Aspek keragaman ethnis, budaya dan kekerabatan sosial.

Penduduk Kabupaten Alor memiliki keragaman suku asli 50 suku asli dan kelompok suku pendatang dari luar Kabupaten Alor antara lain suku Cina, Bugis Makasar, Buton, Batak, Ambon, Padang, Jawa, Manado, Dayak, Bali, Bima , Flores, Sumba, Timor, Rote, Sabu, dll. Dalam hubungannya dengan interaksi sosial baik antar suku asli maupun suku pendatang, masih sangat harmonis karena ada keterikatan budaya dan fungsional yang mutualisme. Dalam kaitannya dengan keterkaitan budaya, penduduk Alor sejak lama dalam menjalani kekerabatan sosial antar suku-suku asli maupun suku –suku tetangga di luar pulau Alor telah tertanam nilai-nilai kekerabatan sosial yang dikenal dengan “ hubungan bela “ dan “hubungan egalatarian” . Kedua nilai kekerabatan sosial tersebut, masih dijunjung tinggi sampai saat ini, sebagai salah satu modal sosial yang memiliki kekuatan dalam mempersatukan perbedaan suku, agama, adat-istiadat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Alor. Kemudian keterkaitan fungsional antara suku asli dan suku pendatang, yang masih terpelihara keharmonisan, karena suku asli memandang suku pendatang sebagai pembawa inovasi dan pasar input dan pasar output produk suku asli, yang masih berorientasi produk tradisional. Namun demikian kesenjangan pendapatan antar suku asli dan suku pendatang serta kebocoran wilayah yang tak terkendali, merupakan dilema yang perlu diwaspadai saat ini dan kedepan, sehingga selalu dalam keseimbangan. Dampak negatif lain yang sering timbul dari hubungan bela dan egalatarian yang tak terkendali adalah mengurasnya ekonomi penduduk pemborosan demi suatu prestise sosial merupakan salah satu lingkaran setan kemiskinan di Alor. Kabupaten Alor yang terdiri atas keragaman suku asli, tidak terlepas dari keragaman ethnolinguistik 56 bahasa ibu yang dikelompokan dalam 13 rumpun bahasa, yang satu sama lain sangat berbeda untuk dimengerti, sehingga dalam interaksi sosial antar penduduk di Kabupaten Alor selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa komunikasi antar suku-suku di Alor. Selain keragaman ethnolinguistik, juga memiliki keragaman budaya, kurang lebih terdapat 37 jenis peninggalan benda-benda cagar budaya atau megalitik termasuk “Al’quran kuno” bertuliskan tangan yang masih dilestarikan dan sedang tersimpan dalam museum daerah. Disamping itu terdapat tari-tarian dan syair budaya, yang intinya sebagai media dalam menjamin kekerabatan atau interaksi sosial dalam keberagaman. Diantaranya tarian “lego-lego” dan untaian syair pemersatu “ Taramiti Tominuku bersehati kita teguh, bersama kita bisa”, “Webuk wangkape yang jauh berbeda diikat menjadi dekatsatu”. Nilai-nilai budaya ini masih dihormati dalam kelembagaan adat, dan jauh lebih ampuh sebagai alat penyelesaian konflik konflik horisontal dan atau berbagai aspek pembangunan lainnya. Seharusnya dalam kerangka otonomi daerah, nilai-nilai budaya ini haruslah mendapat tempat yang lebih strategis, untuk menjawab tantangan pembangunan wilayah, namun nilai – nilai budaya dan peran kelembagaan adat dan lembaga non formal lainnya belum diintigrasikan secara optimal dalam pengambilan kebijakan pembangunan wilayah. Seharusnya diperlukan suatu “regulasi “ yang mengintegrasikan peran kelembagaan adat dan nilai – nilai budaya sebagai suatu modal sosial yang menggerakan dan memberdayakan ekonomi penduduk dan aspek pembangunan lainnya untuk berkembang maju adalah suatu prestise sosial yang lebih humanis dan dinamis.

4.1.2.3. Ekonomi wilayah.

Perkembangan ekonomi wilayah dapat ditunjukkan oleh beberapa indikator pembangunan sebagai berikut :

a.Produk Domestik Regional Bruto PDRB.

