Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa (Kasus: Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)
ABSTRACT
Eco-tourism as one of tourism activity, that attracts attention from many participant. As a tourism activity, eco-tourism not only offering a beauty of nature but also the unique of social and cultural in some community. The research explained about the local community perception towards eco-tourism development. The research is conducted in Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. The purposes of this research are 1) to analyze level of knowledge and attitude towards myth’s and norm in Kampung Batusuhunan. That may support to protect the community from any devastating effect from tourism, 2) to analyze the local community perception in the development of “Waterfall Cigangsa Islamic Eco-tourism” area, 3) to analyze people expectations about ”Waterfall Cigangsa Islamic Eco-tourism” development. The methodology of research is based on qualitative and quantitative approaches. A quantitative data are earned from the questionnaire, while the qualitative data are earned from the open question. The results of this research showed 1) characteristic of respondent unrelated to level of knowledge and attitude towards myth’s and norm in Kampung Batusuhunan because on the best of age and sex the local people have a high level of knowledge and a firm attitudes to against the norm and myth’s, 2) the result also proved, some respondent approved to the Islamic Eco-tourism development at Kampung Batusuhunan because this idea may prevent negative effect from the ecotourism development, 3) people expectations about “Waterfall Cigangsa Islamic Eco -tourism” development mainly in economic sector because the respondents want an economic progress for the local people and Kampung Batusuhunan.
(2)
RINGKASAN
ALDILLA ADELIA Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa (Kasus: Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan RINA MARDIANA dan ARYA HADI DHARMAWAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, mengidentifikasi serta menganalisis hubungan antara jenis kelamin dan tingkat usia terhadap tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap mitos dan norma, persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata, dan harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Lokasi dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan kampung ini memiliki potensi alam berupa Curug Cigangsa yang saat ini dikembangkan sebagai kawasan “Ekowisata Islami”.
Metode yang digunakan adalah kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif menggunakan instrumen kuesioner untuk mengetahui karakteristik masyarakat, hubungan tingkat pengetahuan dan sikap terhadap mitos dan norma, persepsi masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekowisata, dan harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata. Hasil yang didapat kemudian dipertajam melalui metode kualitatif. Metode kualitatif menggunakan instrumen wawancara mendalam melalui pertanyaan terbuka.
Populasi dari penelitian ini adalah individu yang bermukim di Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Jumlah responden sebanyak 30 orang yang dipilih menggunakan Stratified Random Sampling. Responden dibagi menjadi dua kategori berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia. Pembagian golongan usia dibagi berdasarkan Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006), yaitu golongan usia muda (18-30 tahun), golongan usia menengah (31-50) dan golongan usia tua (>51 tahun). Jumlah pembagian responden menjadi 15 orang pria dan 15 orang wanita yang berasal dari golongan usia muda, menengah dan tua. Berdasarkan data profil
(3)
Kampung Batusuhunan, terdapat 107 jiwa penduduk yang terbagi ke dalam 33 KK dengan jumlah pria 54 orang dan wanita 53 orang. Masyarakat Kampung Batusuhunan umumnya merupakan masyarakat asli yang sudah secara turun-temurun tinggal di Kampung Batusuhunan.
Penelitian ini menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma dengan jenis kelamin dan tingkat usia. Data menunjukkan bahwa baik berdasarkan jenis kelamin maupun tingkat usia, masyarakat memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma yang ada serta memiliki keinginan yang kuat untuk melestarikannya. Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma akan mempengaruhi sikap masyarakat terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma. Penelitian ini juga menganalisis sikap masyarakat terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia. Didapatkan hasil bahwa berdasarkan jenis kelamin, pria memiliki sikap yang lebih tegas dibandingkan wanita, sedangkan berdasarkan tingkat usia, golongan usia muda memiliki sikap yang lebih tegas dibandingkan masyarakat dari golongan usia lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahap awal pembentukan ekowisata tidak semua masyarakat menyetujui ide pembentukannya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu masyarakat mengikuti keputusan bersama dengan syarat konsep ekowisata yang digunakan menggunakan nama “Ekowisata Islami” dan yang mengerjakan harus masyarakat setempat. Berdasarkan data yang diperoleh sebagian besar masyarakat Kampung Batusuhunan berpendapat bahwa tidak akan ada kemungkinan munculnya dampak negatif dari pengembangan kawasan ini dikarenakan sudah menggunakan konsep “Ekowisata Islami”.
Penelitian ini juga menganalisis bagaimana hubungan jenis kelamin dan tingkat usia terhadap harapan masyarakat dalam pengembangan kawasan ekowisata. Masyarakat Kampung Batusuhunan memiliki harapan yang tinggi dalam bidang ekonomi dibandingkan dalam bidang ekologi dan sosial budaya, hal ini disebabkan masyarakat menginginkan adanya peningkatan pendapatan untuk masyarakat dan Kampung Batusuhunan.
(4)
1.1 Latar Belakang
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos (sendiri), dan nomos (peraturan) atau „undang-undang‟ sehingga otonomi dapat diartikan sebagai peraturan sendiri atau undang-undang sendiri yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri (Salam 2007). Menurut UU No. 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lahirnya otonomi daerah diharapkan dapat mewujudkan pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing daerah dengan keterlibatan berbagai pihak dari daerah tersebut. Hal ini diharapkan dapat menjadikan kemampuan masyarakat daerah menjadi semakin berkembang dan maju.
Kebijakan otonomi daerah, menuntut adanya suatu upaya dari tiap stakeholder dan masyarakat yang ada di daerah tersebut untuk membangun daerah masing-masing guna menambah pendapatan daerah. Salah satu jalan keluar yang diambil oleh masyarakat adalah dengan menggali sumberdaya daerah yang ada dan mengelola itu menjadi suatu sumber pendapatan daerah. Sektor pariwisata dan ekowisata sangat cocok dijadikan sumber pendapatan daerah mengingat Indonesia sebagai salah satu negara megabiodeversity atau memiliki berbagai keanekaragaman hayati dan didukung keindahan alamnya yang mempesona, serta memiliki beranekaragam budaya, berpeluang sangat besar untuk mengandalkan pariwisata alam (ekowisata) sebagai sumber pendapatan.
Pada saat ini, konsep ekowisata telah berkembang pesat. Ekowisata ini kemudian merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi. Oleh karenanya, ekowisata juga disebut sebagai bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab. Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Bahkan dalam strategi
(5)
pengembangan, ekowisata juga menggunakan strategi konservasi, oleh karena itu ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami.
Kegiatan ekowisata tidak hanya menawarkan keindahan alam sebagai obyek wisata, tetapi juga meliputi kehidupan masyarakat daerah sekitar. Masyarakat lokal biasanya memiliki keunikan budaya yang dianggap dapat menjadi sesuatu yang berpotensi untuk menarik minat wisatawan. Wisatawan tidak saja dapat menikmati keindahan alam, tetapi juga dapat mempelajari kehidupan masyarakat lokal yang memiliki keunikan masing-masing. Kehidupan masyarakat lokal umumnya masih erat dengan kearifan lokal, tradisi, religi, dan ritus-ritus kebudayaan yang kesemuanya itu menjadi daya tarik sendiri bagi tiap-tiap daerah.
Dalam perkembangan ekowisata, akan memunculkan dampak baik negatif maupun positif. Dampak positif yang diharapkan dari pengembangan kawasan ekowisata adalah terpeliharanya lingkungan hidup serta dimanfaatkannya lingkungan hidup tersebut menjadi jasa lingkungan yang memberdayakan ekonomi lokal. Dampak positif yang dihasilkan dari kegiatan ekowisata akan memberikan pengaruh nyata bagi kemajuan masyarakat lokal. Dampak positif yang dihasilkan biasanya terlihat dari adanya peningkatan pendapatan masyarakat dan kemajuan daerah tujuan ekowisata. Akan tetapi, perkembangan ekowisata yang tidak terorganisir dengan baik, hanya akan memberikan dampak negatif baik terhadap lingkungan maupun terhadap kehidupan sosial budaya komunitas lokal. Oleh karena itu, dalam pengembangan ekowisata dibutuhkan suatu pedoman atau prinsip yang dipegang masyarakat sebagai mekanisme untuk mereduksi dampak negatif yang akan masuk ke dalam komunitas mereka. Pengetahuan, mitos dan keyakinan yang dipercaya masyarakat adat lokal tentu saja memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap tingkah laku dan cara hidup masyarakat. Apabila hal itu terus dilestarikan dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat, kemungkinan masuknya dampak negatif dari perkembangan ekowisata dapat dihindari. Keyakinan masyarakat yang kuat akan mencegah masuknya pengaruh-pengaruh negatif dari luar.
(6)
Salah satu wilayah yang memiliki potensi sebagai kawasan ekowisata ialah Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Kawasan ini merupakan salah satu wilayah yang masuk ke dalam rencana pengembangan prioritas di Kelurahan Surade. Surade sendiri ialah sebuah kelurahan yang terletak di selatan Kabupaten Sukabumi. Jarak dari kota Sukabumi menuju Surade sekitar 100 km. Kelurahan Surade merupakan kelurahan yang paling maju dan strategis dalam mendukung visi Sukabumi Selatan di bidang pariwisata. Kampung Batusuhunan terletak di bagian selatan Kelurahan Surade. Kampung Batusuhunan sendiri menjadi prioritas pertama dalam rencana pembangunan karena terdapat curug yang berpotensi untuk dijadikan kawasan ekowisata, yang diberi nama Curug Cigangsa. Curug Cigangsa terdiri dari dua tingkat dan diperkirakan terbentuk akibat gempa yang cukup kuat sehingga mengakibatkan longsor. Curug ini memiliki debit air yang kecil, hal ini dikarenakan di bagian hulunya dibendung untuk keperluan irigasi. Di sekitar lokasi ini juga terdapat sebuah batu. Batu ini oleh masyarakat setempat disebut dengan Batu Masigit, atau Batu Masjid. Kampung Batusuhunan, selain memilki keindahan alam yang oleh orang-orang disebut “the little Niagara” juga memiliki keunikan sendiri yaitu masyarakatnya yang merupakan masyarakat adat dan Islam yang sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam. Sehingga konsep ekowisata yang ditawarkan di Kampung Batusuhunan adalah “Ekowisata Islami” yang sesuai dengan kehidupan masyarakat setempat yang masih sangat Islami.
