Analisis investasi optimal pemanfaatan sumberdaya ikan layang (decapterus spp) di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo

(1)

ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN

SUMBERDAYA IKAN LAYANG (

Decapterus spp

)

DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI

GORONTALO

SUDARMIN PARENRENGI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Investasi Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo adalah benar karya saya sendiri dengan araha n dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2009

Sudarmin Parenrengi NRP C226010111


(3)

ABSTRACT

SUDARMIN PARENRENGI. Optimal Investment Analysis on Scads Resources Utilization in Pohuwato Regency, Gorontalo Province. Under direction of TRIDOYO KUSUMASTANTO, DANIEL R. MONINTJA, KADARWAN SOEWARDI, and LUKY ADRIANTO.

Fisheries sector in Gorontalo Province is expected to be as sources of fishermen income, protein and job opportunities. According to the expectations, therefore, Gorontalo Province should have strategic development objective to increase the welfare of coastal communities through development of fisheries sector. Generally the commercial fisheries in Gorontalo province are small scale fisheries using simple fishing gears. In this regards indentification of development input such as investment has to be undertaken in line with resources potentials in the region. The main objectives of this study are to (1) analyze utilization level of capture of fisheries resources ; (2) analyze the level of investment; and (3) analyze policy scenario regarding to optimalized the investment in resouces. It has been found that income in fisheries tends to be declining due to increase input cost and decreasing outputs benefits. Meanwhile, from bioeconomics analysis, it has been revealed also that the existing condition of fisheries effort it has been higher than maximum economic yield (MEY) level and maximum sustainable yield (MSY) level. This lead into conclusion that the status of fisheries in Pohuwato Regency is in both biological and economical overfishing. From this results, the strategic policies that can be proposed, are fishery divestation and arrange the total number of fishing units. Based on those strategies, it is expected improving the condition of fisheries resource and then increase income per capita of fishermen in the area.

Key words : optimal investment, fishermen income, Pohuwato Regency.


(4)

RINGKASAN

SUDARMIN PARENRENGI. Analisis Investasi Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO, DANIEL R. MONINTJA, KADARWAN SOEWARDI, dan LUKY ADRIANTO.

Indonesia memiliki sektor-sektor ekonomi yang berbasis sumberdaya alam

(SDA) seperti kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, mineral, dan industri bioteknologi. Namun SDA tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk memajukan perekonomian bangsa untuk kemakmuran rakyat. Potensi lestari (maximum sustainable yield, MSY) sumberdaya perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun, yang terdiri dari ikan pelagis besar sebesar 1,65 juta ton, ikan pelagis kecil sebesar 3,6 juta ton, ikan demersal sebesar 1,36 juta ton, ikan karang sebesar 145 ribu ton, udang paneid sebesar 94,8 ribu ton, lobster sebesar 4,8 ribu ton dan cumi-cumi sebesar 28,25 ribu ton. Sementara jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch, TAC) adalah 80% dari potensi lestari atau sekitar 5,12 juta ton per tahun (Dahuri, 2003).

Provinsi Gorontalo memiliki panjang pantai 590 km yang terbagi atas panjang pantai Utara 320 km dan panjang pantai Selatan 270 km dengan luas laut 50.500 km2 (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo, 2002). Sementara perairan laut di Provinsi Gorontalo terbagi menjadi dua bagian, Laut Sulawesi disebelah Utara dan Teluk Tomini disebelah Selatan. Potensi perikanan di Provinsi Gorontalo terdiri dari potensi perikanan di kawasan perairan Teluk Tomini dan Laut Sulawesi serta ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) yang diperkirakan sebesar 82.200 ton/tahun. Tingkat pemanfaatan keseluruhan diperkirakan baru mencapai 27% (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo, 2002). Potensi sumberdaya ikan yang cukup besar akan mampu menjadikan sektor perikanan sebagai penggerak utama perekonomian dan merupakan sumber pendapatan negara dari sektor non migas.

Kabupaten Pohuwato memiliki luas wilayah 4.491,03 km2, dengan panjang garis pantai 160 km, terdapat 7 Kecamatan, 74 Desa dan 3 Pulau yaitu Pulau Lahe, Pulau Pomolia Kiki, dan Pulau Pomolia Daa. Kabupaten Pohuwato adalah Kabupaten terluas di Provinsi Gorontalo, yaitu 37% dari luas Provinsi Gorontalo dengan jumlah penduduk 105.593 jiwa (12% dari jumlah penduduk Provinsi Gorontalo), dan rata - rata penduduk per km2 adalah 24 jiwa. Potensi perikanan tangkap di Kabupaten Pohuwato masih cukup besar, potensi lestari di perairan teritorial sebesar 10.200 ton per tahun, dengan jumlah produksi 6853 ton per tahun, dan tingkat pemanfaatan 67,19% (Pemerintah Kabupaten Pohuwato, 2004). Tujuan penelitian ini mengkaji tingkat investasi optimal pemanfaatan sumberdaya ikan layang (Decapterus spp) di Kabupaten Pohuwato.

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah pesisir Selatan Provinsi Gorontalo yaitu di Kabupaten Pohuwato yang terdiri dari 5 (lima) Kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Paguat, Kecamatan Marisa, Kecamatan Randangan, Kecamatan Lemito, dan Kecamatan Popayato. Waktu penelitian dilakukan selama September 2005 – Maret 2006. Data yang dikumpulkan berup a data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan nelayan responden di Kawasan Pesisir Selatan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. Data sekunder berupa data time series diperoleh dari


(5)

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Utara, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo, Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo, serta instansi lain yang terkait. Data sekunder juga diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya di Provinsi Gorontalo. Berdasarkan data primer dan data sekunder dilakukan beberapa analisis seperti, analisis bioekonomi, investasi, pendapatan, dinamis, dan analisis multi criteriadecision making (MCDM).

Hasil analisis bioekonomi pada kondisi maximum sustainable yield (MSY) menunjukkan tangkapan atau tingkat produksi pada rejim MSY yaitu 12.398,66 ton, dengan biomassa sebesar 46.264,03 ton, dan upaya penangkapan 49 unit dengan rente yang diperoleh sebesar Rp 106.953.475,24. Pada kondisi maximum economic yield (MEY) menunjukkan tingkat biomassa (x) sebesar 47.935,86 ton pada tingkat upaya (effort) 48 unit, hasil tangkapan (harvest) 12.382,47 ton dengan rente sebesar Rp 107.104.022,11. sementara effort aktual sebesar 184 unit, dan hasil tangkapan aktual sebesar 13.084,73 ton. Kondisi open access (OA) menunjukkan effort sebesar 95 unit dengan hasil tangkapan yang rendah yaitu 1.727,42 ton pada tigkat biomassa 3.343,66 ton, dengan tidak ada keuntungan (p=0).

Analisis investasi dilakukan untuk mencari nilai net present value (NPV), benefit cost ratio(BCR), dan internal rate of return (IRR). Berdasarkan hasil analisis bioekonomi dilakukan 3 (tiga) skenario investasi yaitu ; (1) skenario effort optimal – yield optimal, (2) skenario effort aktual – yield optimal, dan (3) skenario effort optimal – yield aktual. Hasil analisis investasi terhadap Skenario-1 (effort optimal – yield optimal) diperoleh nilai NPV sebesar Rp 17.375.162 juta, Skenario-2 (effort aktual – yield optimal) diperoleh nilai NPV sebesar Rp 848.277.947, dan Skenario-3 (effort optimal – yield aktual) diperoleh nilai NPV sebesar Rp 18.695.957 juta. Ketiga skenario tersebut memiliki nilai positif, yang berarti ketiganya merupakan skenario investasi yang layak untuk dilakukan. Tetapi Skenario-3 memiliki nilai NPV yang lebih besar jika dibandingkan dengan Skenario-1 dan Skenario-2.

Benefit cost ratio (BCR) merupakan angka perbandingan antara benefit dengan cost ditambah dengan investment. Jika nilai BCR lebihbesar dari 1 (satu), maka investasi layak untuk dilaksanakan, sebaliknya jika BCR lebih kecil dari 1 (satu) berarti investasi tidak layak. Hasil analisis investasi menunjukkan nilai BCR Skenario-1 sebesar 2,93, dan Skenario-2 sebesar 1,07, sedangkan Skenario-3 sebesar 2,98. Sehingga Skenario-3 merupakan skenario yang memiliki BCR lebih besar dari Skenario-1 dan Skenario-2.

IRR merupakan tingkat suku bunga yang dapat memberikan nilai NPV sama dengan nol. Berdasarkan analisis investasi diperoleh IRR untuk Skenario-1 sebesar 35,99%, Skenario-2 sebesar 5,23%, dan Skenario-3 sebesar 36,00%. Dengan hasil IRR tersebut maka Skenario-1 dan Skenario-3 merupakan skenario yang layak, karena nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga bank 12%.

Analisis selanjutnya adalah analisis pendapatan pada saat investasi belum dilakukan, dan diperoleh pendapatan rata-rata nelayan per tahun sebesar Rp 25.401.690, pengeluaran nelayan rata-rata sebesar Rp 23.951.304 per tahun, sehingga pendapatan bersih sebesar Rp 1.450.386 per tahun atau rata-rata Rp 120.865,50 per bulan. Pendapatan bersih yang diperoleh nelayan sebesar Rp 120.865,50 per bulan merupakan pendapatan yang sangat kecil dibawah upah minimum regional (UMR) Rp 500.000. Apabila dilakukan investasi, maka


(6)

berdasarkan analisis investasi Skenario-1 diperoleh pendapatan nelayan sebesar Rp 47.972.888 per tahun atau rata-rata Rp 3.997.740 per bulan, untuk Skenario-2 sebesar Rp 12.514.166 per tahun atau rata-rata Rp1.042.889 per bulan, dan Skenario-3 diperoleh pendapatan nelayan sebesar Rp 50.693.637 per tahun atau rata-rata Rp 4.224.470 per bulan.

Analisis dinamis dimulai dengan menyederhanakan struktur kedalam causal loop yang terdiri dari tiga sub model yaitu sub model biomassa, sub model upaya tangkap (effort), dan sub model investasi. Kemudian dilakukan simulasi model Analisis Investasi Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Pohuwato dengan menggunakan 3 (tiga) skenario investasi untuk melihat dari ketiga skenario investasi tersebut, skenario investasi mana yang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain itu apakah investasi tersebut dapat berkelanjutan secara ekologi, ekonomi, maupun sosial. Hasil dari analisis dinamis menunjukkan bahwa Skenario-1 lebih baik dari Skenario-2 dan Skenario-3.

