Kemiskinan Nelayan Kemiskinan dan Pembangunan Masyarakat .1 Kemiskinan di Indonesia

bagaimana perekonomian suatu negara bisa tumbuh, Smith menyebutkan dua aspek utama pertumbuhan ekonomi yaitu, 1 pertumbuhan output total diukur dengan GDP ataupun GNP, dan 2 pertumbuhan penduduk. Dalam pertumbuhan output, Smith mengemukakan bahwa variabel penentu proses produksi suatu negara dalam menghasilkan output total yaitu, 1 sumberdaya alam yang tersedia, dimana sumberdaya ini merupakan bahan baku utama dari kegiatan produksi suatu perekonomian dan jumlahnya terbatas. Proses produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi manusia proses pertumbuhan ekonomi akan terus berjalan sepanjang sumberdaya alam masih tersedia. Jika sumberdaya alam telah habis, maka proses produksi terhenti, dan dengan demikian proses pertumbuhan ekono mi akan terhenti, 2 sumberdaya manusia yang merupakan input dalam proses produksi, jumlahnya akan bertambah dan berkurang sesuai dalam kebutuhan proses produksi, dan 3 tersedianya modal merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan cepat lambatnya proses pertumbuhan output.

2.5.2 Kemiskinan Nelayan

Pembangunan nasional secara intensif telah berjalan sejak tiga dasawarsa terakhir dan program-program pemberdayaan masyarakat nelayan telah dilakukan, tetapi ternyata hasil yang dicapai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan masih jauh dari harapan. Sekitar 65 masyarakat nelayan Indonesia masih tetap terbelenggu oleh kemiskinan Kusnadi, 2004. Kemiskinan nelayan dicirikan oleh lima karakteristik, yaitu: 1 Pendapatan nelayan bersifat harian daily increments dan jumlahnya sulit ditentukan. Selain itu, pendapatannya juga sangat bergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri, dalam arti ia sebagai juragan nelayan pemilik alat produksi atau pandega nelayan buruh. Dengan pendapatan yang bersifat harian, tidak dapat ditentukan, dan sangat tergantung pada musim, mereka nelayan pandega sulit merencanakan penggunaan pendapatannya. 2 Dilihat dari pendidikannya, tingkat pendidikan nelayan atau anak-anak nelayan pada umumnya rendah. Kondisi demikian mempersulit mereka dalam memilih atau memperoleh pekerjaan lain, selain meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan. Sementara itu, anak-anak nelayan yang berhasil mencapai pendidikan tinggi, maupun para sarjana perikanan, enggan berprofesi sebagai nelayan, karena menganggap profesi nelayan sebagai lambang ketidakmapanan. 3 Dihubungkan dengan sifat produk yang dihasilkan nelayan, maka nelayan lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukar- menukar karena produk tersebut bukan merupakan makanan pokok. Selain itu sifat produk yang mudah rusak dan harus segera dipasarkan, menimbulkan ketergantungan yang besar dari nelayan kepada pedagang. Hal ini menyebabkan harga ikan dari nelayan dikuasai oleh pedagang. 4 Bidang perikanan membutuhkan investasi cukup besar dan cenderung mengandung resiko yang besar dibandingkan sektor usaha lainnya. Oleh karena itu, nelayan cenderung menggunakan armada dan peralatan tangkap yang sederhana, ataupun hanya menjadi anak buah kapal ABK. 5 Kehidupan nelayan yang miskin juga diliputi oleh kerentanan, misalnya ditunjukkan oleh terbatasnya anggota keluarga yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan nelayan ya ng sangat besar pada satu mata pencaharian, yaitu menangkap ikan Firth, 1967 yang diacu dalam Kusnadi 2004. Monintja dan Yusfiandayani 2001 mendefinisikan Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikanbinatang air lainnyatanaman air. Sementara itu Undang–Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam konteks nelayan, ada yang membedakan nelayan tradisional yaitu mereka yang bergerak disektor kelautan dengan menggunakan perahu layar tanpa motor. Nelayan modern adalah nelayan dengan menggunakan kapal bermesin. Jelas perbedaannya pada penggunaan mesin dan yang tidak menggunakan mesin, dan hal ini akan berpengaruh pada pendapatan dan hasil tangkapan. Secara ekonomi konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan, bahwa