Teori Pusat Pertumbuhan TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Deskripsi

dan unsur kedua adalah unsur institusionalkelembagaan penataan ruang non fisik. Dimana unsur non fisik mencakup aspek-aspek organisasi penataan ruang dan aspek-aspek mengenai Aturan-aturan main penataan ruang. Sedangkan unsur fisik penataan ruang mencakup: 1 penataan pemanfaatan ruang; 2 penataan strukturhirarki pusat-pusat wilayah aktivitas sosial ekonomi; 3 pengembangan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas; dan 4 pengembangan infrastruktur. Pada umumnya proses perencanaan tata ruang hanya di lihat sebagai suatu kegiatan pembagian zonasi pengaturan penggunaan lahan dan dianggap sebagai perencanaan fisik yang paling utama dalam proses penataan ruang, namun sekarang ini semakin disadari bahwa penataan penggunaan lahan tata guna tanah tanpa kelengkapan penataan unsur-unsur esensial lainnya, tidak akan pernah efektif, karena penatagunaan lahan tidak bersifat independent dari perencanaan struktur hirarki pusat-pusat pelayanan, struktur jaringan jalan dan perencanaan infrastruktur lainnya yang menyeluruh, termasuk unsur-unsur kelembagaan yang berperan Rustiadi et al. 2003. Rustiadi et al. 2003 menyatakan pula bahwa penataan struktur hirarki sebenarnya penting sebagai upaya meningkatkan fungsi dan peran wilayah- wilayah pusat pertumbuhan agar lebih berkembang sesuai potensi yang dimilikinya sekaligus dapat memberikan manfaat sosial social benefit yang optimal. Tetapi konsentrasi spatial Aglomerasi jika tidak diimbangi dengan implementasi perencanaan yang baik maka akan terjadi ketimpangan pertumbuhan wilayah karena perbedaan economic rent antara lokasi yang satu dengan lokasi yang lain. Di lain sisi suatu aktivitas pusat ekonomi tidak akan memberikan economic rent, apabila tidak diimbangi dengan pembentukan jaringan keterkaitan linkage antara pusat-pusat aktivitas yang dapat memfasilitasi ”aliran barang, jasa dan informasi”. Demikian pula pengembangan infrastruktur yang mencirikan suatu aktivitas ekonomi wilayah dapat bertumbuh dan berkembang.