Analisis multi criteria decision making (MCDM) merupakan suatu teknik analisis untuk menentukan alternatif keputusan yang akan diambil dengan menentukan kriteria yang dapat digunakan dalam memilih alternatif tersebut dengan memasukkan kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial. Hasil akhir analisis MCDM menunjukkan Skenario effort optimal-yield optimal (Skenario-1) merupakan skenario yang memiliki bobot yang lebih tinggi yaitu 7,8 sementara Skenario effort aktual-yield optimal (Skenario-2) adalah 7,3 dan Skenario effort optimal-yield aktual (Skenario-3) sebesar 6,6.

Berdasarkan hasil analisis bioekonomi, menunjukkan effort aktual lebih besar dari effort optimal (effortact > effortopt), yang mengindikasikan telah terjadi

overfishing (tingkat penangkapan ikan melampaui kemampuan pulihnya), sehingga diperlukan strategi kebijakan divestasi antara lain buy back.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN

SUMBERDAYA IKAN LAYANG (

Decapterus spp

)

DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI

GORONTALO

SUDARMIN PARENRENGI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(9)

Judul Disertasi : Analisis Investasi Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo

Nama : Sudarmin Parenrengi

NIM : C226010111

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir.Tridoyo Kusumastanto, M.S Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja K e t u a A n g g o t a

Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc A n g g o t a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan

Lautan

Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia-Nya maka disertasi dengan judul “Investasi Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo” dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada Komisi Pembimbing, yaitu : Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S (Ketua), Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja (Anggota), Bapak Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi (Anggota), Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc (Anggota) yang banyak meluangkan waktu dan pikiran dengan penuh kesabaran terhadap penulis dalam penyempurnaan disertasi ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S sebagai mantan ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor atas sumbangan pemikirannya.

Pada kesempatan ini diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama menyelesaikan studi di IPB, masing- masing :

1. Bapak Prof. Drs. H. John Wumu sebagai dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi Manado yang telah membantu penulis untuk melanjutkan pendidikan program Doktor di IPB Bogor. 2. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi, Kab/Kota di

Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara yang telah memberikan data-data untuk penelitian.

3. Ibu Dr. Tri Widyastuti, SE, MM, Ak beserta staf Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila Jakarta yang telah memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi di IPB.

4. Ibu Dr. Georgina Maria Tinungki dosen di Universitas Hasanudin Makassar yang selalu meluangkan waktu dan pikiran untuk berdiskusi.


(11)

5. Rekan-rekan SPL, bapak Ir. Muhamad Yusuf, MS, bapak Dr. Abubakar, bapak Dr. Abdul Hafidz Olii, bapak Dr. Edward, bapak Sholeh, bapak Zainal, dan seluruh staf SPL dan PKSPL serta teman-teman yang tidak dapat penulis sebut satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian disertasi ini.

Terakhir penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang mendalam kepada kedua orang tua, kakak-kakak, suami, anak-anak serta cucu-cucu yang tercinta yang telah memberikan doa, waktu dan perhatian yang begitu besar sehingga memotivasi penulis menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor.

Harapan penulis semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi yang memerlukannya. Wassalam.

Bogor, Juli 2009

Sudarmin Parenrengi


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 8 Januari 1955 sebagai anak bungsu dari pasangan H. Andi P. Parenrengi (Almarhum) dan Fatmah Labagou (Almarhumah). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 1985. selanjutnya penulis diterima di Program Studi Manajemen Program Pascasarjana Universitas Pancasila Jakarta tahun 1994 dan menyelesaikannya pada tahun 1996 dengan judul Thesis Strategi Pembiayaan bagi Pembangunan Terminal Peti Kemas III Tanjung Priok Jakarta. Penulis memperoleh kesempatan untuk meneruskan studi Program Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan biaya sendiri pada tahun 2001.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila Jakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mulya Pratama Bekasi. Penulisan beberapa artikel diantaranya yang berjudul Investasi Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Pohuwato diterbitkan oleh jurnal Dinamika Bisnis yang merupakan Jurnal Ilmiah Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila Jakarta. Artikel lain berjudul Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Nelayan diterbitkan pada jurnal Dinamika Bisnis pada tahun 2009. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

Penulis menikah di Gorontalo pada tahun 1973 dengan R.M. Setiarso, SH dan dikaruniai dua orang anak bernama Selva Cahyani Setiarso dan Cahyono Widagdo Setiarso serta dua orang cucu yaitu Muhammad Khomeini dan Bayu Aji Hanggoro.


(13)

Penguji pada ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA

Penguji pada ujian Terbuka : Dr. Ir. Subhat Nurhakim. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si


(14)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) yang ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS, 1982). Indonesia memiliki luas laut 5,8 juta km2 dan panjang garis pantai sekitar 81.791 km. Potensi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY)sumberdaya ikan laut yang diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch, TAC) adalah 80% dari potensi lestari atau sekitar 5,12 juta ton per tahun (Dahuri, 2003). Mengingat perairan pesisir merupakan perairan yang sangat produktif, maka panjang pantai Indonesia merupakan potensi yang cukup besar untuk pembangunan bangsa.

Pengaturan kewenangan pengelolaan laut tercantum dalam UU No.32/2004 pasal 18 ayat (1) bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut, selanjutnya pasal 18 ayat (3) menyebutkan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya laut di wilayah laut antara lain meliputi kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Pasal 18 ayat (4) menyebutkan bahwa provinsi memiliki kewenangan mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai dan kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk mengelola wilayah laut sejauh sepertiga dari batas wilayah provinsi. Namun Undang- undang tersebut belum cukup memberikan payung hukum terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Undang-Undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara jelas menyatakan dalam pasal 1 ayat (1) bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sementara pasal 55 ayat (1) yaitu Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat kabupaten/kota


(15)

dilaksanakan secara terpadu yang dikoordinasi oleh dinas yang membidangi kelautan dan perikanan. Dengan pasal-pasal tersebut diatas menunjukkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara terpadu dan pemanfaatannya secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.

Potensi sumberdaya ikan yang cukup besar akan mampu menjadikan sektor perikanan sebagai penggerak utama perekonomian dan merupakan sumber pendapatan ne gara dari sektor non migas. Selain itu adanya pertambahan penduduk di dunia yang terus meningkat (1,8% per tahun), dan permintaan konsumsi ikan global mengalami peningkatan yang mencapai 19 kg/kapita/tahun (http://www.walhi.or.id), sementara produk perikanan yang ditawarkan oleh perikanan dunia semakin menurun, maka peluang untuk memasuki pasar global semakin besar seiring dengan adanya potensi perikanan yang dimiliki Indonesia. Provinsi Gorontalo memiliki panjang pantai 590 km yang terbagi atas panjang pantai Utara 320 km dan panjang pantai Selatan 270 km dengan luas laut 50.500 km2 (DPK Provinsi Gorontalo, 2002). Sementara perairan laut di Provinsi Gorontalo terbagi menjadi dua bagian, Laut Sulawesi disebelah Utara dan Teluk Tomini disebelah Selatan. Potensi perikanan di Provinsi Gorontalo terdiri dari potensi perikanan di kawasan perairan Teluk Tomini dan Laut Sulawesi serta ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) yang diperkirakan sebesar 82.200 ton/tahun (DPK Provinsi Gorontalo, 2002), terdiri dari ikan tuna (Thunnus sp), cakalang (Katsuwonus pelamis)), tongkol (Euthynnus spp), layang (Decapterus spp), teri (Stelophorus spp), dan berbagai jenis ikan pelagis (ikan yang hidup di permukaan laut) dan ikan demersal (ikan yang hidup di dasar laut) seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Umumnya usaha perikanan di Provinsi Gorontalo masih merupakan usaha perikanan yang berskala kecil dengan penggunaan alat tangkap yang sederhana dan armada penangkapan ikan yang berukuran 5–10 GT. Penggunaan alat tangkap yang masih tradisional disebabkan nelayan tidak mampu membeli armada penangkapan yang modern karena kondisi nelayan yang hidupnya masih dibawah garis kemiskinan. Potensi sumberdaya perikanan yang berlimpah belum mampu dimanfaatkan secara optimal dan dapat memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan masyarakat nelayan


(16)

pada khususnya. Jika sumberdaya perikanan mampu memberikan kontribusi terhadap pengembangan kapasitas ekonomi nelayan, maka peluang nelayan lepas dari jeratan kemiskinan akan semakin besar.

Tabel 1 Potensi sumberdaya perikanan di Provinsi Gorontalo (ton/tahun)

Perairan Jenis ikan Jumlah

Pelagis Pelagis Demersal besar kecil

Teluk Tomini 6.660 12.876 13.024 32.560

Laut Sulawesi 2.790 5.394 5.456 13.640 Laut Sulawesi (ZEE) 26.000 10.000 - 36.000

Total 35.450 28.270 18.480 82.200

Sumber Data : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo, 2002 Tabel 1 tersebut diatas menunjukkan di perairan Teluk Tomini

jumlah

ikan mencapai 32.560 ton / tahun yang terdiri dari ikan pelagis besar 6.660 ton, ikan pelagis kecil 12.876 ton, dan ikan demersal 13.024 ton. Sementara di perairan Sulawesi jumlah ikan mencapai 13.640 ton / tahun yang terdiri dari ikan pelagis besar 2.790 ton, ikan pelagis kecil 5.394 ton, dan ikan demersal 18.480ton. Potensi sumberdaya ikan yang ada di Teluk Tomini sebesar 32.560 ton yang dimanfaatkan oleh nelayan baik dari Provinsi Gorontalo maupun Provinsi lain seperti Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Maluku bahkan nelayan asing. Kondisi objektif Provinsi Gorontalo adalah Provinsi Agropolitan sesuai dengan pilar utama penggerak ekonominya yaitu sektor pertanian dan perikanan. Pemerintah Provinsi telah menetapkan dua strategi percepatan pembangunan yaitu, (1) menjadikan sektor pertanian dan perikanan sebagai sektor unggulan untuk menghasilkan komoditas andalan yaitu jagung dan ikan serta hasil laut lainnya melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia agar produktivitasnya meningkat, dan (2) memfasilitasi prasarana untuk memacu kinerja sektor tersebut agar secara nyata mampu menjadi


(17)

penggerak utama ekonomi Gorontalo yang pada gilirannya mampu secara signifikan mereduksi jumlah keluarga “ prasejahtera “ dan “ sejahtera 1 “ yang jumlahnya mencapai 72% (Muhammad, 2002). Selain itu Provinsi Gorontalo mempunyai dua peran, yaitu (1) sebagai sentra kawasan Teluk Tomini dan sekitarnya dan (2) sebagai etalase perikanan dan kelautan. Kedua peran ini bertujuan untuk memacu percepatan pembangunan di Gorontalo. Dengan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut akan dapat memfasilitasi sumber penghidupan masyarakat pesisir dan nelayan serta mendorong pembangunan ekonomi wilayah. Adanya kedua peran tersebut diharapkan akan mampu menarik investasi di sektor kelautan dan perikanan, sehingga akan mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif.

