f. Tenaga Kerja Mesin
Tenaga kerja mesin yang digunakan di dua desa ini adalah mesin jenis traktor. Dihargai Rp 50.000 perharinya, karena dianggap kerja traktor terkadang
lebih cepat dibandingkan kerbau. Namun dari kedua tenaga tersebut hasilnya dianggap hampir sama. Traktor dan bajak dianggap mampu membelah tanah dan
membaliknya dari permukaan tanah ke bagian bawah dan sebaliknya. Merupakan pekerjaan yang sulit untuk dilakukan dengan cangkul atau tenaga manusia. Harga
tersebut sudah termasuk harga tenaga kerja pria yang mengendarainya. Pada umumnya petani di dua desa ini selalu menyediakan minimal
sepiring nasi dan segelas air putih untuk pekerja yang mengendarai traktor atau bajak. Belas kasihan dan rasa kemanusiaan mendorong semua petani responden
yang hampir semua menggunakan salah satu atau kedua tenaga ini dalam mengolah lahan sawahnya. Menurut mereka, sangat tidak manusiawi jika
membiarkan seseorang bekerja dengan sedemikian hebatnya dari pagi hingga petang tanpa memberi makan dan minum meskipun telah diberi upah.
Petani dalam kondisi sesulit apapun selalu berusaha membagi makanan dan minuman yang akan mereka konsumsi kepada buruh yang bekerja pada
mereka. Bukan hanya sepiring nasi dan segelas air putih, untuk petani kaya atau berlahan luas, biasanya menyediakan rokok pada saat istirahat tiba meskipun
semua hal tersebut tidaklah wajib. Diharapkan sebatang rokok tersebut dapat membuat semangatnya bangkit kembali dan mengakhiri pekerjaan dengan baik.
Hal ini terkadang tidak dihitung oleh petani, sehingga biaya tunai untuk makan dan rokok sulit untuk dihitung dalam satuan uang karena nilainya tidak pernah
diperhitungkan.
g. Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga
Tenaga kerja luar keluarga sangat mudah didapat di dua desa ini. Begitu banyak angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan di dua desa ini khususnya
untuk Kecamatan Tenjolaya. Angka kemiskinan sangat tinggi menyebabkan harga buruh perhari berada dikisaran Rp 12.000 hingga Rp 25.000 perhari 1HOK
untuk tenaga kerja pria dan pekerja wanita dihargai Rp 7.000 hingga Rp 20.000 per harinya 0,8 HOK. Kisaran tersebut merupakan kisaran rata-rata yang sering
digunakan oleh petani. Pembayaran standar untuk satu HOK buruh laki-laki untuk dua desa ini
adalah Rp 13.000. Petani cenderung menaikkan harga sesuai dengan standar pembayaran yang pantas menurut masing-masing petani. Bahkan satu orang
petani responden berani membayar buruh per orang Rp 30.000 saat panen karena hati nuraninya berkata itu adalah harga yang pantas bagi seorang buruh
seharusnya belum termasuk makanan dan rokoknya. Jika dianalisis perbedaan harga antar petani tersebut disebabkan oleh
perbedaan perasaan petani terhadap buruh yang dipekerjakan. Hati nurani lebih banyak menentukan tingginya upah buruh dibanding pikiran petani responden
tentang hasil kerja buruh. Hal tersebut sulit untuk dijelaskan secara ilmiah karena rasa iba atau belas kasihan dapat disebabkan oleh banyak faktor.
