112
6.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pegawai
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa responden yang terbanyak adalah responden dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak
49 orang 58 dibandingkan laki-laki yang jumlahnya hanya sebanyak 35 orang 42. Menurut Shye 1991 dalam Syaiin 2008, mengemukakan
bahwa tidak ada perbedaan produktifitas kerja antara karyawan pria dengan wanita. Walaupun demikian, jenis kelamin perlu diperhatikan karena pegawai
dengan jenis kelamin perempuan akan lebih memerlukan banyak pengurangan dalam waktu produktifnya dikarenakan cuti hamil, cuti
melahirkan, dan cuti menyusui. Selain itu, pada pria dengan beban keluarga yang tinggi akan meningkatkan jam kerja perminggu, sebaliknya pada wanita
dengan beban keluarga yang tinggi akan mengurangi jam kerja perminggu.
6.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja Pegawai
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa responden yang terbanyak adalah responden dengan masa kerja 1-10 tahun yaitu sebanyak 36
orang 43. Menurut Siagian 2009, semakin lama seseorang bekerja dalam suatu organisasi maka semakin tinggi motivasi kerjanya yang dapat
mempengaruhi keproduktifan kerjanya. Selain itu, pegawai yang masa kerjanya lebih lama akan lebih memiliki banyak pengetahuan dan
pengalaman kerja mengenai instansi tempat ia bekerja dan pekerjaan yang dijalaninya dibandingkan dengan pegawai yang masa kerjanya masih belum
terlalu lama.
113
6.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pegawai
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa responden yang terbanyak adalah responden dengan latar belakang tingkat pendidikan S1
yaitu sebanyak 41 orang 49. Siagian 2009 menyatakan bahwa latar belakang pendidikan mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Dalam
kehidupan organisasional, pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dalam melaksanakan tugas merupakan modal yang amat besar. Mutu pekerjaan
berhubungan dengan pendidikan dan kecerdasan dimana peningkatan pendidikan dan kecerdasan meningkatkan cara berpikir secara kritis sehingga
lebih mampu mengekspresikan keinginan menurut persepsi yang harus dipenuhi. Semakin baik pengetahuan seorang pegawai akan semakin tinggi
pula kemampuannya dalam melaksanakan tugas. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Notoatmodjo 1989 dalam
Syaiin 2008, bahwa melalui pendidikan seseorang dapat meningkatkan kematangan intelektual sehingga dapat membuat keputusan dalam bertindak.
Kemudian, Simanjuntak 2005 mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin tinggi produktifitas kerjanya.
6.5 Kesesuaian Pengetahuan Dalam Penempatan Kerja Pegawai di Sekditjen
Bina Gizi dan KIA Kemenkes RI
Berdasarkan hasil pengolahan data kuantitatif mengenai kesesuaian pengetahuan dalam penempatan pegawai, dapat diketahui bahwa rata-rata
skor tingkat kesetujuan responden terhadap seluruh item pertanyaan untuk
114
variabel kesesuaian pengetahuan adalah sebesar 2,9. Angka ini mendekati angka 3,00 skor untuk pilihan jawaban cocoksetujusesuai, yang
menunjukkan bahwa sebagian besar pegawai menyatakan setuju terhadap seluruh item pertanyaan yang berkaitan dengan kesesuaian pengetahuan yang
mereka miliki dalam penempatan kerja mereka. Namun demikian, masih banyak diantara pegawai yang merasakan adanya ketidaksesuaian antara
pengetahuan yang mereka miliki dengan penempatan kerja mereka yaitu sebesar 20,4 pegawai.
