VI. KERAGAAN SISTEM USAHATANI PADI SAWAH DI DESA TAPOS I DAN DESA TAPOS II
6.1. Keragaan Usahatani
Keragaan usahatani menggambarkan keseluruhan aspek pengusahaan padi sawah dengan sistem mina padi dan sistem non mina padi di Desa Tapos I dan
Desa Tapos II, Kecamatan Tenjolaya, mulai dari karakteristik petani itu sendiri, usahatani yang dijalankan hingga pada tahap pemasaran. Keragaan usahatani padi
sawah sistem non mina padi terdiri atas: persemaian, persiapan lahan, penanaman, penyulaman, penyiangan, pemupukan, pengairanpemeliharaan, pengendalian
hama dan penyakit, pemanenan, perawatan hasil, dan penggilingan. Sedangkan untuk sistem mina padi terdiri dari: persemaian, persiapan lahan, penanaman,
penyulaman, penebaran benih ikan, pemeliharaan ikan, pemanenan ikan, penyiangan, pemupukan, pengairanpemeliharaan padi, pengendalian hama dan
penyakit, pemanenan, perawatan hasil dan penggilingan. Adapun keragaan usahatani padi sawah di Desa Tapos I dan Desa Tapos II mencakup kegiatan
sebagai berikut:
6.1.1. Persemaian
Persemaian pada lahan sawah di dua desa ini pada umumnya sama. Mula- mula padi yang hendak di jadikan benih, baik benih yang dibeli maupun yang
dibuat sendiri di rendam selama dua hari. Hal ini dimaksudkan agar akarnya dapat keluar dan lebih mudah berkecambah. Selama dua hari merendam benih, waktu
yang ada diisi dengan mengolah lahan untuk dijadikan lahan persemaian.
Pada umumnya petani penggarap baik sewa, gadai, maupun bagi hasil dan petani pemilik mengerjakan sendiri lahan yang akan digunakan untuk
persemaian. Di Desa ini penyemaian sering disebut ‘tebar’. Lamanya pengolahan tanah untuk penyemaian ialah satu hari kerja dengan lama waktu 6 jam untuk satu
pekerja. Proses penebaran benih itu sendiri berlangsung singkat. Lama kerja sekitar satu sampai tiga jam, tergantung dari banyak tidaknya bibit yang akan
ditebar dan letak petak sawah yang satu dengan petak yang lain.
6.1.2. Persiapan Lahan
Persiapan lahan merupakan waktu yang panjang dan tersulit yang harus dilakukan oleh petani. Terkadang menghabiskan waktu satu minggu hingga 20
hari. Hal ini tergantung permodalan yang ada pada petani tersebut. Untuk petani kaya, biasanya hanya menyuruh orang untuk mengerjakan sawahnya. Apalagi
bagi petani dengan usia 60 thn keatas, mencangkul sudah merupakan hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Pengejaan tersebut sudah termasuk tenaga kerbau
atau traktor.
Gambar 8. Proses Pengolahan Lahan Padi Sawah
Bagi petani miskin yang tidak mampu membayar kuli bahkan yang sering dijadikan kuli bagi lahan orang lain, hanya mampu membayar traktor atau kerbau
untuk beberapa hari. Sisanya harus dicangkul sendiri hingga berhari-hari lamanya. Jika memiliki modal yang cukup, petani akan memilih Tenaga Kerja Ternak
dibanding Tenaga Kerja Luar Keluarga. Bagi petani, hal ini dinilai lebih efisien. Bahkan jika petani yang benar-benar miskin atau sedang mengalami banyak
pengeluaran rumah tangga, mereka akan mencangkul sendiri lahan yang mereka punyai selama berhari-hari tanpa bantuan traktor atau bajak bahkan buruh tani.
Hal tersebut jelas terlihat pada Gambar 8. Petani yang memiliki lahan yang sangat sempit 1000 m
2
, biasanya tidak menyewa traktor atau bajak. Bukan hanya karena tidak memiliki modal namun
juga karena lahan tersebut tanggung untuk diolah oleh bajak atau traktor karena sangat sempit. Jika lahan tidak sampai 1000 m
2
, untuk petani responden di dua desa ini, tidak menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Tenaga kerja dalam
keluarga dianggap sudah cukup memenuhi kebutuhan tenaga pengolah lahan tersebut.
