Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah PBM Teknik Scaffolding

Disamping keunggulan, pembelajaran berbasis masalah juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya: 26 a. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba. b. Keberhasilan pembelajaran melalui berbasis masalah membutuhkan cukup waktu untuk persiapan. c. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari. Artinya, perlu dijelaskan manfaat menyelesaikan masalah yang dibahas pada siswa. Pembelajaran berbasis masalah ini masih terdapat beberapa kelemahan, oleh karena itu pada penelitian yang akan dilakukan pendekatan berbasis masalah dengan teknik scaffolding yang akan menutupi kekurangan pada pendekatan berbasis masalah. Agar tidak menghabiskan waktu yang cukup lama karena kebingungan siswa yang langsung diberikan masalah tanpa mendapatkan materi sebelumnya. Teknik scaffolding juga membimbing siswa untuk memahami tujuan serta masalah yang dihadapi, mengarahkan mereka hingga mampu untuk menyelesaikan masalah sendiri dan mencapai kemampuan berpikir tingkat tingginya. Berdasarkan teori belajar konstruktivisme oleh Lev Semenovich Vygotsky mengatakan bahwa proses konstruksi pengetahuan dilakukan secara bersama- sama dengan bantuan yang diistilahkan dengan scaffolding, misalnya dengan memberikan petunjuk, pedoman, bagangambar, prosedur, atau balikan. Oleh sebab itu, dibutuhkan contoh, demonstrasi, atau praktik dari yang lebih dewasa. Teori ini melandasi munculnya pembelajaran kolaboratifkoperatif, PBM, dan pembelajaran kontekstual. 27 Menurut teori ini, pengetahuan ada dalam pikiran manusia dan merupakan interpretasi manusia terhadap pengalamannya tentang dunia, bersifat perspektif, konvensional, tentatif, dan evolusioner. 26 Ibid, h. 143 27 Ridwan Abdullah Sani, Inovasi Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2013, Cet. 1, h. 19. Pengetahuankonsep baru dibangun secara bertahap dari waktu ke waktu dalam konteks sosial. Scaffolding yaitu peserta didik diberikan tugas-tugas kompleks, sulit dan realistis untuk kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut. 28 Teknik adalah salah satu cara yang ditempuh guru untuk mengimplementasikan metode pembelajaran tertentu, dengan kata lain teknik adalah cara penerapan metode agar proses pembelajaran dapat berjalan efektif dan efisien. 29 Pengertian istilah scaffolding berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu berupa bangunan kerangka sementara atau penyangga biasanya terbuat dari bamboo, kayu, atau batang besi yang memudahkan pekerja membangun gedung. Sebagian pakar pendidikan mendefinisikan scaffolding berupa bimbingan yang diberikan oleh seorang pembelajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus dan interaksi yang bersifat positif. 30 Bimbingan ini diberikan agar tidak menyita waktu dan menjadi efisien dalam belajar, seperti yang dipaparkan pada kelemahan pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Jika siswa belum mampu mengembangkan kapasitas kognitifnya untuk beranjak dari tingkat kognitif yang lebih rendah, perlu scaffolding dari guru atau teman sebaya yang lebih cakap. Jika ia sudah mampu membangun struktur kognitifnya pada level yang lebih tinggi dengan bantuan scaffolding, scaffolding tersebut tidak lagi diperlukan. 31 Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka disebut dengan zone of proximal development ZPD, yakni daerah tingkat pekembangan seseorang saat ini. Penafsiran terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks, sulit, dan realistik dan kemudian 28 Ibid, h. 20-21. 29 Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2013, Cet. 1, h. 16. 30 Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta: Gaung Persada Press, 2011, Cet. 1 , h. 165. 31 Warsono, Pembelajaran Aktif Teori dan Asesmen, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2012, Cet.1, h. 60-61. diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas itu. 32 Scaffolding adalah salah satu cara yang dapat memaksimalkan ZPD seseorang. ZPD adalah jarak antara tingkat perkembangan actual dengan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan yang dimaksud terdiri atas empat tahap: 33 1 More dependence to other stage, yakni tahapan di mana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain seperti teman-teman sebayanya, orang tua, guru, masyarakat, ahli dan lain-lain. Dari sinilah muncul model pembelajaran kooperatif atau kolaboratif dalam mengembangkan kognisi anak secara konstruktif. 2 Less dependence external assistance stage, dimana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak lain, tetapi lebih kepada asistensi diri, lebih banyak anak membantu dirinya sendiri. 