c. Aspek Agama Religion.
Pada umumnya terdapat lima 5 agama yang dianut penduduk Kabupaten
Alor, yakni Islam, Kristen Khatolik, Kristen Protestan dan HinduBudha. Perkembangan masing-masing jumlah penganut agama antar satuan wilayah
pengembangan di Kabupaten Alor, diperlihatkan pada Tabel 14.
Tabel 14 Perkembangan jumlah penganut agama antar satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 2003.
SWP Jumlah Penganut Agama orang
Islam K.Khatolik K.Protestan HinduBudha Total
antar SWP
A 12202 661 24765 3
37631 B 24435 4591 74523
155 103704
C 36 1087
26494 9 27626
Kabupaten 36673 6339
125782 167
168961
Sumber : BPS, 2003 Alor Dalam Angka, 2003.
Tabel 14, memperlihatkan bahwa perkembangan jumlah penganut Agama di Kabupaten Alor, didominasi agama Kristen Protestan 74.44, diikuti agama
Islam 21.71, agama Kristen Khatolik 3.75 dan agama HinduBudha 0.10 .
Dalam hubungannya dengan kerukunan hidup antar agama di Kabupaten Alor, kerukunannya masih sangat harmonis, belum ada intimidasi dari pihak
agama manapun yang mencedrai kebebasan umat beragama untuk menjalankan ibadahnya masing-masing. Kekentalan hubungan kekeluargaan
dalam menjalani silahturahmi antar umat beragama, baik pada peringatan hari- hari raya keagamaan, pembangunan tempat ibadah, MTQ, hubungan kawin–
mawin, khitanan dan hubungan kekerabatan lainya merupakan potensi sosial yang masih sangat dihargai sampai saat ini. Namun demikian seiring dengan
perkembangan global dan stabilitas politik Dalam Negeri yang labil, tidak menutup kemungkinan adanya infiltrasi kepentingan dan teroris, untuk mencedrai
kerukunan kehidupan beragama di Kabupaten Alor yang selama ini terpelihara, bisa saja dapat terjadi, maka perlu diwaspadai, dengan upaya meningkatkan
intensitas dialog antar umat beragama yang dinamik, merupakan solusi yang lebih humanis, dalam menjamin ketahanan wilayah yang lebih kondusif terhadap
penyusupan konflik horisontal yang berdampak SARA.
d. Aspek keragaman ethnis, budaya dan kekerabatan sosial.
Penduduk Kabupaten Alor memiliki keragaman suku asli 50 suku asli dan kelompok suku pendatang dari luar Kabupaten Alor antara lain suku Cina, Bugis
Makasar, Buton, Batak, Ambon, Padang, Jawa, Manado, Dayak, Bali, Bima , Flores, Sumba, Timor, Rote, Sabu, dll. Dalam hubungannya dengan interaksi
sosial baik antar suku asli maupun suku pendatang, masih sangat harmonis karena ada keterikatan budaya dan fungsional yang mutualisme.
Dalam kaitannya dengan keterkaitan budaya, penduduk Alor sejak lama dalam menjalani kekerabatan sosial antar suku-suku asli maupun suku –suku
tetangga di luar pulau Alor telah tertanam nilai-nilai kekerabatan sosial yang dikenal dengan “ hubungan bela “ dan “hubungan egalatarian” . Kedua nilai
kekerabatan sosial tersebut, masih dijunjung tinggi sampai saat ini, sebagai salah satu modal sosial yang memiliki kekuatan dalam mempersatukan
perbedaan suku, agama, adat-istiadat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Alor. Kemudian keterkaitan fungsional antara suku asli dan suku pendatang,
yang masih terpelihara keharmonisan, karena suku asli memandang suku pendatang sebagai pembawa inovasi dan pasar input dan pasar output produk
suku asli, yang masih berorientasi produk tradisional. Namun demikian kesenjangan pendapatan antar suku asli dan suku pendatang serta kebocoran
wilayah yang tak terkendali, merupakan dilema yang perlu diwaspadai saat ini dan kedepan, sehingga selalu dalam keseimbangan. Dampak negatif lain yang
sering timbul dari hubungan bela dan egalatarian yang tak terkendali adalah mengurasnya ekonomi penduduk pemborosan demi suatu prestise sosial
merupakan salah satu lingkaran setan kemiskinan di Alor. Kabupaten Alor yang terdiri atas keragaman suku asli, tidak terlepas dari
keragaman ethnolinguistik 56 bahasa ibu yang dikelompokan dalam 13 rumpun bahasa, yang satu sama lain sangat berbeda untuk dimengerti, sehingga dalam
interaksi sosial antar penduduk di Kabupaten Alor selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa komunikasi antar suku-suku di Alor.
Selain keragaman ethnolinguistik, juga memiliki keragaman budaya, kurang lebih terdapat 37 jenis peninggalan benda-benda cagar budaya atau megalitik
termasuk “Al’quran kuno” bertuliskan tangan yang masih dilestarikan dan sedang tersimpan dalam museum daerah. Disamping itu terdapat tari-tarian dan syair
budaya, yang intinya sebagai media dalam menjamin kekerabatan atau interaksi sosial dalam keberagaman. Diantaranya tarian “lego-lego” dan untaian syair
pemersatu “ Taramiti Tominuku bersehati kita teguh, bersama kita bisa”,
“Webuk wangkape yang jauh berbeda diikat menjadi dekatsatu”. Nilai-nilai budaya ini masih dihormati dalam kelembagaan adat, dan jauh lebih ampuh
sebagai alat penyelesaian konflik konflik horisontal dan atau berbagai aspek pembangunan lainnya.
Seharusnya dalam kerangka otonomi daerah, nilai-nilai budaya ini haruslah mendapat tempat yang lebih strategis, untuk menjawab tantangan pembangunan
wilayah, namun nilai – nilai budaya dan peran kelembagaan adat dan lembaga non formal lainnya belum diintigrasikan secara optimal dalam pengambilan
kebijakan pembangunan wilayah. Seharusnya diperlukan suatu “regulasi “ yang mengintegrasikan peran kelembagaan adat dan nilai – nilai budaya sebagai
suatu modal sosial yang menggerakan dan memberdayakan ekonomi penduduk dan aspek pembangunan lainnya untuk berkembang maju adalah suatu prestise
sosial yang lebih humanis dan dinamis.
4.1.2.3. Ekonomi wilayah.
Perkembangan ekonomi wilayah dapat ditunjukkan oleh beberapa indikator pembangunan sebagai berikut :
a.Produk Domestik Regional Bruto PDRB.