Untuk Desa Tapos I dan Tapos II, petani yang mengolah lahan dengan traktor umumnya tidak akan menggunakan tenaga kerbau lagi atau sebaliknya
yang sudah menggunakan tenaga kerbau tidak lagi menggunakan tenaga traktor lagi. Hal ini dilakukan oleh petani karena mereka menganggap hasil kerjanya
hampir sama, namun traktor dinilai sedikit lebih tangguh dari kerbau. Dan merupakan pemborosan jika menggunakan keduanya. Kecuali jika traktor yang
digunakan ternyata harus melebihi dari hari yang ditargetkan, sedangkan traktor tersebut telah disewa oleh petani yang lain, petani terpaksa menggunakan kerbau
sebagai alternatif. Demikian juga sebaliknya jika petani sedang menggunakan ternak. Hal ini telah membudaya selama bertahun-tahun untuk sistem usahatani
padi sawah dengan berbagai sistem dan pengusahaan lahan di dua desa ini. Petani tidak menggunakan Sapi sebagai Tenaga Kerja Ternak, melainkan
Kerbau. Hal ini terjadi selama bertahun-tahun karena Kerbau dianggap memiliki tenaga extra dalam mengolah lahan dibanding Sapi. Jika sudah tua Kerbaunya,
dagingnya dapat dikonsumsi oleh keluarga. Tenaga kerja kerbau dihargai Rp 40.000 per hari, baik di Desa Tapos I
maupun Tapos II. Baik itu disewa untuk mengolah lahan dengan tenaga 2 kerbau maupun 1 kerbau per hari dihargai sama. Biasanya kerbau single satu kerbau
menarik satu bajak yang di sewa kekuatannya sama dengan kerbau double dua kerbau menarik satu bajak yang biasanya berukuran lebih kecil. Jadi, untuk Desa
Tapos I dan Tapos II, tenaga kerja kerbau tidak dihargai berdasarkan jumlah ternak, melainkan kekuatan kerjanya. Dengan kata lain, berdasarkan kualitas
kerjanya bukan berdasarkan kuantitas ternak yang terpasang pada bajak. Berbeda dengan traktor, traktor dihargai 50.000 per harinya.
Untuk Tenaga Kerja Luar Keluarga memiliki dua sistem pembayaran. Sistem itu terbagi berdasarkan jenis upah yang dibayarkan kepada buruh tani.
Yang pertama ialah pembayaran dengan natura atau ‘ngepak’ dan yang kedua ialah pembayaran dengan uang. Sistem ‘ngepak’ pada umumnya dibayar dengan
hasil panen berupa 15 atau 20 dari total panen. Tenaga kerja ini membantu pada proses pengolahan tanah, penanaman, penyiangan, dan pemanenan.
Proses pengolahan lahan yang dibantu oleh Tenaga Kerja Anak laki-laki dalam usahatani di dua desa ini diperhitungkan sama dengan Tenaga Kerja Pria
TKP dewasa. Karena pada kenyataannya, yang ikut membantu disawah biasanya yang sudah berumur 20 tahun keatas dan mayoritas sudah memiliki keluarga.
Tidak berbeda jauh dengan tenaga kerja anak wanita, semuanya diperhitungkan dengan Tenaga Kerja Wanita yaitu 0,8 dari Tenaga Kerja Pria. Di Desa Tapos I
dan Tapos II, sumber daya anak diusia sekolah, sangat jarang yang membantu disawah. Diantara seluruh responden 30 orang, bahkan tidak ada sama sekali
meskipun lahan yang dimiliki sangat sempit.
6.1.3. Penanaman
Proses penanaman di Desa Tapos I dan Tapos II pada umumnya dilakukan oleh kaum perempuan. Hal ini dikarenakan dinilai bahwa tenaga kerja wanita
lebih teliti dan berhati-hati dalam bekerja dibanding tenaga kerja pria khususnya dalam proses penanaman. Pada proses penanaman, benih yang sudah disiapkan di
persemaian di cabut dengan hati-hati dan ditanam di lahan yang telah diolah sebelumnya. Tenaga wanita dianggap lebih teliti dan rapi dalam hal menanam
benih padi. Sehingga benih yang ditanam lebih banyak dan lebih rapi dan dapat tumbuh dengan baik karena pada saat ditanam akarnya tidak terlepas.
