HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 KALASAN TAHUN AJARAN 2015-2016.

(1)

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 KALASAN

TAHUN AJARAN 2015-2016

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Hamzah Mutahari NIM. 11104241025

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 KALASAN TAHUN AJARAN 2015-2016” yang disusun oleh Hamzah Mutahari, NIM.11104241025 ini telah disetujui pembimbing untuk diujikan.

Yogyakarta, Januari 2016 Pembimbing

Kartika Nur Fathiyah, M.Si. NIP.19710807 199802 2 001


(3)

iii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali dengan acuan atau kutipan dengan tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutnya.

Yogyakarta, Januari 2016 Yang menyatakan,

Hamzah Mutahari NIM. 11104241025


(4)

iv

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 KALASAN TAHUN AJARAN 2015-2016” yang disusun oleh Hamzah Mutahari, NIM 11104241025 ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 18 Januari 2016 dan dinyatakan lulus.

DEWAN PENGUJI

Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal

Kartika Nur Fathiyah, M.Si. Ketua Penguji ... ... Sugiyanto, M.Pd. Sekretaris ... ...

Tin Suharmini, M.Si. Penguji Utama ... ...

Yogyakarta,

Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Dekan,

Dr. Haryanto, M.Pd.


(5)

v MOTTO

“Jalanilah hidup dengan apa adanya dan penuh kejujuran, walaupun rintang bagai

dosa hati yang selalu membebani, teruslah berlaku jujur.Ketika kau jujur, berarti kau dekat dengan kebenaran.”

(Abi dan Umi)

“Hidup itu perjuangan.Tanpa perjuangan, kau akan mati.” (Anonim)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini kami persembahkan kepada:

1. Abi dan Umi tercinta yang telah memberikan kasih sayangnya yang tiada terkira sehingga kami dapat menjadi manusia yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi dengan membawa cita-cita panjenengan

kekalih yaitu supaya kami menjadi insan yang berguna bagi agama, bangsa,

dan negara

2. Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta sebagai tempat kami belajar menemukan dunia ilmu pengetahuan dengan berbagai dinamikanya sehingga kami dapat mengambil hikmah dari ilmu yang kami dapatkan

3. Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah memberikan kami kesempatan untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi dengan bantuan beasiswa Bidik Misi. Tuhan bersama kita semua. Semoga Indonesia menjadi negeri yang penuh kemapunan Tuhan, diberikan kasih sayang-Nya dan diridhoi menjadi negera yang sejahtera dan mampu mensejahterakan negara lain atas izin-Nya


(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 KALASAN TAHUN

AJARAN 2015-2016 Oleh

Hamzah Mutahari NIM. 11104241025

ABSTRAK

Fenomena kecemasan sosial yang dialami remaja di awal perkembangannya dapat berdampak pada kepercayaan diri yang ada pada diri remaja tersebut.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015-2016.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional.Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan sebanyak 123 siswa.Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik incidental sampling.Alat pengumpul data menggunakan skala kepercayaan diridan skala kecemasan sosial.Uji validitas instrumen menggunakankorelasiproduct moment dari Pearson, sedangkan uji reliabilitas menggunakan Alpha Cronbach dengan nilai koefisien 0,911 pada kecemasan sosial.Analisis data untuk menguji hipotesis dengan menggunakan teknik korelasi

product moment dari Pearson.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Kalasan. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien korelasi (rxy) sebesar -0,525 dan p=0,0000 (p<0,05) yang berarti bahwa hipotesis alternatif (Ha) diterima. Koefisien korelasi bertanda negatif (-) berarti hubungan antara kedua variabel tidak searah, dan berbanding terbalik. Sumbangan efektif kepercayaan diri terhadap kecemasan sosial pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan sebesar 25,2%, sedangkan sebesar 74,8% berasal dari faktor lain.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Kelawan nyebut asmaning Allah ingkang Maha Welas lan Maha Asih

Puja dan puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, atas izin dan kasih sayang-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi (TAS) sebagai sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dengan judul skripsi adalah “Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Kecemasan Sosial pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan Tahun Ajaran 2015-2016”.Selama proses penyusunan Tugas Akhir Skripsi (TAS) penulis mendapat dorongan dan dukungan dari segenap pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah kami menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, yang telah memberikan sarana dan fasilitas kemudahan sehingga studi kami berjalan dengan baik dan lancar. 2. Bapak Fathur Rahman, M.Si. selaku Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan

Bimbingan sekaligus dosen Penasihat Akademik kami yang telah memberikan bimbingan serta sarannya.

3. Ibu Kartika Nur Fathiyah, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi kami yang dengan sabar memberikan bimbingannya sejak awal proses sampai dengan terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, BK, serta seluruh dosen di FIP UNY yang telah dengan ikhlas memberikan ilmunya kepada kami

5. Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimiwa Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian.

6. Seluruh warga SMP Negeri 2 Kalasan yang telah bersedia menerima kami dengan baik dalam proses penelitian sehingga penelitian dapat terselesaikan dengan baik.


(9)

ix

7. Bapak Karsin Sucipto dan Ibu Toriyah, kedua orang tua kami tercinta yang

selalu memberikan do’a, motivasi, serta dukungannya kepada kami untuk

dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini dengan secepatnya. Panjenengan

kekalih-lah yang selalu menjadi semangat sehingga kami menjadi kuat dalam

menghadapi segala cobaan. Sungguh sesuatu yang tidak ternilai harganya sehingga kami tidak sanggup untuk mengembalikan semuanya.

8. Adik perempuan kami yang paling cantik, Ahlun Nazar dan si bungsu yang paling tampan, Ammar Helmi Hakim Adi Sucipto. Kalian berdua yang senantiasa menjadi motivasi dan semangat bagi kami untuk tidak patah semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Keluarga besar kami, kawan-kawan, serta guru-guru kami yang senantiasa memberikan dukungannya serta menjadi guru-guru kehidupan bagi kami. 10. Kawan-kawan Bimbingan dan Konseling 2011 terutama BK A yang selalu

menjadi pengisi kehidupan dalam tiap langkah yang telah kita lalui bersama. Kalian sungguh super istimewa.

11. Kakak angkatan 2009, 2010, dan adik angkatan 2012, 2013, dan 2014 yang selama ini menjadi sahabat baik kami. Kalian luar biasa.

12. Seluruh pihak yang turut membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan kekurangan pasti datang dari dalam diri manusia sebagai makhluk-Nya.Demikian pula kami sebagai penulis dalam penyusunan skripsi ini.Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.Mohon maaf atas segala kekurangan, dan atas perhatiannya kami sampaiakan terima kasih.

Yogyakarta, Januari 2016 Penulis,

Hamzah Mutahari NIM. 11104241025


(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN ...ii

HALAMAN SURAT PERNYATAAN ...iii

HALAMAN PENGESAHAN ...iv

MOTTO ...v

PERSEMBAHAN ...vi

ABSTRAK ...vii

KATA PENGANTAR ...viii

DAFTAR ISI ...x

DAFTAR TABEL ...xiii

DAFTAR GAMBAR ...xiv

DAFTAR LAMPIRAN ...xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Identifikasi Masalah ...14

C. Batasan Masalah ...14

D. Rumusan Masalah ...15

E. Tujuan Penelitian ...15

F. Manfaat Penelitian ...15

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian terkait Kecemasan Sosial ...18

1. Pengertian Kecemasan Sosial ...18

2. Aspek-aspek Kecemasan Sosial ...20

3. Simtom-simtom Kecemasan Sosial ...23

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Sosial ...26

5. Dampak-dampak Kecemasan Sosial ...38

6. Strategi Mengatasi Kecemasan Sosial ...40


(11)

xi

1. Pengertian Kepercayaan Diri ...42

2. Aspek-aspek Kepercayaan Diri ...44

3. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Kepercayaan Diri ...47

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri ...48

5. Strategi untuk Menumbuhkan Kepercayaan Diri ...52

C. Kajian terkait Siswa Kelas VII sebagai Remaja ...56

1. Pengertian Remaja ...56

2. Ciri-ciri Remaja ...61

3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja ...67

4. Masalah-masalah pada Remaja ...71

D. Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Kecemasan Sosial pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan Tahun Ajaran 2015-2016 ...73

E. Hipotesis ...76

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ...77

B. Tempat dan Waktu Penelitian ...78

C. Variabel Penelitian ...78

D. Definisi Operasional ...80

E. Subyek Penelitian ...81

F. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ...84

G. Uji Validitas dan Reliabilitas ...89

H. Metode Analisis Data ...96

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi dan Hasil Penelitian ...101

1. Kepercayaan Diri ...101

2. Kecemasan Sosial ...103

B. Pengujian Hipotesis ...104

1. Uji Persyaratan Analisis ...104

2. Uji Hipotesis ...106

3. Sumbangan Efektif...108


(12)

xii

D. Keterbatasan Penelitian ...124

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...126

B. Saran ...127

DAFTAR PUSTAKA ...130


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Distribusi Populasi Penelitian ...81

Tabel 2. Kisi-kisi Skala Kepercayaan Diri ...88

Tabel 3. Kisi-kisi Skala Kecemasan Sosial Pra-Uji Coba ...89

Tabel 4. Distribusi Item Valid dan Tidak Valid Skala Kecemasan Sosial ...95

Tabel 5. Kisi-kisi Skala Kecemasan Sosial Pasca-Uji Coba ...95

Tabel 6. Batasan Distribusi Frekuensi Kategori Kepercayaan Diri dan Kecemasan Sosial ...97

Tabel 7. Hasil Penghitungan Skor dan Kategorisasi ...98

Tabel 8. Data Kategori Siswa terkait Kepercayaan Diri ...102

Tabel 9. Data Kategori Siswa terkait Kecemasan Sosial ...103


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1.Kerangka Berpikir ...76 Gambar 2.Skema Hubungan Antarvariabel ...79 Gambar 3.Distribusi Sampel Penelitian ...82


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Penentuan Jumlah Sampel...139

Lampiran 2. Rekapitulasi Skor Item Uji Coba ...140

Lampiran 3. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Kecemasan Sosial ...145

Lampiran 4. rTable Pearson Product Moment ...147

Lampiran 5. Hasil Uji Prasyarat Analisis ...148

Lampiran 6. Hasil Uji Hipotesis dan Sumbangan Efektif ...149

Lampiran 7. Rekapitulasi Skor Kepercayaan Diri ...150

Lampiran 8. Rekapitulasi Skor Kecemasan Sosial ...155

Lampiran 9. Skala Kecemasan Sosial Pra-Uji Coba ...160

Lampiran 10. Skala Kepercayaan Diri dan Kecemasan Sosial...166

Lampiran 11. Surat Rekomendasi Penelitian ...176


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia hidup di dunia adalah dalam keadaan saling membutuhkan antar satu sama lain. Ketergantungan tersebut adalah tidak terbatas pada warna kulit, jenis kelamin, suku, negara, bahkan kepercayaan tertentu. Manusia diberikan naluri untuk saling membutuhkan dan memberikan bantuan kepada manusia lain dalam keadaan apapun. Hal tersebut yang menurut Bimo Walgito (2003: 25) menjadikan manusia disebut sebagai Homo-Social atau makhluk sosial yang menjadikan kehidupan manusia dalam kondisi saling menjaga hubungan baik dalam melakukan interaksi dengan orang lain dalam lingkungannya.