Hal tersebut juga didukung dengan hasil wawancara mendalam kepada seluruh Kepala Bagian di Sekditjen Bina Gizi dan KIA Kemenkes RI yang
mengatakan bahwa saat ini meskipun sebagian besar pegawai memang penempatannya sudah sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki, namun
masih ada juga penempatan pegawai yang belum sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Seharusnya penempatan kerja seorang pegawai tidak hanya dilihat sebagai upaya untuk mendistribusikan pegawai pada bidang pekerjaan yang
berbeda, akan tetapi juga harus berorientasi pada peningkatan kinerja setiap pegawai sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap
pencapaian tujuan instansi secara keseluruhan. Proses penempatan pegawai harus dilakukan secara optimal dan professional agar dapat memberikan
pengaruh yang positif terhadap peningkatan kinerja pegawai untuk selanjutnya akan mampu pula meningkatkan organisasi dalam menghasilkan
kinerja organisasional yang tinggi pula. Salah satu faktor yang harus
115
diperhatikan dalam penempatan pegawai ini adalah adanya kesesuaian pengetahuan yang dimiliki pegawai dengan bidang pekerjaan yang akan
ditempatinya. Pengetahuan yang dimiliki oleh pegawai dapat membantu pegawai
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Menurut Mulyasa 2002, pengetahuan merupakan suatu kesadaran dalam bidang kognitif yang dapat
membuat seorang pegawai dapat mengetahui metode penyelesaian tugas dengan baik. Pengetahuan yang baik tentang suatu pekerjaan cenderung akan
meningkatkan kualitas pekerjaannya. Didukung pula oleh pendapat Gibson 1988 dalam Yuliastuti 2007 bahwa pengetahuan merupakan pemahaman
lisan seorang pegawai tentang apa yang dia ketahui dari pengalaman dan proses belajar. Apabila pegawai tersebut memiliki pengetahuan yang baik
tentang pekerjaannya, maka dia akan dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan baik.
Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Martopo 2004 yang mengatakan bahwa dalam melaksanakan pekerjaannya, pegawai dituntut
untuk memiliki kemampuan yang baik untuk dapat mencapai prestasi kerja yang optimal. Salah satu unsur yang mendukung kemampuannya itu adalah
pengetahuan yang dimiliki oleh setiap pegawai. Martopo 2004 menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kompetensi seseorang, pengetahuan
sangat berperan penting dalam mempengaruhi tingkat kemampuan penerimaan inovasi, adopsi dan inisiatif dalam menjalankan tugas pokok dan
116
fungsinya dalam suatu organisasi kerja. Oleh karena itu, pegawai dituntut untuk memiliki pengetahuan yang sesuai dengan pekerjaannya.
Dengan adanya kesesuaian pengetahuan dalam penempatan kerja, pegawai juga akan membutuhkan waktu yang relatif singkat untuk
mempelajari tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga hal tersebut akan mengurangi waktu dalam pelaksanaan pelatihan dan orientasi
terhadap upaya peningkatan produktifitas kerja pegawai. Selain itu, biaya untuk pendidikan dan pelatihan pegawai juga akan lebih effisien karena
pegawai telah memiliki pengetahuan yang sesuai dengan pekerjannya. Oleh karena itu, penempatan kerja yang sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki
pegawai juga sangat penting untuk efisiensi waktu maupun biaya yang diperlukan untuk meningkatkan produktifitas kerja pegawai.
Kesesuaian pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pegawai dengan kualifikasi pekerjaan yang ditempati, dapat dilihat dari indikator-indikator
seperti kesesuaian latar belakang pendidikan formal dan informal dalam penempatan pegawai serta penempatan pegawai yang disesuaikan dengan
wawasan pengetahuan pekerjaan yang akan dapat mendukung dalam pelaksanaan pekerjaan. Pada penelitian ini, ada beberapa pertanyaan yang
digunakan untuk pengukurannya, yaitu kondisi kesesuaian penempatannya dan dampak dari kesesuaian penempatan yang dirasakan pegawai.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa terdapat 46,4 pegawai yang masih memiliki persepsi bahwa penempatannya belum sesuai
dengan latar belakang pendidikan formal yang mereka miliki. Padahal,
117
menurut Andrew E. Sikula dalam Mangkunegara 2007 tingkat pendidikan seorang pegawai sangat penting karena dapat membuat karyawan memiliki
pengetahuan konseptual dan teoritis yang membantunya dalam mengerjakan tugas dan pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Notoatmodjo 1989 dalam Syaiin 2008, bahwa melalui pendidikan seseorang dapat meningkatkan
kematangan intelektual sehingga dapat membuat keputusan dalam bertindak. Dengan adanya kemampuan yang dimiliki dalam mengerjakan pekerjaannya,
maka hal tersebut dapat membantu pegawai dalam mencapai kinerja yang optimal dan memuaskan. Berdasarkan hasil penelitian, pegawai yang dapat
merasakan dampak positif seperti kenyamanan dalam bekerja dan kelancaran dalam penyelesaian pekerjaannya karena kesesuaian latar belakang
pendidikan formal dalam penempatannya adalah sebesar 86,9. Kemudian berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui pula bahwa
terdapat 20,2 pegawai yang masih memiliki persepsi bahwa pendidikan informal yang mereka ikuti belum sesuai dengan penempatan kerjanya.