Kabupaten Pohuwato memiliki luas wilayah 4.491,03 km2, dengan panjang garis pantai 160 km, terdapat 7 Kecamatan, 74 Desa dan 3 Pulau yaitu Pulau Lahe, Pulau Pomolia Kiki, dan Pulau Pomolia Daa. Kabupaten Pohuwato adalah kabupaten terluas di Provinsi Gorontalo, yaitu 37% dari luas Provinsi Gorontalo dengan jumlah penduduk 105.593 jiwa (12% dari jumlah penduduk Provinsi Gorontalo), dan rata - rata penduduk per km2 adalah 24 jiwa.

Teluk Tomini memiliki wilayah penangkapan ikan dengan luas 5.295.144 Ha dan merupakan wilayah populasi ikan pelagis, demersal, dan ikan karang, serta merupakan salah satu daerah ruaya ikan pelagis besar. Potensi sumberdaya ikan di Teluk Tomini sebesar 32.560 ton per tahun belum dimanfaatkan secara optimal oleh nelayan yang bermukim di wilayah pesisir selatan Provinsi Gorontalo seperti nelayan yang berada di Kabupaten Pohuwato yang masih merupakan nelayan tradisional. Bagaimana agar nelayan tradisional dapat menangkap ikan dengan produktivitas yang tinggi, maka diperlukan kebijakan investasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan.

Pembiayaan investasi di sektor perikanan bersumber dari investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA). Nilai kumulatif investasi perikanan melalui penanaman modal dalam negeri sebesar Rp 1,11 triliun atau 0,33% dari total investasi di Indonesia, dan investasi asing kumulatif sebesar US $ 236,8 juta atau 0,30% dari total investasi asing. Kegiatan investasi mengalami fluktuasi, tahun 2001 jumlah investasi dengan


(18)

modal dalam negeri sebesar 161,50 milyar dan tahun 2002 menurun sebesar Rp 62,00 milyar, kemudian naik menjadi Rp 92,10 milyar tahun 2003, dan terus menurun sampai tahun 2005. Investasi terendah pada tahun 2004 yaitu sebesar Rp 3,00 milyar atau hanya sebesar 0,007% dari total investasi Indonesia (Tabel 2). Tabel 2 Investasi PMDN sektor perikanan tahun 2001-2005

Tahun Jumlah Nilai Nilai total Prosentase proyek (Rp. Milyar) investasi Indonesia

(Rp. Milyar)

2001 5 161,50 59.881,50 0,27% 2002 1 62,00 25.935,70 0,24% 2003 2 92,10 55.120,90 0,17% 2004 2 3,00 44.460,40 0,007% 2005 2 15,00 50.577,30 0,03%

Sumber : DKP, 2007

Penanaman modal asing (PMA) mengalami peningkatan dari tahun 2003

hingga 2004 (Tabel 3).

Tabel 3 Investasi PMA sektor perikanan tahun 2001-2005

Tahun Jumlah Nilai Nilai total Prosentase proyek (US $ juta) investasi Indonesia

(US $ juta)

2001 8 6,90 15.205,50 0,05% 2002 9 4,00 9.955,70 0,04%

2003 6 26,50 14.278,10 0,19% 2004 12 132,60 10.415,70 1,27% 2005 8 15,30 13.579,20 0,11%

Sumber : DKP, 2007

Tabel 3 diatas menunjukkan jumlah PMA tahun 2003 sebesar US $ 26,50 juta meningkat cukup besar menjadi US $132,60 juta pada tahun 2004, dan pada tahun 2005 kembali mengalami penurunan yang cukup tajam menjadi US $ 15,30 juta. Jika dilihat secara keseluruhan maka investasi asing sangat fluktuatif dari


(19)

tahun 2001 hingga 2005. Sebelumnya selama masa pembangunan jangka panjang I (PJP I) tahun 1973 hingga 1978 jumlah modal yang bergerak melalui investasi pemerintah dan swasta di bidang perikanan sebesar 0,02% dari total modal yang bergerak di sektor-sektor pembangunan. Kegiatan investasi domestik maupun asing belum banyak dilakukan di sektor perikanan sejak tahun 1967 hingga 1999 hanya 1,37% dari total investasi domestik kumulatif sebesar Rp 708 triliyun. Sementara sektor industri bisa mencapai 68,66%, selain itu nilai investasi asing kumulatif dari tahun 1967 hingga 1999 mempunyai total nilai mencapai AS $ 228 juta, ternyata investasi asing di sektor perikanan hanya 0,31%, umumnya investasi dikembangkan di sektor industri manufaktur yang mencapai 64,93% (Dahuri, 2002). Investasi berfluktuasi di beberapa sektor seperti sektor pertanian, kehutanan, dan sektor perikanan diduga antara lain karena situasi di Indonesia yang belum kondusif, seperti tingkat suku bunga yang masih relatif tinggi, pajak, keamanan serta stabilitas politik.

Selama ini pembangunan di sektor perikanan belum menunjukkan keberpihakan pada nelayan itu sendiri, dimana masih banyak nelayan yang miskin (Kusnadi, 2000). Jika dicermati nelayan memberikan kontribusi yang sangat besar dengan memasok ikan ke daerah perkotaan bahkan diekspor ke luar negeri untuk memenuhi pasar internasional, dan dengan sendirinya menambah devisa negara. Tetapi kehidupan nelayan dari dulu sampai sekarang masih dekat dengan kemiskinan.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk membantu masyarakat nelayan dengan melaksanakan berbagai program, seperti program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Pada tahun 2001, PEMP mengalokasikan anggaran untuk program ini sebesar Rp 125 milyar dan pada tahun 2002 sebesar Rp 90 milyar (Kusumastanto, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sekarang tela h mulai memberikan perhatian pada pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan karena selama 32 tahun masa orde baru, sektor perikanan dimarginalkan karena sistem pemerintahan yang sentralistik.

Era otonomi daerah diharapkan sektor kelautan dan perikanan dapat berperan signifikan dalam pembangunan nasional. Selanjutnya Kusumastanto (2002) mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat nelayan perlu


(20)

berorientasi pada pengembangan ekonomi masyarakat lokal (local economic development) yang terkait dengan pasar dan sektor ekonomi lainnya sehingga terjadi perluasan aktivitas ekonomi. Bentuk pemberdayaan tersebut memiliki karakteristik antara lain :

(1) Orientasi kebutuhan (needs oriented) artinya model pemberdayaan yang hendak diterapkan didasarkan pada kebutuhan suatu kelompok masyarakat pesis ir.

(2) Prakarsa lokal (local initiative) artinya bentuk pemberdayaan yang dikembangkan harus berdasarkan prakarsa masyarakat lokal.

(3) Pengembangan sumberdaya lokal (local resources based) baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yakni keterampilan dan budaya artinya bahwa pemberdayaan masyarakat harus dilakukan dalam rangka pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam dan peningkatan kualitas keterampilan, pengembangan kapasitas perorangan dan lembaga serta budaya bisnis kelompok masyarakat pesisir.

(4) Kelestarian dan keberlanjutan lingkungan (suistanable and environmental friendly) artinya model pemberdayaan petani ikan yang akan dikembangkan harus memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan (Kusumastanto, 2002).

Bentuk pemberdayaan diatas apabila dilaksanakan akan memberikan dampak yang baik bagi pemberdayaan masyarakat pesisir, dimana keterlibatan pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai stakeholders sangat menentukan. Kemiskinan masyarakat nelayan selain karena rendahnya pendapatan, juga disebabkan oleh pendidikan yang rendah, akses modal tidak ada, kurangnya kesempatan kerja, peningkatan jumlah penduduk, belum optimalnya kelembagaan yang ada, tingkat kesehatan dan gizi yang rendah, penggunaan IPTEK, dan partisipasi dari swasta yang belum optimal. Sehingga perlu melakukan kajian penelitian mengenai investasi optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka ada beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan perikanan di Kabupaten


(21)

Pohuwato.

(1) Potensi sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan secara optimal belum diketahui dengan baik.

(2) Tingkat pendapatan nelayan yang relatif rendah sehingga sebagian besar nelayan masih tergolong miskin.

(3) Belum adanya perencanaan investasi dalam rangka pengelolaan usaha perikanan tangkap di wilayah penelitian.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Pemberdayaan masyarakat nelayan yang melibatkan banyak pihak membutuhkan keputusan yang dilakukan dengan konsisten dan menghasilkan suatu penelitian yang akurat dan dapat dibuktikan secara ilmiah kebenarannya. Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

(1) Mengestimasi tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya ikan layamg di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo.

(2) Mengkaji tingkat investasi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang di Kabupaten Pohuwato.

(3) Menyusun model kebijakan investasi optimal pemanfaatan sumberdaya ikan layang di Kabupaten Pohuwato.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan bahan rujukan dalam kebijakan investasi optimal pemanfaatan sumberdaya ikan layang.

1.4 Kerangka Pemikiran

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa Gorontalo memiliki sumberdaya perikanan terutama perikanan tangkap yang cukup besar, namun pemanfaatannya belum optimal. Dipihak lain masyarakat nelayan masih tergolong miskin, sementara pemerintah telah membuat program-program untuk memberdayakan masyarakat nelayan, seperti program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) yang dicanangkan sejak tahun 2000. Pemberdayaan masyarakat nelayan tidak cukup dengan PEMP, karena permasalahan yang ada pada nelayan begitu kompleks dan saling terkait satu dengan yang lain. seperti modal, teknologi, sumberdaya perikanan, sumberdaya manusia, peraturan pemerintah, kelembagaan dan sosial budaya.


(22)

Sehubungan dengan hal tersebut maka dirumuskan permasalahan yang terjadi pada masyarakat nelayan dengan membuat kerangka pemikiran investasi optimal di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo (Gambar 1).


