Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

108

3. Sumbangan Efektif

Besarnya sumbangan dari variabel bebas yaitu kepercayaan diri untuk variabel terikat yaitu kecemasan sosial dapat diketahui dari koefisien sumbangan efektifnya atau koefisien determinasi R Squared. Dengan diketahuinya sumbangan efektif suatu variabel untuk variabel lainnya, maka dapat diketahui pula sejauh mana faktor lain dapat mempengaruhi suatu variabel. Pada penelitian ini, diperoleh koefisiensi determinasi R Squared dari kepercayaan diri dan kecemasan sosial sebesar 0,252, dan sumbangan efektif dapat diketahui dengan rumus R Squared x 100 sehingga hasilnya adalah 25,2. Dengan demikian, maka sumbangan efektif kepercayaan diri pada kecemasan sosial adalah sebesar 25,2 sehingga masih terdapat 74,8 faktor lain yang mempengaruhi kecemasan sosial yang dialami siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan. Hasil penghitungan SPSS untuk sumbangan efektif kepercayaan diri terhadap kecemasan sosial pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan dapat dilihat dalam lampiran 6 halaman 149.

C. Pembahasan

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat negatif antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kepercayaan diri yang dimiliki oleh diri siswa maka 109 semakin rendah pula kecemasan sosial yang dialami siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan. Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri pada diri siswa maka semakin tinggi pula kecemasan sosial yang dialami siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan. Kecemasan sosial yang dialami siswa juga 25,2 diantaranya karena faktor kepercayaan diri, sedangkan sisanya 74,8 disumbang oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Thursan Hakim 2005: 8-9, bahwa salah satu tanda kepercayaan diri yang rendah adalah mudahnya seorang individu merasa cemas dalam menjalani kehidupannya. Bahkan menurut Kanar 2011: 5 individu yang tidak percaya diri akan mengalami motivasi diri serta ketahanan hidup yang rendah karena dirinya selalu diliputi perasaan cemas dan persepsi negatif baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri. Siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan sebagai remaja yang baru dalam tahap awal perkembangan tentu saja mengalami berbagai gejolak emosi sebagai bagian dari jati dirinya, apalagi dirinya berada pada tahap awal perkembangan masa remaja. Menurut Hurlock dalam Rita Eka Izzaty, 2008: 124 bahwa masa remaja adalah masa dimana individu dituntut untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan yang baru di awal perkembangannya. Muhammad Ali dan Muhammad Asrori 2006: 67 menambahkan bahwa remaja berada dalam masa kabur karena tidak lagi dikatakan sebagai anak- anak dan bukan juga sebagai seorang dewasa. Selain itu, remaja juga memiliki energi yang besar, emosi yang tinggi, serta pengendalian diri yang 110 belum sempurna, sehingga remaja pun cenderung cemas dan bingung di awal perkembangannya. Kecemasan dan kebingungan ini dapat dikurangi apabila dalam diri remaja terdapat kepercayaan diri sehingga remaja pun dapat dengan mudah menghadapi masa perkembangannya sendiri. Pencarian identitas pada masa remaja memang cenderung membuat remaja bingung dan cemas karena jika gagal dalam mengembangkan identitasnya maka menurut Syamsu Yusuf L.N. 2009: 15, remaja dapat kehilangan arah yang justru dapat berdampak pada pembentukan perilaku menyimpang atau deliquent, terlibat tindakan kriminalitas, atau menutup diri dari pergaulan masyarakat. Hal ini justru sesuai dengan pendapat Sri Rumini dan Siti Sundari 2000: 27 dimana salah satu ciri remaja adalah masa yang paling mudah melakukan pelanggaran, karena sebagaimana pendapat Syamsu Yusuf L.N. 2009: 12 bahwa masa remaja memang sedang dalam masa berpikir operasional formal yang mengedepankan logika dan idealistis. Oleh karena itu, remaja pun cenderung menginginkan kebebasan atau otonomi atas dirinya sendiri untuk berekspresi dan berpendapat, sehingga sesuai dengan teori konformitas yang memang berkembang pesat pada masa remaja, maka remaja pun cenderung mencari contoh figur mencari kelompok yang sependapat atau sepemahaman dengan dirinya. Gambaran