Padahal, pendidikan dan pelatihan yang diikuti oleh pegawai seharusnya sesuai dengan tuntutan tugas, tanggung jawab dan jabatan yang diduduki oleh
mereka. Menurut Yanti 2012 bahwa semakin sesuai antara materi pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti oleh seorang pegawai dengan
tuntutan tugas yang dibebankan kepadanya akan semakin baik pula kinerja pegawai tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, pegawai yang merasakan
dampak positif dari kesesuaian pendidikan dan pelatihan dalam
118
penempatannya yang dapat mendukung keberhasilan mereka dalam menyelesaikan setiap pekerjaannya adalah sebesar 88,1.
Kemudian berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa terdapat 7,1 pegawai yang masih memiliki persepsi bahwa penempatannya belum
sesuai dengan wawasan pengetahuan yang mereka miliki. Padahal menurut Robbins 2008, kesesuaian penempatan dengan wawasan pengetahuan yang
dimiliki pegawai sangat mempengaruhi kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Berdasarkan hasil penelitian,
pegawai yang merasakan dampak positif dari kesesuaian wawasan pengetahuan dalam penempatannya yang dapat mendukung keberhasilan
dalam menyelesaikan setiap pekerjaannya adalah sebesar 95,3. Dengan masih adanya 46,4 pegawai yang penempatannya belum
sesuai dengan latar belakang pendidikan formalnya, 20,2 pegawai yang penempatannya belum sesuai dengan pendidikan informal yang mereka ikuti,
dan 7,1 pegawai yang penempatannya belum sesuai dengan wawasan pengetahuan yang mereka miliki, maka hal ini seharusnya menjadi bahan
evaluasi bagi pihak instansi untuk dapat menempatkan pegawai sesuai dengan latar belakang pendidikan formal maupun informal dan wawasan
pengetahuan yang mereka miliki. Dapat dilihat pula bahwa pegawai yang merasakan dampak positif dari
adanya kesesuaian penempatan dengan pengetahuan yang mereka miliki yaitu lebih dari 80 pegawai. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar
119
pegawai memiliki persespsi bahwa selama ini kesesuaian pengetahuan yang mereka miliki dengan penempatannya, dapat menunjang keproduktifan kerja
mereka dalam bekerja dan dalam mencapai prestasi kerja yang memuaskan. Oleh karena itu, pihak instansi seharusnya dapat memperhatikan masalah ini
dan berusaha untuk dapat menempatkan pegawai sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya agar SDM yang ada di instansi dapat berfungsi secara
produktif untuk tercapainya tujuan instansi. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, diketahui bahwa meskipun
kebijakan penempatan pegawai di instansi tersebut selama ini belum memperhatikan masalah kesesuaian pengetahuan dan latar belakang
pendidikan dalam penempatan pegawai, namun saat ini pihak instansi sedang berusaha untuk memperbaiki sistem penempatan kerja pegawai di instansi
tersebut. Perbaikan sistem penempatan tersebut seiring dengan adanya reformasi birokrasi yang saat ini sedang dijalankan oleh seluruh instansi
pemerintah termasuk Sekditjen Bina Gizi dan KIA Kemenkes RI. Dengan adanya reformasi birokrasi saat ini, maka kebijakan instansi dalam sistem
penempatan pegawai menjadi lebih baik dengan adanya perencanaan kebutuhan yang berdasarkan pada analisis beban kerja dan analisis jabatan
yang sesuai dengan kebutuhan instansi. Dalam melakukan pengadaan pegawai, perencanaan SDM di Sekditjen
Bina Gizi dan KIA yang dilakukan telah sesuai dengan kebijakan Permenpan RI No.24 Tahun 2013 Tentang Kebijakan Tambahan Alokasi Formasi dan
Pengadaan CPNS, yaitu dimulai dengan melakukan analisis jabatan dan
120
analisis beban kerja pada setiap satuan organisasi untuk menghasilkan uraian jabatan, peta jabatan, standar kompetensi dan persyaratan jabatan, serta
menghitung jumlah kebutuhan pegawai setiap jabatan sesuai beban kerja organisasi. Perencanaan kebutuhan PNS akan disesuaikan dengan uraian
jabatan dan persyaratan jabatan agar nantinya penempatan pegawai juga akan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh pegawai.
