Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
kompleks. Siswa belum mampu mengkomunikasikan masalah secara logis, siswa belum mampu menyimpulkan serta menggunakan informasi dari masalah yang
kompleks untuk menyelesaikan masalah matematika yang diberikan. Fakta lain yang menunjukan kemampuan penalaran siswa Indonesia rendah
adalah hasil tes PISA Programme for International Student Assesment, sebagai berikut: Programmme for International Student Assessment PISA di bawah
Organization Economic Cooperation and Development OECD pada tahun 2012 mengeluarkan survei bahwa Shanghai-Cina memiliki nilai tertinggi dalam
matematika diikuti oleh Singapura dan Hongkong-Cina. Siswa top performer dalam matematika berada pada Level 5 atau 6 yaitu mereka mampu
mengembangkan dan bekerja dengan model untuk situasi yang kompleks, dan bekerja secara strategis menggunakan luas, pemikiran dan penalaran keterampilan
berkembang dengan baik. Shanghai-Cina, Singapura dan Hongkong-Cina menjadi negara-negara top performer dengan perolehan nilai diatas rata-rata OECD.
Indonesia menduduki peringkat kedua terbawah, dalam pemetaan kemampuan matematika dengan skor 375, Indonesia berprestasi rendah dalam matematika di
bawah Level 2 yaitu siswa belum mampu bekerja dengan model untuk situasi yang kompleks, kemampuan berpikir dan penalaran matematis siswa Indonesia
belum berkembang dengan baik.
9
Dari data TIMSS dan PISA tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan penalaran dan berpikir siswa Indonesia masih sangat rendah. Oleh karena itu,
rendahnya kemampuan matematika peserta didik pada domain penalaran yang juga berkaitan dengan kemampuan berpikir logis perlu mendapat perhatian.
Sehubungan dengan hal tersebut maka proses pembelajaran harus diperbaiki. Ini menunjukan bahwa proses pembelajaran matematika yang diterapkan di Indonesia
masih sangat lemah. Ternyata proses pembelajaran saat ini masih kurang mendorong perkembangan berpikir dan bernalar siswa.
Observasi yang dilakukan di SMP Al-Hasra mengenai kemampuan berpikir logis siswa pada materi segi empat diwakili dengan 4 soal. Tes dilakukan
9
Programme for International Student Assessment PISA 2012 Result In Focus, OECD. h. 5.
di kelas 7, dengan jumlah siswa 42 orang. Rata-rata nilai yang diperoleh adalah 49, sangat kecil untuk kemampuan berpikir logis lampiran 3.
Tabel 1.1 Observasi Kemampuan Berpikir Logis
No. Interval
Frekuensi 1
19-28 4
9,52 2
29-38 8
19,05 3
39-48 9
21,43 4
49-58 9
21,43 5
59-68 6
14,29 6
69-78 6
14,29 Jumlah
42 100
Berdasarkan Tabel 1.1 hasil kemampuan tes berpikir logis matematis pada saat observasi bahwa siswa masih rendah dalam kemampuan berpikir logis
matematisnya. Dapat terlihat dari perolehan persentase pada sampel kelas yang di ambil untuk dilakukan tes kemampuan berpikir logis. Dari hasil tes yang
dilakukan menunjukan bahwa kemampuan berpikir logis matematis siswa masih rendah. Rendahnya kemampuan berpikir matematis siswa salah satunya
dipengaruhi oleh proses pembelajaran. Proses pembelajaran sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah
satunya adalah peranan guru yang sangat berpengaruh dalam mendorong terjadinya proses belajar secara optimal. Ketepatan pendekatan dalam
pembelajaran yang digunakan oleh guru juga yang mempengaruhi pembelajaran tersebut. Pada kenyataannya pendekatan pembelajaran yang digunakan guru di
Indonesia pada umumnya cenderung yang berpusat pada guru, dalam proses pembelajaran guru yang secara keseluruhan memberikan materi sedangkan siswa
hanya pasif menerima penjelasan guru. Proses pembelajaran seperti ini menyebabkan rendahnya perkembangan kemampuan berpikir siswa, karena siswa
hanya dijadikan objek dalam pembelajaran. Oleh karena itu usaha perbaikan proses pembelajaran ini dilakukan dengan memilih pendekatan pembelajaran serta
teknik yang tepat dan inovatif untuk mendukung pembelajaran ini agar berjalan lancar sesuai yang diharapkan.
