Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Satuan Wilayah Pengembangan SWP.

ferri adalah pelabuhan Baranusa untuk kapal ferri 2 kali seminggu sebagai pelabuhan transit jalur Kalabahi – Leoleba-Larantuka Flores PP. Sedangkan pelabuhan Bakalang dan Marataing masih insedentil, untuk disinggahi kapal ferri maupun niaga. Jumlah kapal yang secara kontinue menyinggahi Pelabuhan Kalabahi, terdiri dari 4 unit Kapal ferri, dengan jalur pelayaran sebagai berikut : 2 unit jalur Kupang – Kalabahi- Baa Rote PP dan 2 unit jalur Kalabahi-Baranusa- Leoleba-Larantuka PP dan Kalabahi–Atapupu Kabupaten Belu, PP. 3 Kapal perintis yakni Awu, Serimau dan Tatamaulau yang menyinggahi pelabuhan Kalabahi 2 minggu sekali secara kontinue serta 4 kapal niaga yang masuk pelabuhan Kalabahi seminggu sekali secara bergantian. Selain Pelabuhan laut, Kabupaten Alor juga sudah miliki 1 unit Bandara dengan panjang landasan 1 450 M, yang sudah disinggahi 1 unit Pesawat Cassa dan 1 unit Pesawat sejenis Foker 27 secara kontinue dalam seminggu dengan jalur penerbangan Kupang-Kalabahi PP dan Kupang–Maumere–Kalabahi PP, dan Kalabahi–Kupang-Denpasar 2 X seminggu.

4.2. Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Satuan Wilayah Pengembangan SWP.

4.2.1. Kesenjangan Pendapatan Antar SWP berdasarkan Indeks Williamson

Salah satu parameter yang digunakan dalam analisis kesenjangan pembangunan kesenjangan pendapatan antar satuan wilayah pengembangan adalah data Penerimanaan Pajak Bumi dan Bangunan PBB yang sebagaimana diasumsikan bahwa PBB merupakan salah satu representasi penerimaan pendapatan seluruh penduduk dari berbagai lapangan usaha di suatu wilayah pembangunan; dilain sisi Penerimaan PBB merupakan kontribusi Penerimaan Pendapatan Daerah dari setiap SWP yang dapat direlokasi dalam RAPBD bagi kegiatan pemerintahan dan pembangunan di daerah setiap tahun anggaran. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan Indeks williamson, dapat diketahui kesenjangan antar satuan wilayah Pengembangan SWP A, B dan C di Kabupaten Alor pada kurun waktu 1999 – 2004. Hasil perhitungan Indeks Williamson tersebut diperlihatkan pada Tabel 19 dan secara grafik ditunjukkan pada Gambar 9 Tabel 19 Indeks Williamson untuk SWP A, SWP B dan SWP C Di Kabupaten Alor pada kurun waktu 1999-2004. Tahun SWP A SWP B SWP C Kabupaten 1999 0.5449 0.2801 0.5365 0.9264 2000 0.5118 0.2639 0.5046 0.8721 2001 0.3918 0.1723 0.3393 0.5940 2002 0.3723 0.1118 0.5494 0.5643 2003 0.2734 0.1290 0.2601 0.4392 2004 0.2690 0.1113 0.2294 0.3935 Sumber : Hasil analisis Data Penerimaan PBB Tahun 1999-2004 Kesenjangan Pembangunan antar-inter SWP Periode 1999-2004 0.2690 0.2734 0.3723 0.3918 0.5118 0.5449 0.1113 0.1290 0.1118 0.1723 0.2639 0.2801 0.2294 0.2601 0.3393 0.5046 0.5365 0.5494 0.3935 0.4392 0.5643 0.5940 0.8721 0.9264 0.0000 0.1000 0.2000 0.3000 0.4000 0.5000 0.6000 0.7000 0.8000 0.9000 1.0000 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun In d e k s W illi a m s o n SWP A SWP B SWP C Kabupaten Gambar 9 Kesenjangan Pembangunan antar-inter SWP A,B dan C di Kabupaten Alor Kurun waktu 1999-2004. Dari Tabel 19 dan Gambar 9, dapat memberikan gambaran bahwa Indeks Williamson pada kurun waktu 1999 – 2004 untuk tingkat Kabupaten berkisar antara 0,3935 – 0,9264. Sedangkan masing-masing SWP terlihat bahwa pada SWP A Indeks Williamson berkisar antara 0,2690 – 0,5449; SWP C berkisar antara 0,2294 – 0,5494 dan SWP B berkisar antara 0,1113 – 0,2801. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa rata-rata Indeks Williamson tingkat Kabupaten jauh lebih tinggi dari ketiga SWP, dimana Indeks williamson tertinggi mencapai 0,9264 dan indeks terendah berada pada nilai 0,3935. Sedangkan diantara ketiga SWP terlihat bahwa rata-rata Indeks Williamson SWP B lebih rendah dibanding SWP A dan SWP C. Antara SWP A dan SWP C menunjukkan Indeks Williamson yang tidak jauh berbeda. Indeks Williamson tertinggi pada SWP A mencapai 0,5449 sedangkan SWP C mencapai 0,5494, sedangkan Indeks terendah untuk SWP A berada pada nilai 0,2690 dan SWP C berada pada nilai 0,2294; Sedangkan pada SWP B nilai Indeks tertinggi mencapai 0,2801 dan terendah berada pada angka 0,1113. Dari Indeks Williamson tersebut memberikan indikasi bahwa Kesenjangan pendapatan pada kurun waktu 1999 – 2004 menunjukkan bahwa rata-rata kesenjangan pendapatan tingkat Kabupaten jauh lebih tinggi dari pada rata-rata kesenjangan pendapatan antara ketiga SWP. Hal ini disebabkan oleh variasi didalam pemerataan penerimaan pendapatan PBB antar SWP. Sedangkan rata-rata kesenjangan pendapatan antar SWP terlihat bahwa rata-rata SWP B lebih rendah dibanding SWP A dan SWP C. Sedangkan antara SWP A dan SWP C, rata-rata kesenjangan pendapatan relatif tidak jauh berbeda walaupun Indeks tertinggi berada pada SWP C. Kesenjangan tersebut mengindikasikan bahwa pemerataan pembangunan pada SWP B jauh lebih baik karena SWP B merupakan pusat aktivitas ekonomi wilayah, sehingga sebahagian wilayah wilayah yang berada dalam SWP B akses aktivitas sosial ekonominya lebih berkembang dibanding SWP A dan SWP C. Namun demikian rata-rata kesenjangan pendapatan dari ketiga Satuan Wilayah Pengembangan pada kurun waktu Tahun 1999 – 2004 semakin mengarah kepada perbaikan, kecuali pada SWP C nilai Indeks Williamson meningkat tajam pada Tahun 2002, yang mencapai 0,5494. Hal ini disebabkan oleh pemerataan pendapatan antar wilayah dalam SWP C yang tidak sama karena pada wilayah tertentu mayoritas penduduk yang tergantung pada komoditi pertanian yang monokultur mengalami kegagalan panen, disamping faktor-faktor eksternal lain yang tidak bisa dihindari dapat mempengaruhinya. Rata-rata kesenjangan pendapatan dari ketiga SWP yang cenderung mengarah pada perbaikan sangat berpengaruh terhadap kesenjangan pendapatan Daerah Kabupaten yang juga mengarah kepada perbaikan, yakni pada tahun 1999 kesenjangan pendapatan mencapai 0,9264 menurun menjadi 0,3935 pada tahun 2004. Berdasarkan hasil review terhadap 46 sampel Juru pungut desa pada 46 desakeluarahan menyatakan bahwa secara umum kesenjangan pendapatan penerimaan PBB dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni faktor pendapatan masyarakat wajib pajak yang berfluktuatifrendah 60 , faktor akses pasar uang nominal yang rendah 22.50 , sehingga penerimaan PBB sering dilakukan secara barter yang tentunya nilai barangnya lebih tinggi dari nilai nominal penerimaan PBB, hal ini sangat merugikan masyarakat, tetapi secara terpaksa dilakukan Juru pungut desa sebagai suatu kewajiban. Sedangkan 12,50 persen dipengaruhi faktor sosial politik sebagai suatu bentuk protes kepada pemerintah terhadap kebijaksanaan pembangunan wilayah yang tidak berimbang dan 5 persen lainnya dipengaruhi oleh faktor kelalean wajib pajak.

