Ruang Lingkup Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan dalam Otonomi Daerah

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Perairan laut di Provinsi Gorontalo yang terbagi atas dua bagian, yaitu Laut Sulawesi disebelah Utara dan Teluk Tomini disebelah Sela tan, merupakan wilayah yang cukup luas. Provinsi Gorontalo terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten yang memanfaatkan Perairan Teluk Tomini, dan salah satu kabupaten yang memanfaatkan Perairan Teluk Tomini adalah Kabupaten Pohuwato. Kajian penelitian dilakukan di Kecamatan Paguat, Kecamatan Marisa, Kecamatan Randangan, Kecamatan Lemito, dan Kecamatan Popayato yang merupakan kecamatan pesisir yang ada di Kabupaten Pohuwato. Pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam penelitian ini adalah perikanan tangkap, selanjutnya perikanan tangkap yang dikaji adalah ikan layang Decapterus spp yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap purse seine pukat cincin. Data sekunder yang digunakan dalam analisis ini adalah data time series yang diperoleh dari Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Utara dari tahun 1990 hingga 2000. Sementara data sekunder dari tahun 2001 – 2004 diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo. Data-data mengenai potensi ikan, jumlah tangkapan, armada penangkapan, dan nelayan dicatat di masing- masing dinas perikanan kotakabupaten. Sejak tahun 2003 Kabupaten Pohuwato yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Boalemo, memiliki statistik perikanan yang terbatas. Berdasarkan hal tersebut maka data sekunder yang digunakan disesuaikan dengan data primer, dan menjadi acuan dalam analisis data. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan dalam Otonomi Daerah