Interaksi sosial mencakup penyesuaian sosial, yang di dalamnya individu dapat menyesuaikan diri antar satu sama lain (Bimo Walgito, 2003: 65). Penyesuaian tersebut dapat berarti individu meleburkan diri dengan keadaan di sekitarnya, atau sebaliknya individu dapat mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan dalam diri individu, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh individu.

Sebagai bagian dari tahapan rentang kehidupan manusia, remaja merupakan salah satu individu yang melakukan interaksi dengan lingkungan guna memenuhi kebutuhannya (Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 3). Pendapat senada juga diungkapkan oleh Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2006:


(17)

2

9) yang menyatakan bahwa remaja melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya sebagai bagian dari perkembangan dirinya dalam pencarian jati diri. Menurut DeVito (dalam Ayu Lea Lailatussa’diyah, 2014: 3), dengan melakukan interaksi sosial, remaja dapat memperoleh informasi baru, dan dapat mengenal dirinya dengan lebih baik. DeVito juga menambahkan bahwa interaksi sosial pada remaja dapat membuat remaja menjadi lebih mengenal lingkungannya, memodifikasi perilaku, serta lebih menyehatkan jiwa. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa interaksi sosial menjadi penting terhadap pengaruh perkembangan individu remaja.

Di dalam melakukan interaksi sosial, tidak semua remaja dapat nyaman dan leluasa menjalin hubungan dengan lingkungan sosialnya. Adanya perasaan takut dan cemas merupakan salah satu kondisi yang dapat terjadi pada remaja di dalam situasi sosialnya. Peale (2006: 149) berpendapat bahwa kecemasan dalam hubungan sosial memang menjadi gangguan serius yang dialami oleh masyarakat modern, termasuk remaja.

Menurut Hofmann dan DiBartolo (2010: 64), kecemasan dan kekhawatiran yang dialami oleh individu, termasuk remaja, pada saat melakukan interaksi sosial disebut dengan kecemasan sosial (social anxiety). Pendapat lain diungkapkan oleh Book dan Randall (2002: 130) yang menyatakan bahwa kecemasan sosial adalah perasaan takut dan cemas yang berlebihan akan situasi sosial tertentu. Kecemasan tersebut menurut Park dan Lee (2004: 197) meliputi perasaan takut akan penghakiman dan penilaian orang lain terhadap diri. Pendapat-pendapat tersebut menunjukkan bahwa


(18)

3

kecemasan sosial merupakan kecemasan yang terjadi dalam situasi sosial tertentu pada saat interaksi sosial sedang berlangsung atau pun belum berlangsung. Di dalam kecemasan sosial terdapat perasaan takut dan cemas yang berlebihan akan penghakiman dan penilaian orang lain terhadap diri.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Essau, et al. (dalam Cederlund, 2013: 15), ditemukan data bahwa sebanyak 17% remaja mengalami kecemasan di dalam melakukan interaksi sosial. Hasil ini diperkuat oleh penelitian Henderson dan Zimbardo (dalam Hofmann dan DiBartolo, 2010: 70) yang menemukan data bahwa remaja yang mengalami kecemasan sosial mencapai besaran 61% dengan kategori tinggi. Data-data tersebut menunjukkan bahwa remaja rentan akan kecemasan sosial yang terjadi dalam dirinya.

Salah satu penyebab kecemasan sosial pada individu adalah bila individu memasuki situasi yang baru dan membutuhkan penyesuaian yang baru pula dengan situasi tersebut (La Greca dan Lopez, 1998: 88). Menurut Moshman (2006: xx), terjadi perubahan pesat pada awal masa remaja, dan biasanya terjadi pada remaja usia 10 – 13 tahun. Dalam hal ini, secara fisik, terjadi perubahan besar bersamaan dengan pubertas yang dialami. Secara kognitif, terjadi perubahan fundamental dalam kemampuan intelektual. Secara sosial, terdapat variasi perubahan besar yang bersamaan dengan pandangan yang berfokus pada orientasi kelompok sebayanya. Sedangkan secara pendidikan, terjadi perpindahan dari sekolah dasar dan memasuki jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama.


(19)

4

Sebagai reaksi atas perubahan fisik yang terjadi pada awal masa remaja, remaja memiliki kecenderungan untuk memperhatikan fisik yang dimiliknya guna meningkatkan rasa percaya dirinya agar diterima oleh kelompoknya. Penelitian oleh Gila, et al., (2005: 70); Brinol, Petty, dan Wagner (2009: 1053); Çivitci, (2010: 91); Mares, et al., (2010: 633); dan Catur Baimi Setyaningsih (2013: 82) menghasilkan kesimpulan bahwa bentuk fisik menjadi daya tarik utama untuk meningkatkan penghargaan diri, penerimaan diri, dan kepercayaan diri remaja dalam pergaulan. Penelitian-penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa apabila remaja tidak memiliki bentuk fisik sesuai dengan apa yang diinginkannya, maka remaja pun akan merasa cemas yang berimbas pada perasaan rendah diri dalam hubungan interaksi sosialnya. Masa remaja juga sering disebut sebagai masa sosial karena hubungan sosial yang terjadi pada masa remaja semakin nampak jelas (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2006: 91). Dengan konformitas yang sedang berkembang, terutama dengan teman sebaya (Russell dan Bakken, 2002: 1), remaja pun mengupayakan adanya penerimaan sosial dari kelompok sebayanya (Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 138). Oleh karena itu, menurut Ollendick, King, dan Yule (dalam Carr, 2005: 402), apabila terjadi penolakan oleh teman sebayanya, maka akan terjadi kecemasan yang dialami remaja. Bahkan, remaja pun akan merasa kehilangan atau merasa tidak berharga jika teman-teman sebayanya menolaknya untuk bergabung dalam satu kelompok.

Selain itu, perkembangan emosi yang belum stabil sering kali menjadikan remaja menggebu-gebu dalam berpendapat. Namun,


(20)

5

permasalahan muncul ketika remaja tidak mau menerima pendapat orang lain dalam kelompoknya dan menganggap dirinya sebagai yang paling benar atau bahkan merasa dirinya selalu salah dan merasa tidak mampu melawan pendapat orang lain, seiring perkembangan kognitifnya yang berjalan ke arah penyempurnaan (Bloom, et al, dalam Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 132). Dengan demikian, terdapat sebagian remaja yang cenderung cemas dalam menghadapi lawan bicara atau bahkan temannya sendiri karena takut akan penilaian negatif dari orang lain dan lingkungannya terhadap dirinya.

Kecemasan sosial yang dialami individu dapat berdampak pada aspek psikologis individu tersebut. Menurut Nainggolan (2011: 164) dan Jalaluddin Rakhmat (2011: 107), individu yang mengalami kecemasan sosial cenderung menutup diri dan pada umumnya disertai dengan perilaku menghindar karena tidak tahan dengan kritikan yang mungkin akan diterimanya. Hal tersebut sering dikaitkan dengan ketakutan yang berlebihan bahwa orang lain akan menghakiminya. Berdasarkan pendapat tersebut, individu yang mengalami gangguan kecemasan sosial akan mempersepsikan diri bahwa yang akan dialaminya adalah negatif sehingga dirinya merasa takut dan cemas sehingga dirinya harus menghindari situasi tersebut.

Jalaluddin Rakhmat (2011: 107) berpendapat bahwa orang-orang yang memiliki kecemasan sosial cenderung dianggap tidak menarik oleh orang lain, kurang kredibel, dan sangat jarang menduduki jabatan pemimpin. Dampak lain adalah pada hal pekerjaan, mereka cenderung tidak puas; di sekolah, mereka cenderung malas; oleh karena itu cenderung gagal dalam hal


(21)

6

akademis. Brennan (Bonetti, 2009: 8) menambahkan bahwa kecemasan sosial juga dapat menyebabkan remaja merasa kesepian, yang sebenarnya kombinasi antara perasaan terasing dan depresi. Hal ini dikarenakan pada masa remaja sebenarnya terjadi permasalahan yang beriringan yang dipicu oleh berbagai permasalahan kompleks. Pederson, et al., (Bonetti, 2009: 10) berpendapat bahwa diantara permasalahan yang kompleks tersebut adalah dikeluarkan dari sekolah, alkoholisme, pemakaian obat-obatan terlarang, kenakalan remaja, agresivitas yang tinggi, obesitas, dan terkadang sampai ke arah perbuatan bunuh diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Gallagher, et al., (2014: 1) yang menemukan data bahwa menguatnya ide melakukan bunuh diri pada remaja akibat tingginya tingkat kesepian yang melanda remaja tersebut.

Kecemasan sosial juga sering kali berdampak pada aspek fisik sehingga individu sampai mengalami sakit fisik di bagian tertentu. Menurut Luciani (2001: 51-52) penyakit fisik yang dialami individu yang mengalami kecemasan, termasuk kecemasan sosial, antara lain adalah gula darah menjadi naik, kejang otot, mulut menjadi kering, jantung berdetak sangat cepat, mengalami sakit kepala, pusing, mengalami diare, insomnia (gangguan sulit tidur), lemahnya konsentrasi, serta munculnya perasaan cemas yang berlebihan pula pada kondisi-kondisi umum. Hal ini menggambarkan bahwa dampak dari kecemasan sosial itu sendiri menjadi semakin buruk apabila tidak segera ditangani.


(22)

7

Sebagaimana uraian sebelumnya, memasuki lingkungan baru merupakan sesuatu yang dapat memicu individu remaja mengalami kecemasan sosial. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulia Putri Ayuningdyah (2009: 3) yang menghasilkan kesimpulan bahwa 80% remaja usia 15-16 tahun mengalami kecemasan sosial karena memasuki lingkungan baru, yaitu memasuki jenjang masa SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Penelitian lain juga dilakukan oleh Ulva Ulandari (2011: 78) yang menghasilkan kesimpulan bahwa sebanyak 76% siswa kelas X di salah satu sekolah mengalami gejala kecemasan sosial terutama dalam hal berinteraksi dengan orang lain di sekolah tersebut.

Siswa kelas VII sebagai siswa yang baru memasuki jenjang SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah tersebut. Siswa yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya tersebut tentu saja dapat mengalami masalah dalam hal perkembangan sosialnya, sebagaimana pendapat Rita Eka Izzaty, dkk. (2008: 126) yang berpendapat bahwa remaja dituntut perubahan besar atas sikap dan pola perilakunya demi pemenuhan tugas-tugas perkembangannya. Berdasarkan pendapat tersebut, apabila remaja kelas VII mengalami kecemasan sosial dan tidak dapat berinteraksi dengan baik dengan lingkungannya, maka akan menghambat dirinya dalam memenuhi tugas-tugas perkembangannya.

