26 pengalihan rasa cemas, ingin keluar dengan terburu-buru dari tempat
atau situasi yang membuat cemas, menghindari keramaian atau menyimpang jalan untuk menghindari orang lain, atau bahkan
meminum obat atau sesuatu yang menurunkan cemas sebelum melakukan sesuatu yang akan membuatnya penuh kecemasan.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Sosial
Terdapat beberapa pendapat mengenai faktor-faktor kecemasan sosial. Book dan Randall 2002: 131 berpendapat bahwa kecemasan
sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya latar belakang genetik, traumatis pada pengalaman pembelajaran awal, mengamati
perilaku orang tua, serta adanya ketidakteraturan sistem kimia di dalam otak.
Menurut Tirtojiwo 2012: 4-5, hal-hal yang dapat mempengaruhi timbulnya kecemasan sosial adalah perbedaan jenis kelamin; riwayat
keluarga atau genetik; lingkungan; temperamen; tuntutan pekerjaan dan tuntutan sosial yang baru; kondisi fisik; kimia otak; struktur otak; dan
pengalaman negatif yang dialami individu. Pendapat lain diungkapkan oleh Cederlund 2009: 26-32 yang menyatakan bahwa faktor-faktor
kecemasan sosial adalah genetik; perkembangan otak; temperamen; kondisi fisik; gaya kelekatan; riwayat orang tua; pembelajaran sosial; dan
pola asuh orang tua. Pendapat yang hampir mirip dengan Cederlund 2009: 26-31 juga
disampaikan oleh Hofmann dan DiBartolo 2010: 225-242 yang dengan
27 lebih rinci membagi faktor kecemasan sosial menjadi 3 tiga faktor besar
yang terdiri dari a faktor biologis, meliputi genetik, perkembangan otak, amigdala, dan pubertas; b faktor perkembangan, meliputi gaya
kelekatan, dan temperamen; dan c faktor sosial, meliputi pola asuh orang tua, dan teman sebaya, serta Hofmann dan DiBartolo 2010: 71
juga menambahkan unsur budaya sebagai salah satu faktor kecemasan sosial. Beberapa pendapat tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
a. Faktor Biologis 1 Genetika
Apabila orang tua biologis atau saudaranya ada yang memiliki gangguan kecemasan sosial maka individu juga
dimungkinkan dapat mengembangkan gangguan kecemasan tersebut Tirtojiwo, 2012: 4. Para ahli klinis telah lama
menduga bahwa ada komponen genetik yang menyebabkan kecemasan sosial, tetapi bukti secara tradisional masih
bervariasi dalam ruang lingkup yang luas Hofmann dan DiBartolo, 2010: 226. Penelitian yang dilakukan oleh Kendler,
et al., 2001 dalam Cederlund 2009: 26 menghasilkan kesimpulan bahwa dari 13 kecemasan sosial yang ada,
pewarisan genetik hanya menyumbang sebesar 5 sebagai penyebab kecemasan sosial sehingga pengaruh gen masih
dianggap sangat kecil terhadap kecemasan sosial yang dialami individu.
28 2 Perkembangan Otak
Bahan kimia di dalam tubuh individu memiliki peranan dalam gangguan kecemasan sosial Tirtojiwo, 2012: 5.
Tirtojiwo menambahkan, misalnya terjadi ketidakseimbangan dalam serotonin kimia otak dapat menjadi faktor. Serotonin
adalah neurotransmitter yang dapat membantu mengatur suasana hati dan emosi. Individu dengan gangguan kecemasan sosial
memiliki sentifitas yang berlebihan dikarenakan efek dari serotonin tersebut.
Hofmann dan DiBartolo 2010: 228 menuturkan bahwa dalam beberapa cara yang sama, neuropsikolog mungkin
memanfaatkan pengetahuan luas tentang sistem saraf untuk membantu memperjelas penurunan fungsi sekolah dalam istilah
defisit yang lebih spesifik dalam kecepatan pemrosesan terhadap memori kerja lalu terhadap perhatian, model neurosains kognitif
sosial berusaha untuk menjelaskan penurunan fungsi sosial dalam hal defisit bidang seperti dalam hal interaksi sosial.
3 Amigdala Menurut Tirtojiwo 2012: 5, suatu struktur dalam otak
yang disebut amigdala memiliki peranan dalam mengontrol respon ketakutan. Individu yang memiliki amigdala yang terlalu
aktif akan memiliki respon takut yang tinggi sehingga menyebabkan kecemasan meningkat dalam situasi sosial.