Gambar 9. Lahan Sawah yang Baru Selesai di Tanam di Desa Tapos I
Jika dilakukan oleh laki-laki, hasilnya cepat selesai, namun kurang tertata dengan rapi terutama jarak tanamnya berubah-ubah. Selain itu tingkat
kematiannya tinggi karena akarnya terkadang putus dari batang tanaman, sehingga membutuhkan benih dan tenaga kerja yang lebih banyak untuk penyulaman.
Untuk itu, petani seahli apapun akan selalu mempercayakan pekerjaan ini pada kaum wanita khususnya di Desa Tapos I dan Tapos II. Karena diyakini hasilnya
lebih baik dan memuaskan bahkan efisien sebab biaya Tenaga Kerja Wanita per harinya lebih murah namun hasil kerjanya lebih baik. Jika, petani tidak memiliki
modal untuk membayar tenaga kerja wanita, biasanya istri atau anak perempuannya akan turun membantu di sawah. Proses ini sering disebut ‘tandur’
oleh petani di dua desa ini. Penanaman di dua desa ini dilakukan serempak untuk menghindari hama
tikus. Jarak tanam tidak beraturan dapat dilihat pada Gambar 9 dan ditanam berdasarkan feeling atau naluri penandur. Jumlah bibit per lubang 2-3 batang
namun jika lebih atau kurang dari itu, penandur tidak terlalu memperdulikannya. Untuk jarak tanam, dua desa ini masih sangat tradisional. Jika benih padi yang ada
pada persemaian lebih, maka kelebihan tersebut ditempatkan pada areal sawah secara acak agar tidak rugi. Hal tersebut tampak pada Gambar 9. Lahan yang
sebelumnya digunakan untuk persemaian pun ditanami padi agar efisien.
6.1.4. Penyulaman
Penyulaman biasanya dilakukan oleh petani itu sendiri sebab pada umumnya tingkat kematian padi per gedeng sangat rendah. Biasanya dilakukan
pada awal musim tanam. Benih yang baru, didapat dari benih sisa hasil
persemaian yang terkadang lebih. Biasanya dilakukan berbarengan dengan pengontrolan air atau irigasi.
Penyulaman pada umumnya menghabiskan beberapa menit saja. Jika benih sudah kuat dan tingginya memadai, bahkan sudah menghasilkan anakan baru, dan
terlihat ada lubang yang perlu disulam, hal itu tidak dilakukan oleh petani karena menurut petani akan tertutup oleh anakan dari lubang terdekatnya. Jika terlalu
sering memeriksa lahan sawah dari dalam lahan, akan merusak tanaman padi. Petani masuk ke dalam sawah hanya jika pengecekan tidak dapat dilakukan dari
pematang terdekat.
6.1.5. Penyiangan
Penyiangan didesa ini disebut ‘ngarambet’. Pada umumnya dilakukan oleh kaum wanita. Selain memiliki upah yang lebih rendah, tenaga kerja wanita
diyakini lebih teliti dan jeli membedakan gulma atau bibit gulma yang terkadang bentuknya serupa dengan tanaman padi itu sendiri. Biasanya penyiangan
memakan waktu 2-3 hari lama kerja. Jika petani memiliki atau mengelola lahan orang dengan lahan yang sangat luas, akan berusaha mengejar waktu 2-3 hari itu
dengan cara menambah jumlah pekerja.
Gambar 10. Proses Penyiangan di Desa Tapos I
Pada Gambar 10 terlihat petani padi sawah non mina padi yang sedang menyiangi sawahnya karena masih ada gulma yang tersisa setelah disiangi oleh
Tenaga Kerja Luar Keluarga. Bagi pekerja wanita yang menggunakan sistem ‘ngepak’ berhalangan hadir atau malas melakukan pekerjaannya, akan membayar
buruh tani wanita lagi untuk menggantikan pekerjaannya. Hal ini terjadi karena, jika terlanjur dimulai dengan sistem bawon, sistem itu harus diakhiri dengan
sistem itu pula. Biaya yang pekerja tersebut keluarkan akan tergantikan dengan upah panen yang akan dia dapatkan nanti yakni berupa natura.
