Permasalahan. Akibat krisis ekonomi 1997 wilayah-wilayah di Indonesia mengalami hal

teknologi dan informasi untuk mengembangkan sumberdaya domestik resources endowment yang ada menjadi produktif dalam skala ekonomik economic scale Sehubungan dengan itu Teori Resource endowment menyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah bergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu, dimana dalam jangka pendek, sumberdaya wilayah tersebut merupakan suatu aset untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan Perloff and Wingo, 1961. Dengan demikian suatu sumberdaya wilayah akan menjadi berharga jika dapat dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk produksi dan ada permintaan. Disamping kesenjangan dalam distribusi alokasi sumberdaya pembangunan yang tidak proporsional terhadap kondisi spesifik wilayah seperti yang dipaparkan di atas, kesenjangan tersebut juga terjadi karena pendekatan perencanaan pembangunan daerah selama ini, juga lebih berbasis sektoral dan administratif, kurang berbasis pada pengembangan wilayah. Pendekatan pembangunan yang menekankan pada pembangunan sektoral, kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan dan lebih memperlihatkan ego sektor ketimbang keterkaitan sektor, sehingga kesenjangan pembagunan antar sektor menjadi semakin melebar. Menurut Rustiadi et al. 2004, salah satu bentuk dari terjadinya kegagalan pemerintahan government failure di masa lalu adalah kegagalan dalam menciptakan keterpaduan sektoral yang sinergis dalam kerangka pembangunan wilayah. Lembaga-lembaga instansi sektoral di tingkat wilayah daerah sering hanya menjadi berupa perpanjangan lembaga sektoral di tingkat nasionalpusat dengan sasaran pembangunan, pendekatan dan perilaku yang tidak sinergis dengan lembaga yang dibutuhkan sektoral di tingkat daerah. Akibatnya lembaga pemerintah daerah gagal menangkap kompleksitas pembangunan yang ada di wilayahnya, dan partisipasi masyarakat lokal tidak mendapat tempat sebagaimana mestinya. Sedangkan wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis.

1.2. Permasalahan. Akibat krisis ekonomi 1997 wilayah-wilayah di Indonesia mengalami hal

yang sama pertumbuhan ekonominya lebih lambat pulih dari krisis moneter 1997 hampir selalu dibawah rata-rata proporsi. Hal ini memberikan kesadaran bahwa dampak krisis yang meluas tidak luput dari kebijaksanaan pembangunan, termasuk perencanaan wilayah yang tidak tepat masa lalu, sehingga saat krisis merupakan saat untuk memikirkan kembali arah kebijaksanaan pembangunan wilayah Nurzaman, 2002. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Alor mencapai tingkat minus 2,50 pada tahun 1998, namun mulai berangsur membaik pada awal otonomi daerah seperti ditunjukkan pada Tabel 2 Tabel 2 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Alor Tahun 1998 - 2003 Atas Dasar Harga Konstan 1993 Tahun Kabupaten Alor Propinsi NTT Nasional 1998 -2,50 -2,73 -13,13 1999 -0,44 2,73 0,85 2000 4,44 4,17 4,84 2001 4,74 5,10 3,45 2002 5,49 5,96 3,69 2003 5,63 5,87 4,10 Sumber: BPS PDRB Kabupaten Alor 2003 dan PDB Nasional 2003 . Secara makro pertumbuhan ekonomi mulai membaik dalam 4 tahun terakhir perberlakuan otonomi daerah atau setelah krisis, bahkan berada di atas rata-rata nasional dan berada sedikit di bawah rata-rata Propinsi NTT. Akan tetapi timbul pertanyaan: 1 apakah trend pertumbuhan ekonomi yang meningkat tersebut diikuti oleh semakin kuatnya keterkaitan antar sektor yang memperkokoh struktur ekonomi wilayah yang lebih dinamik?; 2 apakah pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat tersebut masih tergantung pada sektor-setor tertentu yang hanya memberikan nilai tambah ekonomi yang berkurang diminishing?. Hal ini bisa diperlihatkan dengan perkembangan pangsa share masing-masing sektor terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah dalam kurun waktu lima tahun terakhir seperti pada Tabel 3. Dari Tabel 3, dapat disimak beberapa hal sebagai berikut: 1 sektor pertanian pada satu sisi merupakan penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Alor, namun kontribusinya menurun dari 42,2 pada tahun 1998 menjadi 34,58 pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan telah terjadi trasformasi struktur ekonomi dari sektor primer sektor pertanian ke sektor modern industri dan jasa. Walaupun demikian, sektor pertanian masih menjadi sektor andalan di dalam penyerapan tenaga kerja 82,79; 2 Pada sisi yang lain, sektor industri yang diharapkan dapat menyerap surplus usaha dan tenaga kerja sektor pertanian justru tidak memperlihatkan kinerja yang meningkat. Tabel 3 Prosentase kontribusi Sektor terhadap PDRB Kabupaten Alor Tahun 1998-2003 Atas Dasar Harga Konstan 1993 No Sektor 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1 Pertanian

42.2 39.34 38.34 37.08 35.21 34.58