350 Analisis Sektor BasisKomoditi Unggulan Antar Satuan Wilayah Pengembangan SWP.

Kendatipun nilai SSA menunjukkan 16 komoditi dari 17 komoditi yang diduga menunjukkan pergeseran yang cepat untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi Komoditi basis, namun pada kenyataannya hanya beberapa komoditi yang memiliki pangsa pasar yang lebih luas dan dapat bertahan atau cocok terhadap kondisi agroklimat wilayah secara dinamik. SWP A lebih didominasi lahan kering dan beriklim panas dengan sumber daya air yang sangat terbatas, sehingga hanya beberapa komoditi yang dianggap bertahan atau cocok terhadap kondisi agroklimat wilayah dan memiliki pangsa pasar yang relatif lebih luas komoditi eksportantar pulau untuk seperlunya mendapat insentif pengembangan lebih lanjut sebagai sektor Basis adalah terutama jambu mente, sirlack, asam dan penangkapan ikan, kemudian sebagai komoditi ikutan adalah kelapa, ternak kambing dan ternak babi. Sedangkan padi, jagung dan kacang hijau nilai LQ dan SSA menunjukkan sebagai sektor basis dengan pergeseran yang cukup cepat, yang tentu juga mendapat insentif untuk dikembangkan lebih lanjut bagi ketahanan pangan daerah, tetapi kapasitas produksi sering berfluktuasi seiring dengan perubahan iklim dan kerapkali terancam bahaya elnino. Pada SWP B terlihat bahwa komoditi unggulan yang memiliki pergeseran cepat SSA 0, secara berurutan adalah jambu mente, ternak kambing, cengkeh, ternak babi, ikan, serlack, asam, batu hitam, padi, jagung, kemiri, kacang hijau, pinang, kopi, ternak sapi, dan kelapa kopra. Keenam belas komoditi ini memiliki keunggulan kompetitif untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi sektor basis. Untuk insentif pengembangan bagi sektorkomoditi yang memiliki pangsa pasar yang lebih luas komoditi eksportantar pulau, maka diperlukan efisiensi berdasarkan daya dukung wilayah yang dilihat dari aspek luas potensi pengembangan, variasi agroklimat maupun aspek sosial dan ekonomi, bahwa sektorkomoditi tersebut dapat bertumbuh secara dinamis. Beberapa komoditisektor yang dianggap memiliki pangsa pasar yang luas dan bertumbuh secara dinamik antara lain Tanaman Perkebunan dan Kehutanan cengkeh,kopi,kemiri,sirlack, kopra dan jambu mente, ternak kambing, babi dan sapi, penangkapan ikan dan batu hitam. Batu hitam merupakan sumber daya alam yang akan habis terpakai jika eksploitasinya tidak mempertimbangkan kelestariannya. Sedangkan padi, jagung dan kacang hijau, kendatipun nilai LQ dan Nilai SSA menunjukkan keunggulan komparatif dan kompetitif, namun insentif pengembangan selama ini masih mengarah pada ketahanan pangan daerah. Pada SWP C terlihat bahwa dari 17 komoditi yang diduga dengan SSA, ternyata semuanya memiliki keunggulan kompetitif SSA 0 dengan pergeseran pertumbuhan secara berturut adalah jambu mente, vanili, ikan, sirlack, kemiri, ternak kambing, ternak babi, cengkeh, kacang hijau, asam, batu hitam, jagung, padi, ternak sapi, pinang, kelapa kopra dan kopi. Pada Tabel 27 dan Gambar 27, memperlihatkan pula bahwa pergeseran pertumbuhan komoditi jambu mente jauh lebih pesat untuk ketiga wilayah pengembangan. Hal ini disebabkan karena peningkatan luas areal penanaman dan kapasitas produksi yang sangat signifikan dari tahun 1998 ke tahun 2003. Pada SWP A kapasitas produksi pada tahun 1998 sebesar 718 Ton, dengan luas areal lahan 26 Ha menjadi 153192 Ton pada tahun 2003, dengan luas areal lahan 3 497 Ha. Pada SWP B kapasitas produksi pada tahun 1998 sebesar 10 950 Ton, dengan luas areal 1 678,8 Ha menjadi 93 756 Ton pada tahun 2003, dengan luas areal lahan 3 282 Ha. Sedangkan pada SWP C kapasitas produksi pada tahun 1998 sebesar 8 350 Ton, dengan luas areal lahan 405,50 Ha menjadi 280 910 Ton dengan luas areal 1 678 Ha pada Tahun 2003. Demikian pula beberapa komoditi lain pada tiga SWP juga memperlihatkan peningkatan kapasitas produksi yang signifikan dari tahun 1998 ke tahun 2003. Pergeseran pertumbuhan beberapa komoditi yang begitu cepat SSA 1 dalam kurun waktu antara tahun 1998 dan 2003, ada hubungannya dengan Strategi Kebijakan Pembangunan Daerah yang dikenal dengan nama: “ Gerakan Kembali ke Desa dan Pertanian GERBADESTAN ” yang dideklarasikan pada 1 April 1999 sampai sekarang. GERBADESTAN selain menjadi acuan program pemerintah daerah, juga telah dijelmakan sebagai gerakan swadaya masyarakat dan acuan dalam menjaring kemitraan. Secara opersional Gerbadestan mencakup empat program pokok yaitu 1 pemberdayaan ekonomi rakyat, 2 peningkatan kualitas