6.1.6. Pemupukan
Pemupukan dilakukan pada umumnya pada saat setelah penanaman padi disawah. Biasanya dilakukan satu minggu sesudah penanaman. Hal ini bertujuan
agar padi yang baru dipindahkan dari tempat persemaian beradaptasi dulu dengan lahan yang baru. Dan dengan cara ini dapat diketahui padi yang mana yang harus
disulam. Setelah lahan diolah dan ditanami oleh benih padi, seminggu setelahnya
dilakukan pemupukan tahap I. Jika seminggu telah berlalu, lahan dianggap telah siap untuk dipupuk oleh petani. Pemupukan biasanya dilakukan dua hingga tiga
kali. Frekuensi pemupukan tergantung dari kebiasaan petani, sedangkan total pupuk yang digunakan tergantung dari luas lahan dan modal petani. Pupuk Urea
dibagi dua jika pemupukan dua tahap dan dicampur dengan TSP yang sudah dibagi dua pula. Untuk petani tertentu sebagian kecil dari responden biasanya
menggunakan furadan. Setelah diaduk rata, pupuk campuran kemudian ditabur pada lahan.
Pupuk kandang sangat jarang digunakan oleh petani responden. Namun ada beberapa responden yang menggunakannya pada saat tidak memiliki modal
untuk membeli pupuk ditoko. Pupuk kandang yang ditabur di areal sawah tidak pernah ditakar oleh petani. Hal ini terjadi karena pertimbangan mereka pupuk
kandang ialah bahan alami yang tidak mungkin beresiko besar bagi lahan mereka jika diberikan dalam jumlah berlebihan. Tidak adanya tenaga penyuluh untuk
beberapa lokasi didesa ini atau kurang profesionalnya PPL menyebabkan petani cenderung acuh tak acuh dengan takaran penggunaan pupuk kandang.
Gambar 11. Pupuk Kandang yang Siap di Tebar
Pupuk kandang ditabur pada areal persawahan pada saat sawah selesai dipanen dan sebelum diolah yakni pada saat di genangi. Hal ini bertujuan agar
pupuk menyatu dengan tanah dan mengembalikan kesuburannya sebelum diolah. Pupuk buatan di tebar pada saat tanah telah selesai diolah, sedangkan pupuk
kandang sebelum tanah diolah. Pupuk buatan yang yang dianggap utama dan sering digunakan ialah
pupuk Urea dan TSP. Artinya jika petani memiliki modal, penggunaannya akan diutamakan untuk pupuk urea, kemudian sisanya untuk pupuk TSP. SP-36 yang
memiliki kandungan Pospat yang hampir sama dengan TSP jarang dilirik oleh petani karena harganya sangat mahal. TSP memiliki beberapa grade pupuk
berdasarkan perbedaan merek dan harga. Jika modal kurang, merek TSP termurah akan menjadi pilihan sebagian besar petani responden. KCL dan pupuk ZA jarang
digunakan, namun jika modal petani mencukupi, pupuk ini kadang-kadang menjadi pilihan tambahan.
Sebagian kecil dari petani, suka bereksperimen dengan menggunakan pupuk yang tidak pada umumnya digunakan. Jika menemukan resep dan
kombinasi pupuk yang jitu, akan digunakan selama bertahun-tahun sebagai rahasia andalan oleh sang petani. Contohnya penggunaan furadan yang pada
umumnya digunakan untuk tanaman sayuran, digunakan petani pada saat tandur untuk menjaga bibit muda agar tidak terserang hama atau penyakit.
6.1.7. Pengairan
Pengairan adalah faktor yang sangat penting bagi sistem usahatani padi sawah non mina padi terlebih lagi bagi sistem mina padi yang memelihara ikan
didalamnya. Berbeda dengan padi ladang dan tanaman palawija seperti sayuran dan lain sebagainya, padi sawah membutuhkan suplai air yang lebih karena
membutuhkan genangan. Pengairan di dua desa ini sebagian besar dari air irigasi yang berasal dari sungai dan mata air. Sehingga tidak berpatokan pada cuaca atau
curah hujan seperti didaerah-daerah lain yang sangat bergantung pada curah hujan.