3 Internalization and automatization stage, dimana kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis. Kesadaran akan pentingnya pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya tanpa paksaan dan arahan yang lebih besar dari pihak lain, walaupun demikian, anak pada tahap ini belum mencapai kematangan yang sesungguhnya dan masih mencari identitas diri dalam upaya mencapai kapasitas diri yang matang. 4 De-automatization stage, dimana kinerja anak mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang, bolak- balik, rekursi. Pada tahap ini, keluarlah apa yang disebut dengan de automatization sebagai puncak dari kinerja sesungguhnya. Prinsip-prinsip konstruktivis sosial dengan pendekatan scaffolding yang diterapkan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut: 34 1 Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri. 32 Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007, Cet. 1, h. 27. 33 Martinis Yamin, Strategi Metode dalam Model Pembelajaran, Jakarta: GP Press Group, 2013, Cet. 1, h. 67. 34 Ibid , h. 165-166. 2 Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pembelajar ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar. 3 Siswa aktif mengkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah. 4 Pembelajar sekedar memberi bantuan dan menyediakan saran serta situasi agar proses kontruksi belajar lancar. 5 Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa. 6 Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan. 7 Mencari dan menilai pendapat siswa. 8 Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi siswa. Dapat di lihat prinsip dari scaffolding bahwa teknik ini tidak sepenuhnya melepas siswa untuk memecahkan masalahnya sendiri, namun tidak pula di bimbing sepenuhnya. Terdapat variasi tahapan PBM yang dikembangkan oleh Moust dan kawan-kawan adalah: 35 1 Mengklarifikasi konsep yang belum jelas. 2 Mendefinisikan permasalahan. 3 Menganalisis permasalahan. 4 Diskusi. 5 Merumuskan tujuan belajar. 6 Belajar mandiri. 7 Evaluasi. Selain tahapan yang dikemukakan oleh Moust dan kawan-kawan, adapula menurut Fogarty. Tahap-tahap pendekatan belajar berbasis masalah menurut Fogarty adalah sebagai berikut: 36 1 Menemukan masalah. 2 Mendefinisikan masalah. 3 Mengumpulkan fakta. 4 Menyusun hipotesis dugaan sementara. 5 Melakukan penyelidikan. 35 Ridwan Abdullah Sani, Inovasi Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2013, Cet. 1, h. 142 36 Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, Cet. 1, h. 92. 6 Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan. 7 Menyimpulkan alternatif pemecahan secara kolaboratif. 8 Melakukan pengujian hasil solusi pemecahan masalah. Selanjutnya untuk teknik scaffolding, Lange menyatakan bahwa ada dua langkah utama yang terlibat dalam scaffolding pembelajaran: 37 1. Pengembangan rencana pembelajaran untuk membimbing siswa dalam memahami materi baru. 2. Pelaksanaan rencana, pembelajar memberikan bantuan kepada siswa di setiap langkah dari proses pembelajaran. Mengacu pada teori yang telah diuraikan sebelumnya, secara umum langkah pembelajaran berbasis masalah teknik scaffolding yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Orientasi siswa pada masalah. Guru memberikan permasalahan yang diangkat dari latar kehidupan sehari-hari siswa berkaitan dengan materi dalam bentuk LKS yang dikerjakan bersama teman sekelompok. 2. Mengorganisasikan siswa belajar. Siswa secara bertahap untuk mendefinisikan masalah dengan bimbingan guru. 3. Membimbing penyelidikan individu dan kelompok. - Siswa dibimbing untuk melakukan pengumpulan fakta, pencarian informasi dengan berbagai carametode, lalu mengelola informasi. - Siswa menyusun jawabanhipotesis dugaan sementara terhadap permasalahan yang dihadapi. - Pada proses menyusun jawaban, siswa di berikan kata kunci untuk memahami materi, dan pertanyaan yang dapat mengantarkan pada materi selanjutnya. - Siswa melakukan penyelidikan terhadap informasi dan data yang telah diperoleh bersama teman sekelompoknya dengan pengawasan guru. 4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. 37 Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta: Gaung Persada Press, 2011, Cet. 1 , h. 167. - Siswa menyimpulkan alternatif pemecahan masalah secara kolaboratif. - Siswa melakukan pengujian hasil solusi pemecahan masalah bersama teman kelompoknya. 5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. - Guru menguji siswa dengan beberapa pertanyaan untuk mengetahui kemampuan berpikir logis matematis siswa telah sampai pada kemampuan berpikir logis matematis yang lebih tinggi. - Guru dan siswa bersama membuat kesimpulan mengenai solusi dari sebuah permasalahan yang diberikan dan materi yang dipelajari.

3. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang selama ini masih banyak diterapkan oleh guru ketika mengajar. Pembelajaran konvensional pada umumnya merupakan pembelajaran yang berpusat pada guru. Siswa hanya menjadi penerima sepenuhnya materi pelajaran yang diberikan oleh guru. Pembelajaran ini lebih mengutamakan hapalan dari pada pemahaman dan lebih mengutamakan hasil dari pada proses. Guru biasanya mengajar hanya dengan beracuan pada buku teks yang digunakan sekolah, dengan mengutamakan metode ceramah. Pembelajaran konvensional yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan strategi ekspositori. Strategi pembelajaran ekspositori merupakan aplikasi dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada guru. Melalui strategi ini, guru atau pendidik menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan dapat dikuasai siswa dengan baik. Fokus utama strategi ini adalah kemampuan akademik. 38 Jadi dalam strategi pembelajaran ekspositori guru memberikan materi secara langsung kepada siswa, dan siswa menerima materi tanpa harus menemukan menggali pengetahuan mereka. 38 Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2013, Cet. 1, h. 146-147. Beberapa karakteristik strategi ekspositori diantaranya adalah sebagai berikut: 39 1. Penyampaian materi pelajaran secara verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan strategi ini. 2. Materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berfikir ulang. 3. Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri. Artinya, setelah proses pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat memahami materi pelajaran dengan benar. Pembelajaran konvensional menenkankan siswa pada pemahaman yang disampaikan oleh guru, segala materi yang disampaikan oleh guru diharapkan dapat dipahami oleh siswa. Secara garis besar, prosedur atau tahap-tahap untuk menerapkan pembelajaran dengan strategi ekspositori adalah sebagai berikut: 40 a. Persiapan. Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran. b. Penyajian dan penjelasan materi. Langkah penyajian adalah menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan secara jelas. c. Korelasi. Langkah korelasi adalah langkah menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa dengan hal-hal lain yang memungkinkan mereka dapat menangkap keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang utuh. d. Menyimpulkan. Menyimpulkan adalah tahap akhir dalam proses pembelajaran. Kegiatan menyimpulkan dimaksudkan untuk memahami inti dari seluruh materi yang dibahas atau disajikan. e. Mengaplikasikan atau mengaktualisasikan materi pelajaran. Artinya, siswa harus mampu mengaplikasikan atau mengaktualisasikan materi yang disampaikan guru dalam kehidupan sehari-hari. 39 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: 2009, Cet. 6, h.179. 40 Suyadi, op. cit., h. 154-155.