mengenai kepercayaan diri pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan dapat dilihat dari aspek-aspek kepercayaan diri yang diungkap dalam penelitian ini, yaitu aspek-aspek kepercayaan diri menurut M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S. 2010: 36 yang meliputi 6 enam aspek yaitu 111 memiliki rasa aman; yakin pada kemampuan sendiri; tidak mementingkan kepentingan diri sendiri dan toleran; ambisi normal; mandiri; dan optimis. Aspek memiliki rasa aman yang ada dalam kepercayaan diri dapat dilihat dari kegiatan siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan yang tidak takut berada dalam lingkungan baru misalnya mengikuti berbagai kegiatan sekolah baik secara akademik maupun non-akademik. Selain itu, siswa juga tidak canggung berada di lingkungan baru. Siswa dapat dengan mudah mengikuti aktivitas di sekolah serta mampu berperan aktif di dalamnya. Aspek yakin pada kemampuan sendiri sebagaimana menurut M. Nur Ghufron 2010: 36 dapat dilihat dari siswa yang tidak perlu berlebihan dalam membandingkan dirinya dengan orang lain dan merasa diri mereka sudah baik. Walaupun mengetahui bahwa diri mereka memiliki kekurangan, namun para siswa masih dapat menerima diri dan berusaha mengembangkan diri dengan sungguh-sungguh. Sikap tidak mementingkan diri dan tolern juga ditunjukkan oleh siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan dengan tidak berpikiran bahwa yang lain lebih buruk atau merasa diirny lebih unggul. Mereka dapat menerima keberadaan orang lain yang tidak sepaham dengan mereka. Memang di antara para siswa, masih terdapat beberapa siswa yang memiliki pandangan bahwa perbedaan adalah hal yang menghambat dalam pergaulan. Namun demikian, sebagaimana pendapat UNICEF 2002: 1, hal tersebut sebenanrnya terjadi karena masa tersebut siswa memang berada dalam usia pubertas yang merasa 112 bahwa dirinya mampu dan menganggap perbedaan sebagai hal yang kurang diterima, sehingga pemikiran yang bijaksana memang diperlukan sehingga memng diperlukan bimbingan yang baik pula. Ambisi yang normal juga ditunjukkan siswa SMP Negeri 2 Kalasan. Siswa selalu berusaha menyelesaikan tugas-tugas dengan baik dan tepat waktu, sebagai tanggung jawa diri atas tugas yang diberikan. Namun demikian, beberapa siswa yang masih kurang peduli terhadap tugas yang diberikan tentu saja perlu mendapatkan bimbingan akan pentingnya rasa tanggung jawab serta perlu adanya kerja keras dalam mewujudkan sesuatu. Kemandirian dan optimis juga ditunjukkan oleh siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan dengan tidak terlalu membutuhkan bantuan orang lain serta berharap bahwa dirinya dapat meraih cita-cita di masa depan. Beberapa siswa yang masih memiliki pandangan negatif tentu saja membutuhkan adanya bimbingan yang memacu diri untuk tetap positif memandang diri dan masa depan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar 83 siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Kepercayaan diri yang tinggi ini menyebabkan remaja cenderung merasa mampu untuk melakukan sesuatu Lal, 2014: 198. Dengan demikian, apabila remaja tidak percaya diri, maka menurut Lal 2014: 198 remaja tersebut tidak akan optimal dalam setiap pencapaian tujuannya. Namun demikian, menurut UNICEF 2002: 1 emosi remaja yang sedang dalam kondisi tinggi 113 karena berusaha untuk membuktikan bahwa dirinya dapat melakukan sesuatu dan bertanggung jawab juga dimungkinkan dapat menjadi penyebabnya sehingga memang masih perlu dilakukan pemantauan dan bimbingan yang intensif sehingga kepercayaan diri yang tinggi tersebut mampu mengantarkan remaja menjadi individu yang mampu berpikir terbuka dan terhadap kondisi diri dan lingkungan. Kepercayaan diri yang tinggi pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan memang menjadi prestasi tersendiri. Banyak siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler maupun menjadi pengurus OSIS Organisasi Siswa Intra Sekolah sehingga aktivitas mereka menjadi sibuk dan memacu siswa untuk mengembangkan dirinya dengan baik. Dengan mereka mengikuti berbagai macam kegiatan non-akademik, mereka dituntut untuk tetap meningkatkan prestasi akademiknya sehingga para siswa harus mampu mengatur dirinya