(23)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Investasi Optimal Investasi Perikanan Sumberdaya Perikanan Masyarakat Nelayan Peluang pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Penggunaan Alat Tangkap Aspek Ekonomi Perikanan Tangkap Potensi sumberdaya

ikan yang belum diketahui Tingkat pendapatan masyarakat nelayan yang rendah Perencanaan investasi dalam usaha pengelolaan perikanan belum ada

Pemanfaatan sumberdaya ikan

Sumber pendapatan

Pemenuhan gizi masyarakat

Penyerapan tenaga kerja

Tingkat pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Aspek Sosial Masyarakat

Nelayan

- Tingkat eksploitasi sumberdaya ikan - Kapasitas penangkapan

- Investasi penangkapan ikan - Tingkat pendapatan nelayan

Model Kebijakan Investasi Optimal dalam Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan Tangkap Kebijakan dan


(24)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Perairan laut di Provinsi Gorontalo yang terbagi atas dua bagian, yaitu Laut Sulawesi disebelah Utara dan Teluk Tomini disebelah Sela tan, merupakan wilayah yang cukup luas. Provinsi Gorontalo terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten yang memanfaatkan Perairan Teluk Tomini, dan salah satu kabupaten yang memanfaatkan Perairan Teluk Tomini adalah Kabupaten Pohuwato. Kajian penelitian dilakukan di Kecamatan Paguat, Kecamatan Marisa, Kecamatan Randangan, Kecamatan Lemito, dan Kecamatan Popayato yang merupakan kecamatan pesisir yang ada di Kabupaten Pohuwato. Pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam penelitian ini adalah perikanan tangkap, selanjutnya perikanan tangkap yang dikaji adalah ikan layang (Decapterus spp) yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap purse seine (pukat cincin). Data sekunder yang digunakan dalam analisis ini adalah data time series yang diperoleh dari Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Utara dari tahun 1990 hingga 2000. Sementara data sekunder dari tahun 2001 – 2004 diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo.

Data-data mengenai potensi ikan, jumlah tangkapan, armada penangkapan, dan nelayan dicatat di masing- masing dinas perikanan kota/kabupaten. Sejak tahun 2003 Kabupaten Pohuwato yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Boalemo, memiliki statistik perikanan yang terbatas. Berdasarkan hal tersebut maka data sekunder yang digunakan disesuaikan dengan data primer, dan menjadi acuan dalam analisis data.


(25)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan dalam Otonomi Daerah Perubahan paradigma sentralisasi ke dalam desentralisasi menimbulkan berbagai implikasi dalam pembangunan daerah. Salah satu implikasi yang nyata adalah kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah berdasarkan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelumnya kewenangan pengelolaan wilayah laut bersifat sentralistik dimana semua kebijakan pembangunan ditentukan oleh pemerintah pusat, akibatnya pembangunan di daerah tidak berkembang.

Revisi UU No.22 tahun 1999 menjadi UU No.32 tahun 2004 menunjukkan bahwa pemerintah pusat memiliki perubahan pemikiran dalam mendelegasikan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, namun hal itu tidak perlu terjadi jika tujuannya untuk kemakmuran bangsa. Dikotomi desentralisasi kelautan (DK) dan sentralisasi kelautan (SK) dapat dilihat dari dua “mainstream” seperti yang telah di identifikasi oleh Garcia dan Hayashi (2000) dalam tesis mereka tentang A Contrastive Spatial Evolution of Marine Fisheries Governance yang diacu dalam Adrianto (2004) yang intinya adalah dua tesis tentang pengelolaan kelautan (ocean governance) yaitu mainstream dari lokal ke global dan mainstream dari global ke lokal.

Mainstream pertama (dari lokal ke global) muncul dari perspektif pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan secara utuh di pandang dari sisi ekosistem. Penganut mainstream ini memandang inti dari pengelolaan laut seharusnya tidak hanya melibatkan interaksi antar pelaku (interactions between human) sebagai obyek dan subyek pengelolaan namun mempertimbangkan interaksi antar konstituen ekosistem (interactions between constituents of the ecosystem). Penganut mainstream ini melihat bahwa problem kelautan di level sub- nasional, karena sifat ekosistem pesisir dan laut yang khas, dapat berpengaruh pada kondisi wilayah laut di level sub-nasional lainnya dalam level nasional. Misalnya yang terkait dengan sifat khas sumberdaya perikanan tertentu seperti straddling, highly migratory, anadromous, dan catadromous species atau yang terkait dengan masalah pencemaran laut (Adrianto, 2004).


(26)

Mainstream kedua (dari global ke lokal) melihat dari sudut pandang pengelolaan sumberdaya yaitu bahwa distribusi dan kontrol sumberdaya kelautan mengarah pada “lokalisasi pengelolaan” atau ke arah “fragmentasi” wilayah kelautan, walaupun tidak secara fisik, melainkan lebih pada penguatan institusi lokal. Dalam mainstream ini pendekatan yang dilakukan adalah from global to local, semangat yang dijadikan dasar dari konsep desentralisasi kelautan (Adrianto, 2004).

Salah satu argumen utama dari mainstream ini adalah bahwa dalam alokasi dan kontrol pengelolaan sumberdaya kelautan, apabila ditangani secara terpusat, menimbulkan kekhawatiran mismanagement karena lingkup yang dikelolanya terlalu besar dan beragam. Mainstream ini menurut Gracia dan Hayashi (2000) yang diacu Adrianto (2004) bahwa mainstream ini menginginkan (1) pengelolaan yang lebih tepat (precise) dan diserahkan kepada masyarakat lokal, (2) kemampuan memfasilitasi munculnya tanggung jawab dari penggunaan (local fisheries users), dan (3) pengurangan perdebatan terhadap kontrol sumberdaya antar users.

Adrianto (2004) mengemukakan tentang “Desentralisasi Kelautan Plus” yang pada intinya bahwa pengelolaan sumberdaya kelautan dapat dilakukan dengan alternatif pengelolaan bersama, dimana pengelolaan ini tidak mendasarkan pada instrumen kebijakannya pada faktor identitas (masyarakat lokal A atau B, kabupaten A atau kabupaten B), tetapi lebih pada kepuasan bersama (mutual satisfaction). Komponen DK pada konsep ini menitikberatkan pada proses pengambilan keputusan yang site-specific, namun bukan dengan dasar identitas atau primordial. Dengan demikian, beberapa ide global dalam SK masih dapat diakomodasi dalam konsep ini sebatas pada pengelolaan ekosistem dan fasilitas kepentingan semesta.

Pelaksanaan UU No.32/2004 yang berisi tentang ketentuan-ketentuan hukum administrasi pemerintahan, memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten dan kota dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka dalam menjalankan roda pemerintahan. Desentralisasi memberi peluang dan tanggung jawab pengelolaan sumberdaya alam kepada daerah.


(27)

Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa daerah yang memiliki laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Sementara pasal 18 ayat (3) menyebutkan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya laut meliputi; eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara. Selain itu pasal 18 ayat (4) mengatur tentang batas wilayah laut 12 mil untuk Provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk Kabupaten/Kota.

Berdasarkan Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Cakupan pengelolaan perikanan sangat luas dan implementasinya dalam pembangunan perikanan nasional memerlukan peraturan pelaksanaan karena melibatkan berbagai instansi dan berbagai kepentingan.

2.2 Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang pena ngkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas (Monintja, 1994). Secara jelas definisi tersebut menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial, disamping memperoleh nilai tambah lainnya, misalnya penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hewan, devisa serta pendapatan negara.

Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia tersebar disejumlah wilayah perairan, pelagis besar memiliki peluang pengembangan sebesar 79,2 ribu ton per tahun di perairan Selat Makasar dan Laut Flores; 83,3 ribu ton per tahun di Laut Banda; 83,3 ribu ton per tahun di Laut Seram sampai Teluk tomini; 40,7 ribu ton


(28)

per tahun di Laut Arafura dan 25,8 ton per tahun di Samudera Hindia (Dahuri, 2002).

Untuk keberlanjutan usaha perikanan tangkap, diperlukan tindakan-tindakan pengelolaan, karena :

(1) Perikanan tangkap berbasis pada sumberdaya hayati yang dapat diperbaharui (renewable), namun dapat mengalami deplesi atau kepunahan. Sumberdaya ikan memiliki kelimpahan yang terbatas, sesuai carryng capacity habitatnya. (2) Sumberdaya ikan dikenal sebagai sumber daya milik bersama (common

property) yang rawan terhadap tangkap lebih (overfishing).

(3) Pemanfaatan sumberdaya ikan dapat merupakan sumber konflik (di daerah penangkapan ikan maupun dalam pemasaran hasil tangkapan).

(4) Usaha penangkapan haruslah menguntungkan dan mampu memberi kehidupan yang layak bagi para nelayan, yang melebihi kapasitas akan menimbulkan kemiskinan para nelayan.

(5) Kemampuan modal, teknologi dan akses informasi yang berbeda antar nelayan cenderung menimbulkan kesenjangan dan konflik.

(6) Usaha penangkapan ikan dapat menimbulkan konflik dengan sub sektor lainnya, khususnya dalam zona atau tata ruang pesisir dan laut (Monintja dan Yusfiandayani, 2001).

2.3 Sumberdaya Ikan Layang

Salah satu ikan pelagis kecil yang mempunyai arti penting bagi perikanan Indonesia adalah ikan layang yang terdiri dari ikan layang jenis Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma. Berdasarkan statistik perikanan kedua jenis ikan layang tersebut dimasukan dalam satu kategori yaitu Decapterus spp (Widodo, 1988). Ikan layang selain hidup diperairan berkadar garam yang relatif tinggi yaitu 32-34‰, ikan ini hidup bergerombol seperti ikan pelagis kecil lainnya antara lain ikan kembung (Rastrelliger spp), selar (Selaroiders spp), teri (Stolephorus spp), japuh (Dussumieria spp), tembang (Sardinella fimbriata), dan lemuru (Sardinella longiceps).

Ikan layang termasuk ikan yang mampu bergerak sangat cepat di air laut, karena bentuknya seperti cerutu dan sisiknya sangat halus. Ikan ini banyak terdapat diperairan yang mempunyai jarak 37-56 km dari pantai, dan mempunyai


(29)

salinitas optimum berkisar antara 32-33‰, dan dalam kehidupannya dipengaruhi oleh musim. Ikan layang memiliki ukuran maksimum 30 cm dan ukuran umumnya adalah 20-25 cm, selain itu ikan layang muncul di permukaan karena dipengaruhi oleh migrasi harian dari organisme lain yang terdapat di suatu perairan. Pada siang hari gerombolan-gerombolan ikan bergerak ke lapisan atas, yang disebabkan oleh adanya perpindahan masal dari plankton nabati yang diikuti oleh plankton hewani dan binatang-binatang yang lebih besar termasuk ikan (Asikin, 1971).

