III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran.
Kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah memang merupakan fenomena semua negara di dunia, apakah negara maju maupun
negara berkembang. Sehingga merupakan suatu kewajaran apabila dalam suatu negara terdapat daerah terbelakang dibanding daerah lainnya karena ada faktor-
faktor yang menyebabkan hal tersebut, antara lain faktor struktur sosial ekonomi dan distribusi spasial dari sumberdaya bawaan yang mencakup faktor geografi,
sejarah, polotik, kebijakan pemerintah, administrasi, sosial budaya, dan ekonomi Budiharsono 1996; Murty 2000; Rustiadi
et al. 2003. Namun demikian pada negara-negara maju kondisi itu bisa dieliminir sekicil mungkin, dengan kebijakan
pemerintah yang optimal dalam proses pembangunan, bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang tingkat kesenjangannya sangat tajam. Proses
pembangunan yang dilakukan pada negara-negara berkembang selama ini belum banyak mereduksi ketajaman kesenjangan pembangunan antar sektor
dan antar wilayah karena faktor kekakuan sosial ekonomi sosio-economic
regidities dan imobilitas faktor factor immobilities. Di Indonesia, kebijakan pemerintah dalam proses pembangunan nasional
yang dilaksanakan selama ini ternyata disisi lain telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup melebar dan kompleks. Proses pembangunan yang
dilakukan dengan pendekatan sektoral secara tersentralisasi dari pemerintah pusat dalam berbagai kebijakan investasi serta pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya bagi pencapaian sasaran utama pertumbuhan makro ekonomi yang tinggi, tetapi tanpa diimbangi dengan distribusi secara proporsional, telah
memicu kesenjangan pertumbuhan yang amat melebar antar wilayahdaerah di Indonesia. Daerah-daerah di pulau Jawa relatif mengalami perkembangan
ekonomi yang lebih baik bila dibandingkan dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa. Kawasan Barat Indonesia KBI relatif lebih maju di bandingkan dengan
Kawasan Timur Indonesia KTI. Daerah kota berkembang lebih cepat dibanding daerah perdesaan.
Trickle down effect yang diharapkan dari sasaran perencanaan pembangunan masa lalu ternyata pergerakannya sangat lamban. Di lain sisi
sumberdaya di beberapa daerah semakin terkuras tidak terkendali mengalir ke pusat, sehingga terjadi apa yang di sebut sebagai
backwash effect, sementara daerah-daerah yang sumberdayanya dianggap terbatas dan terisolasi
dimarjinalkan, distribusi alokasi sumberdaya amat di bawah proporsional. Akibatnya, wilayah seperti itu tidak mampu membangun struktur wilayah yang
mendorong kemampuan endowment atau sumberdaya domestik wilayah untuk
berkembang, sehingga yang diharapkan bahwa pusat pertumbuhan dengan daerah belakang
hinterland dapat berkembang bersama-sama secara berimbang kurang diwujudkan dalam implementasinya bahkan hanya
merupakan suatu retorika perencanaan. Sedangkan pembangunan yang sebenarnya, harus menghasilkan otonomi
yang lebih besar bagi masyarakat secara internal maupun eksternal Goenarsyah 2004, lebih lanjut menyatakan bahwa kesenjangan pembangunan
antara KBI dan KTI, bukan saja lebih disebabkan karena kesenjangan dalam redistribusi pendapatan, tetapi kesenjangan yang terjadi adalah bagaimana
membangun strukturhirarki pertumbuhan wilayah yang mendorong iklim investasi ke wilayah KTI.
Kesenjangan tersebut apabila tidak dieliminir secara hati-hati dalam kebijaksanaan proses pembangunan saat ini dan kedepan bisa saja akan
menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks dan dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin di capai sebagai suatu
bangsa yang utuh. Kenyataan emperik menunjukkan bahwa cukup banyak wilayah wilayah di KTI yang tergolong sebagai wilayah-wilayah marjinal yang
memerlukan proses pembangunan yang spesifik. Proses pembangunan itu hanya bisa terjadi jika ada kemauan politik pemerintah pusat dengan
memberikan investasi yang proporsional serta pemberian kesempatan perdagangan internasional dan mendorong peningkatan investasi swasta
Budiharsono 1996; Hadi 2001. Sebagai wilayah marjinal, bukan berarti tidak ada proses pembangunan
sama sekali, akan tetapi pendekatan pembangunan yang sektoral dengan alokasi sumberdaya yang sangat tidak proporsional tak akan mungkin
membangun suatu struktur wilayah yang simetrik. Berbagai program pembangunan telah digalakan pemerintah baik yang berbasis kawasan ekonomi
maupun yang berbasis perdesaan. Program pembangunan yang berbasis kawasan ekonomi seperti Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
KAPET, Program Pengembangan Wilayah StrategisWilayah Perbatasan, Program Pengembangan Kawasan Terpadu PKT, Program Pengembangan
Kawasan sentra produksi KSP dan sebagainya. Sedangkan program yang