sumber daya manusia, 3 pembangunan sarana dan prasarana dan 4 penguatan kelembagaan. Salah satu kegiatan operasional dari program pemberdayaan ekonomi rakyat adalah ‘Gerakan pengembangan tanaman perdagangan, perikanan dan kelautan serta keamanan pangan masyarakat dan daerah “. Dalam Gerakan ini Pemerintah daerah memberikan subsidi berupa bibit, pupuk dan alsintan untuk pengembangan beberapa komoditi unggulan pada setiap SWP. Sedangkan bagi nelayan Pemerintah daerah memberikan subsidi berupa perahu motor dan alat penangkapan lainya kepada setiap kelompok nelayan. Begitu pula bantuan ternak. Selain itu sebagai gerakan swadaya masyarakat, Pemerintah daerah memberikan penghargaan kepada petaninelayan dan peternak. Misalnya petani diberikan perhargaan jika dapat mengembangkan tanaman perdagangan di atas 100 pohon dalam satu tahun secara swadaya. Penghargaan tersebut diberikan dalam wujud sertifikat penghargaan dan modal usaha minimal Rp 1000.000 per orang, melalui suatu proses penilaian yang disebut Penilaian Lomba GERBADESTAN. Insentif yang diberikan untuk menghargai swadaya masyarakat semenjak tahun 1999 sampai sekarang, nampaknya cukup signifikan untuk mendorong kreatifitas petaninelayan dan peternak dalam mengembangkan kapasitas produksinya, sehingga pergeseran pertumbuhan beberapa komoditi menjadi lebih cepat. Akan tetapi terdapat pula beberapa komoditi yang mengalami penurunan kapasitas produksi, yakni pada SWP A, ditemukan pada komoditi pinang dan ternak sapi. Pada tahun 1998 kapasitas produksi untuk pinang 11,16 Ton dan ternak sapi dengan produksi 27,440 Ton daging menurun menjadi 2 Ton untuk komoditi pinang dan 22,960 Ton untuk daging Sapi pada Tahun 2003. Penurunan produksi komoditi pinang, ada kaitannya dengan agroklimat wilayah sentra yang terbatas untuk pengembangan komoditi pinang karena SWP A termasuk wilayah dengan tingkat kekeringan yang sangat tinggi, sumber daya air terbatas dan termasuk wilayah rawan elnino. Sedangkan penurunan produksi ternak sapi ada hubungannya dengan produktivitas usaha yang masih rendah. Demikian juga pada SWP B dan SWP C, ditemukan beberapa komoditi dengan kapasitas produksi yang cenderung menurun atau pergeseran pertumbuhan sedikit lamban Nilai SSA antara 0,00 - 0,9426. Hal ini disebabkan oleh produktivitas yang masih rendah, bencana alam hama,elnino dan lanina dan deposit bahan galian batu hitam yang mulai berkurang devisit. Rendahnya produktivitas usaha ada kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah disertai struktur wilayah yang belum mendorong akses pasar yang memberikan ekspektasi yang lebih dinamik dalam skala ekonomik. Hasil analisis LQ dan SSA terhadap 17 jenis komoditi unggulan daerah sebagaimana uraian di atas dapat dijustifikasi kedalam matriks kombinasi seperti pada Tabel 28. Tabel 28 Matriks kombinasi hasil analisis LQ dengan SSA terhadap 17 jenis komoditi unggulan daerah di Kabupaten Alor . SWP SSA LQ 1 ≤ 1 A I II 1.Padi 2.Jagung 3.K. hijau 4.J. mente 5.Kelapa 6.Asam 7.Sirlack 8.Ikan laut 9.Kambing 1.Kemiri 2. Cengkeh 3.Sapi 4. Babi 5. Batu hitam ≤ 1 III IV 1.Pinang 2.Kopi 3.Vanili B I II 1.Padi 2.Jagung 3.Kemiri 4.Kopi 5.Cengkeh 6.Sirlack 7.Ikan laut 8. Sapi 9. Kambing 10. Babi 1.K. hijau 2.J. mente 3. Pinang 4.Asam 5. Batu hitam ≤ 1 III IV 1.Kelapa 2.Vanilii C I II 1.J. mente 2.Vanilii 3. Batu hitam 1.Padi 2.Jagung 3.K. hijau 4.Kemiri 5.Kopi 6.Kelapa 7.Cengkeh 8.Pinang 9.Asam 10.Sirlack 11.Ikan laut 12. Sapi 13. Kambing 14. Babi ≤ 1 III IV Sumber : Hasil analisis LQ dan SSA Komoditi unggulan daerah Tahun 1998 dan 2003. Tabel 28 menunjukkan bahwa Komoditi yang berada pada Kwadran I, merupakan komoditi yang memiliki keunggulan komparatif dan juga keunggulan kompetitif untuk dikembangkan sebagai komoditi unggulan pada masing-masing SWP. Pada kwadran II, merupakan komoditi yang tidak memiliki keunggulan komparatif tetapi memiliki keunggulan kompetitif. Jenis komoditi tersebut pada masing-masing SWP dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi komoditi basis. Pada Kwadran III, merupakan kategori komoditi yang memiliki keunggulan komparatif tetapi tidak memiliki keunggulan kompetitif dan dalam hasil analisis tidak ditemukan komoditi yang demikian. Sedangkan pada kwadran IV, merupakan kategori komoditi yang tidak memiliki keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Kategori jenis komoditi tersebut hanya ditemukan pada SWP A dan SWP B, Jenis komoditi tersebut dikategori sebagai jenis komoditi non basis pada SWP tersebut.