Menurut Rajender, et al (2009: 61), dikatakan bahwa kecemasan sosial adalah permasalahan yang umum yang terjadi pada siswa dan berdampak


(23)

8

pada ketidakinginan bersekolah atau bahkan drop out lebih awal. Berdasarkan pendapat tersebut, maka permasalahan kecemasan menjadi tidak dapat dianggap ringan dan sepele, justru sebaiknya mendapat perhatian yang lebih banyak dari berbagai pihak, baik orang tua, guru, maupun aplikasi kebijakan di sekolah.

Kecemasan dalam bentuk apapun adalah salah satu variabel afeksi yang negatif (Park dan Lee, 2004: 197). Park dan Lee menambahkan bahwa salah satu faktor kecemasan adalah kepercayaan diri yang dimiliki sangat rendah atau bahkan hampir tidak ada. Dengan demikian, kepercayaan diri juga mempengaruhi remaja dalam melakukan interaksi dengan orang lain dalam situasi sosial yang sedang dijalaninya.

Kepercayaan diri (self-confidence) merupakan suatu kemampuan yang dapat memanfaatkan kelebihan diri sendiri, bersikap positif dan memiliki keyakinan kuat terhadap diri sendiri (I Made Dwi Andreana, dkk., 2013: 189). Menurut Rahman (dalam Suwarjo dan Eva Imania Eliasa, 2011: 74), kepercayaan diri adalah keyakinan yang dimiliki oleh seseorang untuk mencapai kesuksesan dengan usaha yang mereka lakukan sendiri. Dengan demikian, orang yang memiliki kepercayaan diri yang baik maka seseorang tersebut memiliki kekuatan, kemampuan dan keterampilan untuk mencapai kesuksesan yang dilandasi keyakinan akan usahanya sendiri.

Salah satu tanda rendahnya kepercayaan diri pada individu, termasuk remaja, adalah mudah cemas dalam menghadapi persoalan dengan tingkat kesulitan tertentu dan sulit menetralisasi timbulnya ketegangan di dalam suatu


(24)

9

situasi (Thursan Hakim, 2005: 8-9). Pendapat senada juga diungkapkan oleh Leary (1999: 32), bahwa kepercayaan diri yang rendah akan berakibat pada meningkatnya kecemasan, bahkan lebih jauh akan mengakibatkan individu akan mengalami gangguan kecemasan sosial sehingga lebih banyak menghindari situasi sosial, atau bahkan tidak terlibat sama sekali dalam interaksi sosial dengan masyarakat.

Menurut Jalaluddin Rakhmat (2011: 107), orang yang kurang percaya diri akan cenderung sedapat mungkin menghindari situasi untuk berhubungan interaksi dengan orang lain. Hal tersebut karena dirinya takut kalau orang lain akan mengejek atau menyalahkannya. Dalam hal berdiskusi pun, ia akan cenderung memilih diam. Dalam berpidato pun, individu akan mengucapkan kata terpatah-patah. Dengan demikian, kepercayaan diri menjadi salah satu faktor yang menentukan individu dalam menghadapi kecemasan yang dialaminya. Kecemasan yang dialami individu menjadi berkurang atau bahkan hilang jika di dalam diri individu terdapat kepercayaan diri.

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2006: 92) menambahkan bahwa remaja yang bersikap pasif terhadap keadaan yang dihadapi akan cenderung menyerah dan apatis terhadap keadaan dirinya. Sebaliknya, remaja yang cenderung idealis dan memiliki kepercayaan diri yang penuh akan cita-citanya, akan terus berusaha memenuhi keinginannya dengan pantang menyerah. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya remaja cenderung memiliki kecemasan tinggi karena di dalamnya remaja diharuskan


(25)

10

memilih nilai-nilai yang baik sebagai bagian dari pencarian jati dirinya sebagai pemenuhan tugas-tugas perkembangannya menuju masa dewasanya.

Beberapa penelitian sudah menghubungkan kecemasan sosial dengan variabel lain, antara lain dilakukan oleh Nainggolan (2011: 172) yang menunjukkan hasil adanya hubungan negatif antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial. Berdasarkan penelitian tersebut pula, diketahui bahwa individu yang memiliki kepercayaan diri akan memiliki perasaan yang adekuat terhadap tindakan yang dilakukan, dapat bersikap lebih tenang, mampu melakukan interaksi sosial dengan baik, mampu mengendalikan perasaan, serta memiliki internal locus of control yaitu memandang keberhasilan atau kegagalan tergantung pada usaha yang dilakukan dan tidak mudah menyerah pada keadaan serta tidak mengharapkan bantuan dari orang lain (Nainggolan: 2011: 167).

Penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan (2011) sebenarnya sudah sangat menjelaskan betapa eratnya hubungan antara kepercayaan diri yang dimiliki oleh individu dengan tingkat kecemasan individu dalam lingkungan sosial. Perbedaan penelitian Nainggolan (2011) dengan penelitian ini adalah terletak pada subyek penelitian. Penelitian Nainggolan (2011: 170) melibatkan subyek para warga binaan panti rehabilitasi pengguna NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif), sedangkan subyek yang akan diikutsertakan dalam penelitian ini adalah remaja. Dengan pemilihan subyek remaja, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan yang lebih luas dalam kehidupan.


(26)

11

Penelitian lain dilakukan oleh Diah Nuraeni (2010) dan Ayu Lea Lailatussa’diyah (2014) yang menghubungkan antara kecemasan komunikasi interpersonal dengan kepercayaan diri. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa semakin tinggi kepercayaan diri yang dimiliki oleh remaja maka semakin rendah pula kecemasan yang dialami dalam situasi komunikasi interpersonal.

Penelitian yang dilakukan oleh Diah Nuraeni (2010) dan Ayu Lea Lailatussa’diyah (2014) tersebut memang hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan (2011), hanya saja penelitian oleh Nainggolan (2011) cenderung lebih luas karena aspek kecemasan sosial juga lebih luas daripada aspek kecemasan komunikasi interpersonal oleh Diah Nuraeni (2010) dan Ayu Lea Lailatuss’adiyah (2014). Penelitian yang dilakukan oleh Diah Nuraeni (2010) dan Ayu Lea Lailatussa’diyah (2014) juga menjadi lebih bermakna sebagai bagian dari kecemasan sosial yang dialami oleh individu. Namun, tentu saja perlu adanya pembedaan tegas antara kecemasan komunikasi interpersonal dengan dengan kecemasan sosial dengan melihat karakteristik kecemasan sosial dan kecemasan komunikasi interpersonal yang ada.

Sebagaimana penjelasan Hofmann dan DiBartolo (2010: 64), kecemasan sosial adalah kecemasan yang muncul di saat situasi sosial, dan biasanya terjadi ketika melakukan interaksi sosial. Artinya, kecemasan tersebut muncul ketika dalam berbagai situasi sosial, bahkan dalam beberapa kasus, kecemasan tersebut muncul di saat sebelum melakukan interaksi sosial atau


(27)

12

tidak dalam kondisi saling berkomunikasi (Nainggolan, 2011: 163). Sedangkan kecemasan komunikasi interpersonal menurut Diah Nuraeni (2010: 34) dan Ayu Lea Lailatussa'diyah (2014: 21) adalah ketegangan yang muncul pada saat komunikasi berlangsung karena individu tidak yakin akan kemampuannya menyampaikan sesuatu yang dikarenakan pengalamannya dalam berkomunikasi yang tidak selalu mulus dan tidak selalu diterima oleh pasangan komunikasinya. Artinya, kecemasan tersebut lebih sempit maknanya dan hanya terjadi pada saat komunikasi antar pribadi. Berdasarkan perbedaan karakteristik tersebut, maka peneliti berpendapat bahwa kecemasan sosial menjadi lebih luas dan lebih umum dibandingkan dengan kecemasan komunikasi interpersonal.

SMP Negeri 2 Kalasan merupakan salah satu sekolah yang ingin peneliti ketahui apakah para siswanya mengalami kecemasan sosial atau tidak sehingga berdampak pada perilaku lainnya, terutama terkait dengan kepercayaan diri. Ketertarikan peneliti terhadap SMP Negeri 2 Kalasan adalah karena di sekolah tersebut senantiasa dilakukan usaha pendekatan siswa terhadap berbagai bidang kompetensi baik akademik maupun non-akademik. Berbagai ekstrakurikuler dikenalkan kepada para siswa dan kegiatan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) juga menjadi salah satu yang favorit diikuti oleh para siswa bahkan siswa kelas VII pun sudah diikutkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya siswa SMP Negeri 2 Kalasan sudah tidak lagi mengalami kecemasan sosial dan siswa lebih percaya diri dalam menghadapi kehidupannya. Namun demikian,


(28)

13

berdasarkan wawancara dengan guru bimbingan dan konseling di sekolah tersebut, ternyata masih terdapat beberapa siswa yang mengalami gejala kecemasan sosial, terutama dialami pada saat awal masuk sekolah.

Berdasarkan hasil wawancara dalam penelitian ini, diketahui bahwa siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan tentu saja pernah mengalami gejala kecemasan sosial, terutama di awal masuk sekolah. Hal tersebut terjadi pada saat para siswa bertemu dengan teman baru, guru-guru baru, maupun aturan sekolah yang baru yang harus ditaati. Selain itu, beberapa siswa juga malu ketika berinteraksi dengan orang lain, dan sering pula siswa malu hanya untuk berbicara di depan kelas. Menurut Çivitci, (2010: 93), hal tersebut dikarenakan bahwa siswa tersebut takut akan dinilai negatif atau ditolak oleh teman sebayanya dalam kelompok pergaulannya. Tentu saja hal tersebut harus segera diatasi dan memerlukan waktu untuk penyesuaian terhadap lingkungan yang baru tersebut.

Fenomena yang terjadi pada siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Kalasan serta penelitian-penelitian yang mendukungnya mengenai kecemasan sosial dan kepercayaan diri membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut apakah terdapat hubungan yang sama antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada remaja, terutama pada siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Kalasan. Selain itu, penelitian yang menghubungkan antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada remaja, menurut sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan. Dengan demikian, penelitian ini pun diharapkan dapat bermanfaat lebih luas dalam kehidupan.


(29)

14 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat diidentifikasikan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Sebagian siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan sebagaimana remaja pada umumnya cenderung merasa cemas dan tidak percaya diri dalam menghadapi situasi baru yang di dalamnya membutuhkan penyesuaian yang tinggi terhadap situasi baru tersebut yang biasanya terjadi pada awal masa remaja.

2. Sebagian siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan sebagaimana remaja pada umumnya takut mendapat penolakan dari orang lain baik dalam bentuk kritikan atau penilaian negatif sehingga meminimalkan interaksi sosial.