Mengingat ekowisata di Kampung Batusuhunan ini merupakan ekowisata yang baru saja berkembang, maka konsep ekowisata Islami ini dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat dan wisatawan agar dampak negatif dari ekowisata yang biasanya muncul dapat dihindari. Masyarakat sebagai pelaksana kegiatan ekowisata ini tentunya menjadi faktor penentu bagi keberlanjutan “Ekowisata Islami” di Kampung Batusuhunan, oleh karena itu persepsi masyarakat terhadap perkembangan konsep “Ekowisata Islami” di Kampung Batusuhunan akan sangat menentukan keberlanjutan konsep ini. Persepsi masyarakat akan dibedakan berdasarkan dua kategori, yaitu berdasarkan golongan umur dan jenis kelamin. Hal ini dikarenakan jenis kelamin dan golongan umur masyarakat akan membedakan persepsi masing-masing masyarakat dalam pengembangan kawasan
(7)
“Ekowisata Islami”, terhadap upaya pencegahan dampak negatif dan persepsi masyarakat terhadap kesiapan infrastruktur ekowisata.
1.2 Rumusan Masalah
Adanya otonomi daerah telah menjadikan masing-masing daerah berusaha menambah pendapatan daerah guna memajukan daerahnya. Salah satu langkah yang banyak ditempuh oleh pemerintah daerah antara lain dengan membuka suatu kawasan yang awalnya hanya sebuah pemukiman biasa, menjadi kawasan ekowisata. Ekowisata sendiri berbeda dengan pariwisata pada umumnya. Pariwisata yang hanya mementingkan kebutuhan wisatawan tidak sesuai dengan konsep konservasi lingkungan. Daerah tujuan ekowisata biasanya adalah daerah yang memiliki potensi alam yang indah, juga potensi kebudayaan berupa cara hidup atau kebiasaan hidup masyarakat yang dinilai unik.
Pengembangan suatu kawasan menjadi sebuah kawasan ekowisata telah menjadikan kawasan tersebut mulai terbuka dengan dunia luar melalui interaksi sosial dengan wisatawan. Masyarakat yang tadinya hidup dengan ketentuan dan cara hidupnya masing-masing, kini mulai terpengaruh dengan dunia luar. Pengembangan kawasan ekowisata dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif. Dampak positif merupakan suatu hasil yang diharapkan dan dampak negatif merupakan suatu hal yang sebaiknya dihindari. Dampak negatif dari kegiatan ekowisata antara lain ialah terancamnya lingkungan hidup akibat dibangunnya sarana dan prasarana ekowisata, lunturnya kebudayaan masyarakat dan dampak-dampak negatif lain yang nantinya hanya merugikan masyarakat sebagai komunitas lokal yang mendiami kawasan tersebut.
Kampung Batusuhunan yang terdapat di Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi merupakan sebuah kawasan yang sedang dalam pengembangan untuk dijadikan kawasan ekowisata. Masyarakat yang mendiami Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat adat yang masih memegang teguh pedoman dan prinsip-prinsip Islam. Berkembangnya kawasan ini menjadi sebuah kawasan ekowisata dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan juga kehidupan sosial budaya masyarakat berupa pergeseran nilai-nilai tradisi yang selama ini dipegang. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penyaring yang menjadi
(8)
pedoman bagi masyarakat sekitar agar dampak negatif dari kegiatan ekowisata dapat dihindari.
Masyarakat adat merupakan masyarakat yang memiliki norma, mitos, dan kepercayaan sendiri. Norma, mitos dan kepercayaan itu biasanya dijadikan pedoman dalam cara hidup masyarakat. Norma, mitos dan kepercayaan biasanya bersifat turun-temurun dan dilestarikan oleh masyarakat adat. Seperangkat norma dan sistem religi tersebut diharapkan dapat menjadi penyaring pengaruh dari luar terhadap kemungkinan munculnya dampak negatif dari aktivitas ekowisata (berupa hadirnya wisatawan) yang memberikan dampak merugikan kepada masyarakat setempat. Persepsi masyarakat setempat dan harapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata juga akan sangat menentukan keberlanjutan ekowisata tersebut. Untuk itu, studi ini diarahkan untuk mengkaji lebih dalam mengenai konsep “Ekowisata Islami” yang dijadikan landasan oleh masyarakat setempat untuk mengembangkan kawasan ekowisata di Kampung Batusuhunan. Adapun pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap mitos dan norma di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa?
2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap pengembangan “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”?
3. Bagaimana harapan masyarakat terhadap pengembangan “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengkaji tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap mitos dan norma di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa.
2. Mengkaji persepsi masyarakat terhadap pengembangan “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”.
3. Mengkaji harapan masyarakat terhadap pengembangan “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”.
(9)
1.4 Kegunaan Penelitian
Mengacu kepada tujuan penelitian, maka penelitian ini akan bermanfaat bagi kalangan akademisi, pemerintah, dan masyarakat. Secara khusus kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan serta menjadi literatur bagi akademisi yang ingin mengkaji lebih jauh mengenai konsep ekowisata dan hubungannya dengan masyarakat. 2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi mengenai persepsi dan harapan masyarakat adat Kampung Batusuhunan dalam pengembangan ekowisata Curug Cigangsa.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk semakin mempersiapkan diri terhadap kemungkinan dampak negatif yang akan timbul dari kegiatan ekowisata melalui penguatan kearifan lokal yang sudah ada.
(10)
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Ekowisata
2.1.1.1 Pengertian Ekowisata
Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata yang mengedepankan kelestarian sumberdaya pariwisata. TIES (2002) dalam Damanik dan Weber (2006) menyatakan ekowisata dapat dipandang sebagai perjalanan pariwisata yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal. Ekowisata juga dapat didefinisikan sebagai kegiatan pariwisata yang memberikan dampak kecil terhadap kerusakan alam dan budaya lokal sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat lokal melalui perluasan lapangan kerja. Hal yang sama dikemukakan oleh Hidayati et al. (2003) yang mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan yang bertanggung jawab ke suatu lokasi dengan melakukan konservasi alam dan menjaga kesejahteraan penduduk di sekitar lokasi wisata. Seperti yang dikemukakan oleh Tafalas (2010), ekowisata merupakan perjalanan wisata yang bertanggung jawab, karena selain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, ekowisata juga memikirkan dan mengembangkan konservasi lingkungan. Ekowisata dapat memberikan manfaat sebagai lapangan kerja baru yang sangat berguna bagi kehidupan masyarakat sekitar. Damanik dan Weber (2006) mendefinisikan ekowisata ke dalam tiga perspektif, yaitu ekowisata sebagai produk, ekowisata sebagai pasar dan ekowisata sebagai pendekatan pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan sebuah perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Dengan kata lain, ekowisata ialah suatu bentuk kegiatan wisata yang menjual keindahan alam juga kehidupan masyarakatnya. Ekowisata memikirkan keberlanjutan lingkungan dan secara aktif menyumbang dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat juga dalam mengkonservasi lingkungan.
(11)
Fennell (1999) dalam Hidayati et al. (2003) mendefinisikan ekowisata sebagai kegiatan wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem pengelolaan tertentu dan memberi dampak negatif paling rendah pada lingkungan. Ekowisata tidak bersifat konsumtif dan berorientasi lokal (dalam hal kontrol, manfaat/keuntungan yang dapat diambil dari skala usaha). Sedangkan Wood (2002) dalam Hidayati et al. (2003) mendefinisikan bahwa ekowisata sebagai kegiatan wisata bertanggungjawab yang berbasis utama pada kegiatan wisata alam, dengan mengikutsertakan pula sebagian kegiatan wisata pedesaaan dan wisata budaya.
2.1.1.2 Prinsip dan Karakteristik Ekowisata
TIES (2000) dalam Damanik dan Weber (2006) mengidentifikasi beberapa prinsip ekowisata yang harus diikuti oleh pelaksana dan partisipator, yaitu:
a. Meminimalkan dampak negatif;
b. Membangun kesadaran serta menghormati budaya dan lingkungan; c. Memberikan pengalaman positif bagi pengunjung dan masyarakat sekitar; d. Memberikan manfaat finansial secara langsung bagi konservasi;
e. Memberikan manfaat finansial bagi masyarakat setempat;
f. Menumbuhkan kepekaan sosial, lingkungan dan politik bagi masyarakat; dan g. Mendukung hak asasi manusia dan perjanjian buruh.
Ekowisata berbeda dengan kegiatan pariwisata lainnya karena ekowisata memiliki karakteristik yang spesifik dengan adanya kepedulian pada pelestarian lingkungan dan pemberian manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. Menurut Hidayati et al. (2003), kegiatan ekowisata harus mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan yang berkelanjutan seperti: (1) berbasis pada wisata alam; (2) menekankan pada kegiatan konservasi; (3) mengacu pada pembangunan pariwisata yang berkelanjutan; (4) berkaitan dengan kegiatan pengembangan pendidikan; (5) mengakomodasikan budaya lokal; dan (7) memberi kontribusi positif pada ekonomi lokal.
The Ecotourism Society (dalam Fandeli 2000:115-116) menjelaskan terdapat tujuh prinsip yang bila dilaksanakan maka ekowisata akan menjamin
(12)
keberlanjutan ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan. Tujuh prinsip tersebut, yaitu:
1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap alam dan budaya yang disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat;
2. Pendidikan konservasi lingkungan, dengan mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi;
3. Menghasilkan pendapatan langsung untuk kawasan, mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan;
4. Adanya partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun pengawasan; 5. Memberikan keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat;
6. Menjaga keharmonisan dengan alam; dan
7. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan.