manfaat yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama mereka yang tergolong ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Negara Indonesia yang mempunyai potensi sumberdaya alam yang besar, maka prinsip ini sangat mendasar karena banyak kerusakan lingkungan pantai, misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, semuanya berakar dari kemiskinan dan tingkat pengetahuan yang rendah dari para pelakunya. Pemahaman kehidupan nelayan dimaksudkan untuk menentukan penjelasan pertanyaan bagaimana kemiskinan yang terjadi selama proses pembangunan di sekitar kelautan? Hal ini dapat dijawab dengan berbagai pendekatan tentang kemiskinan. Menurut Soemardjan 1980 yang diacu Dahuri 2002, pendekatan kemiskinan secara umum terbagi atas tiga yaitu: 1 pendekatan struktural, 2 pendekatan kultural, 3 pendekatan alamiah. Pendekatan struktural yang merupakan istilah kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat yang karena kondisi struktur sosial yang ada mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Misalnya, hanya nelayan yang mempunyai posisi atas yang lebih memiliki akses pada sumber daya, baik modal, teknologi, informasi dan pasar. Sementara nelayan kecil yang dalam struktural sosial tidak memilki struktur yang kuat, terus terperangkap dalam kemiskinan. Pendekatan kultural melihat kemiskinan karena faktor budaya seperti kemalasan yang bersumber pada nilai- nilai lokal yang tidak kondusif untuk suatu kemajuan. Pada hari- hari tidak melaut, nelayan mengisi waktunya dengan diskusi informal yang berhubunga n dengan persoalan yang mereka hadapi dalam proses produksi sampai membicarakan hal- hal yang aktual. Tetapi waktu tersebut digunakan untuk konsumtif, seperti bermain domino, mereka tidak memikirkan bagaimana memecahkan masalah yang mungkin mereka lakukan untuk mengatasi kehidupan mereka. Pendekatan alamiah melihat kemiskinan karena faktor alamiah, bahwa kondisi alam yang tidak mendukung mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi produktif. Kerusakan lingkungan akibat tidak adanya sumber pendapatan lain, seperti penebangan mangrove, pengeboman ikan oleh manusia, dan kerusakan lingkungan karena faktor alam. Rendahnya pendidikan nelayan beserta anggota keluarganya, menyebabkan terhambatnya inisiatif yang diambil oleh nelayan untuk mengisi waktu mereka diluar proses produksi. Disamping itu rumah tangga nelayan yang dekat dengan lokasi pendidikan masih dihadapkan pada keterbatasan jenjang pendidikan. Umumya masyarakat nelayan hanya berpendidikan sekolah dasar, sedangkan rumah tangga nelayan yang berpendidikan SLTP dan SLTA masih kurang. Pendidikan orang tua menurun pada anggota keluarga yaitu anak-anak nelayan, sehingga persepsi pendidikan menurut orang tua tidak jelas, mengakibatkan anak- anak terlibat kegiatan proses persiapan penangkapan, proses pendaratan kapal terutama pada kapal nelayan tradisional, dan penangkapan ikan. Upaya pengembangan pendidikan diwilayah nelayan belum terarah serta belum menjamin kelangsungan pendidikan anak nelayan, sehingga pengetahuan dan keterampilan regenerasi nelayan rendah. Greetz 1963 yang diacu dalam Elfindri 2002 mengemukakan bahwa kemiskinan adalah salah satu produk dari interdependensi yang kental antara buruh dan pemilik modal yang dikenal dengan hubungan “patron client ” dimana hubungan ini secara signifikan menjelaskan langgengnya proses kemiskinan dalam bentuk ketergantungan kaum buruh kepada pemilik modal secara terus menerus. Hal ini sulit dihilangkan yang menyebabkan keuntungan berada pada juragan atau pemilik modal yang jauh dari keadilan. Presiden Republik Indonesia dalam pidato kenegaraan pada tanggal l5 Agustus l992 mengemukakan tentang kriteria miskin, dimana penduduk yang termasuk miskin apabila berpenghasilan Rp 20.614 per kapita setiap bulan untuk yang tinggal di daerah perkotaan, sedangkan ya ng tinggal dipedesaan berpenghasilan Rp 13.295 per kapita per bulan. Pada umumnya nelayan sebelum melaut sudah terbelenggu oleh hutang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Akses modal tidak ada, sehingga