3. Kecemasan sosial memberikan dampak negatif bagi kelancaran penyesuaian diri remaja dan tidak terselesaikannya tugas perkembangan remaja dengan baik.

4. Sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian yang menghubungkan kepercayaan diri dengan kecemasan sosial dengan subyek adalah remaja pada umumnya.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, peneliti membatasi masalah-masalah yaitu yang berkaitan dengan hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada remaja, terutama yang terjadi pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015-2016.


(30)

15 D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana tingkat kepercayaan diri pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015-2016?

2. Bagaimana tingkat kecemasan sosial pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015-2016?

3. Apakah terdapat hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015-2016?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015-2016.

F. Manfaat Penelitian A. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dan pengembangan terhadap keilmuan Bimbingan dan Konseling khususnya terkait dengan hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada remaja, yang memang mempunyai keterkaitan antara aspek pribadi dengan sosial individu.


(31)

16 B. Manfaat Praktis

a. Bagi Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini bagi jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan adalah sebagai bahan dan sumber informasi baru dalam melakukan intervensi bimbingan dan konseling.

b. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan menjadi sarana belajar praktis dalam mempraktikkan teori-teori yang telah diperoleh, serta dapat memperkaya wawasan berpikir dan menganalisa suatu permasalahan, khususnya mengenai kecemasan sosial yang dialami oleh remaja awal dengan kepercayaan diri.

c. Bagi Konselor Sekolah atau Guru Bimbingan dan Konseling

Konselor sekolah atau guru Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai salah satu landasan praksis dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling di sekolah, terutama dalam pelayanan yang berhubungan dengan pengamatan dan penilaian terhadap kondisi psikologis peserta didik yang mengalami kecemasan sosial.

d. Bagi Siswa

Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) diharapkan dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan informasi diri sekaligus sebagai bahan perenungan akan dirinya terkait kecemasan


(32)

17

sosial yang dialami dan hubungannya dengan kepercayaan diri yang ada pada diri siswa tersebut. Dengan demikian, pengembangan diri siswa pun diharapkan dapat menjadi lebih baik.

e. Bagi Penelitian Selanjutnya

Penelitian selanjutnya dapat menggunakan penelitian ini sebagai bahan acuan dan pertimbangan serta untuk penelitian yang mengarah pada menemukan faktor lain yang mempunyai hubungan dengan kecemasan sosial dan kepercayaan diri, serta hasilnya dapat diuji kembali.

f. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi yang dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan dan perilaku remaja dalam masyarakat khususnya dalam hal hubungan sosial atau pergaulan remaja di dalam masyarakat guna mencegah dan mengurangi atau bahkan menghentikan bentuk-bentuk kecemasan sosial serta dapat memberikan bimbingan atau pemahaman yang mendalam mengenai pentingnya persepsi diri yang positif bagi remaja.


(33)

18 BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian terkait Kecemasan Sosial 1. Pengertian Kecemasan Sosial

Kecemasan merupakan respon yang paling umum yang menyatakan kondisi waspada dan mendorong individu untuk melakukan aktifitasnya secara kreatif (I Gede Tresna, 2011: 90). I Gede Tresna menambahkan bahwa pada tingkat kecemasan yang sedang, persepsi individu lebih memfokuskan pada hal-hal yang penting saat itu saja dan mengesampingkan hal yang lainnya. Pada tingkat kecemasan yang berat atau tinggi, persepsi individu menjadi turun dan hanya memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan yang lainnya, sehingga individu tidak dapat berpikir dengan tenang, dan ini menurut Bhatia (2009: 2) sudah mengarah pada abnormalitas atau ketidakwajaran.

Menurut Rudy Salan (Maria Etty, 2004: 23), kecemasan merupakan perasaan yang bersifat tidak menyenangkan, bervariasi dari perasaan yang sekedar saja sampai dengan yang sangat menonjol dan mencekam. Dengan demikian, kecemasan merupakan gangguan psikologis yang dapat menyebabkan perasaan yang tidak sewajarnya muncul dalam situasi yang sebenarnya bagi sebagian besar orang wajar.

Salah satu jenis kecemasan adalah kecemasan sosial (social anxiety). Menurut Leary (2012: 150) dan M. Gengki Fidhzalidar (2015: 520),


(34)

19

kecemasan sosial adalah perasaan takut dan cemas yang berlebihan akan situasi sosial tertentu, misalnya makan atau berbicara di depan umum. Pendapat lain kemukakan oleh Cederlund (2013: 15) yang menyatakan bahwa kecemasan sosial terjadi dengan diiringi oleh penghindaran terhadap situasi sosial tertentu, dan biasanya terjadi pada saat individu berada dalam masa awal remaja, sebagaimana penelitian Rajender, et al (2009: 61) yang menemukan data bahwa sebanyak 50% remaja mengalami kecemasan sosial pada onset puncak dalam usia 11 tahun.

Pendapat senada disampaikan oleh Spokas dan Heimberg (2008: 1) yang menyatakan bahwa kecemasan sosial merupakan karakter dimana terdapat ketakutan dan penghindaran akan situasi sosial yang diiringi dengan ketakutan berlebih akan penolakan, kritik, atau dipermalukan. Spokas dan Heimberg menambahkan biasanya apabila tingkat kecemasan sosial sudah parah maka dapat disebut dengan pobia sosial.

Lebih jauh, Hofmann dan DiBartolo (2010: 68) menyatakan bahwa kecemasan sosial berfokus kepada sebuah perasaan atau kondisi yang berpusat pada hubungan interaksi dengan orang lain. Berdasarkan pendapat tersebut, maka kondisi yang melibatkan interaksi dengan orang lain, bagi individu yang mengalami kecemasan sosial akan cenderung dihindari. Apabila tetap memaksakan diri untuk berada dalam situasi tersebut, individu tersebut pun akan merasa tidak nyaman dan ingin segera keluar dari situasi sosial tersebut.


(35)

20

Berdasarkan uraian pendapat tersebut, maka dapat difokuskan bahwa kecemasan sosial (social anxiety) merupakan ketakutan irasional terhadap kehadiran orang lain atau kekhawatiran akan keberadaan diri sendiri dalam situasi sosial tertentu. Individu berusaha menghindari situasi khusus dimana individu tersebut mungkin dikritik dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau bertingkah laku dengan cara yang memalukan.

2. Aspek-aspek Kecemasan Sosial

Individu yang mengalami cemas secara sosial menurut Dayakisni dan Hudaniah (Nainggolan, 2011: 164) akan memiliki ciri-ciri (a) cenderung menolak orang lain, (b) cenderung menarik diri dan tidak efektif dalam menjalin interaksi dengan orang lain, dan (c) merasa kurang memiliki kemampuan dalam melakukan hubungan sosial. Ciri-ciri tersebut dapat dijelaskan oleh Leary (1983 dalam Nainggolan, 2011: 164) yang mengemukakan aspek kecemasan sosial yaitu (a) ketakutan akan evaluasi negatif, (b) keyakinan yang tidak rasional, dan (c) standar yang terlalu tinggi.

Pendapat Leary (1983, dalam Nainggolan, 2011: 164) dapat dijabarkan oleh pendapat Leary (2012: 147-148) sebagai berikut.

a. Ketakutan akan evaluasi negatif

Individu yang mengalami kecemasan sosial akan merasa bahwa dirinya berada dalam posisi rendah sehingga menimbulkan persepsi


(36)

21

bahwa orang lain akan meremehkan dirinya atau orang lain tidak akan menyukai dirinya tersebut.

b. Keyakinan yang tidak rasional

Keyakinan yang tidak rasional ditunjukkan dengan persepsi diri terhadap orang lain yang seolah diri menyatakan bahwa orang lain tidak akan menyukainya. Dengan persepsi yang demikian, diri akan cenderung menghindari situasi sosial dimana dirinya merasa akan dipermalukan.

c. Standar yang terlalu tinggi

Keadaan yang ada pada diri individu membuat individu merasa bahwa dirinya tidak dapat memenuhi harapan sosial, yaitu dirinya tidak dapat membuat orang lain terkesan dengan dirinya. Akibatnya ketakutan akan situasi sosial pun akan semakin tinggi.

La Greca dan Lopez (1998: 88) mengemukakan terdapat 3 (tiga) aspek kecemasan sosial, yaitu (a) ketakutan akan evaluasi negatif; (b) penghindaran sosial dan rasa tertekan terhadap situasi yang baru atau asing; dan (c) penghindaran sosial dan rasa tertekan yang dialami terhadap orang-orang yang dikenalnya secara umum. Ketiganya akan dipaparkan sebagai berikut.

a. Ketakutan akan evaluasi negatif

Individu yang mengalami kecemasan sosial akan merasa takut akan apa yang akan atau sedang dilakukannya seandainya akan mendapat kritik atau pandangan negatif dari lingkungan sekitarnya.


(37)

22

Hal tersebut tidak hanya berlaku pada apa yang sedang dilakukan oleh individu yang mengalami kecemasan sosial, tetapi individu yang mengalami kecemasan sosial akan melihat dirinya sendiri juga dengan penilaian negatif akibat tidak dapat memenuhi harapan lingkungan sosial, baik dari segi fisik tubuhnya, apa yang sedang dikenakannya, ataupun terkait apa yang dilakukannya sehingga diri individu ketakutan jikalau dirinya akan melakukan kesalahan serta kehilangan kontrol mengenai dirinya sendiri.

b. Penghindaran sosial dan rasa tertekan terhadap situasi yang baru atau asing

Individu yang mengalami kecemasan sosial cenderung akan merasa asing dan tertekan dengan situasi yang baru. Tidak betah atau ingin menghindar dengan segera dari situasi yang baru tersebut. Lingkungan baru bagi dirinya adalah sesuatu yang menakutkan dan mencemaskan dan dirinya merasa tidak aman, apalagi merasa nyaman. Individu tersebut akan membutuhkan waktu penyesuaian diri yang cukup lama.

c. Penghindaran sosial dan rasa tertekan yang dialami terhadap orang-orang yang dikenalnya secara umum

Individu yang mengalami kecemasan sosial akan merasa canggung dengan adanya hubungan interpersonal dengan orang lain, walaupun orang lain tersebut sudah biasa dikenalnya. Namun, dalam situasi tertentu, jika individu tersebut diajak untuk atau di tempat


(38)

23

pada situasi sosial tertentu maka individu tersebut akan merasa cemas dan ketakutan dalam dirinya.

Berdasarkan uraian mengenai aspek-aspek kecemasan sosial yang disampaikan, terdapat kesamaan serta dapat dikerucutkan menjadi seperti pendapat La Greca dan Lopez (1998: 88). Aspek-aspek kecemasan sosial yang dimaksud adalah meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu (1) ketakutan akan evaluasi negatif; (2) penghindaran sosial dan rasa tertekan dengan situasi yang baru atau asing; dan (3) penghindaran sosial dan rasa tertekan yang dialami secara umum dengan orang yang dikenal.