Ekowisata sendiri adalah hal yang berbeda dengan pariwisata. Ekowisata merupakan bagian dari konsep pariwisata. Menurut Damanik dan Weber (2006), ekowisata memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan pariwisata, yaitu:
1. Aktivitas wisata berkaitan dengan konservasi lingkungan;
2. Penyedia jasa wisata tidak hanya menyiapkan atraksi untuk menarik tamu, tetapi juga menawarkan peluang bagi mereka untuk lebih menghargai lingkungan;
3. Kegiatan wisata yang berbasis alam;
4. Organisasi perjalanan (tour operator) menunjukkan tanggung jawab finansial dalam pelestarian lingkungan hijau yang dikunjungi atau dinikmati oleh wisatawan dan wisatawan juga melakukan kegiatan yang terkait dengan konservasi;
5. Kegiatan wisata dilakukan tidak hanya dengan tujuan untuk menikmati keindahan dan kekayaan alam, tetapi juga untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan untuk pelestarian objek daya tarik wisata (ODTW);
(13)
7. Pendapatan dari pariwisata tidak hanya digunakan untuk mendukung kegiatan konservasi lokal, tetapi juga untuk membantu pengembangan masyarakat setempat secara berkelanjutan;
8. Perjalanan wisata menggunakan tekonologi sederhana yang tersedia di daerah tujuan wisata; dan
9. Kegiatan wisata berskala kecil.
Ekowisata ialah suatu bentuk pariwisata yang memikirkan keberlanjutan dan merupakan bagian dari pariwisata berkelanjutan. Dalam prakteknya, ekowisata mengadopsi prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang membedakannya dengan wisata lain. Berdasarkan UNEP (2000) dalam Damanik dan Weber (2006), prinsip-prinsip tersebut terlihat dalam kegiatan ekowisata seperti (a) secara aktif menyumbang untuk kegiatan konservasi alam dan budaya; (b) melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, pengembangan, pengelolaan wisata, serta memberikan sumbangan positif terhadap kesejahteraan mereka; dan (c) dilakukan dalam bentuk wisata independen atau diorganisasi dalam bentuk kelompok kecil.
2.1.1.3 Potensi Ekowisata dan Dampaknya
Ekowisata merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan. Pengelolaan ekowisata yang baik akan menyebabkan beberapa keuntungan dalam berbagai aspek. Akan tetapi, apabila tidak dikelola dengan benar, maka ekowisata dapat berpotensi menimbulkan masalah atau dampak negatif terhadap kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan.
Berdasarkan kacamata ekonomi makro, ekowisata memberikan beberapa dampak positif (Yoeti 2008), yaitu:
1. Menciptakan kesempatan berusaha; 2. Menciptakan kesempatan kerja;
3. Meningkatkan pendapatan sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan masyarakat, sebagai akibat multiplier effect yang terjadi dari pengeluaran wisatawan yang relatif cukup besar;
4. Meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan retribusi daerah; 5. Meningkatkan pendapatan nasional atau Gross Domestic Bruto (GDB);
(14)
6. Mendorong peningkatan investasi dari sektor industri pariwisata dan sektor ekonomi lainnya; dan
7. Memperkuat neraca pembayaran. Bila neraca pembayaran mengalami surplus, dengan sendirinya akan memperkuat neraca pembayaran Indonesia, dan sebaliknya.
Pengembangan ekowisata tidak saja memberikan dampak positif, tetapi juga dapat memberikan beberapa dampak negatif, antara lain (Yoeti 2008):
1. Sumber-sumber hayati menjadi rusak, yang menyebabkan Indonesia akan kehilangan daya tariknya untuk jangka panjang;
2. Pembuangan sampah sembarangan yang selain menyebabkan bau tidak sedap, juga dapat membuat tanaman di sekitarnya mati;
3. Sering terjadi komersialisasi seni-budaya; dan
4. Terjadi demonstration effect, kepribadian anak-anak muda rusak. Cara berpakaian anak-anak sudah mendunia berkaos oblong dan bercelana kedodoran.
Yoeti (2008) mengemukakan bahwa kegiatan ekowisata dapat memberikan dampak pada berbagai aspek seperti sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa dampak positif dan negatif : a. Dampak ekowisata terhadap sosial-budaya:
Kegiatan ekowisata yang menyajikan kehidupan sosial budaya masyarakat, secara tidak langsung telah memberikan dampak bagi kehidupan sosial budaya masyarakat sekitar tempat wisata. Dampak yang diberikan antara lain, dengan adanya kegiatan ekowisata, masyarakat semakin melestarikan budaya dan adat istiadat mereka. Hal ini dikarenakan budaya dan adat istiadat akan semakin menarik minat wisatawan untuk mengunjungi daerah mereka. Dampak tersebut merupakan dampak yang diharapkan dari kegiatan ekowisata. Akan tetapi, kegiatan ekowisata juga dapat memberikan dampak negatif berupa lunturnya adat istiadat dan kebudayaan masyarakar sekitar. Hal ini dikarenakan, dengan adanya ekowisata maka akan semakin terbukanya akses masyarakat terhadap dunia luar yang dibawa oleh para wisatawan. Hal ini dapat membuat masyarakat lokal yang tadinya menjunjung tinggi adat istiadat dan kebudayaan mereka, menjadi mulai tertarik dengan kebudayaan yang datang dari luar. Dampak negatif ini menjadi persoalan yang harus segera diatasi, mengingat kegiatan ekowisata tidak saja
(15)
mempertontonkan keindahan alam, tetapi juga mempertunjukkan kehidupan sosial budaya masyarakat sekitar yang dianggap unik dan menarik bagi para wisatawan. b. Dampak ekowisata terhadap ekonomi:
Ekowisata yang semakin diminati oleh para wisatawan telah memberikan sumbangan yang besar terhadap sektor perekonomian pemerintah daerah juga masyarakat di sekitar tempat wisata. Menurut Sedarmayanti (2005) kegiatan ekowisata yang banyak menarik minat wisatawan telah memberikan sumbangan devisa untuk negara dan juga telah membuka kesempatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Masyarakat tidak saja mendapatkan pekerjaan, tetapi juga dapat menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru yang menunjang kegiatan pariwisata.
c. Dampak ekowisata terhadap lingkungan:
Ekowisata sebagai kegiatan pariwisata yang menonjolkan kelestarian lingkungan menjadikan kegiatan ini lebih memperhatikan kondisi lingkungan daerah sekitar tempat wisata. Pemerintah daerah beserta aktor-aktor penunjang pariwisata lainnya berusaha melestarikan lingkungan dengan tujuan untuk menarik minat wisatawan. Keinginan wisatawan terhadap lingkungan hidup yang tenang, bersih dan jauh dari polusi menjadikan ekowisata banyak dipilih orang sebagai bentuk pariwisata yang diinginkan. Ekowisata sebagai kegiatan pariwisata yang bertanggung jawab juga menuntut adanya keterlibatan dari wisatawan untuk ikut melestarikan daerah yang dijadikan tujuan wisata. Konsep ekowisata secara tidak langsung juga dapat dijadikan jalan keluar mengenai permasalahan lingkungan yang selama ini menjadi perhatian orang banyak. Kegiatan pariwisata yang dulu hanya memikirkan keinginan dan kepuasan wisatawan tanpa memikirkan dampak yang dialami oleh lingkungan semakin lama semakin ditinggalkan. Oleh karena itu, ekowisata secara tidak langsung telah memberikan dampak positif terhadap lingkungan sekitar tempat wisata.
2.1.2 Masyarakat Adat
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat 1990). Masyarakat yang mendiami
(16)
suatu daerah dan memiliki kebudayaan sendiri yang telah ada secara turun-temurun dinamakan masyarakat adat. Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelumnya, yang berkembang di daerah mereka dan menganggap diri mereka berbeda dengan komunitas lain yang sekarang mendiami daerah tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat tetapi bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan tradisi leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu sukubangsa, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.
Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan dirangkum oleh berbagai sumber menyebutkan bahwa masyarakat adat memiliki lima ciri yang berbeda dengan masyarakat biasa. Karakteristik masyarakat tersebut antara lain: (1) sekelompok orang yang membentuk masyarakat atau komunitas;
(2) memiliki lokasi yang merupakan tempat tinggal mereka; (3) memiliki aturan dan hukum yang jelas;
(4) kondisi kultural, budaya dan ekonomi yang khas sehingga berbeda dengan masyarakat lainnya; dan
(5) berasal dari keturunan yang sama.
Masyarakat lokal, terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata, menjadi salah satu pemain kunci dalam pariwisata, karena sesungguhnya merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kualitas produk wisata (Damanik dan Weber 2006). Masyarakat lokal juga merupakan pemilik dari atraksi wisata yang dipertunjukkan untuk wisatawan. Air, tanah, hutan dan lanskap merupakan sumberdaya pariwisata milik masyarakat yang juga dikonsumsi oleh wisatawan. Masyarakat adat juga memiliki kearifan lokal, kebudayaan, tradisi, dan sistem religi yang dapat dijadikan landasan atau prinsip dalam perkembangan ekowisata.
2.1.3 Kearifan Lokal
Menurut Keraf (2002) kearifan lokal (tradisional) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntut perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
(17)
ekologis. Kearifan lokal bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, tetapi juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi di antara penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Konsep kearifan lokal menurut Mitchell, et al. (2000) berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional.
Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya yang sekaligus membentuk, dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari. Kearifan lokal yang terdapat di masyarakat biasanya tercermin dalam norma, mitos, nilai, kebudayaan, tradisi, dan sistem religi yang menjadi pedoman hidup dalam kehidupan masyarakat adat. Berikut ini akan dijelaskan mengenai norma dan mitos. Norma dan mitos merupakan bagian dari kearifan lokal dikarenakan norma dan mitos merupakan sesuatu yang berasal dari masyarakat dan dipercayai sebagai sebuah kepercayaan yang dianut bersama.
A. Norma
Norma adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakat dan sering disebut dengan peraturan sosial. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan. Pelanggaran dalam norma yang berlaku biasanya akan diberikan hukuman. Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Norma dalam masyarakat berisi tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar.
Berdasarkan pendapat beberapa sosiolog dalam buku “Pengantar Sosiologi” karya Setiadi dan Kolip (2010), di dalam norma terdapat tingkatan-tingkatan yang membedakan norma yang satu dan lainnya. Tingkatan norma tersebut antara lain: a. Cara (usage): suatu bentuk perbuatan tertentu yang dilakukan individu dalam
(18)
b. Kebiasaan (folkways): suatu bentuk perbuatan berulang-ulang dengan bentuk yang sama yang dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar;
c. Tata kelakuan (mores): sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari sekelompok manusia yang dilakukan secara sadar guna melaksanakan pengawasan oleh sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Dalam tata kelakuan terdapat unsur memaksa atau melarang suatu perbuatan; dan
d. Adat istiadat (custom): kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya.