29 Amigdala adalah struktur berbentuk buah kenari yang
berada di dalam bagian anterior dari lobus temporal, yang terdiri dari komponen sistem limbik dan diketahui berperan dalam
mengendalikan emosi, motivasi, dan memori Hofmann dan DiBartolo, 2010: 228.
Cederlund 2013: 26 menyatakan bahwa di dalam korteks, masukan sensorik dianalisis dan dalam beberapa kasus
diberhentikan, namun karena jalur kurang berkembang kembali ke amigdala, pesan dari korteks tidak seefektif sebaliknya.
Beberapa orang diyakini memiliki amigdala yang lebih reaktif daripada yang lain, atau dengan kata lain, terjadi peningkatan
sistem alarm di otak. Dengan demikian, semakin reaktif amigdala maka semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami
individu. 4 Pubertas
Pubertas merupakan faktor dimana kematangan organ seksual menjadi bagian dari perkembangan individu, dan
menandai individu memasuki masa remaja. Namun, perbedaan kematangan antara individu satu dengan individu lain menjadi
penting karena di dalam pubertas terjadi perubahan besar baik dari segi fisik, emosi, maupun sosial yang harus segera
mengalami penyesuaian oleh individu yang bersangkutan Hofmann dan DiBartolo, 2010: 232-233. Bahkan Rita Eka
30 Izzaty, dkk., 2008: 130 berpendapat bahwa pada saat tersebut
pula sudah mulai adanya ketertarikan terhadap lawan jenis yang menjurus ke arah emosi percintaan remaja. Perempuan biasanya
mengalami pubertas 12-18 bulan lebih awal daripada laki-laki UNICEF, 2011: 8.
Ketika masa pubertas, individu cenderung harus melakukan penyesuaian terhadap kondisi perubahan fisiknya. Dalam masa
itu, remaja cenderung memperhatikan kondisi fisiknya dan belajar bagaimana merawat tubuhnya. Dengan demikian, remaja
cenderung cemas dalam menghadapi perubahan dalam dirinya dan mulai takut akan perubahan dirinya, dan seringkali remaja
menjadi resah dan tidak nyaman Catur Baimi Setyaningsih, 2013: 1.
Menurut Tirtojiwo 2012: 4, adanya pubertas pada remaja tersebut biasanya menandakan perbedaan kematangan individu
remaja antara laki-laki dan perempuan. Inglés, et al 2011: 80 menuturkan bahwa perempuan akan dapat lebih mudah
mengalami kecemasan sosial dibandingkan laki-laki. Hal tersebut dikarenakan perempuan memiliki sensitivitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Sabiston, et al., 2007: 79, perempuan cenderung lebih mengkhawatirkan
penampilan negatif atas penampilan dirinya. Selain itu, perempuan juga cenderung memiliki tingkat ketidakpuasan
31 yang lebih tinggi serta merasa rendah diri dalam memandang
tubuhnya. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik Australia pada tahun 1997
Mental Illness
Fellowship Victoria
dalam www.mifellowship.org
, Cox et al., 2005, dalam Hofmann dan DiBartolo, 2010: 70, Essau, Conradt, dan Petermann 1999,
dalam Cederlund, 2013: 21, dan Mehetre 2015: 133 yang menghasilkan kesimpulan bahwa perempuan lebih banyak dan
lebih rentan mengalami kecemasan sosial dibandingkan laki- laki.
5 Kondisi Fisik Cacat wajah, gagap, dan cacat fisik lainnya dapat
meningkatkan perasaan rendah diri dan dapat memicu gangguan kecemasan sosial pada beberapa orang Tirtojiwo, 2012: 5.