sendiri agar prestasi akademik dan non-akademik menjadi seimbang. Dengan demikian, siswa pun belajar bagaimana mewujudkan keberhasilan dirinya dengan belajar dari sesama teman maupun dari para guru sebagai bagian dari pengalaman dan perwujudan atas perasaan dibutuhkan dan harga diri yang dimiliki oleh para siswa. Terdapat faktor lain yang mempengaruhi kepercayaan diri para siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan. Faktor sekolah menjadi penting karena sekolah adalah panutan kedua setelah orang tua Argo Yulan Indrajat, 2013: 43. SMP Negeri 2 Kalasan menerapkan disiplin yang ketat terhadap seluruh warganya, termasuk para siswa. Para siswa harus mampu menyesuaikan diri 114 dengan lingkungan dan peraturan sekolah. Selain itu, sekolah juga juga memberikan wadah kreativitas dan aspirasi kepada setiap siswanya dengan memberikan ekstrakurikuler serta kegiatan lain yang memacu semangat belajar siswa. Salah satu bukti komitmen sekolah dalam usaha memacu semangat belajar siswa adalah SMP Negeri 2 Kalasan menjadi juara I untuk Lomba Sekolah Sehat Tingkat Kabupaten Sleman pada tahun 2014. Gelar “Sekolah Sehat” sendiri memberikan makna bahwa SMP Negeri 2 Kalasan merupakan sekolah yang layak sebagai tempat belajar bagi para siswanya. Faktor lain yang menyebabkan kepercayaan diri siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan tinggi adalah faktor teman sebaya, sebagaimana pendapat Batubara 2010: 26 yang menyatakan bahwa pengaruh teman sebaya cenderung cukup kuat. Sebagian besar siswa SMP Negeri 2 Kalasan adalah berasal dari regional kecamatan ataupun rayon yang sama. Dengan demikian, secara budaya, bahasa, maupun gaya pergaulan pun dapat dikatakan homogen sehingga memudahkan siswa untuk bergaul dengan teman sebayanya tanpa harus malu ataupun takut kepada temannya sendiri. Namun, perlu diperhatikan pula bahwa dinamika dalam pertemanan pasti ada dan sebaiknya teman sebaya tidak menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif, justru sebaliknya teman sebaya diharapkan dapat lebih memberikan motivasi dan semangat dalam berprestasi bagi siswa sebagai bagian dari pencarian jati dirinya yang positif. Faktor-faktor tersebut yang menentukan tinggi rendahnya kepercayaan diri pada siswa SMP Negeri 2 Kalasan. Namun demikian, faktor orang tua 115 tetap menjadi sangat penting, sebagaimana penelitian Muhammad Idrus dan Anas Rohmiati 2008:14 yang menghasilkan kesimpulan bahwa pola asuh orang tua memiliki hubungan yang sangat signifikan dan bersifat positif. Dengan demikian, kepercayaan diri akan dapat semakin tumbuh dengan baik apabila dilakukan pola asuh orang tua yang baik dengan tidak memaksakan kehendak orang tua terhadap anak sehingga justru pola asuh yang diharapkan adalah pola asuh yang otoritatif dengan memperbanyak diskusi antara orang tua dengan anak mengenai masa depan bersama sehingga anak pun merasa dilibatkan dalam pembahasan masa depan diri terkait dengan harapan keluarga Argo Yulan Indrajat, 2013: 42. Terkait dengan kecemasan sosial, salah satu tugas perkembangan remaja menurut Hurlock dalam Rita Eka Izzaty, 2008: 126 dan Syamsu Yusuf L.N. 2009: 22 adalah mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik laki-laki maupun perempuan dengan cara bergaul yang wajar. Dengan demikian, apabila remaja mengalami kecemasan dalam berhubungan sosial dengan lingkup teman sebayanya, maka akan berdampak terhambatnya tugas-tugas perkembangan lain serta perkembangan masa selanjutnya. Gambaran kecemasan sosial yang dialami oleh siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan dapat dijabarkan sesuai dengan aspek-aspek kecemasan sosial menurut La Greca dan Lopez 1998: 88. Aspek-aspek tersebut yaitu ketakutan akan evaluasi negatif; penghindaran sosial dan rasa tertekan dengan situasi yang baru atau asing; dan penghindaran sosial dan rasa tertekan yang dialami secara umum dengan orang-orang yang dikenal. 