3. Simtom-simtom Kecemasan Sosial

Sebagaimana salah satu unsur dalam diri individu, individu akan menampakkan perilakunya ketika dirinya merasa cemas dalam situasi sosial. Menurut Carr (2005: 401), pada level kognisi, stimulus atau situasi tertentu menjadi sesuatu yang mengancam atau berbahaya. Pada level afeksi, terdapat perasaan aprehensi, sensitif, dan seolah mengalami kesulitan. Pada level psikologis, terdapat sesuatu yang dirasakannya mengancam sehingga dirinya harus melawannya atau bahkan menghindari situasi tersebut yang dirasa mengancam dan berbahaya.

Kecemasan sosial juga dikenal dengan Taijin Kyofusho. Menurut Maeda dan Nathan (Vriends et al, 2013: 1), Taijin Kyofusho adalah bahasa Jepang yang menggambarkan kondisi individu yang melakukan kontak mata dengan diiringi munculnya ciri-ciri: (1) takut kalau orang


(39)

24

lain akan marah, menatap tajam, dan sebagainya; (2) takut kalau orang lain akan memandangnya dengan sinis, mencela, atau bahkan melukai fisik; (3) sangat yakin bahwa orang lain akan mempermalukannya; dan (4) dihantui oleh rasa takutnya sendiri.

Nainggolan (2011: 166) menyebutkan bahwa kecemasan sosial cenderung dapat menimbulkan:

a. Respon-respon cemas seperti berkeringat, gemetar, dan sebagainya. b. Kesulitan berkomunikasi, seperti gagap berbicara, lupa untuk

mengucapkan kalimat yang sesuai atau tidak bisa berkata sesuai apa yang dipikirkannya.

c. Menghindari kontak dengan situasii sosial baik secara fisik, maupun psikologis (tingkah laku menghindar) seperti berbicara sedikit, kontak mata yang sedikit, atau menarik diri.

d. Tingkah laku yang menutupi kesan diri (self image) akan ketidakmampuannya.

Secara lebih rinci, Dixon (2011: 14-15) merincikan simtom atau gejala kecemasan terjadi dalam 3 (tiga) bagian yang saling terkait yaitu gejala fisik, gejala kognitif, dan gejala tingkah laku. Masing-masing bagian saling menunjukkan bahwa diri individu sedang mengalami kecemasan, baik kecemasan secara hebat maupun dalam tahap yang ringan.


(40)

25 a. Simtom Fisik

Simtom atau gejala fisik yang dialami oleh individu yang sedang mengalami kecemasan adalah pernapasan menjadi lebih cepat, detak jantung mempercepat, merasa pusing, perasaan mendapatkan masalah dalam perut, merasa sakit atau kebutuhan toilet, mulut kering dan merasa sulit untuk menelan, berkeringat lebih banyak dari biasanya, dan merasa gugup, senewen, dan memilih untuk di posisi pinggir. Dalam sebuah studi oleh Essau, et al (Cederlund, 2013: 28), semua kasus dengan gangguan kecemasan sosial (N = 17) dan 308 (63%) dari orang-orang dengan kecemasan sosial mengalami setidaknya dua gejala fisik seperti jantung berdebar, berkeringat, sesak napas dan gemetar selama tugas yang menantang sosial.

b. Simtom Kognitif

Simtom atau gejala secara kognitif yang dialami oleh individu yang sedang cemas adalah merasa ketakutan, merasa bahwa dirinya akan sakit atau terkena serangan jantung atau bahkan stroke, atau bahkan merasa gila, merasa bahwa orang lain sedang melihat kepada diri individu, takut akan kehilangan kontrol atau bahkan akan melakukan sesuatu yang memalukan di depan orang lain, dan merasa bahwa dirinya harus melarikan diri dan mencari tempat yang aman. c. Simtom Tingkah Laku

Simtom atau gejala kecemasan secara tingkah laku adalah melarikan diri untuk menghindar atau melakukan sesuatu sebagai


(41)

26

pengalihan rasa cemas, ingin keluar dengan terburu-buru dari tempat atau situasi yang membuat cemas, menghindari keramaian atau menyimpang jalan untuk menghindari orang lain, atau bahkan meminum obat atau sesuatu yang menurunkan cemas sebelum melakukan sesuatu yang akan membuatnya penuh kecemasan.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Sosial

Terdapat beberapa pendapat mengenai faktor-faktor kecemasan sosial. Book dan Randall (2002: 131) berpendapat bahwa kecemasan sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya latar belakang genetik, traumatis pada pengalaman pembelajaran awal, mengamati perilaku orang tua, serta adanya ketidakteraturan sistem kimia di dalam otak.

Menurut Tirtojiwo (2012: 4-5), hal-hal yang dapat mempengaruhi timbulnya kecemasan sosial adalah perbedaan jenis kelamin; riwayat keluarga atau genetik; lingkungan; temperamen; tuntutan pekerjaan dan tuntutan sosial yang baru; kondisi fisik; kimia otak; struktur otak; dan pengalaman negatif yang dialami individu. Pendapat lain diungkapkan oleh Cederlund (2009: 26-32) yang menyatakan bahwa faktor-faktor kecemasan sosial adalah genetik; perkembangan otak; temperamen; kondisi fisik; gaya kelekatan; riwayat orang tua; pembelajaran sosial; dan pola asuh orang tua.

Pendapat yang hampir mirip dengan Cederlund (2009: 26-31) juga disampaikan oleh Hofmann dan DiBartolo (2010: 225-242) yang dengan


(42)

27

lebih rinci membagi faktor kecemasan sosial menjadi 3 (tiga) faktor besar yang terdiri dari (a) faktor biologis, meliputi genetik, perkembangan otak, amigdala, dan pubertas; (b) faktor perkembangan, meliputi gaya kelekatan, dan temperamen; dan (c) faktor sosial, meliputi pola asuh orang tua, dan teman sebaya, serta Hofmann dan DiBartolo (2010: 71) juga menambahkan unsur budaya sebagai salah satu faktor kecemasan sosial. Beberapa pendapat tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

a. Faktor Biologis 1) Genetika

Apabila orang tua biologis atau saudaranya ada yang memiliki gangguan kecemasan sosial maka individu juga dimungkinkan dapat mengembangkan gangguan kecemasan tersebut (Tirtojiwo, 2012: 4). Para ahli klinis telah lama menduga bahwa ada komponen genetik yang menyebabkan kecemasan sosial, tetapi bukti secara tradisional masih bervariasi dalam ruang lingkup yang luas (Hofmann dan DiBartolo, 2010: 226). Penelitian yang dilakukan oleh Kendler, et al., (2001) dalam Cederlund (2009: 26) menghasilkan kesimpulan bahwa dari 13% kecemasan sosial yang ada, pewarisan genetik hanya menyumbang sebesar 5% sebagai penyebab kecemasan sosial sehingga pengaruh gen masih dianggap sangat kecil terhadap kecemasan sosial yang dialami individu.


(43)

28 2) Perkembangan Otak

Bahan kimia di dalam tubuh individu memiliki peranan dalam gangguan kecemasan sosial (Tirtojiwo, 2012: 5). Tirtojiwo menambahkan, misalnya terjadi ketidakseimbangan dalam serotonin kimia otak dapat menjadi faktor. Serotonin adalah neurotransmitter yang dapat membantu mengatur suasana hati dan emosi. Individu dengan gangguan kecemasan sosial memiliki sentifitas yang berlebihan dikarenakan efek dari serotonin tersebut.

Hofmann dan DiBartolo (2010: 228) menuturkan bahwa dalam beberapa cara yang sama, neuropsikolog mungkin memanfaatkan pengetahuan luas tentang sistem saraf untuk membantu memperjelas penurunan fungsi sekolah dalam istilah defisit yang lebih spesifik dalam kecepatan pemrosesan terhadap memori kerja lalu terhadap perhatian, model neurosains kognitif sosial berusaha untuk menjelaskan penurunan fungsi sosial dalam hal defisit bidang seperti dalam hal interaksi sosial.

3) Amigdala

Menurut Tirtojiwo (2012: 5), suatu struktur dalam otak yang disebut amigdala memiliki peranan dalam mengontrol respon ketakutan. Individu yang memiliki amigdala yang terlalu aktif akan memiliki respon takut yang tinggi sehingga menyebabkan kecemasan meningkat dalam situasi sosial.


(44)

29

Amigdala adalah struktur berbentuk buah kenari yang berada di dalam bagian anterior dari lobus temporal, yang terdiri dari komponen sistem limbik dan diketahui berperan dalam mengendalikan emosi, motivasi, dan memori (Hofmann dan DiBartolo, 2010: 228).

Cederlund (2013: 26) menyatakan bahwa di dalam korteks, masukan sensorik dianalisis dan dalam beberapa kasus diberhentikan, namun karena jalur kurang berkembang kembali ke amigdala, pesan dari korteks tidak seefektif sebaliknya. Beberapa orang diyakini memiliki amigdala yang lebih reaktif daripada yang lain, atau dengan kata lain, terjadi peningkatan "sistem alarm" di otak. Dengan demikian, semakin reaktif amigdala maka semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami individu.

4) Pubertas

Pubertas merupakan faktor dimana kematangan organ seksual menjadi bagian dari perkembangan individu, dan menandai individu memasuki masa remaja. Namun, perbedaan kematangan antara individu satu dengan individu lain menjadi penting karena di dalam pubertas terjadi perubahan besar baik dari segi fisik, emosi, maupun sosial yang harus segera mengalami penyesuaian oleh individu yang bersangkutan (Hofmann dan DiBartolo, 2010: 232-233). Bahkan Rita Eka


(45)

30

Izzaty, dkk., (2008: 130) berpendapat bahwa pada saat tersebut pula sudah mulai adanya ketertarikan terhadap lawan jenis yang menjurus ke arah emosi percintaan remaja. Perempuan biasanya mengalami pubertas 12-18 bulan lebih awal daripada laki-laki (UNICEF, 2011: 8).

Ketika masa pubertas, individu cenderung harus melakukan penyesuaian terhadap kondisi perubahan fisiknya. Dalam masa itu, remaja cenderung memperhatikan kondisi fisiknya dan belajar bagaimana merawat tubuhnya. Dengan demikian, remaja cenderung cemas dalam menghadapi perubahan dalam dirinya dan mulai takut akan perubahan dirinya, dan seringkali remaja menjadi resah dan tidak nyaman (Catur Baimi Setyaningsih, 2013: 1).