Makanan ikan layang terdiri dari copepoda 390/

0, crutacea 310/0 dan

organisme lainnya 300/

0. Ikan layang memijah pada perairan dengan suhu

minimum sebesar 170C dan umumnya melakukan pemijahan sebanyak dua kali pertahun dengan puncak pemijahan pada bulan Maret/April dan bulan Agustus/September.

2.4 Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap Berkelanjutan

Ketersediaan sumberdaya (stock) ikan dengan tingkat penangkapan pada setiap wilayah penangkapan ikan (fishing ground) sangat penting untuk menjamin sistem usaha perikanan tangkap yang efisien secara berkelanjutan. Mengingat sumberdaya perikanan sebagaimana sumberdaya alam lainnya merupakan aset negara yang dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi kesejahteraan suatu

bangsa (wealth of nation). Sumberdaya perikanan tangkap merupakan sumberdaya hayati yang dapat

diperbaharui, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestarinya (maximum sustainable yield, MSY). Apabila terjadi tangkap lebih (overfishing), akibatnya terjadi penurunan hasil tangkapan per satuan upaya (catch per unit effort, CPUE ) yang akhirnya akan mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Wilayah penangkapan ikan yang sudah mengalami tangkap lebih, seperti Pantai Utara Jawa, Pantai Selatan Sulawesi, dan sebagian Selat Malaka. Apabila tingkat penangkapan dibawah potensi lestari (MSY), maka terjadi kondisi yang kurang optimal (underutilization) seperti yang terjadi di daerah Selat Makasar dan Laut Flores untuk jenis-jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil, dan ikan demersal, sedangkan untuk Laut Seram dan Teluk Tomini terdapat ikan- ikan pelagis besar,


(30)

pelagis kecil, ikan karang, lobster, dan cumi-cumi, termasuk di Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik (Dahuri, 2003).

Pemanfaatan sumber daya pesisir (khususnya perikanan) bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Oleh sebab itu pengelolaannya harus dapat memberikan manfaat secara sosial maupun ekonomi dalam paradigma keberlanjutan. Beberapa paradigma keberlanjutan menurut Charles (2001) diacu dalam Adrianto (2004) yaitu ; (1) ecological sustainability adalah paradigma keberlanjutan perikanan yang memelihara sumberdaya alamnya secara stabil dengan tidak mengeksploitasi sumberdaya yang melampaui batas generasinya, menjaga kelestarian lingkungan dengan menghindari terjadinya pencemaran, dan memelihara kelestarian dan keanekaragaman hayati (biodiversity) ; (2) socioeconomic sustainability, dalam paradigma ini keberlanjutan perikanan secara sosial dan ekonomi dimana seluruh kebutuhan dasar bagi masyarakat terpenuhi, adanya kesempatan kerja, distribusi pendapatan yang adil, keseimbangan produksi di sektor primer, dan memelihara kelangsungan ekonomi secara keseluruhan ; (3) community sustainability adalah keberlanjutan perikanan dicapai melalui pendekatan “kemasyarakatan” artinya keberlanjutan perikanan diupayakan dengan memberi perhatian utama pada aspek keberlanjutan masyarakat perikanan sebagai sebuah sistem komunitas. Konsep-konsep traditional fisheries yang terbukti mampu melakukan self-control terhadap hasil tangkap, penggunaan teknologi yang sesuai, tingkat kolektivitas yang tinggi antara anggota komunitas perikanan, dan adanya traditional knowledge yang mencerminkan upaya ketahanan perikanan dalam jangka panjang (long-term resilience) menjadi variabel yang penting dalam paradigma ini.

Dengan demikian, perikanan ya ng berkelanjutan bukan semata- mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian ikan itu sendiri (as fish) atau keuntungan ekonomi semata (as rents) tetapi secara seimbang juga memperhatikan persoalan keberlanjutan komunitas perikanan (sustainable community), dan (4) institutional sustainability yaitu mencakup kualitas keberlanjutan dari perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung tercapainya keberlanjutan perikanan itu sendiri. Dalam konteks ini, tujuan yang diharapkan adalah tujuan keberlanjutan


(31)

semesta yang lebih plural mencakup kerangka ekosistem keseluruhan termasuk di dalamnya tujuan-tujuan human system.

Pemerintah memiliki seluruh hak yang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya, seperti hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak eksklusif, dan hak mengalihkan. Sayangnya hak pemerintah sebagai pemilik sumberdaya belum mampu secara optimal memanfaatkan sumberdaya perikanan untuk mensejahterakan rakyat terutama masyarakat pesisir. Pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk mengelola sumberdaya perikanan, oleh sebab itu perlu ada investasi yang dilakukan oleh swasta, sementara pemerintah menerima pungutan (fee) sebagai pendapatan.

Karena sumberdaya perikanan merupakan suatu sumberdaya yang dinamis, dimana sumberdaya tersebut tumbuh dan berkurang secara alamiah, dan terkait dengan intervensi manusia yang sangat mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya tersebut, maka keputusan untuk mengeksploitasi waktu kini akan berdampak pada ketersediaan sumberdaya tersebut dimasa me ndatang. Apabila investasi dilakukan akan sangat bergantung dari stok dan faktor- faktor ekonomi lainnya. Selain itu, masuk dan keluarnya effort pada industri perikanan tidak bersifat statis, industri perikanan bergerak mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada sumberdaya dan faktor eksternal lainnya.

Kegiatan produksi pemanfaatan sumberdaya perikanan laut secara berkelanjutan memiliki tiga komponen saling berkaitan, yaitu :

(1) Komponen biologis.

(2) Kebijakan pemanfaatan sumberdaya. (3) Sosial ekonomi perikanan.

Satu sama lain dari ketiga komponen tersebut saling terkait, dimana komponen biologis menjelaskan dinamika stok ikan, komponen kebijakan pemanfaatan sumberdaya menunjukkan adanya dinamika kebijakan pengaturan armada penangkapan ikan (fishing effort), dan komponen sosial ekonomi menyajikan dinamika biaya dan keuntungan juragan pemilik kapal dan pendapatan anak buah kapal (ABK) dalam kegiatan penangkapan ikan. Kegiatan produksi melaut dalam rumah tangga nelayan berinteraksi sangat erat dengan dinamika ketersediaan ikan dan kebijakan dalam pemanfaatan penangkapan itu


(32)

sendiri (Tai dan Heaps, 1996). Untuk itu ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan.

2.5 Kemiskinan dan Pembangunan Masyarakat 2.5.1 Kemiskinan di Indonesia

Jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan mencapai 40 juta orang dan umumnya adalah buruh, petani dan nelayan. Kemiskinan ini dapat dilihat dari rendahnya pendapatan, gizi yang buruk, pendidikan yang rendah, pemukiman yang kurang memadai, lapangan kerja yang terbatas, serta distribusi pendapatan yang tidak merata.

Sebelum terjadi krisis multidimensional pada pertengahan tahun 1997 (Damayanti, 1999) yang diacu dalam Sudjijono dan Rudianto (2003), keadaan perekonomian Indonesia cukup baik. Bank Indonesia dalam tahun 1996 mencatat kinerja yang sangat baik dilihat dari indikator makro ekonomi, antara lain tingkat pertumbuhan ekonomi (economic growth) mencapai 7,8% pertahun dan inflasi pada lima bulan pertama mampu mencapai tingkat terendah selama sepuluh tahun terakhir pada periode yang sama. Cadangan devisa resmi pemerintah mencapai US $ 20 miliyar pada bulan maret 1997, investasi langsung luar negeri mencapai angka US $ 6,5 miliar pada tahun fiskal 1996/1997, sedangkan tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika terpelihara pada kisaran 3-5%.

Krisis tersebut yang membuat semua sadar bahwa ternyata struktur ekonomi Indonesia yang di bangun selama orde baru sangat rentan terhadap gejolak dari luar, seperti ambruknya perdagangan valuta asing di kawasan Asia, terutama di Thailand dan merambat ke negara- negara tetangga termasuk Indonesia. Depresiasi riil nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, menurun tajam mencapai 68%. Akibatnya posisi neraca pembayaran melemah, jumlah hutang luar negeri makin meningkat, inflasi mencapai 11,1% pada tahun 1997. Hal ini berlanjut pada tahun 1998 dengan jatuhnya presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan yang di lakukan oleh mahasiswa dan masyarakat.

Upaya penanggulangan kemiskinan menjadi fokus permasalahan penting. Hal ini mungkin disebabkan pada masa rezim Orde Baru, kebijakan dan strategi anti kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah tidak dilandasi keberpihakan


(33)

pada kepentingan masyarakat miskin, dan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi. Secara kualitatif, pencapaian atas upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia dapat diamati pada terjadinya pergeseran kebijakan dan strategi yang diterapkan. Semenjak Pelita I (tahun 1970-an) tahapan strategi penanggulangan kemiskinan hanya merupakan appendage dari upaya mempertahankan pertumbuhan yang setinggi – tingginya. Sejumlah kebijakan yang diambil yaitu :

(1) Pembangunan infrastruktur ekonomi pedesaan.

(2) Pengembangan kelembagaan yang terkait dengan pengentasan kemiskinan, seperti Program Pengembangan Wilayah (PPW), Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil Terpadu (P4KT), Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), dan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP).

(3) Perluasan jangkauan lembaga perkreditan untuk rakyat kecil (Kupedes, BKK). (4) Peningkatan akses kaum miskin kepada berbagai pelayanan sosial, seperti

pendidikan, air bersih, keluarga berencana.