Penempatan pegawai yang sesuai dengan kompetensi merupakan salah satu upaya dalam pengembangan SDM aparatur yang berbasis kompetensi
dan merupakan suatu keharusan agar organisasi birokrasi dapat mewujudkan kinerja yang lebih baik dan memberikan pelayanan publik yang
terbaik. Selama ini, masalah kurang kompetitifnya SDM aparatur negara menjadi masalah klasik yang menyebabkan reformasi birokrasi hingga saat
ini masih kurang maksimal. Oleh karena itu, sesuai dengan konsep rightsizing menurut Thoha 2010, dalam penataan pegawai di pemerintahan, analisis
beban kerja, analisis jabatan, dan peningkatan kualifikasi jabatan merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan penempatan pegawai.
Analisis beban kerja dilakukan terhadap aspek-aspek, yaitu norma waktu, volume kerja, dan jam kerja efektif. Dengan adanya perencanaan yang
matang berdasarkan beban kerja suatu unit kerja, maka hal tersebut sangat membantu dalam pengoptimalan penempatan pegawai di suatu unit kerja.
Selain itu, untuk mendukung kesesuaian penempatan pegawai juga perlu dilakukan analisis jabatan dalam organisasi publik. Hasil analisis jabatan akan
121
menghasilkan klasifikasi jabatan, peta jabatan, uraian jabatan, dan standar kompetensi jabatan yang dapat digunakan dalam penempatan pegawai.
Menurut UU Aparatur Sipil Negara Tahun 2014 pasal 68, bahwa setiap jabatan tertentu dikelompokkan dalam klasifikasi jabatan PNS yang
menunjukkan kesamaan karakteristik, mekanisme, dan pola kerja. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa sebelum menentukan pengangkatan pegawai
dalam jabatan tertentu maka perlu disusun sebuah pedoman tentang klasifikasi jabatan yang disesuaikan dengan karakteristik, mekanisme dan
pola kerja. Sedangkan peta jabatan dapat berfungsi untuk mengetahui kebutuhan pemenuhan jabatan di suatu unit kerja dan kompetensi apa yang
dibutuhkan dalam jabatan tersebut. Uraian jabatan berfungsi untuk mengetahui deskripsi pekerjaan, uraian tugas, hasil kerja, persyaratan jabatan,
evaluasi jabatan dan asesmen individu. Kompetensi merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan penempatan kerja. Oleh karena itu, perlu adanya standar kompetensi jabatan yang memuat persyaratan minimal yang
harus dimiliki seseorang dalam melakukan pekerjaan tertentu agar yang bersangkutan mempunyai kemampuan melaksanakan pekerjaan dengan hasil
baik. Selain menyusun standar kompetensi jabatan, instansi sebaiknya juga harus melakukan assesmentpenilaian kompetensi untuk setiap individu
pegawai dalam organisasi itu. Tahap ini wajib dilakukan, sebab setelah instansi memiliki direktori kompetensi beserta dengan kebutuhan kompetensi
per posisi, maka instansi juga perlu mengetahui dimana level kompetensi para
122
pegawai dan dari sini juga instansi bisa memahami gap antara level kompetensi yang dipersyaratkan dengan level yang dimiliki oleh karyawan
saat ini. Assessment Center merupakan evaluasi perilaku dengan menggunakan
suatu standar tertentu berdasarkan beberapa tools dan beberapa masukan. Metode ini menggunakan berbagai teknik assessment multiple assessment
seperti tes, wawancara, kuesioner, maupun simulasi. Metode assessment center dapat dimanfaatkan untuk menjawab kebutuhan organisasi dalam
melakukan proses
evaluasi untuk
keperluan rekrutmen,
seleksi, pengembangan, promosi, hingga mempersiapkan jalur suksesi.
Assessment Center AC diartikan sebagai proses sistematis untuk menilai ketrampilan, pengetahuan dan kemampuan individu yang dianggap
kritikal bagi keberhasilan kinerja yang unggul. Tujuan umumnya adalah agar organisasi mempunyai orang-orang yang siap menjalankan pekerjannya
hingga level kompetensi tertinggi, dengan kata lain tujuan dari assesment center adalah terciptanya kesesuaian antara apa yang dibutuhkan dan dapat
ditawarkan organisasi dengan apa yang dibutuhkan dan ditawarkan karyawannya.