Menurut Tirtojiwo (2012: 4), adanya pubertas pada remaja tersebut biasanya menandakan perbedaan kematangan individu remaja antara laki-laki dan perempuan. Inglés, et al (2011: 80) menuturkan bahwa perempuan akan dapat lebih mudah mengalami kecemasan sosial dibandingkan laki-laki. Hal tersebut dikarenakan perempuan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Sabiston, et al., (2007: 79), perempuan cenderung lebih mengkhawatirkan penampilan negatif atas penampilan dirinya. Selain itu, perempuan juga cenderung memiliki tingkat ketidakpuasan


(46)

31

yang lebih tinggi serta merasa rendah diri dalam memandang tubuhnya. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik Australia pada tahun 1997

(Mental Illness Fellowship Victoria dalam

www.mifellowship.org), Cox et al., (2005, dalam Hofmann dan DiBartolo, 2010: 70), Essau, Conradt, dan Petermann (1999, dalam Cederlund, 2013: 21), dan Mehetre (2015: 133) yang menghasilkan kesimpulan bahwa perempuan lebih banyak dan lebih rentan mengalami kecemasan sosial dibandingkan laki-laki.

5) Kondisi Fisik

Cacat wajah, gagap, dan cacat fisik lainnya dapat meningkatkan perasaan rendah diri dan dapat memicu gangguan kecemasan sosial pada beberapa orang (Tirtojiwo, 2012: 5). Penelitian dilakukan oleh Irani (2000, dalam M. Gengki Fidhzalidar, 2015: 520) yang menemukan data bahwa para penyandang cacat fisik masih belum mampu melakukan hubungan sosial dengan baik, mereka masih rendah diri, dan lebih cenderung memilih tinggal di rumah tanpa melakukan apapun karena takut akan penerimaan lingkungan terhadap dirinya. Penelitian lain juga dilakukan oleh Gharati Sotoudeh, et al (2014: 383) dengan menghasilkan kesimpulkan bahwa terdapat hubungan yang erat bahwa kecemasan dan ketakutan


(47)

32

yang dialami oleh subjek dirasakan sangat mengganggu dalam hal hubungan sosialnya dengan lingkungan.

b. Faktor Perkembangan

1) Attachment (Gaya Kelekatan)

Menurut Hofmann dan DiBartolo (2010: 236), segera setelah lahir, bayi menjadi anggota sosial dalam hubungan yang lebih mendalam. Gaya kelekatan yang aman dapat dikembangkan dengan mencari pengasuh yang handal, dan bersedia untuk secara efektif menenangkan anak ketika dalam masa stres. Cassidy dan Berlin, (1994 dalam Hofmann dan DiBartolo, 2010: 236) berpendapat bahwa gaya kelekatan yang aman diduga berkembang selama terjadi pengasuhan yang menenangkan. Bayi akan belajar merespon rasa takut dengan memperkuat ketenangan. Apabila terdapat kesalahan, maka bayi pun akan tumbuh menjadi pribadi yang mudah cemas dan salah-suai.

Gaya kelekatan yang aman ditandai dengan seorang anak yang yakin bahwa orang tua selalu untuk anak, secara emosional dan fisik, dan memberikan dorongan akan otonomi anak (Cederlund, 2013: 30). Cederlund menambahkan, dengan adanya gaya kelekatan yang baik, anak menjadi lebih terbiasa bertindak proaktif dan mandiri dalam situasi baru.


(48)

33 2) Temperamen

Temperamen secara umum didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak dipelajari, secara aturan berdasarkan pada perbedaan individu baik dalam gaya penampilan dan kemampuan untuk mengatur emosi, perhatian, dan perilaku (Rothbart dan Bates, 2006 dalam Hofmann dan DiBartolo, 2010: 238). Berdasarkan pendapat tersebut, sebenarnya kecemasan datang karena ketidakmampuan diri dalam mengelola emosi, perhatian, dan perilaku.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Maria Etty (2004: 26) dan Peale (2006: 14-15) yaitu kecemasan dan rasa tidak aman sebenarnya diciptakan oleh pikiran atau persepsi individu itu sendiri. Menurut Maria Etty, apabila individu mampu mengontrol situasi, individu tidak mudah merasa cemas. Peale menambahkan bahwa ketika individu mengatakan iya akan rasa tidak aman yang dipikirkannya akan lingkungannya yang seolah-olah akan menghardiknya, maka individu tersebut pun akan mengalami rasa tidak aman tersebut serta cemas akan kondisi tersebut. Namun ketika rasa tidak aman yang dipikirkannya diubah menjadi rasa aman dan nyaman oleh individu tersebut, maka individu tersebut pun menjadi merasa aman dan nyaman serta bebas dari rasa cemas akan ketakutannya sendiri.


(49)

34

Anak-anak yang pemalu atau penakut ketika menghadapi situasi yang baru atau orang-orang yang baru, kemungkinan dalam mengalami kecemasan sosial menjadi lebih besar (Tirtojiwo, 2012: 4). Salah satu alasannya menurut Cederlund (2013: 28) adalah kemungkinan besar akan terdapat kerentanan yang besar akan perasaan takut dalam situasi baru yang mengarah ke perilaku menghindar, dan ini menyebabkan penguatan negatif dari perilaku penghindaran dan menarik diri. 3) Pengalaman Negatif

Menurut Tirtojiwo (2012: 5), individu yang mengalami

bullying, penolakan, ejekan atau penghinaan dari teman

sebayanya akan lebih rentan terhadap gangguan kecemasan sosial. Selain itu, peristiwa negatif lainnya dalam hidup seperti konflik keluarga atau pelecehan seksual akan mudah berhubungan dengan kecemasan sosial dan cenderung memiliki penilaian negatif terhadap dirinya sendiri. Pendapat senada juga disampaikan oleh M. Gengki Fidhzalidar (2015: 520) bahwa kecemasan sering terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan sosialnya ini terutama jika diirnya menekan rasa malu, marah atau frustasi dalam jangka waktu yang sangat lama.


(50)

35 c. Faktor Sosial

Sebelumnya, menurut Hofmann dan DiBartolo (2010: 71), terdapat unsur penting yang mempengaruhi individu dalam mengalami kecemasan sosial yaitu kebudayaan. Lebih lanjut, Hofmann dan DiBartolo (2010: 71) menjelaskan bahwa kebudayaan sebenarnya mendefinisikan "diri untuk dapat sesuai dengan kebudayaan yang berlaku dalam suatu wilayah dimana individu tersebut tinggal. Selain itu, menurut Butler (1999: 22) juga dikatakan bahwa kebudayaan yang dipelajari oleh individu diinternalisasikan ke dalam diri individu sehingga terdapat beberapa kondisi sosial tertentu yang dianggap kaku atau tabu.

Dengan demikian, individu yang memegang teguh kebudayaan tertentu, akan merasa cemas dan merasa tidak nyaman jika berada dalam situasi sosial yang dianggapnya tabu atau bahkan terlarang oleh budayanya, atau bahkan ketika budaya tersebut justru mengharuskan dirinya untuk dapat bergaul dengan sesamanya. Kebudayaan dalam struktur sosial diinternalisasikan ke dalam lingkungan keluarga dan pergaulan sehingga pola asuh orang tua dan teman sebaya menjadi faktor penting dalam memberikan pengaruh kecemasan terhadap individu.

1) Pola Asuh Orang Tua

Faktor keluarga memang sudah lama dianggap berkaitan dengan gangguan jiwa pada anak, terutama gangguan


(51)

36

kecemasan sosial (Hofmann dan DiBartolo, 2010: 239; Tirtojiwo, 2012: 5). Orang tua sebaiknya bukan hanya memberikan penegasan kepada anak bahwa anak harus menghormati orang tua dan harus meniru perilaku orang tua, akan tetapi orang tua juga sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak untuk berbagi, mencurahkan keinginannya ataupun keluhannya (Hofmann dan DiBartolo, 2010: 239), dan ini juga yang dikatakan Das Salirawati (2002: 3) sebagai gaya pola asuh

mulur-mengkeret yang artinya pada saat tertentu membolehkan,

dan pada saat lain juga melarang. Hal ini sejalan dengan pendapat Aprilia Tina Lidyasari (tt: 1) yang menyatakan bahwa pola asuh otoritatif dapat membentuk karakter anak dengan baik. Menurut Cederlund (2013: 31), Overprotection atau perlindungan yang berlebihan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan peningkatan atau menurunkan gangguan kecemasan sosial dan kecemasan lainnya, yaitu ketika orang tua meniru gaya pengasuhan orang tua mereka. Cederlund menambahkan bahwa Overprotection, yang merupakan paduan perasaan bahwa orangtua tidak hadir secara mental atau menolak dan dingin serta tidak peduli telah dilaporkan dalam studi retrospektif ketika orang dewasa dengan gangguan kecemasan mengingat-ingat masa kecil mereka. Cederlund (2013: 31-32) dengan berbagai rujukannya menyatakan bahwa


(52)

37

bagian dari overprotection dan penolakan adalah adanya umpan balik negatif atas kontrol orang tua.

Dalam menghadapi kecemasan, juga berlaku teori belajar sosial oleh Albert Bandura. Seperti dilansir dalam

www.mifellowship.org, beberapa individu mungkin pernah mengalami situasi atau perasaan yang sama sehingga membuat diri individu stres. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa individu tersebut belajar bagaimana menghadapi situasi yang sama yang membuatnya stres atau mengalami perasaan cemas dan khawatir.

2) Pengaruh Teman Sebaya

Konformitas merupakan salah satu isu penting dalam masa remaja (Russell dan Bakken, 2002: 1). Russel dan Bakken menambahkan bahwa pada dasarnya konformitas merupakan tekanan dari teman sebaya . Maksudnya adalah jika ingin diterima dalam suatu kelompok teman sebaya tersebut, individu remaja harus menjadi sesuatu berdasarkan norma kelompok tersebut baik tertulis maupun tidak tertulis. Untuk remaja awal, biasanya masih mau menerima masukan dari orang tua, namun setelah itu biasanya remaja akan lebih mengikuti kehendak kelompok sebayanya sebagai bagian dari kemerdekaan masa remaja mereka.


(53)

38

Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan sosial, keseluruhan faktor dapat lebih diperincikan ke dalam 3 (tiga) faktor yaitu (1) faktor biologis, yang meliputi genetika, perkembangan otak, amigdala, pubertas, dan kondisi fisik; (2) faktor perkembangan yang meliputi gaya kelekatan, temperamen, dan pengalaman negatif; serta (3) faktor sosial yang meliputi pola asuh orang tua dan teman sebaya dimana individu tinggal. Masing-masing faktor tersebut saling mempengaruhi kecemasan sosial yang dialami oleh individu walaupun keseluruhan pengaruhnya tidak datang pada saat yang bersamaan.

5. Dampak-dampak Kecemasan Sosial

Sebagai bagian penting dari manusia, kecemasan merupakan salah satu mekanisme bertahan hidup (Dixon, 2011: 12). Dixon melanjutkan bahwa kecemasan dapat menjadi lebih kuat dan menimbulkan masalah-masalah yang melibatkan hal seperti terus-menerus khawatir dan ketakutan, obsesi dan dorongan, fobia, panik dan depresi. Bagaimana individu berurusan dengan kecemasan tersebut, begitulah individu dapat diketahui apakah sampai ke tahap gangguan atau masih dalam tahap kecemasan biasa.