Penelitian dilakukan oleh Irani 2000, dalam M. Gengki Fidhzalidar, 2015: 520 yang menemukan data bahwa para
penyandang cacat fisik masih belum mampu melakukan hubungan sosial dengan baik, mereka masih rendah diri, dan
lebih cenderung memilih tinggal di rumah tanpa melakukan apapun karena takut akan penerimaan lingkungan terhadap
dirinya. Penelitian lain juga dilakukan oleh Gharati Sotoudeh, et al 2014: 383 dengan menghasilkan kesimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang erat bahwa kecemasan dan ketakutan
32 yang dialami oleh subjek dirasakan sangat mengganggu dalam
hal hubungan sosialnya dengan lingkungan. b. Faktor Perkembangan
1 Attachment Gaya Kelekatan Menurut Hofmann dan DiBartolo 2010: 236, segera
setelah lahir, bayi menjadi anggota sosial dalam hubungan yang lebih
mendalam. Gaya
kelekatan yang
aman dapat
dikembangkan dengan mencari pengasuh yang handal, dan bersedia untuk secara efektif menenangkan anak ketika dalam
masa stres. Cassidy dan Berlin, 1994 dalam Hofmann dan DiBartolo, 2010: 236 berpendapat bahwa gaya kelekatan yang
aman diduga berkembang selama terjadi pengasuhan yang menenangkan. Bayi akan belajar merespon rasa takut dengan
memperkuat ketenangan. Apabila terdapat kesalahan, maka bayi pun akan tumbuh menjadi pribadi yang mudah cemas dan salah-
suai. Gaya kelekatan yang aman ditandai dengan seorang anak
yang yakin bahwa orang tua selalu untuk anak, secara emosional dan fisik, dan memberikan dorongan akan otonomi anak
Cederlund, 2013: 30. Cederlund menambahkan, dengan adanya gaya kelekatan yang baik, anak menjadi lebih terbiasa
bertindak proaktif dan mandiri dalam situasi baru.
33 2 Temperamen
Temperamen secara umum didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak dipelajari, secara aturan berdasarkan pada perbedaan
individu baik dalam gaya penampilan dan kemampuan untuk mengatur emosi, perhatian, dan perilaku Rothbart dan Bates,
2006 dalam Hofmann dan DiBartolo, 2010: 238. Berdasarkan pendapat tersebut, sebenarnya kecemasan datang karena
ketidakmampuan diri dalam mengelola emosi, perhatian, dan perilaku.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Maria Etty 2004: 26 dan Peale 2006: 14-15 yaitu kecemasan dan rasa tidak
aman sebenarnya diciptakan oleh pikiran atau persepsi individu itu sendiri. Menurut Maria Etty, apabila individu mampu
mengontrol situasi, individu tidak mudah merasa cemas. Peale menambahkan bahwa ketika individu mengatakan iya akan
rasa tidak aman yang dipikirkannya akan lingkungannya yang seolah-olah akan menghardiknya, maka individu tersebut pun
akan mengalami rasa tidak aman tersebut serta cemas akan kondisi tersebut. Namun ketika rasa tidak aman yang
dipikirkannya diubah menjadi rasa aman dan nyaman oleh individu tersebut, maka individu tersebut pun menjadi merasa
aman dan nyaman serta bebas dari rasa cemas akan ketakutannya sendiri.
34 Anak-anak yang pemalu atau penakut ketika menghadapi
situasi yang baru atau orang-orang yang baru, kemungkinan dalam mengalami kecemasan sosial menjadi lebih besar
Tirtojiwo, 2012: 4. Salah satu alasannya menurut Cederlund 2013: 28 adalah kemungkinan besar akan terdapat kerentanan
yang besar akan perasaan takut dalam situasi baru yang mengarah ke perilaku menghindar, dan ini menyebabkan
penguatan negatif dari perilaku penghindaran dan menarik diri. 3 Pengalaman Negatif
Menurut Tirtojiwo 2012: 5, individu yang mengalami bullying, penolakan, ejekan atau penghinaan dari teman
sebayanya akan lebih rentan terhadap gangguan kecemasan sosial. Selain itu, peristiwa negatif lainnya dalam hidup seperti
konflik keluarga atau pelecehan seksual akan mudah berhubungan dengan kecemasan sosial dan cenderung memiliki
penilaian negatif terhadap dirinya sendiri. Pendapat senada juga disampaikan oleh M. Gengki Fidhzalidar 2015: 520 bahwa
kecemasan sering terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan
sosialnya ini terutama jika diirnya menekan rasa malu, marah atau frustasi dalam jangka waktu yang sangat lama.
35 c. Faktor Sosial
Sebelumnya, menurut Hofmann dan DiBartolo 2010: 71, terdapat unsur penting yang mempengaruhi individu dalam
mengalami kecemasan sosial yaitu kebudayaan. Lebih lanjut, Hofmann dan DiBartolo 2010: 71 menjelaskan bahwa kebudayaan
sebenarnya mendefinisikan diri untuk dapat sesuai dengan kebudayaan yang berlaku dalam suatu wilayah dimana individu
tersebut tinggal. Selain itu, menurut Butler 1999: 22 juga dikatakan bahwa kebudayaan yang dipelajari oleh individu
diinternalisasikan ke dalam diri individu sehingga terdapat beberapa kondisi sosial tertentu yang dianggap kaku atau tabu.