Dengan adanya strategi tersebut seiring dengan adanya reformasi birokrasi maka dengan hal tersebut dapat mengoptimalkan sistem penempatan
kerja di area birokrasi pemerintahan. Hal tersebut sangat baik, karena kesesuaian dalam penempatan kerja pegawai merupakan syarat utama bagi
123
terciptanya kondisi yang kondusif bagi pegawai untuk mengeluarkan segala kemampuannya dalam menyelesaikan tugas yang dibebankan Murad,2012.
Dengan adanya penempatan yang sesuai dan tepat, maka gairah kerja, mental kerja, dan prestasi kerja mencapai hasil yang optimal bahkan kreativitas serta
prakarsa karyawan dapat berkembang. Penempatan yang sesuai dan tepat merupakan motivasi yang akan menimbulkan antusias dan semangat kerja
yang tinggi bagi seseorang dalam mengerjakan pekerjaan itu dan merupakan salah satu kunci untuk memperoleh kinerja yang optimal dari setiap karyawan
Hasibuan, 2006. Selain dengan melakukan penempatan yang sesuai dengan pengetahuan
yang dimiliki pegawainya, untuk mengatasi masih adanya penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan pengetahuan sebanyak 20,4 pegawai,
pihak instansi berusaha untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan yang dimiliki pegawai dengan melakukan program-program peningkatan
kemampuan pegawai seperti pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada seluruh Kepala Bagian, dapat diketahui bahwa
selama ini pihak instansi mengantisipasi kesenjangan pengetahuan pegawai dengan melakukan pendidikan dan pelatihantraining kepada setiap
pegawainya untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.
Selain pelatihan resmi, adapula pelatihan sehari-hari yang diberikan oleh seniorpegawai yang masa kerjanya lebih lama dan lebih berpengalaman
kepada pegawai baru untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan
124
kemampuan pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya. Sehingga dengan adanya pelatihan yang diberikan, mereka mampu menyesuaikan diri dengan
pekerjaannya dan memiliki kemampuan yang baik untuk dapat mencapai kinerja yang optimal.
Seiring dengan adanya kebijakan reformasi birokrasi dari Permenpan, maka pendidikan dan pelatihan yang dilakukan di lingkungan Sekditjen Bina
Gizi dan KIA adalah diklat berbasis kompetensi. Diklat berbasis kompetensi merupakan tindak lanjut dari Assessment Center, yang dilaksanakan untuk
menutup kesenjangan GAP antara level kompetensi yang dimiliki hasil Assessment Center dan level kompetensi yang dibutuhkan dalam jabatan
Standar Kompetensi Jabatan Kemenkes, 2013. Pada instansi pemerintah, masalah yang sering ditemui dalam pengadaan SDM adalah ketidaksesuaian
antara formasi yang direncanakan dengan formasi yang diberikan oleh Kemenpan. Dengan adanya diklat berbasis kompetensi ini, maka dapat
menjadi salah satu upaya untuk mengatasi masalah ketidaksesuaian kompetensi PNS dalam penempatan kerjanya.
Pendidikan dan Pelatihan Diklat Berbasis Kompetensi merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan yang dirancang untuk mengembangkan
kemampuan dan ketrampilan secara khusus, untuk mencapai hasil kerja yang berbasis target kinerja performance target yang telah ditetapkan. Penerapan
kebijakan ini memang berimplikasi langsung pada keharusan adanya standar kompetensi untuk setiap jabatan, baik jabatan struktural, fungsional
tertentu, maupun fungsional umum. Diklat berbasis kompetensi bagi PNS
125
bukan diklat yang sekedar membentuk kompetensi, tetapi kompetensi tersebut harus relevan dengan tugas dan jabatannya. Dengan kata lain,
kompetensi itu secara langsung dapat membantu di dalam melaksanakan tugas dan jabatan.