Untuk sistem mina padi pengairan sangat menentukan dalam kelangsungan usahanya. Kondisi air harus stabil untuk menjaga ikan agar tetap
hidup di sawah. Jika air surut, padi tetap hidup beberapa hari namun ikan akan mati dalam waktu yang singkat. Jika air meluap karena banjir atau hujan, padi
akan bertahan namun ikan akan terbawa arus terutama yang masih tergolong benih. Sehingga untuk sistem non mina padi yang dibutuhkan ialah air yang
cukup, sedangkan untuk sistem mina padi lebih dari sekedar cukup namun stabil. Air yang mengairi lahan pertanian di Kecamatan Tenjolaya berasal dari
mata air dari Gunung Salak. Air mengalir dari ketinggian mengairi Desa Tapos I dan mengalir ke Desa Tapos II Dusun 2 dan kemudian dusun berikutnya Dusun 1
dan kemudian Desa Cibitung Tengah dan tiga desa lainnya. Pengairan di dua desa ini dan desa-desa lain yang berada di Kecamatan Tenjolaya tidak dipungut biaya
sama sekali. Suplai air di Desa Tapos I melimpah sehingga tidak heran petani mina
padi banyak terdapat didaerah ini dibanding Desa Tapos II. Hal ini menjamin ketersediaan air sebagai faktor alam yang sangat penting selain lahan dan cuaca
dalam musim hujan maupun kemarau.
Gambar 12. Saluran Irigasi di Desa Tapos I
Irigasi di Desa Tapos I dan Tapos dan Tapos II sangat berlimpah namun dibeberapa titik di desa pengaturannya sangat tidak terkoordinasi dengan baik.
Terutama jika tanah di desa beralih fungsi ke non pertanian, akan sangat
menghambat irigasi dan menutupi aliran irigasi ke lahan pertanian berikutnya. Jika dibiarkan, hal ini akan sangat merugikan bagi petani terutama jika
pembangunan tersebut sangat luas dan menutupi jalannya pintu air utama. Selain dapat menurunkan produktifitas padi sawah yang sangat membutuhkan suplai air
yang banyak karena harus digenangi, hal ini diyakini oleh para petani dapat menurunkan Kelas Tanah secara signifikan dalam kurun waktu yang tidak terlalu
lama. Mempertahankan padi sawah pada pola tanam tiap tahun minimal satu
kali, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Namun dipercaya dapat menjaga kesuburan dan keseimbangan tekstur tanah agar mudah diolah atau
dibajak. Tanah yang semakin sering ditanamai padi, diyakini akan semakin liat dan tidak subur. Sehingga mempengaruhi produktifitas pertanian dari lahan
tersebut, baik pada saat penanaman padi maupun pada saat penanaman palawija atau sayur-mayur. Demikian pula tanaman sayuran atau palawija tidak
tergenang, sehingga tidak heran pola tanam sebagian besar responden ialah padi- palawijasayuran-padi baik untuk responden mina padi maupun non mina padi.
Beberapa aliran irigasi dari tahun-ke tahun terbuang percuma ke areal bukan pertanian atau ke sungai karena pengalihan hak lahan ke warga yang
bermata pencaharian bukan petani. Sangat menguntungkan jika lahan tersebut masih disewakan untuk diolah menjadi lahan pertanian. Hal ini jika dibiarkan,
dapat menghancurkan pertanian di Desa Tapos I dan Tapos II dan berdampak langsung bagi pertanian di setiap desa di Kecamatan Tenjolaya. Mengingat Desa
Tapos I memiliki kontur desa tertinggi dan kemudian Desa Tapos II dibanding
empat desa lainnya. Air yang mengairi irigasi empat desa berikutnya bergantung sebagian dari irigasi dua desa ini.