Perkembangan pertumbuhan ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan nilai PDRB sebagaimana pada Tabel 2, pada tahun 1998 menunjukkan minus 2,50 persen dan tahun 1999 0,44, namun mulai berangsur membaik menjadi 5,63 persen pada Tahun 2003, namun dari sisi prosentase kontribusi PDRB Kabupaten Alor tehadap PDB Nasional pada tahun 2000-2003 masih sangat rendah rata-rata 0,03 persen. Sedangkan kontribusinya terhadap PDRB Propinsi NTT pada tahun 2000 sebesar 3,97 persen, tahun 2001 3,96 , tahun 2002 3,91 dan tahun 2003 3,92

b.Pendapatan Perkapita.

Perkembangan pendapatan perkapita yang ditunjukkan oleh PDRB perkapita, memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan. Namun demikian bagaimana rasio perkembangan PDRB perkapita Kabupaten Alor terhadap PDB Nasional dan Provisi NTT dapat ditunjukkan pada Tabel 15 Tabel 15 memperlihatkan bahwa rasio perkembangan PDRB perkapita Kabupaten Alor terhadap PDB Nasional masih rendah yakni pada tahun 2000 dan 2001 hanya mencapai 0,11 , sedangkan tahun 2002 dan 2003 sedikit bergeser menjadi 0,12 . Sedangkan rasio pertumbuhan PDRB per kapita Kabupaten Alor terhadap PDRB Provinsi NTT cukup tinggi, pada tahun 2000 mencapai 88,17 persen, dan sedikit menurun tahun 2001 87,62, kemudian meningkat menjadi 90,35 persen pada tahun 2002 dan tahun 2003 94,94. Tabel 15 Ratio Pertumbuhan PDRB Perkapita Kabupaten Alor terhadap PDRB Per kapita Provinsi NTT dan PDB Per kapita Indonesia Tahun 2000-2003 Tahun Kabupaten Alor Provinsi NTT Indonesia PDRB Per kapita Rp PDRB Per kapita Rp Ratio PDRB Alor terhadap Per kapita NTT PDB Per kapita Rp Ratio PDRB Alor terhadap Per kapita Indonesia 2000 1443624 1637322 88.17 1264918748 0.11 2001 1667071 1902590 87.62 1467654835 0.11 2002 1954572 2163295 90.35 1610564951 0.12 2003 2177729 2293762 94.94 1786690919 0.12 Sumber : BPS, 2003 PDRB Kabupaten Alor Tahun 2003 dan PDB Indonesia Tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi PDRB Kabupaten Alor terhadap rata-rata PDRB Perkapita NTT cukup signifikan, namun terhadap PDB Nasional amat lemah.

C. Struktur ekonomi.

Struktur ekonomi wilayah, sebagaimana pada Tabel 3 masih didominasi pada sektor pertanian primer, walaupun prosentase proporsi sektor primer dari tahun 1998-2003 menunjukkan pergeseran yang menurun. Pada Tahun 1998 prosentase proporsi Sektor pertanian terhadap PDRB sebesar 42,2 persen menurun menjadi 34,58 persen, bila dibanding tahun 1988 sebagai tahun dasar penyusunan RUTRW Kabupaten Alor, proporsi Sektor pertanian terhadap PDRB mencapai 56,9 persen. Pertambangan dan penggalian tahun 1998 sebesar 1,38 persen, tahun 2003 menurun menjadi 1,2 persen , sedangkan tahun 1988 0,6 . Kemudian sektor industri sekunder perkembangannya masih tidak menentu berfluktuatif, tahun 1988 sebesar 0,8 persen meningkat 2,17 persen pada tahun 1998, namun menurun drastis menjadi 1,91 persen pada tahun 2003. Namun ada peningkatan sektor sekunder pada sektor bangunan dan konstruksi, pada tahun 1988 sebesar 0,4 persen, meningkat menjadi 5,47 persen pada tahun 1998 dan 5,76 persen tahun 2003. Sedangkan Sektor tersier perdagangan , komunikasi dan jasa mengalami peningkatan yang berfluktuatif kecuali sektor sektor angkutan dan jasa-jasa, mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Sektor perdagangan, rumah makan dan hotel pada tahun 1988 memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 10,7 persen, tahun 1998 12,81 persen dan sedikit menurun menjadi 12,7 persen tahun 2003. Pengangkutan dan