Gejala kecemasan sosial dimulai pada usia remaja dan akan terus berkembang jika tidak ada tindakan penanganan (Book dan Randall, 2002: 131). Sejalan dengan pendapat Book dan Randall tersebut, Maria


(54)

39

Etty (2004: 17) berpendapat bahwa perasaan cemas yang berlarut-larut cenderung memberikan pengaruh negatif secara fisik maupun psikologis, begitu pula dengan kecemasan sosial. Dampak kecemasan sosial secara umum dibagi ke dalam 2 ranah, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis.

Aspek fisik yang dialami individu yang mengalami kecemasan sosial adalah menurut Luciani (2001: 51-52) penyakit fisik yang dialami individu yang mengalami kecemasan antara lain adalah gula darah menjadi naik, kejang otot, mulut menjadi kering, jantung berdetak sangat cepat, mengalami sakit kepala, pusing, mengalami diare, insomnia (gangguan sulit tidur), lemahnya konsentrasi, serta munculnya perasaan cemas yang berlebihan pula pada kondisi-kondisi umum.

Secara psikologis, menurut Baldwin dan Main (2001: 1637), kecemasan sosial sering kali terjadi pada diri individu sehingga individu merasa kaku dengan situasi sosialnya. Hal tersebut karena individu akan merasa aneh, merasa gugup, dan merasa berdebar sehingga berkeringat. Bahkan individu akan melakukan penghindaran terhadap situasi sosial yang dianggapnya dapat mempermalukan dirinya di depan umum, yang justru dapat berdampak pada adanya rasa kesepian (loneliness) dan kesulitan hubungan yang lainnya. Menurut Jackson (dalam Sübaşı, 2013: 262), individu yang memiliki kecemasan sosial juga akan mempersepsikan dirinya mempunyai keterampilan interpersonal yang rendah, mempunyai kesan positif pribadi yang rendah, serta mempunyai gaya presentasi diri yang protektif (tertutup).


(55)

40

Berdasarkan uraian yang disampaikan, dapat disimpulkan bahwa kecemasan sosial yang dialami individu terutama remaja dapat mempengaruhi kehidupan terutama dalam aspek kondisi fisik maupun kondisi psikologis individu remaja tersebut.

6. Strategi Mengatasi Kecemasan Sosial

Dalam menangani kecemasan sosial, Veale (2003: 260-263) menjabarkan bahwa terdapat 2 (dua) cara penanganan, yaitu dengan farmakoterapi (medis) dan psikoterapi. Keduanya akan dijabarkan sebagai berikut.

a. Farmakoterapi (medis)

Menggunakan obat-obatan untuk kecemasan adalah bertujuan untuk menyeimbangkan zat-zat kimia dalam tubuh. Benzodiazepine adalah yang paling banyak digunakan, meskipun penggunaan dalam waktu yang lama juga menjadi masalah tersendiri. Antidepresan yang baik juga dapat membantu individu dalam mengurangi kecemasan yang dialaminya. Paroxetine juga diperbolehkan dalam penanganan menggunakan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI). Dapat pula menggunakan Mono-Amine Oxidase Inhibitor (MAOI).

b. Psikoterapi

Psikoterapi digunakan dengan sasaran utamanya adalah respon belajar dan faktor kepribadian individu, salah satunya adalah


(56)

41

bertujuan untuk mengubah pikiran yang tidak masuk akal (irrational) dan mendorong adanya kontrol yang lebih besar terhadap pikiran, emosi, dan perilaku individu.

Barber (2015: 5) berpendapat bahwa pada dasarnya, individu yang mengalami kecemasan sosial adalah terletak pada ketakutannya akan evaluasi negatif. Ketakutan negatif tersebut yang membuat dirinya seolah berada dalam situasi yang berbahaya karena dapat menimbulkan kritik dan penilaian negatif dari orang lain atas rendahnya keterampilan yang mereka miliki. Berdasarkan pendapat tersebut, maka penggunaan CBT (Cognitive Behavioral Therapy) dapat dianggap tepat untuk diterapkan dalam kasus gangguan kecemasan sosial.

Efektivitias terapi pengubahan perilaku kognitif untuk mengatasi kecemasan sosial menurut Adib Asrori (2015: 94) sudah tidak diragukan lagi sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh banyak ahli di dalam laporan penelitiannya. Menurut Butler (1999, dalam Adib Asrori, 2015: 94), terapi ini menggunakan 4 (empat) metode utama yaitu mengubah pola pikir, melakukan sesuatu yang berbeda, mereduksi self-conciousness, dan membangun kepercayaan diri. Veale (2003: 262) juga menambahkan bahwa di dalam terapi ini, terapis berusaha memodifikasi memori individu terkait gambaran diri di masa lalu yang mungkin pernah mengalami trauma tertentu. Terapi ini juga membutuhkan kombinasi dengan gejala kecemasan


(57)

42

yang muncul, misalnya teknik relaksasi, teknik bernafas dengan pelan, serta adanya kontrol terhadap pelampiasan.

Menurut Barber (2015: 2-3), pada dasarnya, terdapat beberapa anggapan bahwa kombinasi antara intervensi farmakologis dan psikoterapi adalah hal yang paling baik untuk dilakukan. Namun demikian, sebaiknya dilakukan psikoterapi terlebih dahulu guna mengurangi dampak psikologis yang paling tampak. Selain itu, hal ini juga sebagai langkah awal pencegahan ketergantungan terhadap obat-obatan.

B. Kajian terkait Kepercayaan Diri 1. Pengertian Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri merupakan suatu sifat yang sangat penting dan harus ada dalam diri manusia. Peale (2006: 6) berpendapat bahwa kepercayaan diri merupakan sikap mental yang sehat dan penting untuk mencapai kesuksesan. Dengan percaya diri, individu dapat menyingkirkan rasa rendah diri, yang dapat melemahkan harapan. Dengan percaya diri pula, individu dapat mencapai aktulisasi diri serta keberhasilan dalam mencapai prestasi. Berdasarkan pendapat tersebut, maka kepercayaan diri menjadi sangat penting untuk dimiliki oleh manusia dalam segala usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.

Neil (2005, dalam Suwarjo dan Eva Imania Eliasa, 2011: 75) juga mengungkapkan bahwa percaya diri merupakan kombinasi dari self


(58)

43

esteem (penghargaan diri) dan self efficacy (keyakinan diri). Menurut

Lopez (2009: 875, 880), pengertian self esteem (penghargaan diri) dan

self efficacy (keyakinan diri) sendiri. Menurut Lopez, Self esteem secara

umum merupakan suatu perasaan mengenai keberhargaan akan suatu nilai. Keberhargaan tersebut dapat berkenaan tentang suatu kecakapan atau kompetensi tertentu, berhubungan dengan kondisi nyata atau impian individu yang bersifat rasial, etis, atau kelompok lain sebagai bagian dari bentuk identifikasi atas diri mereka. Sedangkan Keyakinan diri atau

self-efficacy merupakan suatu keyakinan tentang keterampilan, tetapi

keyakinan tentang kemampuan individu untuk melatih sutau keterampilan dalam kondisi tertentu, terutama di dalam kondisi perubahan dan yang menantang.

Percaya diri adalah suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan dalam hidupnya (Thursan Hakim, 2005: 6). Pendapat senada juga dinyatakan oleh De Angelis (2002: 10) bahwa kepercayaan diri adalah berawal dari tekad pada diri sendiri, untuk melakukan segala yang diinginkan dan butuhkan dalam hidup. Kepercayaan diri terbina dari keyakinan diri sendiri, bukan atas karya-karya yang sudah didapatkan walaupun karya tersebut berhasil. Dengan demikian, orang yang percaya diri akan selalu merasa mampu memandang positif setiap sesuatu yang dimilikinya yang sebenarnya


(59)

44

berasal dari dalam diri serta memanfaatkannya secara positif demi ketercapaian suatu tujuan, terlepas dari hasil akhir dari dorongan tersebut. Dengan demikian, berdasarkan uraian pendapat yang sudah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa istilah kepercayaan diri digunakan untuk merujuk kepada individu yang menilai diri mereka sendiri dengan positif, mampu untuk menghadapi berbagai situasi, serta optimis dalam usaha mewujudkan ketercapaian tujuan. Kepercayaan diri dalam diri individu pun sangat berkenaan dengan ranah tingkah laku, ranah emosi, dan ranah spiritual manusia. Individu dengan kepercayaan diri yang tinggi merasa yakin tentang kemampuan mereka untuk mencapai tujuan, kompetensi akademis dan hubungan mereka dengan orang tua dan teman-temannya.

2. Aspek-aspek Kepercayaan Diri

De Angelis (2002: 58) berpendapat bahwa kepercayaan diri sebenarnya melingkupi 3 (tiga) dimensi, yaitu dimensi tingkah laku, dimensi emosi, dan dimensi spiritual. Ketiga dimensi tersebut dijelaskan oleh De Angelis (2002: 58-59) sebagai berikut.

a. Kepercayaan diri tingkah laku adalah kepercayaan diri untuk mampu bertindak dan menyelesaikan tugas-tugas.

b. Kepercayaan diri emosi adalah kepercayaan diri untuk yakin dan mampu menguasai segenap sisi emosi.

c. Kepercayaan diri spiritual adalah kepercayaan diri untuk yakin akan takdir dan alam semesta, keyakinan bahwa hidup memiliki tujuan


(60)

45

yang positif, bahwa keberadaan diri mempunyai makna, dan adanya tujuan hidup individu selama rentang usia kehidupannya.

Aspek-aspek yang terkandung dalam kepercayaan diri antara lain adalah ambisius, mandiri, optimis, tidak mementingkan diri sendiri, dan toleransi, (Muhammad Idrus dan Annas Rohmiati, 2008, dalam I Made Dwi Andreana, dkk., 2013: 699). Lebih lanjut, individu yang percaya diri dapat diindikasikan menurut Nainggolan (2011: 166), memiliki perasaan yang adekuat terhadap tindakan yang dilakukan, memiliki ketenangan sikap, dapat berkomunikasi dengan baik, kemampuan untuk bersosialisasi, merasa optimis, dapat mengendalikan perasaannya, percaya akan kompetensi/kemampuan diri, dan memiliki internal locus of

control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha

diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain).

Sedangkan pendapat lain lebih terperinci yaitu dari M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S. (2010: 36) menyatakan bahwa aspek-aspek kepercayaan diri adalah memiliki rasa aman, yakin pada kemampuan sendiri, tidak mementingkan diri sendiri dan toleran, ambisi yang normal, mandiri, dan optimis. Keenam aspek tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.

a. Memiliki rasa aman. Perasaan aman maksudnya adalah terbebas dari

rasa takut dan ragu-ragu terhadap situasi atau orang-orang di sekelilingnya.