Sebagian petani terpaksa tidak dapat menanam padi satu kali pun dalam setahun seperti dulu atau seperti petani responden dan harus mengganti dengan
palawija atau sayuran karena air tidak melalui lahan mereka. Lahan pertanian yang mereka kerjakan terpaksa harus diairi dengan cara memanggul air dari
sungai yang letaknya jauh, karena palawija dan sayuran masih dapat hidup dengan air yang seadanya.
Pengaturan sumber daya air sebagai irigasi merupakan kunci keberhasilan pertanian di dua desa ini secara khususnya dan Kecamatan Tenjolaya pada
umumnya. Mengingat air adalah salah satu sumber daya alam yang sangat penting selain lahan bagi pertanian, khususnya bagi lahan persawahan terlebih lagi bagi
sistem mina padi yang membutuhkan suplai air yang melimpah dan stabil. Jika dianalisa melalui angka petani pada Tabel 3 pada sumber mata
pencaharian di Desa Tapos I dan Desa Tapos II, jumlah petani di desa Tapos I jauh lebih banyak karena pertanian di desa ini didukung oleh sarana irigasi yang
melimpah langsung dari mata air. Karena berada pada kontur tertinggi dari enam desa di Tenjolaya, suplai air stabil sehingga selain mendukung usahatani padi
sawah, juga sangat mendukung sistem mina padi. Itu sebabnya 12 dari 15 petani mina padi sekitar 80 responden berada di Desa Tapos I. Memelihara ikan
bersama padi disawah membutuhkan ketersediaan air yang lebih stabil dibandingkan hanya memelihara padi saja.
Ketidakmerataan suplai air sangat dirasakan oleh petani yang sawahnya terletak di Desa Tapos II. Desa Tapos II terbagi atas dua dusun yakni Dusun 1 dan
Dusun 2. Dusun 2 terletak lebih tinggi dibanding dusun 1. Dari 15 petani responden yang berasal dari Desa Tapos II, 12 orang berasal dari Dusun 2 dan 3
orang berasal dari Dusun 1. Di desa ini sangat sulit menemukan petani padi sawah yang mengolah lahan di Dusun 1, apalagi yang mengusahakan dengan ikan
sekaligus. Banyak lahan di daerah ini yang lahan pertaniannya beralih fungsi ke lahan non pertanian dan menutup aliran air strategis.
6.1.8. Pengendalian Hama dan Penyakit
Pengendalian hama dan penyakit tanaman sering dilakukan dengan cara penyemprotan tanaman. Banyaknya jumlah frekuensi penyemprotan tergantung
keadaan dilapangan. Jika padi yang tumbuh terlihat sehat dan tidak ada hama maka penyemprotan tidak dilakukan, namun demikian sebaliknya. Sehingga
penyemprotan dilakukan bukan karena ikut-ikutan atau kebiasaan dari tahun- tahun sebelumnya, namun kerena jika hal itu dianggap perlu dilakukan. Hal ini
dilakukan petani bukan karena petani sadar akan bahaya pestisida, namun mereka sangat perhitungan dengan biaya dan tenaga yang akan dikeluarkan untuk
penyemprotan tersebut. Perhitungan tersebut timbul karena meningkatnya kebutuhan rumah tangga petani, sehingga modal yang ingin dikeluarkan benar-
benar dipertimbangkan.
6.1.9. Pemanenan
Pemanenan adalah proses usahatani yang paling ditunggu-tunggu oleh petani. Apalagi jika di lihat bahwa padi di sawah yang dipanen akan menghasilkan
dalam jumlah banyak. Semangat kerja pada saat panen pun jauh lebih besar dibanding pada proses mana pun oleh petani.
Panen di daerah ini biasanya berlangsung 2-3 hari lamanya. Dengan lama waktu 8 jam kerja untuk 1 HOK pada saat panen. Untuk 30 orang responden,
memiliki upah yang berbeda-beda. Tingkat kelayakan upah per hari bagi buruh bagi petani sangat relatif. Namun seluruhnya menempatkan upah Tenaga Kerja
Pria lebih tinggi dibanding upah Tenaga Kerja Wanita.