4.2.2. Kesenjangan Perkembangan wilayah berdasarkan Indeks Skalogram.

Hasil perhitungan Indeks skalogram terhadap perkembangan wilayah yang dicirikan oleh penyediaan jumlah sarana dan jumlah jenis sarana dan prasarana yang tersedia pada desa-desa antar satuan wilayah pengembangan, dapat tertera pada Tabel 20 dan Gambar 10. Peta Cluster desa hirarki Tahun 2003. Tabel 20 Perkembangan desa hirarki Antar SWP berdasarkan Indeks Skalogram Tahun 2003. ClusterHirarki SWP Jumlah desa hirarki Prosentase Perkembangan Nilai Indeks Antara Jlh Hirarki Dalam RUTRW I A 0.00 0.370 B 8 4,57 0.372-0.378 1 C 0.00 0.370 Jumlah 8 4,57 1 II A 14 8,00 0.272-0.369 1 B 37 21,14 0.266-0.370 2 C 11 6,29 0.274-0.365 2 Jumlah 62 35,43 5 III A 5 2,86 0.016-0.265 4 B 21 12,00 0.003-0.263 7 C 3 1,71 0.052-0.092 2 Jumlah 29 16,57 13 IV A 27 15,43 -0.459--0.001 8 B 25 14,28 -0.459--0.003 8 C 24 13,71 -0.459--0.021 11 Jumlah 76 43,43 27 Total 175 100 46 Sumber : Hasil analisis data infrastruktur pada desakelurahan Tahun 2003 P. MARICA P. LAPANG P. BATANG SE L T P A N TA P. KEPA P. TERNATE P. BUAYA KEC. ALOR P. NUBU P. SIKA KEC . ALO R T EN G AH U TAR A K E C . A L OR T I M U R P. KAMBING P. TREWENG P. PURA BARAT LAUT BARAT DAYA KEC. TELUK MUTIARA KEC. ALOR T IM U R LAU T KEC . ALO R P. RUSA Tg. Delaki Tg. Margeta Te lu k B la ng m er an g Te luk Be nle lan g Maritaing Bukapiting Mor u Mebung Kokar Kalabahi K E C. A LO R S E LATA N R A KEC. PANTAR BARAT P.PANTAR Baranusa Kabir Bakalang KEC. PANTAR 6.7 13.4 Keterangan : SUMBER ;HASIL PENELITIAN PWD , 2005 P E T A Ib u k o ta Ka b u p a te n Ib u k o ta Ke ca m a ta n Ba ta s Ka b u p a te n Ba ta s Ke c a m a ta n Ja la n Asp a l Ja la n Ba tu Su n g a i Ba ta s W P 20.1 26.8 Km P. A L O R Apui Hirarki I Hirarki II Hirarki III Hirarki IV B T U S PERKEMBANGAN HIRARKI WILAYAH ATAS DASAR INDEKS SKALOGRAM TAHUN 2003 G a m b r : 6 . 3 . P e t a p e r k e m b a n g a n h i r a r k i w i l a y a h d i K a b u p a t e n A l o r a t a s d a s a r i n d e k s s k a l o g r a m T a h u n 2 0 0 3 . SEKOLAH PASCASARJANA I P B - BOGOR Gambar 10 Peta perkembangan hirarki wilayah di Kabupaten Alor atas dasar indeks skalogram Tahun 2003 Pada Tabel 20 dan Gambar 10, memperlihatkan penyediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi yang senjang atau timpang antar SWP, desa-desa hirarki yang di kategori memiliki indeks perkembangan sedikit tinggi 0.370 hanya tersebar pada 8 4.57 kota hirarki desakelurahan pada SWP B. Kedelapan desa tersebut merupakan pengembangan dari kota Kalabahi sebagai Ibu Kota Kabupaten yang berperan sebagai kota hirarki utama yang memobilisasi segala aktivitas pemerintahan dan sosial ekonomi di Kabupaten Alor. Sementara desaKelurahan hirarki pada SWPA dan SWP C, berada pada cluster II,III dan IV. Pada Tabel 20, tersebut terlihat bahwa desaKelurahan hirarki yang dicluster sebagai Indeks perkembangan sedang 0.270 – 0.370 , terdapat 62 35,43 dari 175 desaKelurahan di Kabupaten Alor. Dari 62 desakelurahan tersebut 59,68 persen terdapat pada SWP B, 22,58 persen pada SWP A dan 17,74 persen pada SWP C. Sedangkan Pada cluster III dengan indeks perkembangan kurang 0.001-0.269 sebanyak 29 desakelurahan 16,57 dari 175 desakelurahan. Dari 29 desa dengan indeks perkembangan kurang tersebut 75.86 persen berada pada SWP B, 17.24 persen berada pada SWP A dan 10.34 persen berada pada SWP C. Kemudian pada Cluster IV dengan kategori indeks perkembangan sangat kurang 0.001 jauh lebih banyak dibanding cluster I,II dan III. Terdapat 76 43,43 desakelurahan yang dikategori sangat kurang indeks perkembangan hirarkinya dari 175 desakelurahan. Dari 76 desa dimaksud 35,53 persen berada di SWP A. Sedangkan pada SWP B 32,89 persen dan SWP C 31,58 persen. Perkembangan masing-masing desakelurahan hirarki antar Satuan Wilayah Pengembangan SWP tersebut di atas dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari potret perkembangan wilayah berdasarkan indeks Skalogram seperti yang ditunjukkan pada Tabel 20, menunjukkan pula bahwa kota-kota hirarki yang ditetapkan berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991 antar SWP hingga tahun 2003 menunjukkan perkembangan yang tidak signifikan, bahkan pada beberapa hirarki yang berperan sebagai pusat aktivitas Pemerintahan Kecamatan menunjukkan indeks perkembangan kurang sampai sangat kurang, antara lain Marataing sebagai Ibu kota Kecamatan Alor Timur dalam RUTRW tergolong hirarki II, namun indeks skalogram menunjukkan minus 0,021 atau berada pada hirarki IV. Sedangkan Apui sebagai Ibu kota Kecamatan Alor Selatan dalam RUTRW tergolong hirarki II, namun indeks skalogram menunjukkan perkembangan kurang 0.052 atau berada pada kategori hirarki III, demikian pula Baranusa sebagai Ibu kota Kecamatan Pantar Barat dalam RUTRW tergolong hirarki II, indeks perkembangan menunjukkan hirarki III 0,265. Dilain sisi beberapa kota hirarki dalam RUTRW Kabupaten dikategori dalam hirarki III dan