Dengan demikian, individu yang memegang teguh kebudayaan tertentu, akan merasa cemas dan merasa tidak nyaman jika berada
dalam situasi sosial yang dianggapnya tabu atau bahkan terlarang oleh budayanya, atau bahkan ketika budaya tersebut justru
mengharuskan dirinya untuk dapat bergaul dengan sesamanya. Kebudayaan dalam struktur sosial diinternalisasikan ke dalam
lingkungan keluarga dan pergaulan sehingga pola asuh orang tua dan teman sebaya menjadi faktor penting dalam memberikan
pengaruh kecemasan terhadap individu. 1 Pola Asuh Orang Tua
Faktor keluarga memang sudah lama dianggap berkaitan dengan gangguan jiwa pada anak, terutama gangguan
36 kecemasan sosial Hofmann dan DiBartolo, 2010: 239;
Tirtojiwo, 2012: 5. Orang tua sebaiknya bukan hanya memberikan penegasan kepada anak bahwa anak harus
menghormati orang tua dan harus meniru perilaku orang tua, akan tetapi orang tua juga sebaiknya memberikan kesempatan
kepada anak untuk berbagi, mencurahkan keinginannya ataupun keluhannya Hofmann dan DiBartolo, 2010: 239, dan ini juga
yang dikatakan Das Salirawati 2002: 3 sebagai gaya pola asuh mulur-mengkeret yang artinya pada saat tertentu membolehkan,
dan pada saat lain juga melarang. Hal ini sejalan dengan pendapat Aprilia Tina Lidyasari tt: 1 yang menyatakan bahwa
pola asuh otoritatif dapat membentuk karakter anak dengan baik. Menurut Cederlund 2013: 31, Overprotection atau
perlindungan yang berlebihan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan peningkatan atau menurunkan gangguan
kecemasan sosial dan kecemasan lainnya, yaitu ketika orang tua meniru gaya pengasuhan orang tua mereka. Cederlund
menambahkan bahwa Overprotection, yang merupakan paduan perasaan bahwa orangtua tidak hadir secara mental atau
menolak dan dingin serta tidak peduli telah dilaporkan dalam studi retrospektif ketika orang dewasa dengan gangguan
kecemasan mengingat-ingat masa kecil mereka. Cederlund 2013: 31-32 dengan berbagai rujukannya menyatakan bahwa
37 bagian dari overprotection dan penolakan adalah adanya umpan
balik negatif atas kontrol orang tua. Dalam menghadapi kecemasan, juga berlaku teori belajar
sosial oleh
Albert Bandura.
Seperti dilansir
dalam www.mifellowship.org
, beberapa individu mungkin pernah mengalami situasi atau perasaan yang sama sehingga membuat
diri individu stres. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa individu tersebut belajar bagaimana menghadapi situasi yang
sama yang membuatnya stres atau mengalami perasaan cemas dan khawatir.
2 Pengaruh Teman Sebaya Konformitas merupakan salah satu isu penting dalam masa
remaja Russell dan Bakken, 2002: 1. Russel dan Bakken menambahkan bahwa pada dasarnya konformitas merupakan
tekanan dari teman sebaya . Maksudnya adalah jika ingin diterima dalam suatu kelompok teman sebaya tersebut, individu
remaja harus menjadi sesuatu berdasarkan norma kelompok tersebut baik tertulis maupun tidak tertulis. Untuk remaja awal,
biasanya masih mau menerima masukan dari orang tua, namun setelah itu biasanya remaja akan lebih mengikuti kehendak
kelompok sebayanya sebagai bagian dari kemerdekaan masa remaja mereka.
38 Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan sosial, keseluruhan faktor dapat lebih diperincikan ke dalam 3 tiga faktor yaitu 1 faktor biologis, yang meliputi genetika,
perkembangan otak, amigdala, pubertas, dan kondisi fisik; 2 faktor perkembangan yang meliputi gaya kelekatan, temperamen, dan
pengalaman negatif; serta 3 faktor sosial yang meliputi pola asuh orang tua dan teman sebaya dimana individu tinggal. Masing-masing faktor
tersebut saling mempengaruhi kecemasan sosial yang dialami oleh individu walaupun keseluruhan pengaruhnya tidak datang pada saat yang
bersamaan.
5. Dampak-dampak Kecemasan Sosial