B. Mitos
Mitos adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang punya cerita atau para penganutnya. Mitos pada umumnya menceritakan tentang terjadinya alam semesta, dunia, bentuk khas binatang, bentuk topografi, petualangan para dewa, kisah percintaan mereka dan sebagainya. Menurut Armstrong (2005), mitos adalah sarana masyarakat kuno untuk menemukan kebenaran dalam kehidupannya. Fungsi mitos sendiri adalah untuk memperpanjang harapan manusia yang mengalami kekerasan, ketertindasan, dan ketakutan. Mitos adalah pemandu yang dapat memberikan saran untuk bagaimana seharusnya manusia bertindak.
Mitos akan dianggap benar apabila mitos itu dapat memberikan pengaruh bagi masyarakat. Manusia modern sama sekali tidak dapat menghapuskan seluruh masa lampaunya karena dia hasil produksi dari masa lampau. Manusia modern akan menerima warisan dari masa lampau yang terus melekat dalam pikirannya, warisan itu antara lain adalah mitos (Eliade 1963 dalam Susanto 1987).
2.1.4 Persepsi
Persepsi pada hakikatnya merupakan proses penilaian seseorang terhadap obyek tertentu. Menurut Young (1951) persepsi merupakan aktivitas mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus fisik dan
(19)
stimulus sosial yang ada di lingkungannya. Sensasi-sensasi dari lingkungan akan diolah bersama-sama dengan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya baik hal itu berupa harapan-harapan, nilai-nilai, sikap, ingatan, dan lain-lain. Di dalam proses persepsi individu dituntut untuk memberikan penilaian terhadap suatu obyek yang dapat bersifat positif/negatif, senang atau tidak senang, dan sebagainya. Dengan adanya persepsi maka akan terbentuk sikap, yaitu suatu kecenderungan yang stabil untuk berlaku atau bertindak secara tertentu di dalam situasi yang tertentu pula (Polak 1991).
DeVito (1997) mengemukakan bahwa karakteristik seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Lionberger dan Gwin (1982) juga mengatakan bahwa karakteristik personal dapat mempengaruhi penerimaan individu terhadap perubahan unsur. Karakteristik tersebut dapat terdiri dari pendidikan, tempat tinggal, kedudukan, usia, dan jenis kelamin. Jenis kelamin dan usia seseorang akan mempengaruhi bagaimana orang tersebut memberikan persepsi mengenai suatu benda atau situasi. Hal ini dikarenakan persepsi yang diberikan antara pria dan wanita akan berbeda. Usia juga akan menentukan persepsi seseorang. Orangtua dan anaknya akan memberikan persepsi yang berbeda mengenai suatu benda yang sama.
2.2 Kerangka Pemikiran
Kampung Batusuhunan merupakan salah satu kampung di Kelurahan Surade yang sedang dijadikan prioritas utama dalam pembangunan. Mengingat di Kampung Batusuhunan terdapat potensi ekowisata berupa Curug Cigangsa dan Batu Masigit, maka ekowisata dijadikan titik awal pembangunan di Kampung Batusuhunan. Masyarakat sebagai pemilik kawasan dan sebagai pelaksana kegiatan ekowisata tentu saja memiliki peran penting dalam kegiatan ekowisata. Penelitian ini melihat hubungan karakteristik masyarakat yang terdiri dari jenis kelamin dan tingkat usia dengan tingkat pengetahuan terhadap mitos dan norma, tingkatan sikap masyarakat terhadap pelanggaran mitos dan norma, persepsi masyarakat lokal dalam pengembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan dan hubungan karakteristik masyarakat dengan harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata.
(20)
Perkembangan kawasan ekowisata di Kampung Batusuhunan tentu saja akan sangat bergantung pada persepsi masyarakat lokal yang mendiami daerah tersebut. Sehingga persepsi masyarakat lokal terhadap pengembangan kawasan ekowisata Curug Cigangsa menjadi faktor penting yang menentukan perkembangan “Ekowisata Islami” yang akan dilaksanakan.
“Ekowisata Islami” merupakan ekowisata yang dalam pelaksanaannya berpedoman dengan mitos dan norma yang dibuat berdasarkan kaidah Islam. Hal ini menjadikan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma menjadi sangat penting dalam pengembangan kawasan “Ekowisata Islami”. Pada pelaksanaanya, tentu saja akan terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh wisatawan yang datang ke lokasi ekowisata, oleh karena itu tingkatan sikap masyarakat terhadap pelanggaran mitos dan norma juga menjadi sangat penting.
Pengembangan suatu kawasan menjadi kawasan ekowisata menjadikan masyarakat setempat memiliki harapan yang berbeda-beda terhadap pengembangan ekowisata. Harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata dilihat berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia. Harapan masyarakat nantinya akan berhubungan dengan persepsi masyarakat lokal dalam pengembangan kawasan ekowisata. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 1.
(21)
Keterangan : : Berhubungan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa.
2.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara karakteristik masyarakat dengan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma.
2. Terdapat hubungan antara karakteristik masyarakat dengan tingkatan sikap masyarakat terhadap pelanggaran mitos dan norma.
3. Terdapat hubungan antara karakteristik masyarakat dengan persepsi masyarakat dalam pengembangan kawasan ekowisata.
4. Terdapat hubungan antara karakteristik masyarakat dengan harapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata.
5. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat dengan persepsi masyarakat dalam pengembangan ekowisata.
Karakteristik Masyarakat
Jenis Kelamin
Tingkat Usia
Persepsi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Ekowisata di Kampung
Batusuhunan (Ekowisata Islami) Harapan Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata Ekonomi Ekologi
Sosial budaya Tingkat Pengetahuan terhadap Mitos dan Norma Tingkatan Sikap Masyarakat terhadap Pelanggaran Mitos dan Norma
(22)
6. Terdapat hubungan antara tingkatan sikap masyarakat terhadap pelanggaran mitos dan norma dengan harapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata. 7. Terdapat hubungan antara harapan masyarakat dengan persepsi masyarakat
dalam pengembangan ekowisata. 2.4 Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu:
1. Untuk melihat karakteristik masyarakat, salah satunya diukur dari tingkat usia. Tingkat Usia responden yaitu rentang waktu saat lahir sampai saat pengambilan data, dihitung saat ulang tahun terakhir dan diukur dalam satuan tahun, diukur dengan skala interval, dengan batasan usia : (Havighurst 1950 dalam Mugniesyah 2006)
a. Golongan usia muda : 18 tahun – 30 tahun b. Golongan usia menengah : 31 tahun – 50 tahun c. Golongan usia tua : > 51 tahun
2. Jenis kelamin menjadi indikator karakteristik masyarakat yang dipahami sebagai status biologis individu yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, diukur dengan skala nominal.
3. Tingkat pengetahuan terhadap mitos dan norma, ialah kedalaman masyarakat (responden) dalam mengetahui dan memahami mitos-mitos dan norma-norma yang terdapat di Kampung Batusuhunan. Tingkat pengetahuan diukur dengan menggunakan skala nominal.
Nilai : Tidak Tahu = 1, Tahu = 2 a. Rendah : skor 10-15 b. Tinggi : skor 16-20
4. Tingkatan sikap masyarakat terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma, yaitu respon berupa sikap apa yang akan dibentuk oleh masyarakat ketika terdapat wisatawan yang melanggar mitos dan norma yang
(23)
diberlakukan di Kampung Batusuhunan. Sikap masyarakat diukur dengan menggunakan skala ordinal.
Nilai : Diam saja = 1, Menegur = 2, Memberi Sanksi = 3 a. Rendah : skor 9-15
b. Sedang : skor 16-22 c. Tinggi : skor 23-27
5. Persepsi masyarakat lokal dalam pengembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan, diukur melalui indikator pendapat masyarakat terhadap pengembangan kawasan “Ekowisata Islami” Curug Cigangsa, pendapat masyarakat terhadap kemungkinan dampak negatif, pendapat masyarakat mengenai proporsi dampak ekowisata dan pendapat masyarakat terhadap konsep “Ekowisata Islami”.
6. Harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata, yaitu ekspektasi ke masa depan yang diinginkan oleh masyarakat (responden) dari perkembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan, dilihat dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya.
(24)
BAB III
PENDEKATAN LAPANGAN
1.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan didukung oleh data kualitatif. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian pengujian hipotesis atau penelitian penjelasan (explanatory research). Penelitian explanatory merupakan penelitian yang menjelaskan hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesa yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun dan Effendi 1989).
Data kuantitatif didapatkan melalui kuesioner kepada responden. Data kualitatif didapatkan melalui pertanyaan terbuka kepada responden dan hasil konsultasi atau wawancara mendalam antara peneliti dan informan.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan/hasil kuesioner yang dilakukan melalui wawancara langsung kepada responden. Selain itu, dilakukan juga wawancara mendalam kepada informan. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang sumbernya berasal dari berbagai arsip/dokumen-dokumen Pemerintah Kelurahan Surade dan Kampung Batusuhunan.
3.3 Lokasi Dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di lokasi tempat dikembangkannya kawasan ekowisata Curug Cigangsa, yaitu di Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan observasi melalui internet dan studi langsung pada tempat dengan pertimbangan:
1. Kampung Batusuhunan memiliki potensi ekologi berupa Curug Cigangsa yang memiliki keindahan yang masih alami. Di kampung ini juga terdapat prasasti Batu Masigit/Masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat sekitar yang 100 persen beragama Islam.
(25)
2. Kampung Batusuhunan merupakan kampung yang lokasinya paling dekat dengan Curug Cigangsa, sehingga kegiatan ekowisata yang dilakukan di Curug Cigangsa akan memberikan dampak langsung terhadap masyarakat Kampung Batusuhunan.
3. Kampung Batusuhunan merupakan kawasan yang menjadi prioritas pertama dalam pembangunan wilayah Kelurahan Surade karena selama ini wilayah Kampung Batusuhunan kurang berkembang dibandingkan dengan kampung-kampung di Kelurahan Surade lainnya
Penelitian dilakukan selama enam bulan dengan kegiatan penelitian yang meliputi survei lokasi, penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan didukung dengan pendekatan kualitatif untuk memperkaya data. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian survai yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Unit analisa dalam penelitian ini adalah individu. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatory yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi 2006).