IV, namun indeks perkembangan menunjukkan berada pada hirarki II. Kota – Kota dimaksud antara lain, Moru Ibu kota Kecamatan Alor Barat Daya, dalam RUTRW tergolong hirarki IV, indeks perkembangan menunjukkan hirarki II 0.348, Kokar Ibu kota Kecamatan Alor Barat Laut dan Mebung Ibu kota Kecamatan Alor Tengah Utara, dalam RUTRW keduanya tergolong hirarki III, namun indeks perkembangan menunjukkan hirarki II masing-masing untuk Kokar 0.358 dan Mebung 0.359. Ketiga kota ini adalah satu kesatuan dalam SWP B yang ideks perkembangannya jauh lebih baik dibanding kota-kota hirarki lain pada SWP A dan SWP C karena ketiga kota ini lebih dekat dengan Kota hirarki Utama sehingga spreat effect untuk mendorong perkembangan wilayah lebih nyata. Namun demikian pada Kota Kabir Ibu kota Kecamatan Pantar pada SWP A dan kota Bukapiting Ibu kota Kecamatan Alor Timur Laut pada SWP C, keduanya dalam RUTRW Kabupaten ditetapkan pada hirarki III, tetapi indeks perkembangan berada pada hirarki II, masing-masing untuk Kabir 0.369 dan Bukapiting 0.365. Beberapa kota hirarki selain Ibu kota Kecamatan, yang ditetapkan dalam RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991, dalam kategori hirarki II, III dan IV, ternyata dalam perkembangannya, beberapa kota diantaranya menunjukan indeks perkembangan yang signifikan tetapi ada sebahagian yang masih belum berkembang. Beberapa kota diantaranya sudah dibahas DPRD Kabupaten dan ditetapkan menjadi PERDA Kabupaten Alor Tahun 2005 sebagai pusat aktivitas Ibu Kota Kecamatan Pemekaran seperti diperlihatkan pada Tabel 21 Kota – kota dimaksud pada Tabel 21, antara lain pada SWP A adalah Kota Bakalang. Dalam RUTRW, Kota Bakalang dikategori dalam hirarki III, namun hasil perhitungan skalogram menunjukkan indeks perkembangan menjadi hirarki II 0.274 dan menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan sosial ekonomi Kecamatan Pantar Timur Hasil Pemekaran Kecamatan Pantar Tahun 2005. Kemudian Kota Marica dan Kota Maliang dalam RUTRW tergolong hirarki IV, tetapi hasil perhitungan skalogram menunjukkan indeks perkembangan menjadi hirarki II 0.272 untuk Marica dan hirarki III 0.087 untuk Maliang. Kota Marica dan Kota Maliang menjadi Ibu kota Kecamatan Pantar Barat Laut dan Kecamatan Pantar Tengah Hasil Pemekaran dari Kecamatan Pantar Barat. Pada SWP B Kota Kopidil dalam RUTRW tergolong hirarki IV, kini menjadi pusat aktivitas Kecamatan Kabola, dengan indeks perkembangan dalam kategori hirarki II 0,369. Kota Kalunan dalam RUTRW tergolong hirarki III, kini menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan sosial ekonomi Kecamatan Mataru, dengan indeks perkembangan masih tetap pada hirarki III 0,005. Kota Alemba desa Lembur Timur dalam RUTRW dalam kategori hirarki II, kini sebagai pusat aktivitas pemerintahan dan sosial ekonomi Kecamatan Lembur dengan indeks perkembangan tetap pada hirarki II 0,336 . Selain itu Kota Limarahing dalam RUTRW tidak dalam kategori kota hirarki, kini menjadi pusat aktivitas pemerintahan Kecamatan Pura, dengan indeks perkembangan dalam kategori hiraki II 0,327 . Tabel 21 Indeks Perkembangan hirarki Ibu Kota Kecamatan Tahun 2003. SWP Nama Kota Hirarki Dalam RUTRW Indeks Perkembangan Hirarki A 1.Baranusa II 0.265 III 2.Kabir III 0.369 II 3.Bakalang III 0,274 II 4.Maliang IV 0,087 III 5.Marica IV 0,272 II B 6.Kalabahi I 0.378 I 7.Kokar III 0.358 II 8.Mebung III 0.359 II 9.Moru IV 0.348 II 10.Kopidil IV 0,369 II 11.Alemba II 0.336 II 12.Kalunan III 0.005 III 13.Limarahing Bolamelang Non hirarki 0.327 II C 14.Apui II 0.052 III 15.Bukapiting III 0.365 II 16.Marataing II -0.021 IV 17.Peitoko IV -0.034 IV Keterangan : © Ibu kota Kecamatan pemekaran Tahun 2005. Sumber : PERDA Kabupaten Alor No.15 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Kecamatan di Kabupaten Alor Kemudian pada SWP C, terlihat bahwa kota Peitoko dalam RUTRW Kabupaten berada pada kategori hirarki IV, kini menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan sosial ekonomi Kecamatan Puraiman, dengan perkembangan masih tetap pada hirarki IV -0.034 . Dari hasil indeks perkembangan hirarki wilayah, sebagaimana ulasan di atas memberikan indikasi bahwa 1 Perkembangan hirarki wilayah yang mendorong proses pertumbuhan ekonomi wilayah terutama pada SWP A dan C serta sebagian wilayah – wilayah pada SWP B terutama Alor Barat Daya bagian Selatan dan Alor Tengah Utara Bagian Selatan, indeks perkembangan hirarki wilayah masih sangat rendah belum banyak berkembang; 2 Adanya inkonsistensi dalam pengarahan alokasi sumber daya yang mendorong proses pertumbuhan hirarki wilayah sesuai arahan RUTRW, sehingga RUTRW disusun lebih berprentensi pada ” Masterplan syndrome ” 3 Beberapa kota hirarki memang sudah ditetapkan sebagai Pusat Aktivitas Pemerintahan dan sosial ekonomi wilayah, berdasarkan hasil pemekaran Kecamatan Baru Tahun 2005. Namun demikian berdasarkan hasil analisis hirarki wilayah seharusnya belum pada waktunya; karena