1.167 jiwa, dengan jumlah laki-laki sebanyak 563 jiwa dan jumlah perempuan sebanyak 604 jiwa sumber: Kantor Kecamatan Kepenuhan 2010.
Dengan luas wilayah 45,00 km
2
, desa Ulak Patian memiliki satu sungai besar yaitu sungai Rokan. Sungai Rokan memiliki panjang ± 100 km dengan kedalaman rata-
rata 6 m dengan lebar sungai 92 m. Sungai Rokan ini bagi masyarakat suku Bonai dan masyarakat lain desa Ulak Patian ini, berfungsi sebagai sarana perhubungan dan sumber
air bersih. Desa Ulak Patian pada umumnya beriklim tropis dengan temperatur maksimum rata-rata 31
o
C – 32
o
C, dengan curah hujan sedang sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Riau
4.2 Asal Mula dan Sejarah Suku Bonai
Nama Bonai berasal dari kata Manai, yang dalam bahasa Bonai berarti pemalas. Kata Manai berubah menjadi kata Monai, kemudian berubah lagi menjadi kata Bonai
yang sekarang menjadi nama kelompok suku Bonai. Kata Bonai berasal dari sebuah pohon bonai yang banyak tumbuh di pinggir sungai Rokan tepatnya di daerah Sontang.
Pohon bonai ini memiliki ciri-ciri dengan tinggi pohon tidak lebih dari empat meter, berdaun kecil-kecil, buahnya bulat-bulat berwarna kemerahan dan berwarna hitam bila
buahnya telah masak, dan rasanya agak asam wawancara: Rasyid, 1032012. Ada banyak pendapat mengenai asal usul dan sejarah masyarakat suku Bonai
yang tidak terungkap secara jelas. Ada yang mengatakan bahwa suku Bonai merupakan Proto Melayu Melayu Tua yang mendiami wilayah ini sekitar tahun 2500-1500 SM.
Pendapat lain mengatakan bahwa suku Bonai ini adalah Deutro Melayu Melayu Muda yang datang sekitar tahun 300 SM.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Hamidy 1991:191, sebagaimana suku dan puak lainnya, suku Bonai juga mempunyai teks lisan menemani riwayat mereka. satu diantara teks lisan itu yang
paling popular dalam kehidupan suku ini ialah tentang riwayat mereka yang dihubungkan dengan orang Barunei. Disebutkan dua orang nenek moyang orang Bonai, kakak beradik
yaitu Sultan Janggut dan Sultan Harimau, telah mengembara dari kampungnya Negeri Candi yang diduga Muara Takus sekarang ini sampai ke Berunei. Ketika pulang mereka
berdua membawa enam pasang orang Berunei. Lalu berlayarlah mereka dengan dondang perahu sehingga sampai persimpanggan kuala sungai Rokan. Di situ mereka berdua
berunding siapa yang akan mengambil jalan mengikuti Rokan Kiri dan siapa yang mengikuti Rokan Kanan. Terlebih dahulu dibagilah harta pusaka, maka ada meriam
pendek yang tidak dapat dibagi, lalu mereka sepakat barang itu dibuang. Tempat ini sampai sekarang masih bernama Kualo Sako, yang berarti tempat membuang barang
pusaka. Setelah itu maka dapatlah suatu keputusan, Sultan Harimau dengan 6 pasang
orang Barunai akan memudiki Rokan Kiri, sementara Sultan Janggut akan memasuki Rokan Kanan sendiri. Dalam perjalanannya, tiap pasang orang Barunai itu telah
ditinggalkan oleh Sultan pada tiap tempat, yang kemudian berkembangbiak menjadi kampung. Mula-mula dia telah meninggalkan satu pasang orang Barunai dengan bekal
jagung dan ubi untuk dijadikan bibit, serta senjata sebuah tombak yang diberi nama Buntung Mengidam, pasangan ini telah membentuk kampung Bonai. Kemudian
ditinggalkan lagi satu pasang dengan bekal jagung dan ubi, yang kemudian membentuk kampung bernama kampung Sontang. Pasangan ke tiga dan enam juga demikian,
akhirnya terbentuklah enam kampung oleh enam pasang orang Barunai.
Universitas Sumatera Utara
- Kampung Bonai
- Kampung Sontang
- Kampung Titi Gading
- Kampung Kasang Mungkal
- Kampung Sungai Murai
- Kampung Muara Dilam
Setelah kampung itu menjadi besar, maka terbentuklah jadinya masyarakat Bonai Borunai. Mereka kemudian telah membagi suku Bonai menjadi tiga anak suku: Suku
Doma, Suku Melayu, dan Suku Mandailing. Dalam perjalanan riwayat mereka sering di sebut Suku Bonai saja, mengikuti
kepada kampung yang pertama terbentuk. Akan tetapi, mereka ini tidak begitu taat beragama Islam,sebab pimpinan mereka Sultan Harimau adalah orang yang jahat. Yang
diamalkannya bukanlah syariat, tetapi ilmu-ilmu mahluk halus, sesuai dengan namanya yang mengandung arti dubalang. Lain halnya dengan keturunan Sultan Janggut di Rokan
Kanan adalah pemeluk Islam yang taat, sehingga anak keturunannya di Rokan Kanan menjadi pemeluk agama Islam yang baik. Jadi kiri dan kanan pada sungai Rokan itu telah
memitoskan pula kebaikan kanan dan keburukan kiri, sebagaimana juga tersirat dalam agama Islam.
Dalam versi kedua juga tersebut dua tokoh yang sama, yaitu Sultan Harimau yang mempunyai sifat pembengis dan Sultan Janggut yang mempunyai sifat tenang, yang juga
kakak beradik. Dalam teks itu diceritakan kedua kakak beradik ini telah berasal dari Borneo nama Kalimantan tempo dulu. Mereka juga telah membagi pusaka di kuala
Sako yaitu muara Rokan Kiri dan Rokan Kanan, tetapi Sultan Harimau yang berada di
Universitas Sumatera Utara
Rokan Kiri telah melahirkan suku Bonai sedangkan saudaranya Sultan Janggut yang mengambil Rokan Kanan telah menurunkan suku Sakai.
Juga dikatakan dalam teks itu Sultan Harimau telah mempunyai wilayah kekuasaan terhadap enam kampung, yaitu Bonai, Sontang, Titi Gading, Teluk Sono
Sungai Murai dan Muara Dilam. Konon karena sifat Sultan Harimau yang pembengus, maka kampung-kampung jadi terpencar-pencar sebab takut kepada siksaan yang sering
dilakukan oleh sultan tersebut. Ada banyak versi mengenai asal usul dan sejarah masyarakat suku Bonai yang
sulit ditarik benang merahnya. Walaupun demikian, masyarakat Bonai tetap masyarakat asli yang dimiliki oleh Provinsi Riau yang kaya akan tradisi dan budaya.
4.3 Bahasa