(5) Pentransferan sumber-sumber pembangunan dari pusat ke daerah-daerah dalam bentuk Inpres yang bertujuan mendorong kegiatan ekonomi di daerah. Kebijakan dan strategi ini hasilnya cukup signifikan dan secara umum berlanjut hingga Pelita IV (tahun 1990-an). Penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan, yaitu dari 60% ditahun 1970-an menjadi tinggal 15% ditahun 1990-an. Selama kurun waktu 25 tahun terjadi peningkatan lebih dari 14 kali pendapatan rata-rata per kapita per tahun menurut harga yang berlaku, yaitu dari US $ 70 tahun 1969 menjadi US $ 1000 pada tahun 1995. Dengan acuan angka tersebut terjadi penurunan yang cukup tajam jumlah penduduk miskin, yaitu dari 60% (70 juta jiwa) pada tahun 1970 menjadi kurang dari 14% (25,9 juta jiwa) pada tahun 1993. Disamping itu dalam kurun waktu yang sama ekonomi tumbuh rata-rata hampir 7% pertahun, serta tercipta lapangan kerja untuk 43,6 juta pencari kerja atau lebih kurang separuh dari tingkat pengangguran pada masa itu. Nilai keseluruhan ekspor meningkat 53 kali, yaitu dari US $ 872 juta pada tahun 1968 menjadi US $ 46,3 milyar pada tahun 1995/1996 (Kartasasmita, 1996).


(34)

Sayogyo (1978) yang diacu dalam Sumodiningrat et al. (1999) membuat kriteria garis kemiskinan dengan menggunakan satuan kilogram beras ekuivalen dalam 4 kelompok yaitu:

(1) Sangat miskin, yaitu mereka yang berpenghasilan dibawah setara dengan 240 kg tiap orang dalam setahun untuk penduduk pedesaan, dan setara dibawah dengan 360 kg beras selama setahun yang tinggal diperkotaan.

(2) Miskin, yaitu mereka yang mempunyai penghasilan setara dengan 240 kg sampai dengan 320 kg beras tiap orang dalam setahun untuk penduduk dipedesaan, dan setara dengan 360 kg sampai dengan 480 kg selama setahun bagi yang tinggal di perkotaan.

(3) Hampir cukup, yaitu mereka yang mempunyai penghasilan setara dengan 320 kg sampai dengan 480 kg tiap orang dalam setahun yang tinggal diperkotaan. (4) Cukup, yaitu mereka yang mempunyai penghasilan diatas setara dengan 480 kg beras tiap orang dalam setahun untuk penduduk pedesaan dan diatas setara dengan 720 kg beras tiap orang dalam setahun yang tinggal di perkotaan. Bank Dunia (1980) yang diacu Sumodiningrat et al. (1999) dalam laporannya mencatat kondisi masalah kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan kriteria pendapatan sebesar US $ 285 per kapita selama setahun. Salim (1982) yang diacu dalam Sumodiningrat et al. (1999) mengemukakan lima ciri-ciri penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan sebagai berikut:

(1) Umumnya penduduk tidak mempunyai faktor produksi seperti tanah, modal, ataupun keterampilan, sehingga kemampuan memperoleh pendapatan menjadi terbatas.

(2) Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri.

(3) Tingkat pendidikan mereka umumnya rendah, karena waktu mereka tersita untuk mencari nafkah dan mendapatkan penghasilan.

(4) Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan.

(5) Mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak didukung oleh keterampilan yang memadai.

Pengentasan kemiskinan di negara berkembang merupakan suatu lingkaran setan (vicious circle). Smith (1776) yang diacu dalam Hakim (2002) menganalisis


(35)

bagaimana perekonomian suatu negara bisa tumbuh, Smith menyebutkan dua aspek utama pertumbuhan ekonomi yaitu, (1) pertumbuhan output total (diukur dengan GDP ataupun GNP), dan (2) pertumbuhan penduduk. Dalam pertumbuhan output, Smith mengemukakan bahwa variabel penentu proses produksi suatu negara dalam menghasilkan output total yaitu, (1) sumberdaya alam yang tersedia, dimana sumberdaya ini merupakan bahan baku utama dari kegiatan produksi suatu perekonomian dan jumlahnya terbatas. Proses produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi manusia (proses pertumbuhan ekonomi) akan terus berjalan sepanjang sumberdaya alam masih tersedia. Jika sumberdaya alam telah habis, maka proses produksi terhenti, dan dengan demikian proses pertumbuhan ekono mi akan terhenti, (2) sumberdaya manusia yang merupakan input dalam proses produksi, jumlahnya akan bertambah dan berkurang sesuai dalam kebutuhan proses produksi, dan (3) tersedianya modal merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan cepat lambatnya proses pertumbuhan output.

2.5.2 Kemiskinan Nelayan

Pembangunan nasional secara intensif telah berjalan sejak tiga dasawarsa terakhir dan program-program pemberdayaan masyarakat nelayan telah dilakukan, tetapi ternyata hasil yang dicapai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan masih jauh dari harapan. Sekitar 65% masyarakat nelayan Indonesia masih tetap terbelenggu oleh kemiskinan (Kusnadi, 2004). Kemiskinan nelayan dicirikan oleh lima karakteristik, yaitu:

(1) Pendapatan nelayan bersifat harian (daily increments) dan jumlahnya sulit ditentukan. Selain itu, pendapatannya juga sangat bergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri, dalam arti ia sebagai juragan (nelayan pemilik alat produksi) atau pandega (nelayan buruh). Dengan pendapatan yang bersifat harian, tidak dapat ditentukan, dan sangat tergantung pada musim, mereka (nelayan pandega) sulit merencanakan penggunaan pendapatannya.

(2) Dilihat dari pendidikannya, tingkat pendidikan nelayan atau anak-anak nelayan pada umumnya rendah. Kondisi demikian mempersulit mereka dalam memilih atau memperoleh pekerjaan lain, selain meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan. Sementara itu, anak-anak nelayan yang berhasil mencapai pendidikan tinggi, maupun para sarjana perikanan, enggan


(36)

berprofesi sebagai nelayan, karena menganggap profesi nelayan sebagai lambang ketidakmapanan.

(3) Dihubungkan dengan sifat produk yang dihasilkan nelayan, maka nelayan lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukar- menukar karena produk tersebut bukan merupakan makanan pokok. Selain itu sifat produk yang mudah rusak dan harus segera dipasarkan, menimbulkan ketergantungan yang besar dari nelayan kepada pedagang. Hal ini menyebabkan harga ikan dari nelayan dikuasai oleh pedagang.

(4) Bidang perikanan membutuhkan investasi cukup besar dan cenderung mengandung resiko yang besar dibandingkan sektor usaha lainnya. Oleh karena itu, nelayan cenderung menggunakan armada dan peralatan tangkap yang sederhana, ataupun hanya menjadi anak buah kapal (ABK).

(5) Kehidupan nelayan yang miskin juga diliputi oleh kerentanan, misalnya ditunjukkan oleh terbatasnya anggota keluarga yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan nelayan ya ng sangat besar pada satu mata pencaharian, yaitu menangkap ikan (Firth, 1967) yang diacu dalam Kusnadi (2004).

Monintja dan Yusfiandayani (2001) mendefinisikan Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Sementara itu Undang–Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam konteks nelayan, ada yang membedakan nelayan tradisional yaitu mereka yang bergerak disektor kelautan dengan menggunakan perahu layar tanpa motor. Nelayan modern adalah nelayan dengan menggunakan kapal bermesin. Jelas perbedaannya pada penggunaan mesin dan yang tidak menggunakan mesin, dan hal ini akan berpengaruh pada pendapatan dan hasil tangkapan.

Secara ekonomi konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan, bahwa manfaat yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama mereka yang tergolong ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri.


(37)

Negara Indonesia yang mempunyai potensi sumberdaya alam yang besar, maka prinsip ini sangat mendasar karena banyak kerusakan lingkungan pantai, misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, semuanya berakar dari kemiskinan dan tingkat pengetahuan yang rendah dari para pelakunya. Pemahaman kehidupan nelayan dimaksudkan untuk menentukan penjelasan pertanyaan bagaimana kemiskinan yang terjadi selama proses pembangunan di sekitar kelautan? Hal ini dapat dijawab dengan berbagai pendekatan tentang kemiskinan. Menurut Soemardjan (1980) yang diacu Dahuri (2002), pendekatan kemiskinan secara umum terbagi atas tiga yaitu: (1) pendekatan struktural, (2) pendekatan kultural, (3) pendekatan alamiah.

Pendekatan struktural yang merupakan istilah kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat yang karena kondisi struktur sosial yang ada mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Misalnya, hanya nelayan yang mempunyai posisi atas yang lebih memiliki akses pada sumber daya, baik modal, teknologi, informasi dan pasar. Sementara nelayan kecil yang dalam struktural sosial tidak memilki struktur yang kuat, terus terperangkap dalam kemiskinan. Pendekatan kultural melihat kemiskinan karena faktor budaya seperti kemalasan yang bersumber pada nilai- nilai lokal yang tidak kondusif untuk suatu kemajuan. Pada hari- hari tidak melaut, nelayan mengisi waktunya dengan diskusi informal yang berhubunga n dengan persoalan yang mereka hadapi dalam proses produksi sampai membicarakan hal- hal yang aktual. Tetapi waktu tersebut digunakan untuk konsumtif, seperti bermain domino, mereka tidak memikirkan bagaimana memecahkan masalah yang mungkin mereka lakukan untuk mengatasi kehidupan mereka. Pendekatan alamiah melihat kemiskinan karena faktor alamiah, bahwa kondisi alam yang tidak mendukung mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi produktif. Kerusakan lingkungan akibat tidak adanya sumber pendapatan lain, seperti penebangan mangrove, pengeboman ikan oleh manusia, dan kerusakan lingkungan karena faktor alam.

Rendahnya pendidikan nelayan beserta anggota keluarganya, menyebabkan terhambatnya inisiatif yang diambil oleh nelayan untuk mengisi waktu mereka


(38)

diluar proses produksi. Disamping itu rumah tangga nelayan yang dekat dengan lokasi pendidikan masih dihadapkan pada keterbatasan jenjang pendidikan. Umumya masyarakat nelayan hanya berpendidikan sekolah dasar, sedangkan rumah tangga nelayan yang berpendidikan SLTP dan SLTA masih kurang. Pendidikan orang tua menurun pada anggota keluarga yaitu anak-anak nelayan, sehingga persepsi pendidikan menurut orang tua tidak jelas, mengakibatkan anak-anak terlibat kegiatan proses persiapan penangkapan, proses pendaratan kapal (terutama pada kapal nelayan tradisional), dan penangkapan ikan. Upaya pengembangan pendidikan diwilayah nelayan belum terarah serta belum menjamin kelangsungan pendidikan anak nelayan, sehingga pengetahuan dan keterampilan regenerasi nelayan rendah.