116 Dalam aspek ketakutan akan evaluasi negatif, siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan merasa bahwa penilaian orang lain pada dasarnya sesuai dengan pemikiran mereka. Sedangkan masing-masing individu memiliki karakter yang berbeda sehingga perlu adanya penerimaan diri dan menerima orang lain sebagai bagian pembelajaran kehidupan. Namun demikian, masih terdapat siswa yang memiliki ketakutan dan kekhawatiran akan penilaian orang lain atau teman sendiri. Mereka merasa tidak nyaman jika diperhatikan oleh orang lain dn takut mereka akan disalahkan atau dipermalukan. Kekhawatiran tersebut sebenarnya menurut Barber 2015: 5 adalah inti dari kecemasan sosial yang dialami individu sehingga memerlukan adanya pengubahan pandangan diri dan orang lain. Pengubahan tersebut dapat dengan teknik CBT Cognitive Behavioral Therapy yang berusaha mengubah pandangan negatif menjadi positif. Penghindaran sosial dan rasa tertekan akan situasi baru atau asing dialami oleh siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan dengan intensitas rendah. Sebagaimana hasil wawancara dalam penelitian ini, siswa tersebut memang pernah mengalami kecemasan di awal masuk sekolah karena bertemu dengn temn baru, bertemu dengan guru baru, dan juga harus menyesuaikan peraturan sekolah baru yang lebih ketat. Namun demikian, siswa ternyata mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tersebut. Selain itu, juga masih terdapat siswa yang masih malu-malu ketika secara tiba-tiba dimintai tolong untuk membacakan pengumuman di depan kelas, dan merasa risih jika diperhatikan banyak orang. Hal ini sebenarnya dapat dikurangi dengan 117 adanya bimbingan yang menekankan pandangan positif terhadap diri dan orang lain, serta adanya latihan yang intensif. Aspek penghindaran sosial dan rasa tertekan akan situasi sosial yang umum juga ditunjukkan oleh siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan dengan intensitas rendah. Siswa sudah dapat dengan mudah menyapa teman sebayanya serta mampu melakukan pembicaraan dengan intensif dengan orang lain. Siswa mudah memperkenalkan diri serta mampu bergaul dengan baik dengan lingkungannya baik terhadap teman sebayanya maupun kepada warga sekolah lainnya. Memang, hasil wawancara mengungkapkan bahwa beberapa siswa masih memiliki keseganan untuk berkomunikasi dengan kakak tingkatnya dan juga kepada guru-guru. Hal tersebut dapat diatasi dengn adanya usaha komunikasi yang baik antara masing-masing warga sekolah. Sekolah juga perlu memupuk keberanian siswa dalam berkomunikasi, selama komunikasi yang digunakan masih dalam taraf normal dan memenuhi standar kesopanan yang ada. Berdasarkan hasil penelitian, kecemasan sosial yang dialami oleh siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan menunjukkan bahwa sebagian besar 61,7 siswa berada pada tingkat rendah. Dalam penelitian ini, telah dibuktikan bahwa kepercayaan diri turut mengambil bagian sebesar 25,2 atas kecemasan sosial yang dialami siswa. Kepercayaan diri juga memiliki hubungan negatif dengan kecemasan sosial, yang artinya semakin tinggi kepercayaan diri yang dimiliki para siswa maka akan semakin rendah pula kecemasan sosial yang dialami para siswa. Hasil penelitian juga menunjukkan 118 bahwa kepercayaan diri para siswa berada dalam kategori tinggi sedangkan kecemasan sosialnya berada pada kategori rendah. Rendahnya kecemasan sosial yang dialami siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang masing-masing faktor tersebut saling mempengaruhi walaupun keseluruhan pengaruhnya tidak datang pada saat yang bersamaan. Salah satu faktor kecemasan sosial adalah pubertas. Pubertas menjadi salah atu faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan sosial yang dialami siswa. Siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan secara usia terrentang antara 12-14 tahun sehingga memenuhi karakteristik sebagai remaja awal. Menurut Catur Baimi Setyaningsih 2013: 1 pada remaja awal biasanya kecemasan terjadi karena masa pubertas membuat remaja menjadi lebih sensitif terhadap lingkungan dan meningkatkan tingkat emosi sehingga kecemasan akan lingkungan menjadi tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa rata-rata skor kecemasan sosial siswa perempuan dengan laki-laki memang lebih tinggi skor kecemasan perempuan yaitu 68,2 berbanding dengan 65,8. Walaupun data tersebut menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu jauh, namun hal tersebut sesuai dengan pendapat Inglés, et al 2011: 80 bahwa perempuan akan dapat lebih mudah mengalami kecemasan sosial dibandingkan laki-laki, yang dikarenakan perempuan memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. 