4.4. Sintesa dan alternatif rencana strategis pembangunan wilayah berimbang.

Mencermati hasil analisis kesenjangan pembangunan antar satuan wilayah pengembangan SWP, yang ditinjau dari aspek pendapatan antar SWP, perkembangan infrastruktur sarana dan prasarana antar SWP, perkembangan proporsi alokasi APBD pembangunan dan interaksi spasial antar SWP dan antar dan interregional, serta analisis sektorkomoditi basis antar SWP menunjukkan satu kesatauan yang saling terkait atau saling mempengaruhi satu sama lain yang menunjukkan indikasi ”lemahnya keterkaitan dan keterpaduan sektoral dan spasial” dalam kinerja pembangunan wilayah. Hal tersebut dapat dijelaskan dalam bentuk bagan keterkaitan pada Gambar 28 berikut : Gambar 28 Bagan Keterkaitan hasil analisis kesenjangan pembangunan antar satuan wilayah pengembangan SWP di Kabupaten Alor. Gambar 28, menunjukkan bahwa lemahnya keterkaitan dan keterpaduan antar sektor dan spasial dalam kinerja pembangunan wilayah, mengakibatkan adanya kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat antar SWP. Hal ini disebabkan oleh adanya kesenjangan investasi alokasi APBD Pembangunan antar SWP yang proporsional dalam membangun infrastruktur wilayah dan potensi wilayah dalam wujud modal kerja dan introduksi teknologi dan sumber daya manusia. Alokasi APBD Pembangunan antar SWP yang tidak proporsional menunjukkan adanya kesenjangan pembangunan infrastruktur antar SWP, demikian pula kesenjangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekonomi wilayah seperti yang ditunjukkan pada analisis LQ dan SSA. Adanya kesenjangan pembangunan infrastruktur antar SWP, menyebabkan lemahnya interaksi spasial antar SWP maupun antar dan interregional. Lemahnya interaksi spasial antar SWP, menghambat aliran modal, teknologi dan sumber daya manusia yang tidak berimbang antar wilayah dalam mengelola dan memanfaatkan potensi ekonomi yang tersedia secara optimal, adil dan berkelanjutan. Dilain sisi kesenjangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekonomi secara optimal berdampak pada kesenjangan pendapatan, juga berdampak pada daya tarik wilayah Bargaining position yang lemah dalam melakukan interaksi spasial antar dan interregional. Interaksi spasial yang lemah juga berdampak pada kesejahteraan masyarakat Kemiskinan tinggi dan SDM rendah. Kemiskinan tinggi dan SDM yang rendah berdampak pada produktivitas kerja yang rendah dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekonomi secara optimal, untuk meningkatkan pendapatan perkapita. Kemudian pendapatan perkapita yang rendah, menyebabkan kemiskinan dan SDM yang rendah karena akses terhadap pendidikan dan kesehatan melemah. Dari hasil sintesa kesenjangan pembangunan antar SWP, sebagaimana uraian di atas, maka untuk mereduksi kesenjangan pembangunan tersebut maka memerlukan suatu “ Rencana strategis pembangunan wilayah berimbang”. Maka untuk menyusun suatu rencana pembangunan wilayah berimbang, aspek “keterkaitan dan keterpaduan “ merupakan tolok ukur kinerja pembangunan wilayah berimbang. Dengan demikian mengawali penyusunan rencana strategis pembangunan wilayah berimbang harus dibangun suatu model keterkaitan keterpaduan yang menjadi acuan dalam proses pembangunan wilayah berimbang.