beberapa Ibu kota kecamatan sebagai kota hirarki II dan III, yang dibangun dalam suatu kurun waktu yang panjang, belum menunjukkan suatu hirarki yang efektif dalam mendorong pertumbuhan wilayah belakangnya. Asumsi Penambahan Pusat aktivitas Pemerintahan yang baru, mungkin lebih berpretensi pada pertimbangan politis dan geofisik wilayah untuk memperpendek jangkauan pelayanan pemerintah dan pemerataan alokasi sumber daya pembangunan, namun asumsi tersebut tanpa mempertimbangkan kemampuan alokasi sumber daya pembangunan daerah kemampuan investasi pembangunan Wilayah akan lebih menambah kelambanan pertumbuhan wilayah karena inefisiensi dalam alokasi sumber daya pembangunan yang mendorong pertumbuhan wilayah secara cepat dan proporsional; karena proporsi APBD Pembangunan akan cenderung menurun sebab ada kecenderungan peningkatan alokasi APBD bagi belanja Apratur 4 Penetapan hirarki wilayah, yang sudah dilaksanakan selama ini lebih bersifat parsial dengan pertimbangan politis dan geografis.

4.2.3. Kesenjangan proporsi Alokasi APBD Pembangunan antar SWP berdasarkan Model Indeks Entroyp IE.

Perkembanganpertumbuhan suatu wilayah, tidak akan mungkin terlepas dari kegiatan investasi, baik investasi pemerintah maupun investasi swasta pada suatu wilayah. Untuk itu pada wilayah – wilayah marginal seperti Kabupaten Alor, yang perkembangan infrastruktur wilayahnya belum mendukung investasi swasta, maka investasi pemerintah dalam bentuk APBD Pembangunan sangat menentukan pertumbuhan suatu wilayah. Namun demikian dalam alokasi APBD Pembangunan tersebut apakah secara spasial, penyebarannya sudah proporsional antar satuan wilayah pengembangan SWP, maka untuk menghitungnya digunakan Indeks Entropy IE, dengan pertimbangan bahwa alokasi APBD Pembangunan dalam suatu SWP merupakan akumulasi alokasi APBD pada sub-sub wilayah sebagai Unit Daerah Kerja Pembangunan UDKP. Dengan demikian hasil perhitungan indeks Entropy untuk menduga proporsi penyebaran APBD Pembangunan Antar SWP di Kabupaten Alor pada Tahun Anggaran 19971998 – 2003 dapat diperlihatkan pada Tabel 22 dan secara grafis diperlihatkan pada Gambar 11 Tabel 22 Nilai Entropy Alokasi APBD Pembangunan Antar SWP di Kabupaten Alor TA.19971998-2003. No Tahun Anggaran Indeks Entropy Alokasi APBD Pembangunan Antar SWP SWP A SWP B SWP C Kabupaten 1 19971998 0.69 1.33 1.08 3.10 2 19981999 0.69 1.33 1.09 3.11 3 2000 0.67 1.34 1.09 3.09 4 2001 0.64 1.36 1.09 3.08 5 2002 0.69 1.35 1.09 3.13 6 2003 0.69 1.35 1.09 3.13 Sumber : Hasil analisis Data alokasi APBD Kabupaten Alor TA.19971998-2003 . Indeks pemerataan Alokas i APBD Kab.Alor TA.19971998-2003 0.69 0.69 0.64 0.67 0.69 0.69 1.35 1.35 1.36 1.34 1.33 1.33 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.08 3.13 3.13 3.08 3.09 3.11 3.10 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 19971998 19981999 2000 2001 2002 2003 Tahun Anggaran N ila i e n tr o p y SWP A SWP B SWP C Kabupaten Gambar 11 Nilai Entropy Alokasi APBD Pembangunan antar SWP di Kab.Alor TA.19971998-2003 Dari Tabel 22 dan Gambar 11, menggambarkan bahwa Pertumbuhan proporsi Alokasi APBD Pembangunan antar SWP menunjukkan indikasi kesenjangan, yakni pada SWP A terlihat lebih senjang dibanding SWP B dan SWP C. Hasil perhitungan indeks entropy menunjukkan SWP B mendapat proporsi alokasi APBD Pembangunan yang lebih merata dan berkembang sedikit dinamis. Sedangkan antara SWP A dan SWP C, terlihat SWP C lebih merata proporsinya tetapi alokasi setiap tahun menunjukkan proporsi yang cenderung statis, sedangkan SWP A mengalami kecenderungan perkembangan pemerataan yang fluktuatif menurun. Kesenjangan alokasi APBD pembangunan tersebut, dapat terjadi bukan lebih disebabkan oleh besar kecilnya prosentase alokasi APBD Pembangunan antar SWP, tetapi kesenjangan terjadi karena alokasi APBD Pembangunan yang tidak proporsional antar sub-sub wilayah dan atau sub wilayah cakupannya yang terbatas. Hal ini bisa dilihat pada SWP A yang hanya memiliki dua sub wilayah Kecamatan lihat Lampiran 7, dimana sub wilayah yang memperoleh prosentasi alokasi APBD yang lebih besar ternyata menunjukkan indeks entropy yang lebih kecil dari sub wilayah yang memperoleh prosentase alokasi APBD Pembangunan yang lebih kecil. Selain itu prosentase alokasi APBD Pembangunan antara SWP A dan SWP C, menunjukkan SWP A lebih besar dibanding SWP C, misalnya pada TA. 19971998,2000 dan 2001 seperti terlihat pada Gambar 12, tetapi indeks entropy menunjukkan SWP C lebih besar, dan karena SWP C mencakup 3 sub wilayah Kecamatan dan SWP B mencakup 4 sub wilayah Kecamatan yang lazim sebagai unit daerah kerja pembangunan =UDKP. Prosentase Alokasi APBD Pembangunan antar SWP TA.19971998 - 2003 100 100 100 100 100 100 30 22 26 30 22 22 50 55 51 45 53 53 20 23 23 25 25 25 20 40 60 80 100 120 19971998 19981999 2000 2001 2002 2003 Tahun Anggaran A lok as i A P B D SWP A SWP B SWP C Kabupaten Gambar 12 Prosentase alokasi APBD Pembangunan antar SWP