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya diduga. Populasi sasaran dari penelitian ini adalah masyarakat Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi. Unit analisisnya adalah individu dikarenakan penelitian ini ingin melihat persepsi masing-masing individu masyarakat yang dapat mewakili persepsi masyarakat Kampung Batusuhunan secara keseluruhan. Jumlah penduduk di Kampung Batusuhunan berjumlah 107 jiwa, dengan jumlah pria sebanyak 54 jiwa, dan wanita sebanyak 53 jiwa. Pemilihan responden dilakukan secara Stratified Random Sampling dan dibagi berdasarkan tingkatan usia dan jenis kelamin. Pembagian berdasarkan jenis kelamin dan tingkatan usia disebabkan penelitian ini ingin melihat hubungan antara jenis kelamin dan tingkatan usia terhadap persepsi masyarakat. Jumlah responden yang dipilih sebanyak 30 orang dengan pembagian 15 orang wanita di golongan usia muda, menengah dan tua, dan 15 pria di golongan usia muda,
(26)
menengah dan tua. Pembagian usia ini dibagi menjadi tiga dengan mengambil referensi menurut Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006). Pembagian jumlah responden dilakukan seimbang (15 pria dan 15 wanita) dikarenakan untuk membandingkan persepsi responden, maka jumlah responden yang dibandingkan sebaiknya sama rata. Pengambilan responden dilakukan dengan mengelompokkan masyarakat Kampung Batusuhunan ke dalam tiga golongan usia, kemudian dari tiga kelompok tersebut masing-masing diambil 5 orang pria dan 5 orang wanita.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Sebuah kuesioner berupa sekumpulan pertanyaan yang diajukan pada responden dan informan untuk dijawab. Pertanyaan untuk responden berupa pertanyaan tertutup yang sudah disertai jawaban pertanyaan dan pertanyaan terbuka untuk menggali informasi data kualitatif. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan informan kunci. Informan kunci merupakan pihak yang memberikan keterangan tentang diri sendiri, pihak lain dan lingkungannya. Pemilihan informan dilakukan secara purposive, informan kunci yang dipilih adalah tokoh adat Kampung Batusuhunan.
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data hasil kuesioner dari responden diolah dengan menggunakan program microsoft excel 2007. Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula analisis data kualitatif sebagai pendukung melalui wawancara dengan informan serta pembicaraan dengan responden yang dilakukan melalui wawancara dengan pertanyaan terbuka. Data ini digunakan untuk mempertajam hasil penelitian.
Data kualitatif akan diolah melalui tiga tahapan, antara lain reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Sugiyono (2008) mendefinisikan tahap-tahap analisis data sebagai berikut:
1. Reduksi data: merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan mencari tema serta pola data yang diperoleh;
2. Penyajian data: menyajikan data dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan lain-lain; untuk mempermudah peneliti dalam mengorganisir data, menyusun pola dan memahami data yang diperoleh;
(27)
3. Penarikan kesimpulan yang menghasilkan temuan baru atas obyek penelitian. Data kuantitatif diperoleh melalui penyebaran kuesioner di lapangan yang diperkuat dengan teknik wawancara langsung dengan responden. Pengolahan data dilakukan dengan tabel frekuensi untuk menghitung persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabulasi silang untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu untuk melihat adanya pengaruh karakteristik responden dengan beberapa hal.
(28)
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Kelurahan Surade
4.1.1 Kondisi Geografis, Topografi, dan Demografi Kelurahan Surade Secara Geografis Kelurahan Surade mempunyai luas 622,05 Ha, berada di sebelah selatan wilayah Kabupaten Sukabumi yang secara umum terbagi dua kategori lahan, yaitu sebelah utara dan selatan mayoritas didominasi oleh lahan kering, perumahan dan perkotaan. Sebelah barat dan timur didominasi oleh lahan basah pesawahan. Adapun batas-batas administrasi Kelurahan Surade adalah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Citanglar; 2. Sebelah timur berbatasan Desa Jagamukti;
3. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Buniwangi dan Desa Pasiripis; dan 4. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Kadaleman.
Kelurahan Surade bertempat cukup jauh dari pusat Kabupaten Sukabumi. Jarak tempuh perjalanan dari pusat Kabupaten adalah sepanjang 63 km. Sedangkan jarak tempuh dari Kota Bogor adalah sepanjang 117,5 km dan jarak tempuh dari Kota Bandung adalah sepanjang 217,5 km.
Kondisi Topografi Kelurahan Surade memiliki ketinggian 116 meter di atas permukaan laut (dpl) dan secara umum wilayah Kelurahan Surade memiliki ketinggian berkisar antara 15-300 meter dpl. Rata-rata suhu udara berkisar antara 150C-250C, dengan suhu rata-rata 260C. Bentuk permukaan tanah (morfologi) relatif datar di seluruh bagian kelurahan, baik di bagian utara, timur, selatan maupun barat wilayah Kelurahan Surade.
Secara demografi, jumlah penduduk Kelurahan Surade cenderung tetap dengan mutasi lahir, mati, pindah datang, dan pindah pergi. Jumlah penduduk Kelurahan Surade berjumlah 9.238 Jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 2.763 KK. Mata pencaharian penduduk Kelurahan Surade sebagian besar bekerja sebagai petani, buruh tani, sektor perdagangan dan jasa. Untuk lebih jelasnya, jumlah penduduk Kelurahan Surade dapat dilihat pada Tabel 1.
(29)
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Kelurahan Surade menurut Jenis Kelamin, Tahun 2012
Jenis Kelamin Jumlah Penduduk (jiwa) Total Persentase (%)
Pria 4.630 50,1
Wanita 4.608 49,9
Total 9.238 100,0
Sumber : Profil Kelurahan, 2012
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 1, jumlah penduduk Kelurahan Surade terdiri dari 9.238 jiwa dengan jumlah pria (50,1 persen) lebih banyak dari wanita (49,9 persen).
4.1.2 Kondisi Infrastruktur
Secara umum infrastruktur dasar di Kelurahan Surade cukup memadai. Hal ini dibuktikan dengan tersedianya prasarana pendidikan seperti PAUD, Taman Kanak-kanak, RA, Sekolah Dasar, Madrasah, SMK, Pondok Pesantren, dan Perguruan Tinggi. Begitu juga dengan sarana kesehatan dan peribadatan yang sudah tersedia dan tersebar di berbagai wilayah Kelurahan Surade. Prasarana peribadatan yang terdapat di Kelurahan surade antara lain masjid dan mushola, sedangkan prasarana kesehatan antara lain puskesmas, posyandu, klinik dokter, dan poskesdes. Jumlah infrastruktur yang terdapat di Kelurahan Surade dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Infrastruktur Kelurahan Surade, Tahun 2012 Infrastruktur Kelurahan Surade
Kondisi Prasarana Jumlah (buah)
PAUD 8
Taman Kanak-kanak 2
RA 10
Sekolah Dasar Negeri 6
Madrasah 8
SMK Swasta 2
Pondok Pesantren 7
Perguruan Tinggi 2
Puskesmas 1
Posyandu 12
Klinik Dokter 4
Poskesdes 1
Masjid 28
Mushola 46
(30)
Berdasarkan data pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa jumlah infrastruktur yang mendominasi di Kelurahan Surade adalah infrastruktur yang berhubungan dengan agama Islam, seperti pondok pesantren, madrasah, masjid dan mushola yang jumlahnya lebih besar dibandingkan sarana dan prasarana lainnya. Hal ini semakin menandakan bahwa Kelurahan Surade merupakan wilayah yang kebanyakan penduduknya memeluk agama Islam.
4.1.3 Kondisi Penduduk
Masyarakat yang tinggal di Kelurahan Surade apabila dilihat berdasarkan aspek agama dikenal sebagai masyarakat Islami. Hal ini dikarenakan hampir seratus persen penduduk Kelurahan Surade beragama Islam. Oleh karena itu, adanya konsep “Ekowisata Islami” di Curug Cigangsa menjadi suatu hal yang wajar mengingat hampir seluruh penduduk Kelurahan Surade memeluk agama Islam. Jumlah penganut agama Islam di Kelurahan Surade berjumlah 9.233 orang (99,9 persen), penganut agama Kristen 4 orang (0,04 persen), dan Katolik 1 orang (0,01 persen).
Kelurahan Surade merupakan kelurahan yang cukup besar di Kabupaten Sukabumi. Tingkat pendidikan penduduk juga tersebar mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai Strata 3, dengan jumlah terbesar ialah penduduk yang menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar. Rincian jumlah penduduk dengan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber : Profil Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi 2012
Gambar 2. Persentase Penduduk Kelurahan Surade menurut Tingkat Pendidikan, Tahun 2012
60.4 22.6
13.06 1.38
0.53 1.66 0.2 0.09
Tingkat Pendidikan Penduduk
SD SMP SMA D-1 D-3 S-1
(31)
Penduduk Kelurahan Surade memiliki mata pencaharian yang terbagi ke dalam beberapa bidang profesi. Terdapat 1.099 orang (51,8 persen) yang bekerja sebagai buruh tani, 508 orang (23,9 persen) sebagai petani dan sisanya (24,3 persen) tersebar sebagai buruh serabutan, PNS, dan peternak. Untuk rinciannya dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber : Profil Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi 2012
Gambar 3. Persentase Penduduk Kelurahan Surade menurut Mata Pencaharian, Tahun 2012
Berdasarkan persentase pada Gambar 3 mata pencaharian penduduk Kelurahan Surade mayoritas bekerja sebagai buruh tani dan petani. Hal ini mengingat kondisi alam yang sangat sesuai untuk pertanian, maka hampir sebagian besar penduduk Kelurahan Surade berprofesi dalam bidang pertanian.
4.2 Gambaran Umum Kampung Batusuhunan
Batusuhunan merupakan nama salah satu kampung yang terdapat di Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi. Nama Batusuhunan sudah ada sejak jaman nenek moyang. Pemberian nama ini dikarenakan terdapat batu-batu yang bersusun di tengah bendungan. Susunan batu ini berbentuk seperti rumah, oleh karena itu para nenek moyang memberi nama Batusuhunan (batu yang bersusun) untuk kampung ini.