4. Kemampuan Berpikir Logis Matematis

a. Pengertian Kemampuan Berpikir Logis Matematis

Berpikir merupakan aktifitas seseorang untuk mengumpulkan ide-ide atau informasi-informasi yang ada dengan cara menghubungkan antara bagian-bagian informasi yang ada tersebut dengan masalah yang sedang dihadapi pada diri seseorang. Poedjawijatna mengatakan bahwa orang yang berpikir logis akan taat pada aturan logika. 41 Jadi kemampuan berpikir logis dalam matematika erat kaitannya dengan logika, kegiatan berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu, atau dengan perkataan lain, menurut logika tertentu. Logika sendiri berasal dari kata Yunani, yaitu Logos yang berarti ucapan, kata, dan pengertian. Logika sering juga disebut penalaran. Dalam logika dibutuhkan aturan-aturan atau patokan-patokan yang perlu diperhatikan untuk dapat berpikir dengan tepat, teliti, dan teratur sehingga diperoleh kebenaran secara rasional. 42 Berpikir adalah proses umum untuk menentukan sebuah isu dalam pikiran, sementara logika adalah ilmu berpikir, walaupun dua orang dapat berpikir tentang hal yang sama, kesimpulan mereka keduanya diraih melalui pemikiran mungkin berbeda, yang satu logis, yang lain tidak logis. Pemikiran logis merupakan salah satu ciri-ciri yang harus dimiliki seseorang yang bernalar. Sebagai suatu kegiatan berpikir, penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama adalah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika atau dapat disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir logis. Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari berpikirnya. 43 Berpikir logis adalah proses berpikir yang menggunakan penalaran secara konsisten untuk menghasilkan kesimpulan. Masalah atau situasi yang melibatkan berpikir logis memerlukan struktur, hubungan antar fakta, argumentasi dan rangkaian penalaran yang dapat dimengerti. Oleh karena itu ketika berbicara 41 Sahat Saragih, “Menumbuhkembangkan Berpikir Logis dan sikap Positif terhadap Matematika melalui Pendektan Ma tematika Realistik”, Jurnal Pendidikan dan kebudayaan, No.061, tahun ke-12, juli 2006, h. 555. 42 Ibid. 43 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 1990, h.43. berpikir logis tidak akan bisa lepas dari penalaran, karena bisa dikatakan bahwa berpikir logis dan penalaran saling beririsan. Berpikir logis berarti mendapat pemahaman dan pengetahuan dengan mempergunakan teknik berpikir yang telah ditetapkan dalam aturan logika formal. 44 Logika formal adalah bidang ilmu yang membahas tentang pernyataan- pernyataan atau posisi dalam hubungannya dengan penalaran secara deduksi. Proses deduksi, yaitu penarikan kesimpulan bersifat individual dari pernyataan kerangka berpikir logis yang bersifat umum. Bidang ilmu tertua yang menerapkan deduksi berdasarkan logika formal adalah matematika. 45 Piaget mendefinisikan berpikir logis sebagai langkah-lagkah internal yang digunakan seseorang ketika suatu masalah terjadi. Sheehan berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget mengembangkan tes kemampuan berpikir logis untuk mengklasifikasi siswa pada kelompok tahap operasional konkrit dan tahap operasinal formal. 46 Pada tahap operasional konkrit umumnya anak-anak telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasi dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berpikir reversibel. 47 Pada tahap operasional formal, tahap ini mulai dialami oleh anak dalam usia belasan tahun saat pubertas, dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang diberikan. 48 Menurut Albercht agar seseorang 44 Conny R. Semiwan, Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Bandung: Remadja Karya, 1988, h. 47. 45 Sudrajat, “Peranan Matematika dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, disampaikan pada seminar sehari”, The Power of Mathematics for all Aplications, HIMATIKA- UNISBA : januari 2008. http:pustaka.unpad.ac.idwp- contentuploads201008 peranan_matematika_dlm_perkembangan_iptek.pdf. 46 Utari Sumarmo, “Pendidikan Karakter dan Pengembangan Kemampuan Berpikir dan Disposisi Matematik Serta Pembelajarannya, Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya”, disajikan dalam Seminar Pendidikan Matematika di Kupang NTT 25 Februari 2012, h. 350. 47 Erman Suherman, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta: Gaung Persada Press, 2011, Cet. 1, h. 42-43. 48 Wowo Sunaryo Kusuma, Taksonomi Bepikir, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011, h. 158.