Berkenaan dengan pembelajaran, beberapa pakar membahas suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa lebih aktif belajar dalam
memperoleh pengetahuan dan mengembangkan berpikir melalui penyajian masalah dengan konteks yang relevan, para pakar di atas menamakan pendekatan
tersebut dengan istilah problem-based learning PBL atau diterjemahkan sebagai Pembelajaran Berbasis Masalah PBM.
10
Pada pembelajaran matematika, salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir logis matematika siswa
adalah dengan pembelajaran matematika melalui model PBM atau PBL. Pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam
proses pembelajaran, dengan pendekatan ini siswa dituntut untuk berpikir secara aktif, logis, dan kritis. Proses pembelajaran ini memberikan permasalahan di awal,
sehingga merangsang siswa untuk lebih memahami permasalahan yang dihadapi, tidak semata-mata hanya menghafal seperti biasanya. Bahkan, siswa mempunyai
alasan juga kesimpulan terhadap apa yang dijawabnya. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah pada dasarnya sudah sangat
baik digunakan untuk pembelajaran, karena sudah banyak para peneliti yang sukses dalam meneliti dengan pendekatan ini, namun dalam penelitiannya masih
terdapat kelemahan. Salah satu kelemahannya yaitu jika siswa tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari,
maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari. Teknik scaffolding membimbing siswa untuk memahami tujuan serta masalah yang
dihadapi, mengarahkan mereka hingga mampu untuk menyelesaikan masalah sendiri dan mencapai kemampuan berpikir tingkat tingginya.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan tentang pembelajaran berbasis masalah, siswa yang langsung diawali dengan soal akan
kebingungan karena ia belum mendapatkan materi. Oleh karena itu pendekatan pembelajaran ini diiringi dengan teknik scaffolding, sebagai bantuan secukupnya
agar siswa pun tetap terawasi dengan baik saat menyelesaikan permasalahannya,
10
Utari Sumarmo, “Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”, Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi
Matematik serta Pembelajarannya ”, jurnal kajian filosofi, teori, kualitas, dan manajemen
pendidikan, Vol. 1 No.2, 2007, h.147-148.
tidak semata-mata di lepas begitu saja untuk menghadapi persoalan yang diberikan.
Pada penelitian ini, rendahnya kemampuan berpikir logis matematis akan diatasi oleh pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan teknik scaffolding.
Melalui masalah yang diberikan, siswa akan mampu meningkatkan kemampuan berpikir logis matematis. Pembelajaran ini diawali dengan pemberian masalah
kepada siswa berdasarkan data dan fakta yang ada. Siswa merumuskan masalah yang diberikan, lalu menganalisis masalah tersebut. Dari hipotesis yang di buat
siswa mengumpulkan data untuk selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis, setelah semua tahap dilakukan langkah terakhir merumuskan pemecahan masalah
dari semua data yang ada. Siswa akan terbiasa memecahkan masalah dengan melakukan identifikasi antar fakta, memberikan alasan, dan membuat kesimpulan.
Siswa akan diberikan arahan secukupnya hanya sampai siswa sudah mampu mencapai kemampuan berpikir yang lebih tinggi. Menurut hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti, pendekatan berbasis masalah mampu meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Pada pembelajaran ini siswa berpikir secara aktif untuk mengatasi masalah matematika yang diberikan, menemukan penyelesaian permasalahan tersebut
dengan bekerja sama kemudian mampu menyimpulkan secara logis hasil atau solusi yang didapat dari masalah tersebut dengan argumen dari dasar pemikiran
yang digunakan. Berdasarkan uraian pendekatan dan teknik pembelajaran diatas,
maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian “Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah Teknik Scaffolding Terhadap Kemampuan
Berp ikir Logis Matematis Siswa”.