Greetz (1963) yang diacu dalam Elfindri (2002) mengemukakan bahwa kemiskinan adalah salah satu produk dari interdependensi yang kental antara buruh dan pemilik modal yang dikenal dengan hubungan “patron client” dimana hubungan ini secara signifikan menjelaskan langgengnya proses kemiskinan dalam bentuk ketergantungan kaum buruh kepada pemilik modal secara terus menerus. Hal ini sulit dihilangkan yang menyebabkan keuntungan berada pada juragan atau pemilik modal yang jauh dari keadilan. Presiden Republik Indonesia dalam pidato kenegaraan pada tanggal l5 Agustus l992 mengemukakan tentang kriteria miskin, dimana penduduk yang termasuk miskin apabila berpenghasilan Rp 20.614 per kapita setiap bulan untuk yang tinggal di daerah perkotaan, sedangkan ya ng tinggal dipedesaan berpenghasilan Rp 13.295 per kapita per bulan.

Pada umumnya nelayan sebelum melaut sudah terbelenggu oleh hutang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Akses modal tidak ada, sehingga menambah hidup lebih terpuruk. Kredit dari pemerintah melalui bank-bank belum mampu untuk mengatasi berbagai kendala untuk memperbesar kapasitas produksi, sehingga keterlibatan swasta melalui investasi sangat diperlukan.

Perolehan dana bagi pemberdayaan masyarakat nelayan salah satunya melalui konsep mikro banking, seperti yang diterapkan Bank Negara Indonesia yang memiliki karakteristik umum antara lain (BNI, 2000) yang diacu dalam Edy (2004) yaitu (1) dijalankan sendiri atau dengan anggota keluarga dan beberapa pegawai yang dibayar, (2) hanya memiliki akses pada sektor permodalan yang


(39)

lebih kecil atau tidak sama sekali, (3) produktivitas rendah, dan (4) jarang memiliki izin usaha sehingga tidak tercatat dalam statistik, tidak memiliki akses pada bank, tidak memiliki akses untuk pelatihan–pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, tidak dikenal dan tidak terjangkau oleh dukungan penguasa. Unit usaha yang menjadi target adalah :

(1) Usaha yang sangat kecil dengan kriteria :

− Skala usaha yang sangat kecil.

− Tenaga kerja kurang dari 10 orang.

− Tidak ada pemisahan yang jelas antara rumah tangga dan usaha.

− Menghasilkan produk interior.

− Pemasaran terbatas di pasar lokal.

− Modal kerja maksimal Rp 5 juta.

− Belum mampu mengakumulasi modal. (2) Usaha kecil sederhana dengan kriteria :

− Jumlah tenaga kerja 10 – 25 orang.

− Mengandalkan pasar lokal dalam provinsi untuk golongan menengah kebawah.

− Sifat pemasaran masih terpaku pada pola tradisional atau mengikuti trend yang diciptakan usaha yang lebih besar.

− Modal kerja Rp. 5 juta sampai Rp. 10 juta.

− Kemampuan mengakumulasi modal masih sangat terbatas.

(3) Usaha kecil yang sudah mampu mengakumulasi modal dengan kriteria : - Jumlah tenaga kerja sampai dengan 50 orang.

- Sudah mengadopsi teknologi yang relatif baru.

- Pemisahan yang jelas antara ruma h tangga dengan produksi usaha. - Pemasaran mengandalkan agen.

- Jangkauan pemasaran sampai luar provinsi. - Modal kerja diatas Rp. 50 juta.

Edy (2004) dalam kajiannya mengenai strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan tradisional melalui micro banking, dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan lautan terpadu, mengambil kasus Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Dalam kajian


(40)

tersebut dijelaskan bahwa Kabupaten Pekalongan sudah mengalami tangkap lebih (overfishing) dengan pendapatan riil masyarakat pesisir sebesar Rp. 217.500 perbulan, sedangkan upah minimum regional (UMR) sebesar Rp. 315.000,-. Halnya dengan Kabupaten Boalemo yang kondisi penangkapan ikan yang masih dibawah hasil tangkapan maksimum lestari, dimana pendapatan riil masyarakat pesisir sebesar Rp. 258.500 perbulan, dan UMR sebesar Rp. 375.000,-. Sehingga kedua Kabupaten ini termasuk kategori miskin sehingga perlu diberdayakan melalui micro banking. Sementara upah minimum regional (UMR) yang berlaku di Kabupaten Pohuwato sebesar Rp 500.000 (PEMDA Kabupaten Pohuwato, 2005).

Pada era reformasi keadaan perekonomian tidak semakin baik, banyaknya pengangguran, korupsi semakin tidak teratasi, kriminalitas meningkat, penegakan hukum rendah, yang membuat Indonesia semakin terpuruk, sehingga banyak investor asing yang enggan menanamkan modal di Indonesia dan mengalihkannya ke negara lain, alasannya karena Indonesia tidak aman. Keterpurukan ekonomi ini secara keseluruhan membuat rakyat tidak berdaya termasuk masyarakat nelayan terutama nelayan tradisional.

Untuk meningkatkan pendapatan nelayan (Monintja, 1996) dapat dilakukan melalui perbaikan sistem harga ikan yang berlaku, seperti ;

1) Upaya penyuluhan untuk memperkenalkan teknologi baru yang dapat meningkatkan mutu ikan sehingga produk ikan akan memiliki nilai ekonomis. 2) Meningkatkan keterampilan nelayan terutama untuk menangkap ikan yang

memiliki nilai jual tinggi.

3) Upaya penyediaan fasilitas perkreditan terutama untuk usaha nelayan. 4) Peningkatan sarana dan prasarana produksi.

5) Pembinaan terhadap KUD.

6) Bantuan modal dalam bentuk perkreditan.

7) Pemberian fasilitas sarana dan prasarana pelelangan ikan seperti TPI/PPI dan sebagainya.

2.5.3 Pembang unan Berbasis Masyarakat

Untuk mewujudkan tatanan masyarakat dalam kerangka pemberdayaan masyarakat nelayan, diperlukan suatu komunitas (community) yaitu satu kesatuan


(41)

masyarakat yang ukurannya relatif kecil sehingga terjadi hubungan yang intensif ke dalam dari pada ke luar dan memiliki kesamaan tertentu. Karakteristik komunitas sendiri terdiri dari, (1) primordial community yaitu komunitas yang memiliki kesamaan suku, agama, dan ras, (2) occupation community yaitu komunitas yang anggotanya memiliki kesamaan pekerjaan/profesi, dan (3) spatial community yaitu komunitas yang terbentukkarena kesamaan tempat tinggal. Istilah pemberdayaan muncul sebagai kritik terhadap model pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan berharap bahwa pendekatan Trickle Down Effect (menetes kebawah) sebagai formula yang ampuh untuk mewujudkan pemerataan pembangunan. Friedman (2001) yang diacu Wirutomo et al. (2003) pemberdayaan (empowerment) mendapatkan kekuatan (power), hal ini dikaitkan denga n kemampuan golongan miskin untuk mendapatkan akses ke sumber-sumber daya yang menjadi dasar dari kekuasaan dalam suatu sistem atau organisasi. Dengan akses tersebut mereka menjadi mandiri dalam proses pengambilan keputusan sehingga mampu keluar dari kemiskinan .

Tujuan pemberdayaan adalah menjadikan komunitas mandiri terhadap agen-agen eksternal, dalam menyusun agen-agenda maupun menangani urusan- urusannya sendiri. Proses ini menekankan pada segi capacity building dan dukungan dari pada stakeholders. Pemberdayaan kemudian menjadi pendekatan bagi pembangunan alternatif yang lebih menitikberatkan pada pendekatan bottom-up dengan menempatkan rakyat miskin sebagai prioritas serta memberikan ruang partisipasi yang besar pada masyarakat. Dengan demikian pembangunan ini berpusat pada masyarakat (people-centered development) dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Sehubungan dengan telah dilaksanakannya UU No.32/2004dan UU No. 33/2004, diharapkan proses pengambilan kebijakan yang dilakukan di tingkat daerah akan lebih efektif dan efisien dan tepat sasaran, karena pembuat kebijakan adalah orang yang lebih memahami kondisi di daerah.

Suatu kebijakan yang arif apabila pemanfaatan sumberdaya alam di sektor perikanan dapat mensejahterakan masyarakat nelayan dan dapat menambah pendapatan asli daerah maupun devisa negara. Adanya undang- undang tersebut diatas diharapkan mampu mendukung diterapkannya ekonomi nasional yang berbasis pada masyarakat atau ekonomi kerakyatan. Krisis multi dimensional


(42)

yang dialami bangsa Indonesia, telah memperburuk iklim usaha nasional dan hal ini yang mendorong serta menyadarkan banyak pihak begitu pentingnya tata ekonomi baru yang kokoh dan bersumber pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan secara luas dan menyeluruh. Pembanguna n daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional harus mampu menjalankan makna dari UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 melalui penguatan ekonomi berbasis sumberdaya yang ada pada masyarakat.

2.6 Pendekatan Tangkapan Maksimum Lestari

Tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield atau MSY) yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan yang didasarkan atas faktor biologi. Proses pertumbuhan biologis spesies ikan yang menyatakan bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi melebihi kapasitas produksi sehingga menghasilkan surplus. Model produksi surplus digunakan dalam mengestimasi stok ikan di perairan tropis, tujuannya adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu tangkapan maksimum lestari (MSY) tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang (Sparre dan Venema, 1999). Apabila surplus tersebut dipanen pada tingkat yang tepat maka ketersediaan spesies ikan tersebut akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Sehubungan dengan kecenderungan terjadinya eksploitasi sumberdaya perikanan yang berlebih, MSY digunakan sebagai dasar dalam menganalisis potensi perikanan di suatu kawasan perairan laut. Adapun besarnya MSY adalah seperdua dari carrying capacity (K). Hasil tangkapan sangat bervariasi tergantung pada jumlah fishing effort, sehingga diperoleh tingkat keseimbangan besarnya populasi ikan yaitu pada setiap tingkat fishing effort. Data hasil tangkapan (yield) berdasarkan periode waktu tertentu (time series), dapat diperoleh hasil tangkapan maksimum, sehingga keseimbangan penangkapan ikan tertinggi dapat dicapai dengan tidak mengurangi besarnya ketersediaan (stok) ikan yang ada. Kesalahan dalam pengkajian stok akan berakibat terhadap kesalahan dalam pemanfaatan, pengelolaan, dan kebijakan pegembangan perikanan.


(43)

Gambar 2 Kurva hubungan stock dan effort

Eksploitasi penangkapan ikan di suatu perairan (Panayatou, 1982) dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu : (1) tingkat eksploitasi sebelum puncak produksi (under-exploited), dan (2) tingkat eksploitasi sesudah puncak produksi (over-exploited).