Menurut Arep 2003 dalam Lucky 2008, pelatihan merupakan salah satu usaha untuk mengembangkan sumber daya manusia, terutama dalam hal
pengetahuan, kemampuan, keahlian, dan sikap. Hal tersebut didukung pula oleh pendapat menurut Dessler 1984 bahwa pelatihan memberikan pegawai
keterampilan yang mereka butuhkan untuk melaksanakan pekerjaan. Ada beberapa manfaat yang diperoleh dengan adanya pendidikan dan pelatihan,
diantaranya yaitu pegawai dapat membuat keputusan dan pemecahan masalah secara lebih baik; internalisasi dan operasionalisasi motivasi kerja, prestasi,
tanggung jawab dan kemajuan; mempertinggi rasa percaya diri dan pengembangan diri; serta dapat membantu untuk mengurangi rasa takut
dalam menghadapi tugas-tugas baru Sirait, 2006 dalam Yuliastuti, 2007. Namun, masih ada beberapa kendala yang dirasakan terkait dengan
kegiatan pendidikan dan pelatihan yang dilakukan, yaitu keterbatasan anggaran yang tidak dapat memenuhi kebutuhan seluruh pegawai untuk
meningkatkan kemampuannya melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu Kabag, diketahui bahwa saat
ini memang ada program diklat gratis yang dianggarkan untuk setiap instansi, namun kuotanya sangat terbatas. Kepala Bagian tersebut mengantisipasinya
dengan membuat anggaran sendiri untuk dapat mengirimkan karyawannya
126
dalam kegiatan diklat tersebut, namun anggaran yang dimiliki pun tebatas sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan seluruh pegawai.
Oleh karena itu, Kepala Bagian tersebut menerapkan sistem sharing ilmu dari pegawai yang berkesempatan mengikuti diklat kepada pegawai
yang belum berkesempatan mengikuti diklat. Hal ini sangat baik dan pastinya akan bermanfaat untuk kesetaraan peningkatan kemampuan seluruh pegawai.
Hal ini dapat menjadi masukan bagi Kepala Bagian yang lainnya bahwa untuk dapat mengatasi masalah adanya keterbatasan anggaran dan
keterbatasan kuota peserta diklat dapat dilakukan dengan cara menerapkan sistem sharing ilmuberbagi ilmu yang dimiliki antar pegawai guna
menunjang keproduktifan kerja seluruh pegawai yang ada. Pelaksanaan kegiatan diklat juga harus rutin untuk dapat memperlancar
tugas. Memang hal tersebut merupakan kenyataan bahwa anggaran yang harus disediakan untuk membiayai kegiatan pendidikan dan pelatihan
merupakan beban bagi organisasi. Oleh karena itu, perlu adanya penentuan kebutuhan untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan agar anggaran yang
dikeluarkan betul-betul bermanfaat, artinya pendidikan dan pelatihan diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan pegawai. Penentuan kebutuhan
mengungkapkan gambaran kekurangan kompetensi dalam melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, sehingga pendidikan dan
pelatihan dapat bermanfaat untuk menunjang pekerjaan pegawai. Penentuan kebutuhan pegawai terhadap kegiatan diklat, dapat
diadaptasi dari salah satu sistem manajemen kepegawaian di negara
127
Singapura. Dalam memanajemen pegawai di negara tersebut, diterapkan berbagai sistem yang sistematis, terintegrasi, dan berorientasi terhadap
peningkatan kualitas SDM. Salah satu sistem yang dapat menjadi contoh adalah sistem penilaian kinerja pegawai. Dalam sistem penilaian kinerja,
terhadap dua aspek yang dipertimbangkan yaitu review terhadap pencapaian kinerja dan penilaian potensi yang dimiliki karyawan. Salah satu tujuan dari
review pencapaian kinerja pegawai adalah untuk membuat rekomendasi pemenuhan peningkatan kemampuan pegawai dengan kegiatan diklat. Jika
hasil review menunjukan bahwa kinerja pegawai kurang baik, maka atasan dapat menuliskan rekomendasi untuk peningkatan kemampuan pegawai
dengan kegiatan diklat. Sistem tersebut dapat menghasilkan perencanaan kebutuhan diklat yang tepat sasaran, sesuai dengan kebutuhan pegawai dan
kebutuhan instansi yang sesungguhnya. Dengan adanya penentuan kebutuhan pegawai dan organisasi ini, akan
menunjang keberhasilan
organisasi dalam
meningkatkan kualitas
penyelenggaraan diklat. Kebutuhan diklat harus selalu diprogramkan, direncanakan secara matang dengan mempertimbangkan kebutuhan
organisasi, kebutuhan jabatan dan kemampuan masing-masing pegawai serta kebutuhan jenis diklat, biaya, dan pegawai yang mengikutinya. Selain itu,
evaluasi terhadap efektivitas penyelenggaraan diklat juga harus dilakukan dengan mellihat peningkatan kinerja pegawai.
128
6.6 Kesesuaian Keterampilan Dalam Penempatan Kerja Pegawai di