompok atau lebih dalam mengikuti pembelajaran. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Kegiatan saling belajar ini bisa tejadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, masyarakat belajar terjadi pada saat siswa berdiskusi dan kerja kelampok dalam menyelesaikan tugas dari guru. Misalnya, ketika seorang siswa menempel gambar untuk pembuatan kliping, dia bertanya kepada temannya, “Bagaimana caranya? Tolong bantu aku”, lalu temannya yang sudah melakukan, menunjukkan caranya, sehingga terbentuk masyarakat belajar yang terfokus pada proses komunikasi dua arah Depdiknas, 2003b: 15-16. e. Menggunakan Model Dalam sebuah pembelajaran dibutuhkan model yang bisa dicontoh. Model itu bisa dilakukan oleh guru, siswa ataupun peraga dari luar sekolah. Model bisa berupa cara untuk mengoperasikan sesuatu, cara 62 melafalkan Bahasa Inggris, atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu sebelum siswa mengerjakan tugas. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru dapat mendemonstrasikan cara menemukan kata kunci dalam bacaan secara cepat dan tepat melalui gerakan mata scanning. Siswa mengamati guru membaca dan membolak-balik teks. Gerak mata guru dalam menelusuri bacaan menjadi perhatian utama siswa. Dengan begitu siswa tahu bagaimana gerak mata yang efektif dalam melakukan scanning. Kata kunci yang ditemukan guru disampaikan kepada siswa sebagai hasil kegiatan pembelajaran menemukan kata kunci secara cepat. Selain itu, bisa berupa contoh karya tulis, teks berita, dan surat kabar Depdiknas, 2003b:16-17. f. Melaksanakan Refleksi Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang hal-hal yang sudah dilakukan pada masa lalu. Refleksi bisa merespon kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Ketika pembelajaran berakhir, misalnya, siswa merenungkan perihal pembuatan tugas kemarin yang ternyata salah; sedangkan cara yang benar adalah cara yang dipelajari pada hari ini. Peran guru pada tahap ini adalah membantu siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya dengan pengetahuan yang baru didapatnya Suyanto, 2002: 8. Dengan demikian, siswa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang sesuatu yang baru dipelajari. 63 Dalam pembelajaran bahasa Indonesia misalnya guru menjelaskan tentang cara menyusun karangan, pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan refleksi yang berupa pernyataan sejauh mana penguasaan siswa tentang cara membuat karangan. Siswa disarankan untuk mengingat kembali tentang karangan yang telah dibuatnya, dan siswa diarahkan untuk dapat mencari letak kesalahan dan kekurangan dalam membuat karangan pada pertemuan yang lalu. Kemudian siswa diperintahkan untuk mendiskusikan masalah tersebut dengan teman di kelasnya dan mencatat hasil diskusi sebagai hasil karya. g. Penilaian yang Otentik Penilaian yang sebenarnya menekankan proses pembelajaran. Oleh karena itu, data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Demikian juga, guru bahasa yang ingin mendapatkan data tentang penguasaan kosakata para siswanya, dapat mencapainya melalui pengumpulan tugas kegiatan nyata, yaitu pada saat siswa ditugasi berpidato atau mengarang. Menurut Richards dan Rodgers 2001: 146, penilaian bisa bersifat sebenarnya dan berkesinambungan apabila di awal pembelajaran para siswa diberikan tes awal untuk menentukan tingkat kemampuan mereka dan diberikan tes akhir setelah pembelajaran, jika siswa belum mencapai level yang diharapkan terhadap penggunaan keterampilan yang diajarkan, 64 mereka tetap meneruskan berlatih dan mengikuti tes ulang. Program evaluasi yang didasarkan pada hasil tes semacam ini dianggap hasil yang objektif. Dalam konsep KBK dan KTSP penilaian otentik dianjurkan untuk dilaksanakan secara berkesinambungan oleh guru ketika proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan uraian tersebut di atas, CTL dapat dijadikan suatu pendekatan alternatif pembelajaran yang efektif dan produktif, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Para siswa bisa aktif dan kreatif, sedangkan guru sebagai fasilitator dan mediator.

5. Sistem Penilaian Berbasis Kelas PBK