Gambar 3 menunjukkan keadaan under-exploited dan over-exploited, jika keadaan berada pada under-exploited apabila upaya tangkap (effort) aktual lebih

Fishing effort MSY

Gambar 3 Kurva hubungan produksi dan fishing effort Y

under-exploited over-exploited Produksi

(ton)

Effort (E) Stock (x)


(1)

173

Lampiran 23 Hasil simulasi Skenario-3 (

effort

optimal-

yield

aktual)

biomassa_B(t) = biomassa_B(t - dt) + (laju_biomassa - Tangkapn_C - Kematian)

* dt

INIT biomassa_B = 13084.73

INFLOWS:

laju_biomassa = GRAPH(biomassa_B*pertumbuhan_intrinsik_r)

(0.00, 38.0), (10.0, 38.5), (20.0, 39.0), (30.0, 41.5), (40.0, 41.0), (50.0, 42.0),

(60.0, 35.5), (70.0, 32.5), (80.0, 0.00), (90.0, 0.00), (100, 0.00)

OUTFLOWS:

Tangkapn_C = biomassa_B-perubahan_tangkapan

Kematian = GRAPH((Kematian_Alami+ratio_biomassa)-biomassa_B)

(0.00, 0.00), (10.0, 0.00), (20.0, 46.5), (30.0, 48.5), (40.0, 57.0), (50.0, 62.5),

(60.0, 59.0), (70.0, 71.5), (80.0, 85.0), (90.0, 78.5), (100, 0.00)

pendapatan(t) = pendapatan(t - dt) + (laju_pendapatan) * dt

INIT pendapatan = 0

INFLOWS:

laju_pendapatan = total_pendapatan*DF

pengeluaran(t) = pengeluaran(t - dt)

INIT pengeluaran = 9420296125

Unit_Tangkapan_E(t) = Unit_Tangkapan_E(t - dt) + (laju_effort - effort) * dt

INIT Unit_Tangkapan_E = 48

INFLOWS:

laju_effort = laju_effort_tetap*dampak_penambahan_effort_terhadap_CPUE

OUTFLOWS:

effort = Unit_Tangkapan_E/rata2_effort

laju_pengeluaran = total_biaya*DF

BC = pendapatan/pengeluaran

biaya_tetap = 168000000

biaya_tidak_tetap = 8772296125+retribusi1+upah_ABK

CPUE = Tangkapn_C/Unit_Tangkapan_E

CPUE_normal = 50

dampak_penambahan_effort_terhadap_CPUE = tabel*ratio_CPUE

daya_dukung_lingkungan_K = 92528.05

DF = (1/1+suku_bunga)^TIME

efisiensi = 0

harga_ikan = 9298.22

Kematian_Alami = pertumbuhan_intrinsik

koefisien_tangkapan_q = 0.0054305+efisiensi

laju_effort_tetap = 10


(2)

174

Lampiran 23 (Lanjutan)

net_benefit = total_pendapatan-total_biaya

NPV1 = pendapatan-pengeluaran

pertumbuhan_intrinsik = 0.5359959

pertumbuhan_intrinsik_r = 0.5359959

perubahan_tangkapan = koefisien_tangkapan_q*Unit_Tangkapan_E

rata2_effort = 10

ratio_biomassa = biomassa_B*daya_dukung_lingkungan_K

ratio_CPUE = CPUE/CPUE_normal

retribusi1 = 0.05*total_pendapatan

suku_bunga = 0.12

tabel = 1

total_biaya = biaya_tetap+biaya_tidak_tetap

total_pendapatan = harga_ikan*Tangkapn_C

upah_ABK = 0.5*total_pendapatan


(3)

Lampiran 24 Matriks pembobotan responden untuk skenario investasi effort optimal-yield optimal (Skenario-1)

Kriteria 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 0

1 1

1 2

1 3

1 4

1 5

1 6

1 7

1 8

1 9

2 0

JM

L Rata2 Bobot

Ekologi 0.0801

MSY 9 8 8 6 6 7 8 9 9 9 6 7 9 6 9 9 8 6 9 9 157 7.85 0.0801

Ekonomi 0.6114

Investasi 9 9 9 7 8 7 7 7 8 9 6 6 6 7 6 7 9 9 9 7 152 7.60 0.0775 Biaya 8 6 6 8 6 7 7 8 7 6 9 8 7 9 6 5 6 6 7 8 140 7.00 0.0714 Penerimaan 8 9 6 9 9 9 6 6 8 8 9 6 6 5 5 7 8 9 9 6 148 7.40 0.0755

NPV 7 8 9 6 7 8 8 8 8 9 9 8 8 5 9 5 6 7 8 7 150 7.50 0.0765

B/C 6 7 8 6 6 7 8 9 8 8 6 7 8 9 7 5 6 7 9 6 143 7.15 0.0729

MEY 7 7 7 8 7 8 9 8 7 7 9 7 6 5 8 9 9 9 8 8 153 7.65 0.0780 Pasar (yield) 9 8 7 8 8 8 6 7 8 9 9 9 7 8 9 7 8 9 6 7 157 7.85 0.0801 PAD (penerimaan) 7 8 9 7 7 8 9 7 8 9 7 9 8 8 8 9 5 7 9 7 156 7.80 0.0796

Sosial 0.3085

Penyerapan tenaga kerja (investasi) 9 7 8 7 8 8 7 9 8 7 8 8 9 8 8 6 9 8 8 7 157 7.85 0.0801 Persepsi stakeholder 5 6 7 6 7 6 7 9 9 7 7 8 8 9 8 8 7 7 6 9 146 7.30 0.0745 Tingk at pendidikan 9 9 8 9 7 8 7 8 8 9 9 9 7 8 7 7 9 8 6 8 160 8.00 0.0816 Pertumbuhan sektor informal 6 7 7 8 8 6 3 6 8 9 6 7 8 9 8 9 6 8 7 6 142 7.10 0.0724 Jumlah 98.05 1.0000


(4)

Lampiran 25 Matriks pembobotan responden untuk skenario investasi effort

aktual - y

eld optimal (Skenario -2)

Kriteria 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 0

1 1

1 2

1 3

1 4

1 5

1 6

1 7

1 8

1 9

2 0

JM

L Rata2 Bobot

Ekologi 0.0581

MSY 1 5 4 2 2 1 4 2 5 6 4 5 3 2 1 4 4 2 1 5 63 3.15 0.0581

Ekonomi 0.5908

Investasi 9 9 9 8 8 6 7 8 7 8 6 6 6 7 8 6 7 9 8 8 150 7.50 0.1382 Biaya 9 9 8 8 8 8 7 6 7 6 6 7 9 6 6 7 7 8 7 9 148 7.40 0.1364 Penerimaan 2 1 1 1 2 3 4 4 5 3 3 2 3 5 5 5 6 6 2 3 66 3.30 0.0608

NPV 1 1 2 3 3 2 3 1 1 3 3 2 2 2 4 5 7 4 4 3 56 2.80 0.0516

B/C 1 1 2 1 1 2 2 2 2 3 3 3 2 2 3 2 2 2 4 2 42 2.10 0.0387

MEY 2 2 3 3 2 2 2 4 2 4 4 2 2 2 1 1 2 2 2 1 45 2.25 0.0415 Pasar (yield) 4 5 6 2 3 5 6 4 2 3 4 4 6 4 5 5 4 4 3 2 81 4.05 0.0747 PAD (penerimaan) 2 1 2 2 1 3 3 3 2 2 4 2 8 1 1 4 2 5 2 3 53 2.65 0.0488

Sosial 0.3512

Penyerapan tenaga kerja (investasi) 9 7 8 7 8 9 9 9 7 9 7 7 7 9 8 7 8 9 9 7 160 8.00 0.1475 Persepsi stakeholder 5 6 6 4 3 3 3 5 6 3 7 6 3 4 5 4 7 6 5 6 97 4.85 0.0894 Tingkat pendidikan 3 4 1 2 2 3 2 3 4 3 4 5 6 6 3 3 3 3 5 3 68 3.40 0.0627 Pertumbuhan sektor informal 2 2 3 3 2 2 3 5 6 3 4 2 3 1 2 2 2 1 4 4 56 2.80 0.0516 Jumlah 54.25 1.0000


(5)

Lampiran 26 Matriks pembobotan responden untuk skenario investasi effort optimal-yield aktual (Skenario-3)

Kriteria 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 0

1 1

1 2

1 3

1 4

1 5

1 6

1 7

1 8

1 9

2 0

JM

L Rata2 Bobot

Ekologi 0.0500

MSY 3 4 3 3 6 2 4 6 5 6 4 4 3 5 5 4 4 2 1 5 79 3.95 0.0500

Ekonomi 0.7106

Investasi 5 5 4 3 5 4 4 4 5 5 6 5 5 4 4 6 5 6 3 5 93 4.65 0.0589 Biaya 2 3 3 5 5 6 4 6 4 6 6 6 4 6 6 6 1 1 4 6 90 4.50 0.0570 Penerimaan 7 8 8 9 7 7 6 9 6 6 8 8 8 6 6 7 6 6 9 8 145 7.25 0.0918

NPV 8 8 9 9 8 8 9 7 8 7 7 8 7 7 8 9 7 8 9 9 160 8.00 0.1013

B/C 7 8 7 8 9 9 8 6 8 9 6 7 8 8 7 8 6 8 7 7 151 7.55 0.0956

MEY 8 8 8 9 9 9 8 7 9 6 9 9 9 9 7 7 9 9 8 8 165 8.25 0.1045 Pasar 8 9 9 8 8 8 6 7 8 8 7 8 6 7 8 8 8 6 6 7 150 7.50 0.0950 PAD 8 8 8 9 9 9 9 9 8 6 7 9 8 9 8 8 9 9 9 9 168 8.40 0.1064

Sosial 0.2394

Penyerapan tenaga kerja 3 2 3 3 2 5 4 3 3 1 3 5 4 3 3 4 4 2 4 3 64 3.20 0.0405 Persepsi stakeholder 4 5 6 4 3 4 4 4 5 3 6 6 3 3 5 6 7 6 6 4 94 4.70 0.0595 Tingkat pendidikan 3 4 4 2 2 3 2 3 4 3 4 5 5 5 3 3 3 3 5 3 69 3.45 0.0437 Pertumbuhan sektor informal 8 8 8 7 8 9 7 7 9 7 6 7 8 9 7 8 6 7 7 8 151 7.55 0.0956 Jumlah 78.95 1.0000


(6)