Perubahan paradigma sentralisasi ke dalam desentralisasi menimbulkan berbagai implikasi dalam pembangunan daerah. Salah satu implikasi yang nyata adalah kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah berdasarkan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelumnya kewenangan pengelolaan wilayah laut bersifat sentralistik dimana semua kebijakan pembangunan ditentukan oleh pemerintah pusat, akibatnya pembangunan di daerah tidak berkembang. Revisi UU No.22 tahun 1999 menjadi UU No.32 tahun 2004 menunjukkan bahwa pemerintah pusat memiliki perubahan pemikiran dalam mendelegasikan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, namun hal itu tidak perlu terjadi jika tujuannya untuk kemakmuran bangsa. Dikotomi desentralisasi kelautan DK dan sentralisasi kelautan SK dapat dilihat dari dua “mainstream” seperti yang telah di identifikasi oleh Garcia dan Hayashi 2000 dalam tesis mereka tentang A Contrastive Spatial Evolution of Marine Fisheries Governance yang diacu dalam Adrianto 2004 yang intinya adalah dua tesis tentang pengelolaan kelautan ocean governance yaitu mainstream dari lokal ke global dan mainstream dari global ke lokal. Mainstream pertama dari lokal ke global muncul dari perspektif pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan secara utuh di pandang dari sisi ekosistem. Penganut mainstream ini memandang inti dari pengelolaan laut seharusnya tidak hanya melibatkan interaksi antar pelaku interactions between human sebagai obyek dan subyek pengelolaan namun mempertimbangkan interaksi antar konstituen ekosistem interactions between constituents of the ecosystem . Penganut mainstream ini melihat bahwa problem kelautan di level sub- nasional, karena sifat ekosistem pesisir dan laut yang khas, dapat berpengaruh pada kondisi wilayah laut di level sub-nasional lainnya dalam level nasional. Misalnya yang terkait dengan sifat khas sumberdaya perikanan tertentu seperti straddling , highly migratory, anadromous, dan catadromous species atau yang terkait dengan masalah pencemaran laut Adrianto, 2004. Mainstream kedua dari global ke lokal melihat dari sudut pandang pengelolaan sumberdaya yaitu bahwa distribusi dan kontrol sumberdaya kelautan mengarah pada “lokalisasi pengelolaan” atau ke arah “fragmentasi” wilayah kelautan, walaupun tidak secara fisik, melainkan lebih pada penguatan institusi lokal. Dalam mainstream ini pendekatan yang dilakukan adalah from global to local, semangat yang dijadikan dasar dari konsep desentralisasi kelautan Adrianto, 2004. Salah satu argumen utama dari mainstream ini adalah bahwa dalam alokasi dan kontrol pengelolaan sumberdaya kelautan, apabila ditangani secara terpusat, menimbulkan kekhawatiran mismanagement karena lingkup yang dikelolanya terlalu besar dan beragam. Mainstream ini menurut Gracia dan Hayashi 2000 yang diacu Adrianto 2004 bahwa mainstream ini menginginkan 1 pengelolaan yang lebih tepat precise dan diserahkan kepada masyarakat lokal, 2 kemampuan memfasilitasi munculnya tanggung jawab dari penggunaan local fisheries users , dan 3 pengurangan perdebatan terhadap kontrol sumberdaya antar users. Adrianto 2004 mengemukakan tentang “Desentralisasi Kelautan Plus” yang pada intinya bahwa pengelolaan sumberdaya kelautan dapat dilakukan dengan alternatif pengelolaan bersama, dimana pengelolaan ini tidak mendasarkan pada instrumen kebijakannya pada faktor identitas masyarakat lokal A atau B, kabupaten A atau kabupaten B, tetapi lebih pada kepuasan bersama mutual satisfaction . Komponen DK pada konsep ini menitikberatkan pada proses pengambilan keputusan yang site-specific, namun bukan dengan dasar identitas atau primordial. Dengan demikian, beberapa ide global dalam SK masih dapat diakomodasi dalam konsep ini sebatas pada pengelolaan ekosistem dan fasilitas kepentingan semesta. Pelaksanaan UU No.322004 yang berisi tentang ketentuan-ketentuan hukum administrasi pemerintahan, memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten dan kota dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka dalam menjalankan roda pemerintahan. Desentralisasi memberi peluang dan tanggung jawab pengelolaan sumberdaya alam kepada daerah. Pasal 18 ayat 1 menyatakan bahwa daerah yang memiliki laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Sementara pasal 18 ayat 3 menyebutkan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya laut meliputi; eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara. Selain itu pasal 18 ayat 4 mengatur tentang batas wilayah laut 12 mil untuk Provinsi dan 13 sepertiga dari wilayah kewenangan provinsi untuk KabupatenKota. Berdasarkan Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Cakupan pengelolaan perikanan sangat luas dan implementasinya dalam pembangunan perikanan nasional memerlukan peraturan pelaksanaan karena melibatkan berbagai instansi dan berbagai kepentingan. 2.2 Perikanan Tangkap Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang pena ngkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas Monintja, 1994. Secara jelas definisi tersebut menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial, disamping memperoleh nilai tambah lainnya, misalnya penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hewan, devisa serta pendapatan negara. Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia tersebar disejumlah wilayah perairan, pelagis besar memiliki peluang pengembangan sebesar 79,2 ribu ton per tahun di perairan Selat Makasar dan Laut Flores; 83,3 ribu ton per tahun di Laut Banda; 83,3 ribu ton per tahun di Laut Seram sampai Teluk tomini; 40,7 ribu ton per tahun di Laut Arafura dan 25,8 ton per tahun di Samudera Hindia Dahuri, 2002. Untuk keberlanjutan usaha perikanan tangkap, diperlukan tindakan-tindakan pengelolaan, karena : 1 Perikanan tangkap berbasis pada sumberdaya hayati yang dapat diperbaharui renewable, namun dapat mengalami deplesi atau kepunahan. Sumberdaya ikan memiliki kelimpahan yang terbatas, sesuai carryng capacity habitatnya. 2 Sumberdaya ikan dikenal sebagai sumber daya milik bersama common property yang rawan terhadap tangkap lebih overfishing. 3 Pemanfaatan sumberdaya ikan dapat merupakan sumber konflik di daerah penangkapan ikan maupun dalam pemasaran hasil tangkapan. 4 Usaha penangkapan haruslah menguntungkan dan mampu memberi kehidupan yang layak bagi para nelayan, yang melebihi kapasitas akan menimbulkan kemiskinan para nelayan. 5 Kemampuan modal, teknologi dan akses informasi yang berbeda antar nelayan cenderung menimbulkan kesenjangan dan konflik. 6 Usaha penangkapan ikan dapat menimbulkan konflik dengan sub sektor lainnya, khususnya dalam zona atau tata ruang pesisir dan laut Monintja dan Yusfiandayani, 2001.

2.3 Sumberdaya Ikan Layang