TA.19971998-2003 Pada umumnya perkembangan nilai entropy, pada SWP B dan C yang mencakup lebih dari dua sub wilayah sebagaimana pada Lampiran 7, untuk masing-masing sub wilayah didapati perkembangan nilai entropy sejalan dengan proporsi alokasi APBD Pembangunan, berbeda dengan SWP A, dimana Sub wilayah yang memperoleh proporsi alokasi APBD Pembangunan lebih besar justru menunjukkan indeks pemerataan yang kecil. Hal ini sejalan dengan prinsip indeks entropy bahwa semakin luas jangkauan spasial cakupan sub wilayah lebih banyak, maka semakin tinggi entropy pemerataan wilayah Saefulhakim,2003. Terkait dengan trend perkembangan nilai entropy setiap tahun yang cenderung statis, ada kaitannya dengan prosentase proporsi alokasi APBD Pembangunan pada beberapa sub wilayah yang cenderung statis atau bahkan menurun sebagaimana pada Gambar 12 dan Lampiran 7. Kecenderungan proporsi alokasi APBD yang statis dan fluktuatif, terkait dengan proporsi alokasi APBD Pembangunan yang terbatas, disertai penentuan alokasi Anggaran yang cenderung pada skala proporsi sektor atau proporsi unit kerja daerah dan proporsi wilayah kecamatan, ketimbang skala prioritas kegiatan pembangunan yang berbasis wilayah terutama yang berbasis wilayah perdesaan secara proporsional. Hal ini sangat terkait dengan masih lemahnya kualitas sumber daya pengelola APBD, baik Eksekutif maupun Legislatif dalam membangun pemahaman yang rasional.

4.2.4. Analisis Interaksi Spasial Antar hirarkipusat aktivitas wilayah pembangunan.

Salah satu indikator pertumbuhan suatu wilayah, tidak dapat terlepas dari meningkatnya mobilitas spasial antar wilayah, baik dalam wujud jumlah orang, jumlah barang, jumlah transportasi maupun jumlah informasi. Namun demikian secara parsial jaringan interaksi spasial antar wilayah belum menunjukkan jaringan interaksi yang “network”. Pola interaksi antar wilayah pembangunan yang ada adalah pola “dendretik”, yakni jaringan interaksi masih terbatas pada interaksi vertikal dari hirarki utama ke hirarki II ibu kota kecamatan dan sebaliknya. Salah satu indikator jaringan interaksi spasial yang menunjukkan network adalah “arus informasi”. Oleh karena itu dalam konteks penelitian ini, fokus pendugaan analisis kuantitatif interaksi spasial diarahkan pada “ arus informasi pengiriman dan penerimaan berita melalui saluran SSB Channel Single Band SSB Pemerintah Kabupaten Alor “. Sedangkan interkasi spasial dalam wujud jumlah orang, barang dan transportasi dapat dianalisis secara deskriptif. a. Analisis interaksi spasial Aliran informasi pelayanan pemerintah antar hirarkipusat aktivitas wilayah pengembangan. Sebagaimana uraian di atas bahwa salah satu alat informasi pelayan pemerintah antar hirarkipusat aktivitas wilayah pengembangan adalah alat komunikasi satu arah SSB, yang sudah dioperasikan di Kabupaten Alor, sejak Tahun 1975 dan pengadaan pada saat itu digunakan sebagai alat informasi pelaksanaan PEMILU Tahun 1975. Fokus penelitian dengan menggunakan data arus informasi melalui SSB dengan pertimbangan bahwa alat tersebut dalam perkembangannya masih eksis sampai sekarang untuk digunakan sebagai alat komunikasi utama antar wilayah hirarki yang masih sangat tertinggal pembangunan infrastruktur. Sedangkan dilain pihak arus informasi melalui sarana telekomunikasi yang lebih modern seperti Telephon maupun Telephon Sellular, hingga kini masih terbatas pada Kota hirarki utama Kota Kalabahi sebagai Ibu kota Kabupaten. Dengan demikian hampir semua aktivitas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan antar hirarki wilayah diinformasikan melalui SSB sebagai alat komunikasi utama Pemerintah Daerah. Selain itu aktivitas sosial dan ekonomi antar masyarakat dengan masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah antar hirarki wilayah diinformasikan melalui SSB sebagai satu-satunya alat komunikasi yang bisa dijangkau masyarakat pedesaan secara cepat dengan biaya murah dan konstan tanpa dipengaruhi limit waktu dan jarak. Karena itu, gangguanhambatan yang berpengaruh dalam melakukan interaksi komunikasi tentu berbeda antar hirarki wilayah, yang turut berpengaruh terhadap intensitas interaksi kelambanan informasi . Dilain sisi penggunaan alat komunikasi ini, hampir 87 persen didominasi oleh aktivitas pemerintah, sehingga intensitas pelayanan pemerintah antar satuan wilayah pengembangan melalui saluran SSB secara nyata bisa diduga, hirarki wilayah mana yang intensitas pelayanan pemerintah lebih tinggi dan mana yang lebih rendah dan bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat antar hirarki wilayah. Maka diperlukan suatu pendugaan alat analisis interaksi spasial, dan dalam penelitian ini telah digunakan “Model Entropi Interaksi spasial Tanpa Kendala Unconstrained Entropy Model ” dengan bantuan “software Minitab”. Hasil Analisis Entropy Interaksi Spasial Tanpa Kendala Unconstrained Entropy Model dalam wujud interaksi informasi terutama informasi harga, bencana alam, programproyek dan kunjungan kerja melalui saluran SSB antar hirarki wilayah Tahun 2004, dapat diperlihatkan pada Tabel 23 dan secara Grafik diperlihatkan pada Gambar 13 dan 14 Tabel. 