0 10 20 30 40 50 60
Petani Buruh tani Buruh
serabutan
PNS Peternak
23.9
51.8
7.4
14.5
2.4
Mata Pencaharian Penduduk
(32)
Batusuhunan merupakan kawasan yang memiliki unsur Islam yang sangat kuat. Masyarakat Kampung Batusuhunan yang 100 persen beragama Islam mengatakan sering mendengar suara adzan dan suara orang sholat di dekat bendungan. Hal ini dipercaya masyarakat sebagai pertanda bahwa di Kampung Batusuhunan terdapat penunggu yang beragama Islam yang menjaga kampung tersebut. Menurut informan kunci yang merupakan tokoh adat di Kampung Batusuhunan, disana terdapat makam salah satu Wali Songo sehingga banyak orang yang mengunjungi Kampung Batusuhunan untuk ziarah ke makam tersebut. Berikut penuturan tokoh adat di Kampung Batusuhunan (HBY/70 tahun).
“… dari bendungan sering terdengar suara adzan dan suara orang yang sedang sholat. Masyarakat setempat percaya bahwa Kampung Batusuhunan dilindungi oleh penunggu yang juga beragama Islam. Kami tidak keberatan dan tidak takut selama tidak ada yang diganggu. Di sini juga terdapat makam salah satu Wali Songo, oleh karena itu sejak dahulu memang sudah banyak orang yang datang
ke Kampung Batusuhunan untuk berziarah …”
Kampung Batusuhunan terdapat di RW 08 Kelurahan Surade. Kampung ini memiliki 107 jiwa penduduk yang terbagi ke dalam 33 KK dengan jumlah pria 54 jiwa (50,5 persen) dan wanita 53 jiwa (49,5 persen). Penduduk di Kampung Batusuhunan 100 persen beragama Islam, oleh karena itu adanya konsep “Ekowisata Islami” sebagai konsep ekowisata di Curug Cigangsa sangat didukung oleh masyarakat Kampung Batusuhunan sebagai pengelola dan penanggung jawab lokasi Curug Cigangsa tersebut. Konsep ini diharapkan dapat mencegah adanya perubahan gaya hidup, kebudayaan dan orientasi masyarakat yang awalnya berpedoman dengan ajaran Islam menjadi terpengaruh oleh beberapa budaya dari luar yang tidak sesuai dengan prinsip masyarakat Kampung Batusuhunan.
4.3 Gambaran Umum Curug Cigangsa
4.3.1 Sejarah Ekowisata Islami Curug Cigangsa
Curug Cigangsa merupakan salah satu kekayaan alam yang terdapat di Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi. Curug Cigangsa terdiri dari dua tingkat dan diperkirakan terbentuk akibat gempa yang cukup kuat sehingga mengakibatkan longsor. Curug ini memiliki debit air yang kecil, hal ini dikarenakan di bagian hulunya dibendung untuk keperluan irigasi.
(33)
Curug Cigangsa memiliki dinding batu yang berwarna kehitaman sebagai landasan air mengalir.
Pada awalnya Curug Cigangsa ini belum dijadikan lokasi ekowisata. Baru pada tahun 2008 tercetus gagasan oleh pemerintah daerah untuk membuka kawasan ini menjadi kawasan ekowisata. Hal ini tidak dapat langsung terlaksana dikarenakan masyarakat setempat tidak setuju dengan dibukanya kawasan Curug Cigangsa menjadi lokasi ekowisata. Masyarakat merasa apabila kawasan ini dibuka menjadi kawasan ekowisata, maka akan banyak pengaruh dari luar yang masuk ke lingkungan masyarakat setempat. Masyarakat juga tidak ingin apabila kawasan Curug Cigangsa yang juga merupakan kawasan keramat menjadi rusak akibat tingkah laku wisatawan yang tidak sesuai dengan peraturan dan kebiasaan yang melekat pada diri masyarakat.
Pada tahun 2010, muncul kembali ide untuk membuka kawasan ini menjadi kawasan ekowisata oleh PLP-BK (Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas). PLP-BK ialah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah pusat dan ditempatkan di enam kabupaten tiap provinsi. Tujuan utama pembentukan PLP-BK ialah untuk menciptakan tatanan kehidupan dan hunian yang tertata secara selaras, sehat, produktif, berjati diri, dan berkelanjutan. Fokus utama PLP-BK adalah pada penguatan dan pengembangan sosial kapital melalui pengokohan nilai-nilai universal dan kearifan lokal, penguatan pelayanan masyarakat di bidang ekonomi, lingkungan, sosial, serta membuka ruang kreativitas dan inovasi di masyarakat untuk menciptakan sumberdaya pembangunan pemukiman. Ciri utama PLP-BK ialah Community Based Management, yakni menangani persoalan pemukiman melalui perencanaan, pelaksanaan, serta pengelolaan hasil-hasil pembangunan yang dipelihara dan dikelola oleh masyarakat setempat.
Tujuan dari PLP-BK membuka kawasan ini adalah untuk memajukan masyarakat Kampung Batusuhunan. Setelah adanya pembicaraan yang cukup memakan waktu lama, akhirnya masyarakat Kampung Batusuhunan setuju apabila kawasan ini dibuka untuk umum dengan syarat jenis ekowisata yang ditawarkan adalah “Ekowisata Islami” sehingga segala tingkah laku wisatawan yang ada harus sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Masyarakat juga mengajukan syarat, yaitu segala bentuk pembangunan yang akan dilakukan di Curug Cigangsa dan
(34)
segala hal yang berhubungan dengan Curug Cigangsa harus dilakukan oleh masyarakat Kampung Batusuhunan.
4.3.2 Ekowisata Islami Curug Cigangsa
Bentuk ekowisata yang ditawarkan di Curug Cigangsa merupakan bentuk ekowisata yang sedikit lain dengan ekowisata kebanyakan. Konsep ekowisata yang ditawarkan ialah konsep “Ekowisata Islami”, sehingga segala peraturan yang terdapat di lokasi ekowisata telah disesuaikan dengan kaidah-kaidah Islam. Curug Cigangsa sendiri memiliki pemandangan yang sangat indah dengan batu-batu yang terbentuk alami.
Bantuan dana dari pemerintah pusat telah menjadikan jalan menuju lokasi curug menjadi lebih mudah untuk dilewati. Jalanan yang curam kini sudah dibangun menjadi anak-anak tangga sehingga para wisatawan tidak akan kesulitan untuk menuju ke bawah curug. Di tengah perjalanan menuju curug juga telah disediakan beberapa tempat untuk beristirahat, sehingga para wisatawan yang merasa lelah dapat beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Selain curug, di lokasi ini (bagian bawah curug) juga terdapat keunikan lain, yakni “Batu Masigit”. Batu Masigit merupakan batu-batu besar yang tersusun ke atas sehingga menyerupai masjid. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Batu Masigit pada jaman dahulu digunakan oleh para Wali Songo sebagai tempat untuk musyawarah. Hal ini yang menjadikan lokasi ini menjadi wilayah yang suci sehingga apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kaidah-kaidah Islam akan mendapatkan teguran dari penunggu curug (mitos). Nuansa Islami akan terasa ketika kita memasuki jalan masuk Kampung Batusuhunan. Sebuah gapura yang bertuliskan “Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa” akan menyambut kita. Penduduk Kampung Batusuhunan ialah penganut agama Islam, oleh karena itu hampir seluruh penduduk wanita memakai jilbab/penutup kepala yang menambah kesan Islami di kampung tersebut.
Konsep “Ekowisata Islami Curug Cigangsa” bukanlah jenis ekowisata yang menawarkan perjalanan religius, akan tetapi jenis ekowisata yang segala peraturan dalam pengembangan dan pelaksanaanya berpedoman pada kaidah-kaidah Islam. Penggunaan konsep ini diharapkan oleh masyarakat dapat menjadikan ekowisata
(35)
di lokasi tersebut berbeda dengan lokasi ekowisata di kebanyakan tempat yang saat ini semakin terpengaruh oleh konsep pariwisata. Walaupun belum sepenuhnya mengikuti kaidah Islam, akan tetapi segala norma yang dibuat sudah berpedoman pada kaidah-kaidah Islam.
4.4 Kebijakan Pengembangan Kawasan menjadi Kawasan Ekowisata Pengembangan suatu kawasan menjadi kawasan yang baru, tentu saja memerlukan suatu persiapan dan keterlibatan dari berbagai stakeholders. Curug Cigangsa yang pada awalnya merupakan kekayaan alam yang belum tersentuh oleh tangan manusia dan hanya menjadi tempat wisata bagi masyarakat setempat khususnya masyarakat Kampung Batusuhunan, kini mulai dibuka untuk masyarakat luas dan dijadikan lokasi ekowisata.
Pengembangan Curug Cigangsa menjadi lokasi ekowisata pada awal mulanya adalah suatu ide dari pemerintah yang dicetuskan melalui PLP-BK. Ide ini pada awalnya tidak mendapatkan sambutan dari masyarakat setempat. Setelah perundingan selama beberapa tahun, akhirnya masyarakat Kampung Batusuhunan setuju dengan syarat pengembangan ekowisata di Curug Cigangsa menggunakan nama “Ekowisata Islami” yang kesemua peraturannya berdasarkan pada kaidah Islam dan dalam pengembangan juga pengelolaannya harus melibatkan masyarakat lokal.
Pada tahun 2010, setelah adanya persetujuan untuk membuka kawasan ini menjadi kawasan ekowisata, pemerintah Kelurahan Surade mulai mengajukan proposal dana kepada pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi untuk melakukan pembangunan infrastruktur di kawasan Curug Cigangsa yang sebelumnya masih sangat alami. Bantuan awal yang diberikan oleh pemerintah kabupaten melalui PLP-BK ialah berjumlah sekitar 300 juta Rupiah. Bantuan dana ini digunakan oleh masyarakat untuk membangun infrastruktur penunjang kawasan wisata.