119 Kondisi fisik juga menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan sosial. Siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan memiliki kondisi tubuh yang lengkap dan normal. Dengan demikian, faktor kondisi fisik terkait kecemasan sosial yang dialami siswa menjadi kecil karena kondisi fisik siswa secara keseluruhan dalam kondisi baik dan sehat, serta lebih percaya diri. Secara sosial, siswa mengalami perubahan atau peralihan dari yang sekolah dasar ke sekolah menengah. Dengan peralihan sekolah tersebut, tentu saja ruang lingkup sosial siswa menjadi lebih luas dan lebih beragam. Hal tersebut membuat siswa harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang dialami, dan sering remaja akan mengalami kecemasan dalam lingkungan sosialnya Bimo Walgito, 2003: 25. Dalam hal ini, faktor lain seperti budaya dan teman sebaya menjadi penting dalam proses penurunan kecemasan sosial. Faktor teman sebaya dalam rendahnya kecemasan sosial yang dialami siswa adalah karena para siswa memang berasal dari regional kecamatan Kalasan dan atau dalam 1 satu rayon sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya. Hal ini yang membuat siswa dapat lebih mudah bergaul dan percaya diri bergabung dalam kelompok baik di dalam sekolah maupun kelompok di luar sekolah. Dengan demikian faktor pengalaman negatif menjadi kecil terkait dengan kecemasan sosial yang dialami siswa SMP Negeri 2 Kalasan. 120 Faktor budaya sebagaimana dipaparkan dalam oleh Hofmann dan DiBartolo 2010: 71 juga memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam rendahnya kecemasan sosial siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan. Kecamatan Kalasan sebagaimana wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta lainnya memang masih kental dengan budaya Jawa. Budaya Jawa terkenal memiliki budaya yang halus, tutur sapa yang lembut, dan budi bahasa yang santun, Abdul Gaffar Ruskhan, 2007: 2, serta kegotongroyongan yang masih dipegang teguh hingga sekarang Ira Suprihatin, 2014: 2. Selain itu, terdapat prinsip rukun atau harmonis Franz Magnis-Suseno, 1997 dalam Heppell, 2004: 16, yang mengutamakan hubungan baik antar manusia melalui mencegah pertengkaran terbuka, menggunakan ukuran pada diri sendiri atau tepa selira Purwadi Imam Samroni, 2003 dalam Heppell, 2004: 16, dan bersifat ramah-tamah. Budaya gotong royong dan kerukunan masih kental diterapkan dalam pola kehidupan masyarakat kecamatan Kalasan dan sekitarnya serta diturunkan dari generasi ke generasi. Dengan adanya gotong royong dan kerukunan tersebut, masyarakat dapat lebih mudah mengenal satu sama lain dengan tetap menjaga hubungan baik antar sesama warga dan saling menjaga kerukunan. Di dalam gotong royong pula, masyarakat diharapkan mampu memberikan kontribusi baik berupa fisik maupun non fisik dalam memecahkan suatu masalah sehingga tercapai tercapai kemufakatan demi kepentingan bersama. Dengan demikian, budaya Jawa menjadi penting dalam 121 hal pola pergaulannya di masyarakat terkait dengan kecemasan sosial yang dialami siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan. Namun demikian, tidak dipungkiri pula bahwa di dalam budaya Jawa, selain dikenal dengan kegotongroyongan dan nilai-nilai sosial lainnya yang kental, budaya Jawa dan budaya ketimuran lainnya juga dikenal dengan budaya komunalnya, yaitu sangat taat pada norma kelompok Lusius Sinurat, 2011 dalam www.lusius-sinurat.co.id, sehingga masing-masing individu harus menaati norma kelompok dimana individu tersebut tinggal atau perasaan senasib sepenanggungan dengan semangat kebersamaan PAJS Indonesia, 2013 edisi 13 Agustus 2013, termasuk juga terhadap pendatang baru yang tinggal di lingkungan Jawa. Menurut DeVito 2011: 544, adanya budaya komunal kebersamaan tersebut, maka terdapat konsekuensi positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri akan norma kelompok membuat diri menjadi lebih waspada sehingga mencegah diri untuk melakukan hal-hal yang tidak patut atau tidak peka terhadap sesama. Negatifnya, budaya ini membuat diri menjadi terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri karena selalu timbul rasa segan dan bahkan cemas apabila melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan norma kelompok. Namun, dengan saling mengenal, maka sebetulnya perasaan segan dan terlalu berhati-hati karena cemas akan hilang sehingga diri pun akan lebih percaya diri dan spontan. 