ilmu pengetahuan, betapa sang dosen telah banyak menyentuh kehidupan di sekitarnya, dan betapa sedikit manusia yang mengetahuinya dan menghargainya”. 5
cm.: 135
5.4 Tidak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Menurut Andreae dalam Hamzah, 2005: 4 kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata
asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan
Belanda, yaitu corruptie korruptie. Kemudian disimpulkan bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”. Arti harfiah dari kata itu ialah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah,
Hamzah, 2005: 5. Pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas artinya.
Menurut Encyclopedia Americana dalam Hamzah, 2005: 6 korupsi itu adalah suatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat, dan
bangsa. Menurut Lubis dan Scott 1997: 19, korupsi dalam perspektif hukum adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh pejabat pemerintah
yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut; sedangkan menurut norma-norma pemerintahan dapat dianggap korupsi apabila ada pelanggaran hukum atau
tidak, namun dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela. Menurut Suradi 2006: 1-2, faktor-faktor pendorong dilakukannya korupsi ada tiga macam, yaitu: 1 adanya tekanan
perceived pressure; 2 adanya kesempatan perceived opportunity; dan 3 berbagai cara untuk merasionalisasi agar kecurangan dapat diterima some way to rationalize the fraud as
acceptable. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2007: 582, kolusi memiliki arti yaitu
kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji; persengkongkolan. Menurut Al-Asyhar 2003: 116, tindakan kolusi biasanya tidak terlepas dari budaya suap-menyuap risywah yang
sudah sangat kita kenal di lingkungan budaya birokrasi dan telah memasuki sistem jaringan yang amat luas dalam masyarakat umum. Menurut Undang-Undang 2008: 122, kolusi
adalah pemufakatan secara melawan hukum antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan pihak lain, masyarakat, dan negara. Menurut Rafi 2006: 1, kolusi adalah
perbuatan untuk mencari keuntungan pribadi atau golongan untuk merugikan negara. Kolusi
Universitas Sumatera Utara
dapat dikatakan sebagai penyakit sosial yang menggerogoti sendi-sendi bangsa dan merusak tatanan hidup bernegara.
Nepotisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kamus Besar Bahasa Indonesia 2007: 780 adalah prilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan
kepada kerabat dekat; kecenderungan untuk mengutamakan menguntungkan sanak saudara sendiri, terutama di jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; tindakan memilih kerabat
atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Menurut Nashriana 2010: 15 nepotisme yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas pada keluarga atau
kerabatnya yang seharusnya orang lain juga dapat atau berhak bila dilakukan secara adil. Nepotisme merupakan prilaku yang mementingkan masalah pribadi atau keluarga dari pada
masalah umum. Hal yang dimaksud dalam mementingkan masalah pribadi atau keluarga yaitu lebih mengutamakan kerabat dekat atau saudara daripada orang lain untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang dekat yang memanfaatkan keadaan atau jabatan yang dijalani tersebut.
Negara yang berbentuk kerajaan seperti Saudi Arabia, Inggris, Belanda, dan sebagainya, persoalan “nepotisme” yaitu sikap atau tindakan yang mengutamakan keluarga
atau teman-teman dekat yang diberikan kedudukan atau jabatan tidaklah menjadi masalah. Pengangkatan anak sendiri menjadi raja atau jabatan lain dalam lingkungan kerajaan
bukanlah pelanggaran hukum, karena memang sistem pemerintahannya membolehkan hal seperti itu. Berbeda dengan di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan yang
demokratis dengan kadaulatan yang berada di tangan rakyat, masalah “nepotisme” adalah pelanggaran hukum. Hal tersebut tercantum dan diatur secara tegas dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 5, nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau
kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 5, maka jelas dan tegas bahwa
nepotisme di Indonesia adalah sebuah pelanggaran hukum. Korupsi, kolusi, dan nepotisme memang menjadi musuh bersama di negeri Indonesia
tercinta ini. Korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan tindak kejahatan yang akan merusak segala aspek kehidupan, baik itu di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, serta juga
merusak moralitas anak bangsa. Masalah korupsi bukan lagi masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun
yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk juga di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Korupsi, kolusi, dan nepotisme atau sering disingkat dengan KKN merupakan masalah yang sangat serius, ketiga tindak pidana tersebut dapat membahayakan stabilitas dan
keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, politik, serta merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, karena lama-kelamaan akan berubah menjadi sebuah
budaya. Korupsi telah merayap dan menyelinap dalam berabagai bentuk atau modus
operandi sehingga menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara, dan merugikan kepentingan masyarakat Hamzah, 1991: 2. Korupsi di Indonesia dapat kita lihat terus-
menerus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun dari jumlah kerugian keuangan negara. Kualitas tindak pidana korupsi yang
dilakukan juga semakin sistematis dengan lingkup yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor utama penghambat keberhasilan untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan alat untuk memberantas tidak pidana
korupsi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, namun demikian korupsi makin merajalela, kerugian negara tidak hanya jutaan rupiah akan tetapi milyaran rupiah bahkan
mencapai triliunan rupiah. Disisi yang lain, korupsi tidak hanya memasuki lingkungan eksekutif saja, tetapi juga berkembang di lingkungan yudikatif dan legislatif. Tindak pidana
korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat negara melainkan juga dilakukan oleh korporasi. Orang-orang sepertinya tidak lagi merasa malu menyandang predikat tersangka kasus korupsi
sehingga perbuatan korupsi seolah-olah sudah menjadi suatu yang biasa untuk dilakukan secara bersama-sama dan berkelanjutan, walaupun sudah jelas melakukan perbuatan melawan
hukum dan memperkaya diri sendiri serta orang lain, dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme telah menjadikan keuangan dan perekonomian negara rugi sangat besar, sedemikian besarnya uang negara yang diambil
merupakan perampasan sebagian besar hak-hak ekonomi dan sosial rakyat oleh sebagian individu atau kelompok dalam masyarakat. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan
tindak kejahatan yang dapat mempengaruhi kehidupan bangsa baik saat ini maupun yang akan datang.
Tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme berarti sudah berbuat hal yang mulia untuk negara, karena akan membuat kondisi keuangan negara menjadi aman dan stabil,
tanpa adanya suatu kondisi yang mengkhawatirkan. Bentuk nasionalisme yang terkandung dari tindakan tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah selalu bersikap jujur,
Universitas Sumatera Utara
tidak melanggar hukum, serta tidak merugikan keuangan negara. Tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme juga mengindikasikan bahwa seseorang mencintai negara Indonesia,
karena dengan tindakan tersebut tidak ada uang negara yang dicuri ataupun dirampas, sehingga uang negara tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan bangsa
dan negara menuju Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Tidak korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi bentuk nasionalisme dalam
novel 5 cm. terdapat pada kutipan berikut: ”Tapi, Yan... ada satu yang pasti, Yan, ” Genta berbicara tegas. “Di tempat gue kerja
sekarang kan isinya seumuran kita, angkatan eksponen reformasi dulu. Jadinya, kita janji untuk mencoba sama sekali nggak pernah dan nggak akan ngelakuin KKN.
Mudah-mudahan yang kayak gitu bisa kita jaga entah sampai kapan”. 5 cm.: 189
5.6 Kebersamaan