menambah hidup lebih terpuruk. Kredit dari pemerintah melalui bank-bank belum mampu untuk mengatasi berbagai kendala untuk memperbesar kapasitas produksi, sehingga keterlibatan swasta melalui investasi sangat diperlukan. Perolehan dana bagi pemberdayaan masyarakat nelayan salah satunya melalui konsep mikro banking, seperti yang diterapkan Bank Negara Indonesia yang memiliki karakteristik umum antara lain BNI, 2000 yang diacu dalam Edy 2004 yaitu 1 dijalankan sendiri atau dengan anggota keluarga dan beberapa pegawai yang dibayar, 2 hanya memiliki akses pada sektor permodalan yang lebih kecil atau tidak sama sekali, 3 produktivitas rendah, dan 4 jarang memiliki izin usaha sehingga tidak tercatat dalam statistik, tidak memiliki akses pada bank, tidak memiliki akses untuk pelatihan–pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, tidak dikenal dan tidak terjangkau oleh dukungan penguasa. Unit usaha yang menjadi target adalah : 1 Usaha yang sangat kecil dengan kriteria : − Skala usaha yang sangat kecil. − Tenaga kerja kurang dari 10 orang. − Tidak ada pemisahan yang jelas antara rumah tangga dan usaha. − Menghasilkan produk interior. − Pemasaran terbatas di pasar lokal. − Modal kerja maksimal Rp 5 juta. − Belum mampu mengakumulasi modal. 2 Usaha kecil sederhana dengan kriteria : − Jumlah tenaga kerja 10 – 25 orang. − Mengandalkan pasar lokal dalam provinsi untuk golongan menengah kebawah. − Sifat pemasaran masih terpaku pada pola tradisional atau mengikuti trend yang diciptakan usaha yang lebih besar. − Modal kerja Rp. 5 juta sampai Rp. 10 juta. − Kemampuan mengakumulasi modal masih sangat terbatas. 3 Usaha kecil yang sudah mampu mengakumulasi modal dengan kriteria : - Jumlah tenaga kerja sampai dengan 50 orang. - Sudah mengadopsi teknologi yang relatif baru. - Pemisahan yang jelas antara ruma h tangga dengan produksi usaha. - Pemasaran mengandalkan agen. - Jangkauan pemasaran sampai luar provinsi. - Modal kerja diatas Rp. 50 juta. Edy 2004 dalam kajiannya mengenai strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan tradisional melalui micro banking, dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan lautan terpadu, mengambil kasus Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Dalam kajian tersebut dijelaskan bahwa Kabupaten Pekalongan sudah mengalami tangkap lebih overfishing dengan pendapatan riil masyarakat pesisir sebesar Rp. 217.500 perbulan, sedangkan upah minimum regional UMR sebesar Rp. 315.000,-. Halnya dengan Kabupaten Boalemo yang kondisi penangkapan ikan yang masih dibawah hasil tangkapan maksimum lestari, dimana pendapatan riil masyarakat pesisir sebesar Rp. 258.500 perbulan, dan UMR sebesar Rp. 375.000,-. Sehingga kedua Kabupaten ini termasuk kategori miskin sehingga perlu diberdayakan melalui micro banking. Sementara upah minimum regional UMR yang berlaku di Kabupaten Pohuwato sebesar Rp 500.000 PEMDA Kabupaten Pohuwato, 2005. Pada era reformasi keadaan perekonomian tidak semakin baik, banyaknya pengangguran, korupsi semakin tidak teratasi, kriminalitas meningkat, penegakan hukum rendah, yang membuat Indonesia semakin terpuruk, sehingga banyak investor asing yang enggan menanamkan modal di Indonesia dan mengalihkannya ke negara lain, alasannya karena Indonesia tidak aman. Keterpurukan ekonomi ini secara keseluruhan membuat rakyat tidak berdaya termasuk masyarakat nelayan terutama nelayan tradisional. Untuk meningkatkan pendapatan nelayan Monintja, 1996 dapat dilakukan melalui perbaikan sistem harga ikan yang berlaku, seperti ; 1 Upaya penyuluhan untuk memperkenalkan teknologi baru yang dapat meningkatkan mutu ikan sehingga produk ikan akan memiliki nilai ekonomis. 2 Meningkatkan keterampilan nelayan terutama untuk menangkap ikan yang memiliki nilai jual tinggi. 3 Upaya penyediaan fasilitas perkreditan terutama untuk usaha nelayan. 4 Peningkatan sarana dan prasarana produksi. 5 Pembinaan terhadap KUD. 6 Bantuan modal dalam bentuk perkreditan. 7 Pemberian fasilitas sarana dan prasarana pelelangan ikan seperti TPIPPI dan sebagainya.

2.5.3 Pembang unan Berbasis Masyarakat