23 Hasil Analisis Entropy Interaksi spasial Pengiriman dan Penerimaan Berita melalui Saluran SSB di Kabupaten Alor Tahun 2004. A.Hasil Analisis Entropy Pengiriman Berita Berita Keluar NO KOTA ASAL KOTA TUJUAN ln Fij Kabir ln Fij Baranusa ln Fij Kalabahi ln Fij Kokar 1 Kabir 0.000 6.406 6.434 6.022 2 Baranusa 4.680 0.000 6.082 5.188 3 Kalabahi 5.011 5.001 0.000 5.207 4 Kokar 6.636 6.496 6.002 0.000 5 Mebung 4.634 5.408 4.840 5.292 6 Moru 5.076 5.176 5.422 5.494 7 Apui 2.860 3.292 5.374 5.170 8 Bukapiting 4.134 4.962 5.748 4.722 9 Maritaing 4.332 4.564 5.456 4.536 9 Maritaing 4.332 4.564 5.456 4.536 Lanjutan A. ln Fij Mebung ln Fij Moru ln Fij Apui ln Fij Bukapiting ln Fij- Marataing 4.992 5.950 5.688 5.430 5.192 4.794 4.296 5.024 4.492 4.754 5.217 5.227 5.023 5.061 5.033 6.088 6.886 5.606 5.698 6.592 0.000 6.366 5.962 5.796 5.894 5.972 0.000 5.182 4.928 5.006 4.678 3.724 0.000 5.260 4.920 5.670 5.146 6.448 0.000 6.572 4.908 4.988 5.562 5.184 0.000 4.908 4.988 5.562 5.184 0.000 B. Hasil Analisis Entropy Penerimaan Berita Berita Masuk NO KOTA ASAL KOTA TUJUAN ln Fij Kabir ln Fij Baranusa ln Fij Kalabahi ln Fij Kokar 1 Kabir 0.00 4.540 4.755 5.93 2 Baranusa 6.29 0.000 5.347 6.40 3 Kalabahi 7.47 7.470 0.000 7.45 4 Kokar 5.06 4.746 4.959 0.00 5 Mebung 4.70 4.930 4.871 5.42 6 Moru 5.21 4.372 4.993 5.93 7 Apui 5.21 5.092 4.373 5.15 8 Bukapiting 4.97 4.694 4.560 5.15 9 Maritaing 5.13 5.174 4.959 6.33 Lanjutan B ln Fij Mebung ln Fij Moru ln Fij Apui ln Fij Bukapiting ln Fij- Marataing 4.716 4.993 4.270 4.298 4.368 5.024 5.616 4.944 5.342 5.068 7.426 7.483 7.403 7.293 7.376 4.936 5.236 5.210 4.438 4.368 0.000 5.757 5.200 5.230 4.920 5.908 0.000 4.642 4.784 4.864 5.042 5.122 0.000 5.568 5.364 5.415 5.259 5.662 0.000 5.038 5.798 5.310 5.540 6.064 0.000 Sumber : Diolah dari Laporan Bulanan Operasi SSB pada Kantor SSB dan Kecamatan Tahun 2004. Entropy interaksi spasial Berita keluar melalui SSBTahun 2004 0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 Kota Tujuan N ila i ent ro py Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung Moru Apui Bukapiting Maritaing Kabir 0.000 6.406 6.434 6.022 4.992 5.950 5.688 5.430 5.192 Baranusa 4.680 0.000 6.082 5.188 4.794 4.296 5.024 4.492 4.754 Kalabahi 5.011 5.001 0.000 5.207 5.217 5.227 5.023 5.061 5.033 Kokar 6.636 6.496 6.002 0.000 6.088 6.886 5.606 5.698 6.592 Mebung 4.634 5.408 4.840 5.292 0.000 6.366 5.962 5.796 5.894 Moru 5.076 5.176 5.422 5.494 5.972 0.000 5.182 4.928 5.006 Apui 2.860 3.292 5.374 5.170 4.678 3.724 0.000 5.260 4.920 Bukapiting 4.134 4.962 5.748 4.722 5.670 5.146 6.448 0.000 6.572 Maritaing 4.332 4.564 5.456 4.536 4.908 4.988 5.562 5.184 0.000 ln Fij Kabir ln Fij Baranusa ln Fij Kalabahi ln Fij Kokar ln Fij Mebung ln Fij Moru ln Fij Apui ln Fij Bukapiting ln Fij- Marataing Gambar 13 Entropi Interaksi Spasial pengiriman berita melalui SSB Antar hirarki wilayah di Kabupaten Alor Tahun 2004 Entropy interaksi spasial Berita masuk melalui SSB Tahun 2004 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 Kota tujuan Ni la i e n tr o p y Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung Moru Apui Bukapiting Maritaing Kabir 0.00 4.540 4.755 5.93 4.716 4.993 4.270 4.298 4.368 Baranusa 6.29 0.000 5.400 6.40 5.024 5.616 4.944 5.342 5.068 Kalabahi 7.47 7.470 0.000 7.45 7.426 7.483 7.403 7.293 7.376 Kokar 5.06 4.746 4.959 0.00 4.936 5.236 5.210 4.438 4.368 Mebung 4.70 4.930 4.871 5.42 0.000 5.757 5.200 5.230 4.920 Moru 5.21 4.372 4.993 5.93 5.908 0.000 4.642 4.784 4.864 Apui 5.21 5.092 4.373 5.15 5.042 5.122 0.000 5.568 5.364 Bukapiting 4.97 4.694 4.560 5.15 5.415 5.259 5.662 0.000 5.038 Maritaing 5.13 5.174 4.959 6.33 5.798 5.310 5.540 6.064 0.000 ln Fij Kabir ln Fij Baranusa ln Fij Kalabahi ln Fij Kokar ln Fij Mebung ln Fij Moru ln Fij Apui ln Fij Bukapiting ln Fij- Marataing Gambar 14 Entropi Interaksi Spasial Penerimaan Berita Melalui SSB Antar Hirarki Wilayah di Kabupaten Alor Tahun 2004 Pada Tabel 23 dan Gambar 13 dan 14, memperlihatkan intensitas interaksi spasial banyaknya berita yang dikirim dan diterima melalui saluran SSB antar hirarki wilayah, yakni terdapat 9 hirarkipusat aktivitas wilayah yang tersebar pada tiga Satuan Wilayah Pengembangan SWP, yakni Kota Kabir dan Baranusa mewakili SWP A, Kota Kalabahi, Kokar, Mebung dan Moru mewakili SWP B dan Kota Apui, Bukapiting dan Marataing mewakili SWP C. Kesembilan wilayah hirarki ini masing – masing melakukan interaksi sebagai Kota Asal dan Kota Tujuan. Dari Hasil Analisis Entropi Spasial Tanpa Kendala Unconstrained Entropy Model dapat diuraikan secara berurut dari intensitas interaksi Fij pengiriman dan penerimaan berita melalui saluran SSB mulai dari Fij tertinggi sampai Fij terendah antar hirarki wilayah adalah sebagai berikut :