(61)

46

b. Yakin pada kemampuan sendiri. Individu merasa tidak perlu

membandingkan dirinya dengan orang lain dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Walaupun mengetahui bahwa dirinya memiliki kekurangan, tetap masih dapat menerima diri dan berusaha mengembangkan diri dengan sunggih-sungguh.

c. Tidak mementingkan diri sendiri dan toleran. Individu mampu

mengerti kekurangan yang ada pada dirinya serta dapat menerima pandangan dari orang lain. Kekurangan dapat berupa fisik, sosial, dan psikis serta tetap berusaha memperbaiki diri.

d. Ambisi yang normal. Individu dapat menyesuaikan keinginan dengan

kemampuan, tidak ada kompensasi dari ambisi yang berlebihan, dapat menyelesaikan tugas dengan baik, dan bertanggung jawab.

e. Mandiri. Individu tidak tergantung pada orang lain dan tidak terlalu

memerlukan dukungan orang lain dalam memerlukan sesuatu.

f. Optimis. Individu memiliki pandangan dan harapan yang positif

mengenai diri dan masa depannya.

Berdasarkan uraian pendapat tersebut, maka dapat difokuskan bahwa aspek-aspek kepercayaan diri adalah cenderung kepada pendapat M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S. (2010: 36), yaitu memiliki rasa aman, yakin pada kemampuan sendiri, tidak mementingkan diri sendiri dan toleran, ambisi yang normal, mandiri, dan optimis, yang sebenarnya sudah mewakili unsur perilaku, emosi, dan spiritual individu.


(62)

47

3. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Kepercayaan Diri

Thursan Hakim (2005: 5) merincikan ciri-ciri individu yang percaya diri adalah sebagai berikut.

a. Selalu bersikap tenang dan tidak mudah cemas di dalam mengerjakan segala sesuatu.

b. Mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai.

c. Mampu menetralisasi ketegangan yang muncul di dalam berbagai situasi.

d. Mempu menyesuaikan diri dan berkomunikasi dalam berbagai situasi.

e. Memiliki kondisi mental dan fisik yang cukup menunjang penampilannya.

f. Memiliki kecerdasan yang cukup.

g. Memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup.

h. Memiliki keahlian atau keterampilan lain yang menunjang kehidupannya, misalnya kemampuan berbahasa asing.

i. Memiliki kemampuan bersosialisasi.

j. Memiliki latar belakang pendidikan keluarga yang baik.

k. Memiliki pengalaman hidup yang menempa mentalnya menjadi kuat dan tahan di dalam menghadapi berbagai cobaan kehidupan.

l. Selalui berreaksi positif di dalam menghadapi berbagai masalah dalam menghadapi persoalan hidup. Dengan sikap ini, adanya masalah hidup yang berat justru semakin memperkuat kepercayaan


(63)

48 dirinya.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Kanar (2011: 5) bahwa individu yang percaya diri adalah individu yang dapat fleksibel (supel), memiliki motivasi diri yang tinggi, mau mengambil tindakan yang berrisiko, antusias, bertanggung jawab, mudah dalam mengelola diri, berorientasi kepada proses, fokus, memiliki komitmen yang tinggi, mau mencoba hal baru, pekerja keras, memiliki empati yang baik, memiliki kecerdasan emosional yang baik, serta berorientasi kepada masa depan. Berdasarkan pendapat tersebut, memang percaya diri sangat diperlukan oleh diri untuk mewujudkan perkembangan diri yang optimal.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri

Dalam mencapai kepercayaan diri yang baik, tentu saja terdapat proses-proses yang harus dilalui. Thursan Hakim (2005: 6) menjabarkan garis-garis besar pembentukan rasa percaya diri tersebut, yaitu sebagai berikut.

a. Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses perkembangan yang melahirkan kelebihan-kelebihan tertentu.

b. Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimiliknya dan melahirkan keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala sesuatu dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihannya.

c. Pemahaman dan reaksi positif seseorang terhadap kelemahan-kelemahan yang dimilikinya agar tidak menimbulkan rasa rendah diri atau rasa sulit menyesuaikan diri.


(64)

49

d. Pengalaman di dalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan menggunakan segala kelebihan yang ada pada dirinya.

Thursan Hakim (2005: 6) menambahkan bahwa apabila terdapat kekurangan pada salah satu proses tersebut, kemungkinan besar individu dapat mengalami hambatan untuk memperoleh kepercayaan diri. Dengan demikian, proses-proses tersebut menjadi sangat penting untuk dapat menjadikan individu memperoleh kepercayaan diri yang baik.

Secara lebih rinci, Argo Yulan Indrajat (2013: 40-43) menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri adalah sebagai berikut.

a. Faktor Internal

1) Harga Diri dan Perasaan Dibutuhkan

Individu akan merasa bahagia jika dibutuhkan oleh orang lain. Pemenuhan akan harga diri, penghargaan, penyesuaian diri yang baik merupakan hal yang penting dalam pembentukan kepercayaan diri. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka individu akan merasa rendah diri. Menumbuhkan harga diri yang sehat akan berpengaruh positif terhadap perkembangan kepercayaan diri.

2) Keberhasilan

Keberhasilan dalam studi, seni, olahraga, dan lainnya dapat mempengaruhi individu dalam memandang dirinya sendiri. Semakin sering individu mendapatkan keberhasilan maka akan


(65)

50

lebih mudah bagi dirinya untuk memiliki rasa kepercayaan diri. Apabila kegagalan terus-menerus menimpa maka individu akan cenderung tidak berani melangkah kembali dan merasa tidak berarti. Hal terebut senada dengan pendapat Crozier (1997: 177) bahwa memang benar bahwa pengalaman keberhasilan yang dialami oleh individu dapat menjadi salah satu faktor meningkatkatnya rasa kepercayaan diri individu.

3) Kondisi Fisik

Kondisi fisik merupakan keadaan yang tampak secara langsung dan melekat pada diri individu. Kepercayaan diri berawal dari pengenalan diri yang fisik, bagaimana individu menilai, menerima atau menolak gambaran dirinya. Individu yang merasa puas dengan kondisi fisiknya cenderung memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

4) Pengalaman

Pengalaman merupakan hal-hal yang pernah dialami individu dan dapat berpengaruh terhadap kehidupan selanjutnya. Pengalaman buruk yang dialamii individu di masa lalunya dapat mempengaruhi kehidupan individu pada masa selanjutnya, begitu pula terhadap kepercayaan dirinya. Pengalaman kegagalan yang pernah dialami sebelumnya cenderung menurunkan kepercayaan diri. Sedangkan pengelaman


(1)

172 dengan baik

No. Pernyataan SS S TS STS

45.

Saya tidak dapat menyelesaikan tugas sendirian


(2)

173 Skala 2

No. Pernyataan SS S TS STS

1. Saya menerima masukan masukan dari orang lain dengan senang hati

2. Saya khawatir teman-teman akan mengolok-olok penampilan fisik saya

3. Saya merasa mampu menyesuaikan diri dalam bergaul dengan teman-teman saya

4. Saya gelisah ketika saya bertemu dengan orang baru

5.

Saya memilih menyendiri ketika berada di tengah orang-orang yang tidak saya kenal sebelumnya

6. Saya tetap mau diajak berbicara dengan teman yang baru saya kenal

7. Saya sulit untuk meminta orang lain melakukan sesuatu bersama-sama dengan saya

8. Saya termasuk orang yang mudah bergaul dengan siapa saja

9. Saya menolak dengan berbagai alasan ketika saya diminta untuk berbicara di depan umum 10. Saya senang berbincang-bincang mengenai

sesuatu secara bersama-sama

11. Saya menghargai pendapat orang lain tentang saya

12. Saya bingung ketika harus berbicara di depan umum

13. Saya merasa malu ketika berada di sekitar orang yang tidak saya kenal dengan baik


(3)

174

No. Pernyataan SS S TS STS

14.

Saya mencari-cari alasan untuk dapat segera keluar dari situasi dimana di dalamnya terdapat orang-orang yang tidak saya kenal dengan baik

15.

Saya merasa ada perasaan sakit di bagian tubuh saya ketika saya diminta untuk berbicara di depan umum

16. Saya cenderung pendiam ketika berada dalam kelompok

17. Saya khawatir tentang apa yang dipikirkan orang lain tentang saya

18. Saya menyampaikan pendapat dengan apa adanya tanpa takut dinilai negatif oleh orang lain 19. Saya yakin teman-teman dapat menghargai

penampilan saya di depan umum

20. Saya gelisah ketika berbincang-bincang dengan orang lain yang tidak saya kenal dengan baik 21. Saya mampu membawa suasana akrab dengan

teman-teman yang baru saya kenal

22. Saya dapat dengan lancar berbicara ketika berbicara di depan umum

23. Saya termasuk orang yang pasif dalam hal berpendapat

24. Saya khawatir orang lain akan membenci dan mengolok-olok saya

25.

Saya gemetar dan berkeringat ketika saya berkumpul dengan orang-orang yang tidak saya kenal

26. Saya dapat menikmati perbincangan yang saya lakukan dengan teman-teman


(4)

175

27. Saya merasa orang lain meledek dan mencibir saya

28. Saya dapat dengan mudah memulai obrolan dengan teman baru

29. Saya senang bertemu dengan teman baru karena dapat memperluas jaringan pertemanan saya 30. Saya merasa bahwa teman saya membicarakan

saya di belakang saya

31.

Saya dapat tetap lancar berbicara ketika bertemu dengan orang baru yang tidak saya kenal

sebelumnya


(5)

176 Lampiran 11. Surat Rekomendasi Penelitian


(6)

177 Lampiran 12. Surat Izin Penelitian


Dokumen yang terkait

PENGARUH INTERAKSI SOSIAL TERHADAP KEPERCAYAAN DIRI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 21 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2015/ 2016

2 43 90

MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA MELALUI KONSELING EKLEKTIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA SUPERHERO PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 KEJURUAN MUDA TAHUN AJARAN 2015/2016.

0 3 32

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA SMA INKLUSI Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Kepercayaan Diri Pada Siswa SMA Inklusi.

0 3 18

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA SMA INKLUSI Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Kepercayaan Diri Pada Siswa SMA Inklusi.

0 7 17

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KOMPETENSISOSIAL PADA SISWA SMP N 16 SURAKARTA Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kompetensi Sosial Pada Siswa SMP N 16 Surakarta.

0 4 14

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI SOSIAL PADA SISWA SMP N 16 SURAKARTA Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kompetensi Sosial Pada Siswa SMP N 16 Surakarta.

0 3 17

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA SISWA KELAS X DI SMK NEGERI 1 KALASAN.

0 0 135

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENERIMAAN SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP PIRI NGAGLIK TAHUN AJARAN 2014/2015.

0 0 183

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA SISWA KELAS VII DI SMP NEGERI 15 YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2013/2014.

0 2 171

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 11 SEMARANG TAHUN AJARAN 20172018

0 1 65