122 Seiring perkembangan zaman, masyarakat sudah semakin mengenal globalisasi yang membuat diri untuk tidak terlalu terikat dengan norma kelompok, bahkan cenderung mengarah ke arah individualis Reynette Fausto, 2014 dalam Femina, edisi 11 November 2014. Namun demikian menurut Max Pattinaja 2008: viii, dengan adanya pembangunan berbasis budaya, pembangunan manusia pun akan mengarah kepada pemikiran masyarakat yang terbuka untuk menerima perubahan namun dapat tetap mampu membaur dengan budaya yang ada. Dengan melihat hasil tingkat kecemasan sosial yang rendah pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan, faktor budaya Jawa memang sangat terkait. Akan tetapi, kemungkinan adanya perubahan budaya Jawa yang lebih terbuka juga tidak dapat diabaikan. Karena walaupun budaya Jawa memandang norma kelompok sebagai acuan hidupnya, budaya Jawa ternyata masih tetap hidup di tengah masyarakat Kalasan dan sekitarnya dengan tetap mempertahankan nilai-nilai sosial yang tinggi serta tetap dapat menumbuhkan sikap percaya diri dan meminimalisasi kecemasan sosial yang terjadi pada masing-masing warganya dan sebagaimana pendapat Max Pattinaja 2008: ix, individu pun dapat menerima dan menjalani hidup dengan penuh keyakinan. Dengan demikian, faktor kebudayaan memang memegang peranan penting sebagai faktor timbulnya kecemasan sosial pada individu, termasuk juga pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan. Dengan memiliki kecemasan sosial yang rendah, siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan diharapkan memiliki evaluasi diri yang lebih positif, 123 sebagaimana pendapat Barber, 2015: 5. Menurut Keller 2003, dalam Barber, 2015: 1, dengan memiliki evaluasi diri yang positif, diharapkan individu dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Kualitas hidup yang positif dapat ditunjukkan dengan lebih mantap dengan diri, lebih memandang orang lain dengan positif, serta mampu menilai situasi yang dihadapinya dengan positif. Dengan demikian, ketercapaian tujuan hidup pun akan berjalan dengan mudah dan lancar sebagai bagian dari pengembangan diri individu. Dengan demikian, diharapkan siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan juga dapat memiliki evaluasi diri positif serta memandang orang lain pun dengan positif sehingga kualitas hidup siswa SMP Negeri 2 Kalasan pun menjadi semakin baik. Berdasarkan uraian faktor kecemasan sosial tersebut, maka beberapa faktor ditemukan dalam penelitian ini, yaitu 1 faktor biologis yang meliputi pubertas dan kondisi fisik, 2 faktor perkembangan yang meliputi pengalaman negatif, dan 3 faktor sosial yang meliputi teman sebaya dan budaya setempat. Faktor-faktor tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa hanya sebesar 25,2 sumbangan efektif atas kecemasan sosial dan terbangunnya kepercayaan diri pada diri siswa SMP Negeri 2 Kalasan. Mengingat negatifnya dampak dari kecemasan yang dialami dalam situasi sosial, sebenarnya masih terdapat beberapa faktor yang tidak dapat diamati ataupun diambil datanya dalam penelitian ini, diantaranya adalah adanya faktor genetik, perkembangan otak, amigdala, gaya kelekatan, dan 124 pola asuh orang tua, sebagaimana dipaparkan oleh Hofmann dan DiBartolo, 2010: 225-242. Namun demikian, faktor-faktor tersebut tetap memerlukan perhatian sebagai upaya dalam menekan kecemasan sosial pada individu. Berdasarkan hasil penelitian serta teori-teori yang mendukungnya, maka kesimpulan dalam pembahasan ini adalah terdapatnya hubungan negatif antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan yang berarti bahwa ketika kepercayaan diri yang dimiliki oleh siswa dalam kategori tinggi, maka kecemasan sosial yang dialami siswa pun cenderung rendah, begitu pula sebaliknya. Hal ini ditegaskan oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan memiliki kecemasan sosial yang rendah.