A. Intensitas Interaksi Fij Pengiriman Berita Berita Keluar.

™ Dari kota asal Kabir ke kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi pengiriman berita adalah Kalabahi, Baranusa, Kokar, Moru, Apui, Bukapiting,Marataing dan Mebung. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar -0,163 dengan nilai R 2 72,20 dan Pvalue 0,008,sedangkan parameter konstanta sebesar 7,11. Varibel-variabel hambatan R 2 yang mempengaruhi intensitas interaksi pengiriman berita disini adalah “gangguan teknis alat komunikasi dan gangguan modulasi yang dipicu oleh jarak dan cuaca”. Kedua variabel gangguan tersebut berlaku untuk semua hirarki wilayah. Nilai P 0,008 menunjukkan signifikansi penggunaan model sebesar 99,992 persen. Sedangkan parameter konstanta sebesar 7,11 menunjukkan jumlah berita yang keluar dari Kabir menuju kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB dengan asumsi tidak terjadi gangguan teknis dan modulasi. ™ Dari kota asal Baranusa menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Kalabahi, Kokar, Apui , Mebung , Marataing, Kabir, Bukapiting dan Moru. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar -0,179 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 62,70 dan Pvalue 0,019 dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.981 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan jumlah berita yang keluar dari Baranusa menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB sebesar 7,03. ™ Dari kota asal Kalabahi menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Moru, Mebung, Kokar, Bukapiting, Marataing, Apui, Kabir dan Baranusa . Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar -0,0541 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 59,20 dan Pvalue 0,026 dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.974 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan jumlah berita yang keluar dari Kalabahi menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB sebesar 6,18. ™ Dari kota asal Kokar menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Moru, Kabir, Marataing, Baranusa, Mebung, Kalabahi, Bukapiting, dan Apui. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar -0,187 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 74,40 dan Pvalue 0,006 dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.994 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang keluar dari Kokar menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB sebesar 7,20. ™ Dari kota asal Mebung menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Moru, Apui, Marataing, Bukapiting, Kokar, Baranusa, Kalabahi, dan Kabir. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar -0,166 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 70,50 dan Pvalue 0,009 dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.991 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang keluar dari Mebung menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB sebesar 6,87. ™ Dari kota asal Moru menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Mebung, Kokar, Kalabahi, Apui, Baranusa, Kabir, Marataing dan Bukapiting. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar -0,127 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 51,90 dan Pvalue 0,044 dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.56 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang keluar dari Moru menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB sebesar 6,47. ™ Dari kota asal Apui menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Kalabahi, Bukapiting, Kokar, Marataing, Mebung, Moru, Baranusa dan Kabir. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar -0,256 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 62,00 dan Pvalue 0,020 dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.98 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang keluar dari Apui menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB sebesar 7,61. ™ Dari kota asal Bukapiting menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Marataing, Apui 6,448, Kalabahi Mebung, Moru, Kokar, Baranusa, dan Kabir. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar -0,212 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 65,50 dan Pvalue 0,015 dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.985 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang keluar dari Bukapiting menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB sebesar 7,50. ™ Dari kota asal Marataing menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Apui, Kalabahi, Bukapiting, Moru, Mebung, Baranusa, Kokar, dan Kabir. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar -0,151 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 53.10 dan Pvalue 0,040 dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.60 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang keluar dari Marataing menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB sebesar 6,71 B. Intensitas Interaksi Fij Penerimaan Berita Berita Masuk. ™ Intensitas interaksi berita yang diterima Kabir dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Baranusa, Moru, Apui. Marataing, Kokar , Bukapiting, dan Mebung. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar -0,139 dengan nilai R 2 62,20 dan Pvalue 0,020, sedangkan parameter konstanta sebesar 6,56. Varibel-variabel hambatan R 2 yang mempengaruhi intensitas interaksi penerimaan berita sama halnya dengan variabel pengiriman berita yakni “gangguan teknis alat komunikasi dan gangguan modulasi “. Kedua variabel gangguan tersebut berlaku untuk interaksi penerimaan berita pada semua hirarki wilayah. Nilai P 0,020 menunjukkan signifikansi penggunaan model sebesar 99,98 persen. Sedangkan parameter konstanta sebesar 6,56 menunjukkan jumlah berita yang masuk diterima Kabir dari kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB dengan asumsi tidak terjadi gangguan teknis dan modulasi. ™ Intensitas interaksi berita yang diterima Baranusa dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi Marataing, Apui, Mebung. Kokar, Bukapiting, Kabir dan Moru. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar -0,147 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 60,30 dan Pvalue 0,023 atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,997 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,91. Nilai ini menunjukkan berita yang masuk atau diterimai Baranusa dari Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB, dengan asumsi tidak terjadi gangguan teknis dan modulasi. ™ Intensitas interaksi berita yang diterima Kalabahi dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Baranusa, Moru. Kokar, Marataing, Mebung. Kabir, Bukapiting dan Apui, Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar -0,0367 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 62,20 dan Pvalue 0,020 atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,98 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,87. ™ Intensitas interaksi berita yang diterima Kokar dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Baranusa, Marataing, Moru, Kabir, Mebung, Bukapiting dan Apui. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar -0,128 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 50,60 dan Pvalue 0,048 atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,952 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,35. ™ Intensitas interaksi berita yang diterima Mebung dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Moru, Marataing, Bukapiting, Apui, Baranusa, Kokar dan Kabir. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar -0,105 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 54,30 dan Pvalue 0,037 atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,963 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,21. ™ Intensitas interaksi berita yang diterima Moru dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Mebung, Baranusa, Marataing, Bukapiting, Kokar, Apui dan Kabir. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar -0,123 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 71.50 dan Pvalue 0,008 atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,963 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,34. ™ Intensitas interaksi berita yang diterima Apui dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Bukapiting, Marataing, Kokar, Mebung, Baranusa , Moru dan Kabir. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar -0,112 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 61.50 dan Pvalue 0,021 atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,979 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,26. ™ Intensitas interaksi berita yang diterima Bukapiting dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Marataing, Apui, Baranusa, Mebung, Moru, Kokar dan Kabir. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar -0,089 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 50.70 dan Pvalue 0,047 atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,953 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,14. ™ Intensitas interaksi berita yang diterima Marataing dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Apui, Baranusa, Bukapiting, Mebung, Moru, Kokar , dan Kabir. Koefisien hambatan β yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar -0,134 dengan nilai variabel hambatan R 2 sebesar 77,90 dan Pvalue 0,004 atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,996 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,70. Secara umum Tabel 23 dan Gambar 13 dan 14 juga memperlihatkan bahwa: ™ Rata –rata intensitas interaksi spasial yang masuk ke kota hirarki utama Kalabahi dari kota – kota hirarki bawahnya jauh lebih tinggi, rata - rata di atas 7 berita perjam operasi SSB bila dibanding dengan intensitas interaksi sebaliknya, dari hirarki utama ke hirarki bawahnya. Hal ini ada hubungannya dengan Kalabahi sebagai pusat kebijakan aktivitas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh seluruh Kelembagaan Pemerintah Daerah kepada masyarakat, hampir seluruhnya diinformasikan melalui saluran SSB. ™ Rata-rata intensitas interaksi antara kota hirarki utama dengan kota –kota hirarki dalam satu SWP SWP B sedikit lebih kuat dibanding antar kota- kota hirarki pada SWP A dan C. ™ Intensitas interaksi spasial yang terkait dengan penyampaian informasi pelayanan pemerintah berupa informasi pasar, bencana alam, informasi kegiatan programproyek dan kunjungan kerja dalam rangka supervisi dan sosialisai kepada masyarakat menunjukkan intensitas pelayanan pemerintah yang tidak simetrik antar hirarki wilayah. Hal ini memperlihatkan signifikansi kesenjangan pertumbuhan antar wilayah. b. Analisis deskriptif pola interaksi spasial antar hirarkipusat aktivitas inter wilayah pengembangan dan antar dan inter regional. Analisis entropi interaksi spasial tanpa kendala unconstrained entropy model untuk menduga arus informasi pelayanan pemerintah pada masyarakat melalui saluran SSB pemerintah daerah, sebenarnya sudah memberikan sinyal adanya asimetrik interaksi spasial antar wilayah, akan tetapi hasil pendugaan tersebut belum merepresentasikan perkembangan jaringan interaksi spasial yang komprehensif, oleh karena itu perlu juga analisis deskriptif untuk melihat pola interaksi spasial berdasarkan jaringan interaksi yang diarahkan dalam RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991. Hal ini didasari pada asumsi bahwa suatu wilayah memiliki potensi sumber daya dan karakteristik yang berbeda baik dari aspek resource endowment maupun aspek artificial resources berupa teknologi dan hasil interaksi sosial-ekonomi antar wilayah lainnya. Perbedaan sumber daya supply side serta disisi lainnya perbedaan kebutuhan demand side menyebabkan terjadinya transaksi dan interaksi sosial maupun ekonomi wilayah. Mobilisasi sumber daya dan pemenuhan kebutuhan masing-masing wilayah sehingga terjadinya hubunganinteraksi wilayah dapat berwujud arus atau pergerakan orang, kendaraan atau barang serta komponen wilayah lainnya seperti teknologi, modal dan informasi melalui jalan dan transportasi, system atau kelembagaan yang melaksanakannya dan tingkat dan sifat interaksi akan menentukan perkembangan suatu wilayah. Sifat pergerakan penduduk sendiri secara garis besar terbagi dua karakteristik. Yang pertama adalah pergerakan yang bersifat sementara commuting, yakni perjalanan atau bepergian untuk memenuhi kebutuhan hidup dan atau usahanya kemudian selanjutnya akan kembali lagi ketempat asalnya. Sedangkan yang kedua adalah pergerakan yang bersifat tetap, yakni perpindahan penduduk dari suatu tempat ketempat lain dengan tujuan untuk menetap secara permanent. Namun dalam konteks penelitian ini hanya difokuskan pada karakteristik yang pertama. Pergerakan penduduk yang bersifat sementara commuting, tergambar dari orientasi perjalananbepergian penduduk pada masing-masing SWP dapat dilihat pada Tabel 24 dan secara Grafik dapat terlihat pada Gambar 15, 16 dan 17. Pada Tabel 24, dan Gambar 15,16 dan 17, menggambarkan bahwa rata- rata orientasi penduduk untuk memenuhi kebutuhan dan usaha untuk masing- masing SWP menunjukkan bahwa rata-rata orientasi ke kota Kabupaten lebih besar walaupun ada perbedaan proporsi antar ketiga SWP, dimana SWP A 54,05 , SWP B 56,01 dan SWP C 65,94 . Orientasi interaksi spasial penduduk lebih besar kedua, adalah orientasi Luar Kabupaten, untuk SWP A 20,02 , SWP B 14,80 dan SWP C 10,32, Kemudian orientasi bepergian dalam Kota Kecamatan, untuk SWP A 9,22 , SWP B 10,13 dan Tabel 24 Orientasi PerjalananBepergian Penduduk Pada SWP A, B dan C. No Keperluan DDK DDL DKK DKK L1-SWP DKKL L-SWP DK- Kab. L- Kab Jlh SWP A 1 Membeli sembako 15.42 12.32 30.04 6.05 0.00 31.57 4.60 100 2 Membeli Pakaian 0.05 1.02 4.26 3.22 0.00 66.15 25.30 100 3 Membeli bahan rumah 1.20 1.50 10.36 0.08 0.00 82.65 4.21 100 4 Membeli elektronik 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 84.35 15.65 100 5 Membeli alat dan mesin 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 80.75 19.25 100 6 Membeli saprotan 0.00 0.00 1.24 2.60 0.00 55.48 40.68 100 7 Membeli kendaraan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 64.30 35.70 100 8 Menjual hasil usaha 6.30 7.64 10.20 5.40 4.60 30.40 35.46 100 9 Urusan adatkeluarga 30.20 22.20 7.50 7.30 12.40 15.20 5.20 100 10 Rekreasitraveling 0.00 5.20 28.60 16.30 6.20 29.60 14.10