Bagi seluruh petani responden tenaga pada saat pemanenan merupakan tenaga buruh termahal untuk seluruh proses usahatani padi sawah. Perbedaan
harga antar proses usahatani padi sawah penanaman, pengolahan lahan, penyiangan, dll untuk satu orang petani berdasarkan tingkat kesulitan kerja. Dan
ini terjadi untuk seluruh petani responden yang menggunakan tenaga kerja luar
keluarga yang dibayar dengan uang. Pemanenan dianggap membutuhkan pengerjaan yang cepat dan sigap. Lamanya sekitar dua hingga tiga hari,
tergantung luas lahan yang dimiliki. Meskipun hal tersebut dilakukan oleh petani yang sama. Pembayaran
buruh atau tenaga kerja luar keluarga terdiri dari dua cara yakni dengan natura hasil panen berupa gabah basah atau dengan uang. Pembayaran dengan sistem
natura atau ‘ngepak’ merupakan perjanjian terikat berlangsung dari tahun ke tahun dengan sistem pembayaran 20 persen dari seluruh hasil panen yang
didapat. Sedangkan buruh yang dibayar dengan uang sifatnya tidak terikat atau dapat diganti individunya sewaktu-waktu. Jika hasil panen melimpah, maka upah
yang didapat oleh tenaga ‘ngepak’ pun melimpah. Sedangkan jika buruh yang dibayar dengan uang tunai, memiliki upah per HOK yang cenderung lebih stabil
dibandingkan dengan buruh ‘ngepak’. Bagi usahatani non mina padi upah pria dengan uang berada dikisaran
Rp12.500-Rp 30.000HOK. Sedangkan untuk tenaga pria yang dibayar dalam bentuk natura yakni gabah basah setelah panen dan dikonversi dalam nilai rupiah
berada dikisaran Rp 11.647,06–Rp 105.882,35 HOK. Dari nilai tersebut dapat dianalisis bahwa rentang harga untuk upah pria yang dibayar dengan uang lebih
stabil dan dekat jangkauannya dibanding sistem ‘ngepak’. Sedangkan rentang upah buruh pria yang dibayar dengan uang dengan
sistem mina padi berada dikisaran Rp 13.500-Rp 15.000HOK sedangkan dengan natura berkisar antara Rp 8.928,57-Rp19.090,91HOK. Karena usahatani mina
padi kurang produktivitas padinya, maka pembayaran upah Tenaga Kerja Pria
sistem natura adanya turun hingga jauh dibawah Rp 13.000 upah standar pria per HOK di dua desa ini hingga Rp 8.928,57HOK jika dikonversi kesatuan rupiah.
Tenaga Kerja Wanita non mina padi sistem pembayaran uang berada dikisaran Rp 8.750 - Rp 15.000HOK sedang dengan natura Rp 11.647,06-
Rp105.882,35HOK. Tenaga Kerja Wanita mina padi sistem pembayaran uang berada dikisaran Rp 8.750-Rp 25.000HOK sedangkan untuk sistem pembayaran
natura Rp 6.750-Rp 19.090,91HOK. Angka minimum pembayaran per HOK dan tertinggi pembayaran selalu berada pada sistem natura baik untuk tenaga kerja
pria maupun wanita. Sistem pembayaran buruh tani dengan upah uang jauh lebih stabil dibanding sistem natura.
Ketidakpastian sistem natura dibarengi dengan beberapa kelebihan dan kelemahan lain bagi petani. Jika petani yang membayar dengan sistem natura baik
mina padi maupun non mina padi, jika panennya melimpah maka tidak dapat menikmati hasil panen secara maksimal karena satu per lima dari total hasil panen
diambil untuk membayar buruh tani. Namun jika terjadi kerugian seperti penanaman awal musim 2007 yang menyebabkan produktivitas menurun, petani
tidak perlu terlalu berkecil hati karena tidak memerlukan biaya yang besar untuk membayar buruh tani terutama pada proses penanaman, penyiangan dan
pemanenan yang terkait dengan sistem ini. Bahkan jika tidak memanen apapun, petani tidak perlu membayar apapun
ke buruh meskipun mereka telah kerja pada waktu penanaman dan penyiangan. Pembayaran sistem natura, dapat mengurangi maksimalitas hasil pada saat panen
namun lebih aman dan dapat mengurangi resiko kerugian pula. Sistem mina padi
yang menguntungkan namun beresiko dapat mengurangi resiko kerugian lewat biaya tenaga kerja dengan mengadopsi sistem pembayaran natura.
Namun sekali mengadopsi sistem ini, akan terkait seterusnya dan sulit untuk diubah. Karena tingkat kekeluargaan di dua desa ini sangat tinggi, akan sulit
melepaskan sistem ini bila ada hubungan keluarga antara petani dan buruh. Untuk petani yang ingin berkembang dan mandiri, sistem ‘ngepak’ ini tidak cocok untuk
diadopsi baik untuk sistem mina padi maupun non mina padi.
h. Biaya Bagi Hasil