e. Teori Pusat Pertumbuhan

Salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan aspek tata ruang adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan. Konsep ini didasarkan kepada 2 dua hipotesa dasar, yaitu: 1 pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dimulai dan mencapai puncaknya pada sejumlah pusat-pusat tertentu; 2 pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dijalarkan disebarkan di pusat-pusat pertumbuhan ini, secara nasional melalui hirarkhi kota-kota secara regional dari pusat-pusat perkotaan urban centre ke daerah belakang hinterland masing-masing . Gagasan konsep tersebut pertama kali dikemukakan oleh Walter Christaler 1933 yang kemudian dikenal sebagai teori tempat sentral Central Theory yang selanjutnya dikembangkan oleh Losh, Berry dan Garrison Hanafiah 1985, Pradhan 2003. Menurut teori ini pertumbuhan dari suatu kota merupakan akibat penyediaan barang dan jasa pada daerah belakangnya. Dengan kata lain, pertumbuhan daerah perkotaan adalah fungsi dari penduduk dan tingkat pendapatan daerah belakangnya, sedangkan laju peningkatan pertumbuhannya tergantung pada laju peningkatan permintaan dari daerah belakang atas barang dan jasa atau pelayanan perkotaan Richardson, 1969 yang diacu Sitohang, 1991. Pusat-pusat pertumbuhan tersebut berdasarkan studi di India telah dimodifikasikan dan dapat dibedakan atas: 1 pusat pelayanan pada tingkat lokal; 2 titik pertumbuhan pada tingkat sub-wilayah; 3 pusat pertumbuhan pada tingkat wilayah; 4 kutub pertumbuhan pada tingkat nasional. Pusat suatu wilayah juga merupakan pusat barang dan jasa yang secara terperinci dinyatakan sebagai pusat perdagangan, perbankan, organisasi perusahaan, jasa profesional, jasa administrasi, pelayanan pendidikan dan hiburan bagi daerah hinterland. Permintaan antar hinterland sangat bervariasi dan berbanding terbalik dengan jarak dari pusat pertumbuhan karena adanya perbedaan dalam biaya transportasi. Dari uraian tersebut, terlihat bahwa jarak merupakan faktor kunci bagi Teori Christaler. Jarak didefinisikan sebagai maksimum jarak yang ingin ditempuh oleh seseorang untuk membeli barang tertentu yang ditawarkan pada suatu tempat. Model teori pusat pertumbuhan yang dinyatakan oleh Christaler ini dapat digunakan jika memenuhi asumsi-asumsi berikut: 1 populasi penduduk tersebar di suatu wilayah secara homogen; 2 pusat menyediakan barang-barang dan jasa-jasa untuk hinterland-hinterland-nya, sehingga jika terdapat dua tempat sentral yang mampu menyediakan pelayanan yang sama akan mempunyai hinterland dengan ukuran yang sama pula; 3 pusat mempunyai pola memaksimumkan lokasi spasialnya misalnya: dalam penggunaan lahan; 4 pusat membentuk suatu hirarkhi. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa fasilitas pelayanan dalam aspek tata ruang, kualitas dan jumlahnya berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sehingga dapat diidentifikasi, bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat ini ditentukan oleh derajad penyediaan fasilitas pelayanan yang tersedia. Ketersediaan fasilitas pelayanan pada gilirannya juga akan mendorong aktivitas ekonomi yang makin maju. Sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiah 1985, bahwa sistem pusat-pusat pertumbuhan sebagai salah satu implementasi pembangunan wilayah akan menciptakan perubahan-perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat, yaitu menurut suatu hirarkhi yang akan menciptakan suatu struktur dan organisasi tata ruang baru bagi kegiatan manusia. Selanjutnya dalam menelaah pembangunan wilayah terutama dengan pendekatan pusat pertumbuhan dan wilayah pendukungnya, perlu diketahui hubungan atau interaksi pusat pelayanan dengan daerah belakangnya hinterland dalam ruang lingkup kegiatan sosial ekonomi. Hubungan tersebut dapat berupa spread effect yang menguntungkan daerah belakang, ataupun sebaliknya yaitu fenomena back-wash effect yang akan merugikan daerah belakang hinterland. Dengan demikian dari penjelasan tersebut terlihat, bahwa adanya hubungan yang erat antara pusat-pusat pertumbuhan yang menyediakan berbagai fasilitas pelayanan dengan aktivitas-aktivitas dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik yang berada di daerah pusat pertumbuhan itu sendiri maupun daerah belakangnya. Menurut Tarigan 2004, bahwa hubungan antara pusat pertumbuhan dan wilayah pendukung dapat dikategori atas 3 bentuk hubungan, yakni : 1 Hubugan generatif, yakni hubungan yang saling menguntungkan atau saling menyumbangkan antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya. Daerah kota atau wilayah pusat dapat menyerap tenaga kerja atau memasarkan produksi dari daerah pedalaman wilayah yang lebih terbelakang. Sedangkan wilayah pedalaman berfungsi untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh industri perkotaan, dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan wilayah belakang. Selain itu wilayah pusat kota berperan sebagai tempat inovasi dan modernisasi yang dapat diserap oleh daerah pedalaman. Adanya pertukaran dan saling ketergantungan ini akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan sejajar antara wilayah pusat dan wilayah belakang. 2. Hubungan Parasitif, yakni hubungan yang terjadi dimana wilayah kota wilayah yang lebih maju tidak banyak membantu atau menolong wilayah belakangnya hinterland. Wilayah kota yang bersifat parasit, umumnya kota yang belum banyak berkembang industrinya dan masih berciri wilayah pertanian, tetapi berciri wilayah perkotaan sekaligus. 3 Hubungan enclave tertutup, yakni hubungan dimana wilayah pusat kota yang lebih maju, seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih terbelakang. Buruknya sarana dan prasarana, perbedaan taraf hidup dan pendidikan yang mencolok dan faktor-faktor lainnya dapat menyebabkan kurang hubungan antar wilayah pusat dan hinterland. Untuk menghindari hal ini, wilayah-wilayah terbelakang perlu didorong pertumbuhannya, sedangkan wilayah yang lebih maju dapat berkembang atas kemampuannya sendiri. Selanjutnya dikatakan pula bahwa tidak semua kota generatif dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan, karena pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yakni : 1 Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi. Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan antara sektor dan sektor lainnya sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor lainnya, karena saling terkait. Pertumbuhan tidak terlihat pincang, ada sektor yang tumbuh cepat tetapi ada sektor lainnya yang tidak terkena imbas sama sekali. Berbeda halnya dengan sebuah kota, yang fungsinya sebagai perantara transit. Dimana kota tersebut hanya berfungsi mengumpulkan berbagai macam komoditi dari wilayah di belakangnya dan menjual ke kota lain yang lebih besar dan selanjutnya dapat membeli berbagai macam kebutuhan masyarakat dari kota lain untuk didistribusikan ke wilayah yang ada di belakangnya. Kota dengan ciri perantara, tidak terdapat banyak pengolahan ataupun kegiatan yang dapat menciptakan nilai tambah value edded atau tidak ada proses industri yang menghasilkan value edded. 2 Adanya efek pengganda multiplier effect. Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek ganda. Apabila ada suatu sektor disuatu wailayah mengalami kenaikan permintaan yang berasal dari luar wilayah, maka produksi sektor tersebut akan meningkat, karena ada keterkaitan dengan sektor-sektor lain, maka produksi sektor-sektor lain juga meningkat dan terjadi beberapa kali putaran pertumbuhan, sehingga total kenaikan produksi bisa beberapa kali lipat dibandingkan dengan kenaikan permintaan awal yang berasal dari luar wilayah tersebut. Unsur efek pengganda tersebut sangat berperan untuk membuat sebuah kota dapat memacu pertumbuhan wilayah di belakangnya, karena terjadi peningkatan produksi pada sektor di wilayah yang lebih maju, akan memacu dan meningkatkan permintaan bahan baku dari wilayah-wilayah yang berada di belakangnya. 3 Adanya konsentarasi geografis. Konsentarasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi di antara sektor-sektor yang saling membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik attractivennes dari wilayah yang lebih maju tersebut. Orang yang datang ke wilayah tersebut, dapat memperoleh berbagai kebutuhan pada lokasi yang berdekatan. Dengan demikian dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya. Hal tersebut menjadi daya tarik untuk dikunjungi orang, karena volume interaksi yang semakin meningkat akan menciptakan economic of scale sehingga terjadi efisiensi lanjutan. 4 Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya. Hal ini berarti antara wilayah yang lebih maju dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Wilayah yang lebih maju membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya untuk mengembangkan diri, apabila wilayah yang lebih maju memiliki hubungan yang harmonis dengan daerah belakangnya dan juga memiliki ketiga ciri di atas, maka wilayah tersebut akan berfungsi mendorong wilayah belakangnya.

f. Teori Interaksi spasial.