Sampai saat ini, bantuan dana tersebut sudah dialokasikan untuk membangun jalan setapak dan tangga-tangga kecil yang dapat memudahkan wisatawan untuk mengunjungi Curug Cigangsa. Masyarakat juga membuat tiga buah tempat bersantai dan istirahat di tiga titik kawasan Curug Cigangsa. Selain itu, masyarakat sudah menyiapkan tiga bangunan tempat pembuangan sampah
(36)
akhir, beserta beberapa tong sampah yang disimpan di sekitar Curug Cigangsa. Bantuan dana tersebut juga digunakan untuk membuat dua buah toilet umum dan bangunan loket untuk pembelian tiket.
Sesuai dengan syarat yang diajukan oleh masyarakat, maka segala kegiatan dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan ini dilakukan oleh masyarakat setempat. Kegiatan tersebut berupa pembangunan infrastruktur, pembagian kerja dalam bidang ekowisata, penegakan peraturan dan hal-hal lainnya. Hal ini merupakan bentuk keterlibatan dan dukungan masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekowisata Curug Cigangsa. Meskipun pada awalnya pengembangan kawasan ini menimbulkan beberapa perbedaan pendapat antara pihak yang setuju dan tidak setuju, akan tetapi saat ini seluruh pihak yang terlibat sama-sama mendukung pengembangan kawasan “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”.
4.5 Karakteristik Responden
Karakteristik penduduk yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah 15 pria dan 15 wanita yang termasuk ke dalam salah satu dari tiga rentang usia yang telah dibagi menurut Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006), yaitu usia golongan muda: 18-30 tahun, usia golongan menengah : 31-50 tahun dan usia golongan tua: >51 tahun. Responden yang telah dibagi ke dalam tiga golongan usia tersebut kemudian dibagi berdasarkan jenis kelamin dengan komposisi lima orang pria dan lima orang wanita di tiap golongan usia, sehingga jumlah total responden menjadi 30 orang. Pembagian ini dimaksudkan untuk melihat dan membandingkan pengaruh tingkat usia dan jenis kelamin terhadap persepsi masyarakat dalam pengembangan kawasan “Ekowisata Islami”, dalam upaya pencegahan kemungkinan munculnya dampak negatif, dan persepsi masyarakat mengenai kesiapan infrastruktur ekowisata yang sudah ada saat ini.
Semua responden yang terpilih merupakan warga asli Kampung Batusuhunan yang sudah menempati Kampung Batusuhunan selama kurun waktu yang lama sehingga sudah mengenal Kampung Batusuhunan dengan sangat baik. Tingkat pendidikan responden sangat beraneka ragam dan tersebar seperti yang disajikan pada Gambar 4.
(37)
Gambar 4. Persentase Responden menurut Tingkat Pendidikan di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012
Tingkat pendidikan responden terbagi ke dalam empat golongan, yaitu SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi (PT). Pada Gambar 4, dapat dilihat bahwa jumlah responden yang hanya menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar paling banyak dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Persentase jumlah responden yang menempuh tingkat pendidikan hingga SMP dan SMA berjumlah sama yakni sebanyak 26,7 persen dan yang menempuh pendidikan sampai Perguruan Tinggi berjumlah 10 persen.
Berdasarkan jenis pekerjaan, 30 responden yang terpilih juga memiliki berbagai jenis pekerjaan yang berbeda. Terdapat lima kelompok pekerjaan, antara lain pelajar, petani, pegawai swasta, pegawai negeri, dan ibu rumahtangga. Hal ini dikarenakan responden terbagi ke dalam tiga golongan usia yang berbeda sehingga jenis pekerjaan responden juga berbeda dimulai dari pelajar, petani hingga ibu rumahtangga. Persentase pembagian jenis pekerjaan responden akan disajikan pada Gambar 5.
0 5 10 15 20 25 30 35
40 36.6
26.7 26.7
10
Tingkat Pendidikan Responden
(38)
Gambar 5. Persentase Responden menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012
Data yang disajikan pada Gambar 5 menampilkan persentase jenis pekerjaan dari 30 responden yang diteliti. Responden terbanyak bekerja di rumah sebagai ibu rumahtangga. Pekerjaan responden yang terbanyak selanjutnya ialah sebagai petani dan pegawai negeri (20 persen). Selanjutnya sebagi pegawai swasta (16,7 persen) dan sisanya sebagai pelajar SMA (6,6 persen).
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Pegawai Swasta
Pegawai Negeri
Pelajar Ibu Rumah tangga
Petani
16.7 20
6.6
36.7
20
Jenis Pekerjaan Responden
(39)
BAB V
PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP
MITOS DAN NORMA
5.1 Gambaran Sosial-Budaya Masyarakat Lokal
Masyarakat Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat yang identik dengan agama Islam dikarenakan semua masyarakatnya memeluk agama Islam. Meskipun masyarakat Kampung Batusuhunan 100 persen beragama Islam, akan tetapi masyarakat sangat menghargai dan mentoleransi agama lain selain Islam. Mazhab Islam yang dijadikan pedoman oleh masyarakat ialah Islam yang dibawa oleh Wali Songo. Hal ini dikarenakan pada jaman dahulu, Kampung Batusuhunan dijadikan tempat pertemuan para Wali Songo dan menurut tokoh adat yang dijadikan informan kunci, di Kampung Batusuhunan juga terdapat makam salah satu Wali Songo yang menjadikan Kampung Batusuhunan sudah dikenal masyarakat luas sejak dahulu karena banyak orang yang berziarah ke makam tersebut. Hal ini diutarakan oleh tokoh adat Kampung Batusuhunan (HBY/70 tahun).
“… disini terdapat makam salah satu Wali Songo. Oleh karena itu memang sudah sejak dulu Kampung Batusuhunan dikenal masyarakat luas karena banyak yang sering datang ziarah kesini …”
Kampung Batusuhunan sendiri sebenarnya merupakan nama lain dari RT 14. Setiap RT di Kelurahan Surade memiliki nama sendiri-sendiri yang membedakannya dengan RT lain. Pemimpin di Kampung Batusuhunan ialah seorang Kepala RT. Selain Kepala RT, tokoh berpengaruh lainnya di Kampung Batusuhunan adalah tokoh adat/tokoh agama yang mengaku sebagai keturunan langsung dari Prabu Siliwangi. Tokoh adat sangat dipercaya oleh masyarakat setempat dalam setiap pengambilan keputusan.
Sebelum adanya pengembangan lokasi “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”, Kampung Batusuhunan merupakan wilayah yang paling kurang terlihat perkembangannya di Kelurahan Surade. Hal ini dapat disebabkan lokasi Kampung Batusuhunan yang paling jauh dari pusat Kelurahan Surade. Masyarakat setempat merupakan masyarakat asli yang masih kental dengan adat istiadat setempat. Akan tetapi, hal ini tidak menjadikan masyarakat Kampung Batusuhunan menutup diri
(40)
terhadap modernitas. Masyarakat sangat menyambut dengan baik segala perubahan dan kemajuan yang datang dari luar, selama hal itu tidak keluar dari prinsip-prinsip Islam. Gaya hidup dan pergaulan masyarakat Kampung Batusuhunan sangat berpedoman dengan kaidah-kaidah Islam. Pergaulan antar lawan jenis, gaya berpakaian, gaya hidup, dan hal-hal lainnya sangat berpedoman pada ajaran Islam. Dengan ciri sosial-budaya yang demikian, maka dalam penelitian ini akan dideskripsikan bentuk-bentuk norma dan mitos yang dianut dan dilestarikan di Kampung Batusuhunan juga akan dianalisis persepsi dan penerimaan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata.
5.2 Bentuk-bentuk Norma dan Mitos di Kampung Batusuhunan
Data kualitatif di lapangan menunjukkan masyarakat Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat Islam yang menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam dan menerapkan dalam kesehariannya. Norma-norma dan mitos-mitos yang dipercaya dan diyakini masyarakat bersifat turun-temurun diperoleh dari para nenek moyang yang ada di Kampung Batusuhunan. Masyarakat yang mendiami Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat asli yang sudah dari dulu mendiami kawasan tersebut, sehingga segala peraturan, norma dan mitos yang ada juga bersifat turun-temurun dan mendarah daging dalam diri masyarakat.
Norma-norma yang dianut dan dilestarikan di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa ditaati masyarakat karena sejalan dengan aturan-aturan yang diajarkan oleh agama Islam. Norma-norma tersebut antara lain:
1. Norma untuk tidak membuang sampah sembarangan baik di Kampung Batusuhunan maupun Curug Cigangsa.
2. Norma yang melarang menebang pohon sembarangan. 3. Norma yang melarang meminum minuman keras/alkohol. 4. Norma yang melarang untuk menggunakan narkotika.
5. Norma yang melarang wanita dan pria yang bukan muhrim berdua-duaan di lokasi ekowisata.
6. Norma yang melarang untuk membuat bangunan mencurigakan di lokasi ekowisata.
(41)
7. Norma yang melarang untuk berada di lokasi Curug Cigangsa setelah pukul 5 sore.
8. Norma yang melarang untuk merusak/mengotori kawasan Curug Cigangsa. Kesemua norma tersebut ditaati dan dijadikan pedoman masyarakat dalam pengembangan lokasi ekowisata Curug Cigangsa. Norma-norma yang ada di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa dibuat berdasarkan kaidah-kaidah Islam dan aturan-aturan yang diajarkan oleh Islam. Norma-norma itu sendiri bermanfaat bagi kelestarian lingkungan Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa, dan juga bermanfaat untuk melestarikan kebudayaan masyarakat yang terkenal Islami dan masih menjunjung tinggi ajaran-ajaran leluhur.
Masyarakat Kampung Batusuhunan sendiri tidak ada yang keberatan dengan norma-norma yang telah ada sejak jaman dahulu tersebut. Masyarakat menganggap bahwa norma-norma yang telah ada merupakan hal baik dan harus terus dilestarikan. Hal-hal yang dilarang dalam norma dan dijadikan mitos tersebut merupakan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam. Sehingga alasan mengapa norma dan mitos itu ada ialah karena masyarakat Kampung Batusuhunan mentaati, menghormati dan ingin menjalankan ajaran Islam.
