juga, alam semakin tidak mampu menopang kehidupan mereka dikarenakan kerusakan alam tersebut. Kerusakan alam bukan dikarenakan oleh budaya masyarakat Bonai, tetapi
disebabkan oleh kepentingan-kepentingan pihak yang tidak bertanggung jawab. Kemerosotan sumber-sumber alam tersebut menyebabkan masyarakat suku Bonai
melihat kemungkinan lain dalam mata pencaharian, sehingga mereka mulai mengenal mata pencaharian baru.
Mata pencaharian baru yang mulai dikenal disebut dengan nama mata pencaharian non-tradisional. Mata pencaharian non-tradisional yang mereka geluti adalah
menjadi buruh atau kuli di pabrik pengolahan kelapa sawit. Selain itu mereka juga menjadi kuli penyadap getah karet milik masyarakat tempatan dan menyadap getah karet
dari kebun mereka sendiri. Penghasilan dari bekerja tersebutlah yang dijadikan untuk menopang hidup mereka. Tradisi lukah gilo pun juga menjadi salah satu mata
pencaharian non-tradisional bagi masyarakat suku Bonai, walaupun lukah yang mereka gunakan merupakan alat tradisional yang digunakan untuk menangkap ikan dan
menangkap ikan merupakan mata pencaharian tradisional. Dari pertunjukan tradisi lukah gilo ini, mereka mendapatkan uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka
sehari-hari.
4.6 Organisasi Sosial
Kebudayaan Minangkabau banyak mempengaruhi organisasi sosial Melayu Riau, sejak banyaknya orang Minangkabau merantau dari barat ke pesisir timur Sumatera.
Melayu Riau merujuk norma-norma yang mengatur kehidupan sosial mereka sebagai ‘adat’ dan mengaku memiliki dua jenis adat: adat perpatih,yang berasal dari
Universitas Sumatera Utara
Minangkabau dan adat ketemenggungan, budaya patriakhal yang berkembang di kalangan Melayu perkotaan di Riau bagian timur. Di beberapa daerah Riau, seperti di
sekitar sungai Kampar dan sungai Rokan, norma-norma sosial didasarkan pada adat perpatih Kang, 2005:24. Kenyataannya, beberapa informan Bonai mengakui hubungan
mereka dengan leluhur dari Minangkabau, sementara sebagian besar lainnya menyatakan ke-Melayu-an mereka berasal dari semenanjung Malaya.
Organisasi sosial dan kemasyarakatan terdiri dari sistem kekerabatan, sistem kesatuan hidup dan stratifikasi sosial. Sistem kekerabatan pada masyarakat suku Bonai
adalah famili yang paling besar dan yang paling kecil adalah keluarga. Masyarakat Bonai mengembangkan budaya campuran antara sistem matrinieal Minangkabau dan budaya
Islam Melayu yang patriarkhal. Dalam satu famili terdapat beberapa keluarga berdasarkan jauh dekatnya hubungan garis keturunan, maka muncullah sebutan famili
jauh dan famili dekat. Sedangkan kekerabatan yang paling kecil adalah keluarga, yang terdiri suami, istri, anak, dan anggota keluarga yang lain.
Masyarakat Bonai merupakan masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal atau sistem keturunan yang diikuti adalah garis keturunan dari ibu ke anak
perempuan. Walaupun sistem keturunan yang diikuti adalah garis dari keturunan ibu, namun laki-lakilah yang mengatur proses keturunan tersebut, karena hanya para lelaki
yang dapat mengatur dan menjalankan adat. Tidak hanya mengatur dan menjalankan adat, dalam prosesi ritual lukah gilo pun hanya para lelaki yang berhak melakukannya.
Kaum perempuan tidak pernah dan tidak boleh terlibat untuk melakukan prosesi ritual lukah gilo tersebut. Oleh karena itu, masyarakat Bonai menjadi contoh menarik dari
Universitas Sumatera Utara
dominasi laki-laki dalam sistem matrilineal, yang menjadikan keunikan sistem kepemimpinan mereka.
Berdasarkan sistem matrilineal dan setelah masuknya agama Islam, masyarakat suku Bonai masuk ke dalam beberapa suku yang diakui oleh kerapatan adat, yaitu: Suku
Molayu Panjang, Suku Molayu Bosa, Suku Kandangkopuh, Suku Bono Ampu, Suku Kuti, dan Suku Moniliang. Setiap suku dipimpin oleh ninik-mamak, yang mengatur semua
adat-istiadat sehari-hari. Ninik-mamak dipilih melalui musyawarah adat yang dilakukan oleh laki-laki masyarakat suku Bonai. Masing-masing ninik-mamak yang terpilih,
diharapkan memiliki pengetahuan adat dan adat-istiadat.
4.7 Sistem Pengetahuan