D. Keterbatasan Penelitian

Dokumen yang terkait

PENGARUH INTERAKSI SOSIAL TERHADAP KEPERCAYAAN DIRI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 21 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2015/ 2016

2 43 90

MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA MELALUI KONSELING EKLEKTIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA SUPERHERO PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 KEJURUAN MUDA TAHUN AJARAN 2015/2016.

0 3 32

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA SMA INKLUSI Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Kepercayaan Diri Pada Siswa SMA Inklusi.

0 3 18

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA SMA INKLUSI Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Kepercayaan Diri Pada Siswa SMA Inklusi.

0 7 17

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KOMPETENSISOSIAL PADA SISWA SMP N 16 SURAKARTA Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kompetensi Sosial Pada Siswa SMP N 16 Surakarta.

0 4 14

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI SOSIAL PADA SISWA SMP N 16 SURAKARTA Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kompetensi Sosial Pada Siswa SMP N 16 Surakarta.

0 3 17

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA SISWA KELAS X DI SMK NEGERI 1 KALASAN.

0 0 135

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENERIMAAN SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP PIRI NGAGLIK TAHUN AJARAN 2014/2015.

0 0 183

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA SISWA KELAS VII DI SMP NEGERI 15 YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2013/2014.

0 2 171

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 11 SEMARANG TAHUN AJARAN 20172018

0 1 65