Norma-norma yang dianut dan dilestarikan di Kampung Batusuhunan merupakan norma-norma yang sudah ada sejak jaman leluhur. Norma-norma tersebut diturunkan kepada generasi-generasi selanjutnya melalui nasihat-nasihat yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Norma-norma tersebut ditegakkan melalui pemberian sanksi kepada masyarakat yang melanggarnya. Sampai saat ini belum pernah ada masyarakat yang melanggar norma tersebut, tetapi melalui wawancara dengan informan kunci, bentuk sanksi yang akan diberikan kepada masyarakat jika ada yang melanggar antara lain ditegur, dinasihati dan bahkan ada yang akan dilaporkan pada pihak yang berwajib.
Pengembangan kawasan Curug Cigangsa menjadi lokasi ekowisata juga semakin membuat masyarakat melestarikan norma-norma yang ada. Norma-norma yang telah disebutkan di atas tadi, juga ditunjang oleh beberapa mitos yang dipercaya masyarakat sekitar. Mitos ini sudah berkembang sejak jaman leluhur. Mitos-mitos yang dipercaya masyarakat antara lain:
(42)
1. Terdapat mitos yang mengatakan bahwa apabila ada yang berenang di Curug Cigangsa tanpa menggunakan pakaian, maka akan celaka.
2. Terdapat mitos yang mengatakan bahwa apabila mengambil foto secara sembarangan, maka akan muncul sosok anak kecil di dalam foto tersebut. 3. Terdapat mitos yang mengatakan, sering terdengar suara adzan dari lokasi
Curug Cigangsa.
4. Terdapat mitos yang mengatakan bahwa apabila kita sembarangan bicara, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
5. Terdapat mitos yang mengatakan, apabila ada yang ingin meminum minuman keras di Curug Cigangsa, maka botol minuman tersebut akan jatuh dengan sendirinya.
6. Terdapat mitos yang mengatakan, batu yang ada di Batu Masigit, akan jatuh dan naik dengan sendirinya apabila di kawasan tersebut dijadikan tempat yang tidak sesuai dengan kaidah Islam.
Kesemua mitos tersebut sudah ada sejak jaman leluhur. Mitos-mitos tersebut dipercaya oleh masyarakat setempat dan diwariskan turun-temurun melalui pembicaraan dari mulut ke mulut antara orangtua kepada anaknya, antar tetangga, antar teman, dan lain-lain. Masyarakat setempat mempercayai adanya mitos ini dikarenakan sudah ada beberapa bukti nyata.
Saat ini, berdasarkan mitos-mitos dan norma yang sudah ada, dapat dilihat bahwa kehidupan bermasyarakat yang terjadi di Kampung Batusuhunan tidak terlepas dari ajaran Islam. Semua norma dan mitos dibuat dan ada sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang menjadi pedoman bagi masyarakat.
Masyarakat mempercayai norma dan mitos tersebut, karena sejalan dengan keinginan mereka dan kepercayaan mereka. Kampung Batusuhunan sendiri merupakan kampung dimana para Wali Songo sering melakukan pertemuan. Pertemuan dilakukan di lokasi Batu Masigit. Oleh sebab itu, Batu Masigit dianggap keramat oleh masyarakat sekitar. Berikut penuturan salah satu warga (APS/49 tahun)
“… dahulu pernah Batu Masigit ada yang jatuh. Tidak terdengar bunyinya sama sekali tetapi tiba-tiba sudah ada di bawah. Keesokan harinya sudah naik lagi ke atas. Tidak ada yang tahu tiba-tiba sudah ada di atas lagi. Itu terjadi ketika Curug Cigangsa baru akan dibuka menjadi kawasan ekowisata…”
(43)
Selain mempercayai norma dan mitos yang ada, masyarakat juga akan memberikan sanksi terhadap masyarakat Kampung Batusuhunan yang melanggar norma dan mitos tersebut. Terutama norma dan mitos yang berhubungan dengan kaidah Islam. Penegakan peraturan ini dilakukan oleh para tokoh-tokoh masyarakat yang terdapat di Kampung Batusuhunan. Norma dan mitos tersebut semakin dilestarikan sebagai pendukung konsep “Ekowisata Islami” yang dijadikan konsep dalam kegiatan ekowisata yang ada di Curug Cigangsa. Adanya norma-norma dan mitos tersebut, diharapkan dapat mencegah dampak negatif yang mungkin muncul dari pengembangan kawasan ekowisata di Curug Cigangsa.
5.3 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Mitos dan Norma 5.3.1 Pengetahuan Masyarakat terhadap Mitos dan Norma
Kampung Batusuhunan merupakan kampung yang masih menjunjung tinggi kearifan lokal berupa norma-norma dan mitos-mitos yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya norma dan mitos, maka masyarakat lokal akan mampu meredam dampak negatif yang mungkin hadir dengan adanya ekowisata di Curug Cigangsa. Pada sub bab ini, dilihat hubungan antara karakteristik responden dengan tingkat pengetahuan masyarakat akan mitos dan norma yang dianut dan dilestarikan di Kampung Batusuhunan. Dengan asumsi bahwa adanya tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma, maka diharapkan masyarakat mampu dan siap terhadap datangnya ekowisata di Kampung Batusuhunan.
Responden yang diteliti dibagi ke dalam tiga tingkat usia berdasarkan Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006) dan berdasarkan jenis kelamin. Pembagian tersebut antara lain golongan usia muda yang berkisar antara usia 18 tahun-30 tahun, golongan umur menengah antara 31 tahun-50 tahun, dan golongan umur tua, yaitu lebih dari 51 tahun. Berdasarkan hasil kuesioner yang telah dibagikan, maka dapat dilihat bahwa setiap tingkatan usia dan jenis kelamin memiliki pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma yang terdapat di lokasi ekowisata Curug Cigangsa. Untuk lebih jelasnya, data dan persentase responden dapat dilihat pada Tabel 3.
(1)
No Bentuk Tidak Tahu
Tahu Apa Bentuknya (Lisan/Tulisan) untuk mencoret-coret /
merusak kawasan ekowisata 9 Terdapat mitos yang
mengatakan bahwa siapapun tidak boleh mandi dengan keadaan pakaian (terbuka semua) di Curug Cigangsa 10 Terdapat mitos yang
mengatakan bahwa tidak akan ada yang dapat meminum minuman keras di Curug Cigangsa karena botol minuman tersebut akan jatuh dengan sendirinya
BAGIAN IV
Sikap Masyarakat terhadap Wisatawan yang Melanggar Mitos dan Norma (Beri tanda ceklis (√) pada kolom yang telah disediakan)
No Potensi Dampak Negatif
Diam Saja Menegur Memberi Sanksi 1. Jika ada wisatawan yang
membuang sampah sembarangan
2. Jika ada wisatawan yang menebang pohon
3. Jika ada wisatawan yang meminum minuman keras
4. Jika ada wisatawan yang menggunakan narkotika 5. Jika ada wisatawan yang
memakai pakaian yang terbuka (tank top/Rok mini, Celana mini)
(2)
No Potensi Dampak Negatif
Diam Saja Menegur Memberi Sanksi 6. Jika ada wisatawan yang
bukan muhrim berdua-duaan di lokasi ekowisata 7. Jika ada wisatawan yang
mandi di Curug Cigangsa tanpa menggunakan pakaian
8. Jika ada wisatawan yang masih berada di kawasan ekowisata setelah jam 5 sore
9. Jika ada wisatawan yang mencoret-coret/ merusak di lokasi ekowisata.
(3)
Lampiran 4. Panduan Pertanyaan
PANDUAN PERTANYAAN WAWANCARA MENDALAM
Tujuan : Mengetahui persepsi informan terhadap pengembangan kawasan “Ekowisata Islam” di Kampung Batusuhunan Informan : Tokoh adat dan Kepala Kampung Batusuhunan,
Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Hari / Tanggal :
Lokasi Wawancara :
Nama :
Jabatan : Pertanyaan Penelitian :
1. Sejak kapan di Kampung Batusuhunan direncanakan untuk dijadikan kawasan ekowisata?
2. Apa alasan Kampung Batusuhunan dijadikan kawasan ekowisata?
3. Bagaimana perkembangan daerah Kampung Batusuhunan setelah adanya rencana pengembangan kawasan ekowisata?
4. Bagaimana tanggapan masyarakat lokal terhadap rencana pengembangan Kampung Batusuhunan sebagai kawasan ekowisata?
5. Dampak positif apa saja yang diharapkan dari berkembangnya kawasan Kampung Batusuhunan sebagai kawasan Ekowisata ?
6. Menurut anda, apakah akan ada dampak negatif yang muncul ketika Kampung Batusuhunan terbuka sebagai kawasan ekowisata ? Jika ada, apa saja ?
7. Apa saja yang menjadi penguat untuk menghindari masuknya hal-hal negatif kepada masyarakat lokal?
8. Apakah anda optimis bahwa konsep “Ekowisata Islam” dapat dijadikan penyaring dalam menghindari dampak-dampak negatif yang akan muncul dari kegiatan ekowisata ?
9. Apabila hal-hal negatif yang dibawa wisatawan mempengaruhi masyarakat lokal, tindakan apa yang akan diambil ?
10. Tindakan apa yang akan dilakukan apabila terdapat wisatawan yang meminum minuman keras?
11. Tindakan apa yang akan dilakukan apabila wisatawan terlibat perkelahian dengan wisatawan lain ataupun dengan warga sekitar ?
12. Tindakan apa yang akan dilakukan apabila terdapat wisatawan yang menggunakan narkoba di lokasi ekowisata ?
13. Tindakan apa yang akan dilakukan apabila wisatawan yang datang melakukan perbuatan tidak senonoh antara lawan jenis yang bukan muhrim di lokasi ekowisata ?
(4)
Lampiran 5. Peta Kelurahan Surade
Peta Kelurahan Surade
Lokasi Penelitian
Kampung Batusuhunan, dan Curug Cigangsa
(5)
Lampiran 6. Dokumentasi
Tempat untuk Wisatawan Beristirahat Kondisi Tempat Pembuangan Sampah
Jalan Setapak Menuju Curug Cigangsa Anak Tangga Menuju Batu Masigit
(6)
Kegiatan Saat Pembangunan oleh
Masyarakat Tempat Pembelian Loket
Tempat Pembuangan Sampah Akhir Toilet Umum
Bendungan di Kampung Batusuhunan Kolam dimana Wisatawan dilarang Masuk ke Dalam