teknologi dan informasi untuk mengembangkan sumberdaya domestik resources endowment yang ada menjadi produktif dalam skala ekonomik
economic scale Sehubungan dengan itu Teori
Resource endowment menyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah bergantung pada sumberdaya alam yang
dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu, dimana dalam jangka pendek, sumberdaya wilayah tersebut merupakan suatu
aset untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan Perloff and Wingo, 1961. Dengan demikian suatu sumberdaya wilayah akan menjadi berharga jika
dapat dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk produksi dan ada permintaan. Disamping kesenjangan dalam distribusi alokasi sumberdaya pembangunan
yang tidak proporsional terhadap kondisi spesifik wilayah seperti yang dipaparkan di atas, kesenjangan tersebut juga terjadi karena pendekatan
perencanaan pembangunan daerah selama ini, juga lebih berbasis sektoral dan administratif, kurang berbasis pada pengembangan wilayah. Pendekatan
pembangunan yang menekankan pada pembangunan sektoral, kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan dan lebih memperlihatkan ego
sektor ketimbang keterkaitan sektor, sehingga kesenjangan pembagunan antar sektor menjadi semakin melebar.
Menurut Rustiadi et al. 2004, salah satu bentuk dari terjadinya kegagalan
pemerintahan government failure di masa lalu adalah kegagalan dalam
menciptakan keterpaduan sektoral yang sinergis dalam kerangka pembangunan wilayah. Lembaga-lembaga instansi sektoral di tingkat wilayah daerah sering
hanya menjadi berupa perpanjangan lembaga sektoral di tingkat nasionalpusat dengan sasaran pembangunan, pendekatan dan perilaku yang tidak sinergis
dengan lembaga yang dibutuhkan sektoral di tingkat daerah. Akibatnya lembaga pemerintah daerah gagal menangkap kompleksitas pembangunan yang ada di
wilayahnya, dan partisipasi masyarakat lokal tidak mendapat tempat sebagaimana mestinya. Sedangkan wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh
adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis.
1.2. Permasalahan. Akibat krisis ekonomi 1997 wilayah-wilayah di Indonesia mengalami hal
yang sama pertumbuhan ekonominya lebih lambat pulih dari krisis moneter 1997 hampir selalu dibawah rata-rata proporsi. Hal ini memberikan kesadaran
bahwa dampak krisis yang meluas tidak luput dari kebijaksanaan pembangunan, termasuk perencanaan wilayah yang tidak tepat masa lalu, sehingga saat krisis
merupakan saat untuk memikirkan kembali arah kebijaksanaan pembangunan wilayah Nurzaman, 2002. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Alor mencapai
tingkat minus 2,50 pada tahun 1998, namun mulai berangsur membaik pada awal otonomi daerah seperti ditunjukkan pada Tabel 2
Tabel 2 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Alor Tahun 1998 - 2003 Atas Dasar Harga Konstan 1993
Tahun Kabupaten Alor
Propinsi NTT
Nasional 1998 -2,50
-2,73 -13,13
1999 -0,44 2,73
0,85 2000 4,44
4,17 4,84
2001 4,74 5,10
3,45 2002 5,49
5,96 3,69
2003 5,63 5,87
4,10 Sumber: BPS PDRB Kabupaten Alor 2003 dan PDB Nasional 2003
.
Secara makro pertumbuhan ekonomi mulai membaik dalam 4 tahun terakhir perberlakuan otonomi daerah atau setelah krisis, bahkan berada di atas rata-rata
nasional dan berada sedikit di bawah rata-rata Propinsi NTT. Akan tetapi timbul pertanyaan: 1 apakah
trend pertumbuhan ekonomi yang meningkat tersebut diikuti oleh semakin kuatnya keterkaitan antar sektor yang memperkokoh struktur
ekonomi wilayah yang lebih dinamik?; 2 apakah pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat tersebut masih tergantung pada sektor-setor tertentu yang
hanya memberikan nilai tambah ekonomi yang berkurang diminishing?. Hal ini
bisa diperlihatkan dengan perkembangan pangsa share masing-masing
sektor terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah dalam kurun waktu lima tahun terakhir seperti pada Tabel 3.
Dari Tabel 3, dapat disimak beberapa hal sebagai berikut: 1 sektor pertanian pada satu sisi merupakan penyumbang terbesar bagi pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Alor, namun kontribusinya menurun dari 42,2 pada tahun 1998 menjadi 34,58 pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan telah terjadi
trasformasi struktur ekonomi dari sektor primer sektor pertanian ke sektor modern industri dan jasa. Walaupun demikian, sektor pertanian masih menjadi
sektor andalan di dalam penyerapan tenaga kerja 82,79; 2 Pada sisi yang lain, sektor industri yang diharapkan dapat menyerap surplus usaha dan tenaga
kerja sektor pertanian justru tidak memperlihatkan kinerja yang meningkat.
Tabel 3 Prosentase kontribusi Sektor terhadap PDRB Kabupaten Alor Tahun 1998-2003 Atas Dasar Harga Konstan 1993
No Sektor
1998 1999 2000 2001 2002 2003 1 Pertanian
42.2 39.34 38.34 37.08 35.21 34.58