6.1.10. Perawatan Hasil
Perawatan hasil merupakan pekerjaan yang biasa dilakukan setelah panen dan sebelum gabah digiling. Perawatan hasil merupakan proses pengeringan
gabah basah menjadi gabah kering. Menurut persepsi petani bobot gabah sebelum dan sesudah di keringkan bervariasi dari 30-45 dari bobot gabah basah,
tergantung dari kualitas padi pada saat dipanen. Kerena biasanya, meskipun memiliki varietas yang sama, pengurangan bobot padi bisa berbeda-beda. Untuk
itu, petani di dua desa ini tidak terlalu memperhatikan pengurangan bobot air gabah pada proses ini meskipun sangat penting bagi penghasilan mereka.
Petani cenderung memperhatikan total panen gabah basah mereka tiap kali memanen padi. Apalagi bagi petani yang lebih banyak menjual hasil panennya
dibanding mengkonsumsinya. Dari 30 petani responden, terdapat 2 petani yang menjual hasil panen dalam bentuk beras yang telah digiling, dan sisanya sekitar
93,33 persen menjual dalam bentuk gabah basah. Untuk perawatan hasil di Desa Tapos I dan Desa Tapos II, dapat
dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki atau perempuan. Tanpa melihat gender,
khusus untuk proses pengeringan, upah tenaga kerja per hari dibayarkan sama. Upah tenaga kerja perhari di dua desa ini berada di kisaran Rp 20.000-25.000 per
hari. Dalam seluruh rangkaian proses budi daya padi di dua desa ini,
pemanenan dan pengeringan merupakan proses kerja yang di biayai dengan upah tertinggi untuk seluruh responden yang menggunakan Tenaga Kerja Luar
Keluarga. Hal ini terjadi, karena dianggap proses pemanenan merupakan proses yang sangat rumit, berat dan berdurasi cepat. Sedangkan pengeringan, tidak terlalu
melelahkan namun selalu memerlukan perhatian khusus. Karena cuaca sebagai faktor alam penentu, menjadi tolak ukur dari proses kerja ini tidak dapat diduga
perubahannya.
Gambar 13. Proses Pengeringan Gabah di Lapangan Jemur pada Dua Penggilingan Utama di Desa Tapos I
Bila tiba-tiba turun hujan, kuli harus segera menarik gabah dari lapangan jemur. Sehingga pada umumnya petani melakukan hal ini pada saat matahari pagi
terlihat terik dan langit terlihat cerah. Jika tidak, mereka harus membayar kuli lebih mahal karena penambahan hari kerja. Bagi petani yang memiliki lapangan
jemur atau memiliki waktu luang lebih, akan berusaha menjemur hasil panen mereka sendiri.
6.1.11. Penggilingan
Proses penggilingan di Desa Tapos I dan Desa Tapos II memiliki sistem pembayaran yang sama yakni dengan natura atau beras yang telah selesai digiling.
Besar biaya giling yang harus dikeluarkan oleh petani berubah-ubah secara serentak dan terkoordinasi dengan perbandingan 9:1, 10:1 hingga 11:1. Kurang
diketahui dengan jelas mengapa biaya tersebut berubah-ubah. Perbandingan 9:1 artinya setiap 9 kwintal total beras yang dihasilkan oleh mesin penggilingan, 1
kwintalnya akan diambil oleh pemilik penggilingan sebagai ganti biaya penggilingan yang seharusnya dibayarkan dan 8 kwintal sisanya akan dibawa
pulang oleh petani. Penggilingan setempat biasanya dilengkapi dengan tenaga buruh untuk
pengeringan gabah basah. Para penduduk yang tidak memiliki sawah atau pekerjaan didesa akan berkumpul ditempat ini untuk mencari sesuap nasi. Petani
bukan hanya membutuhkan tenaga untuk pengeringan, namun mereka memerlukan tenaga pula untuk mengangkut gabah dari rumah atau lumbung
mereka jika akan digiling atau telah selesai digiling dan akan dibawa pulang kerumah. Buruh tani dapat merangkap menjadi buruh panggul jika kesempatan itu
ada. Pada Gambar 13 sebelah kanan dapat dilihat bahwa pada lapangan jemur
terdapat tanaman yang berwarna hitam kehijauan yang memagari gabah yang sedang dijemur. Tanaman itu merupakan tanaman Cincau yang telah selesai di
panen dan sedang dijemur dilapangan jemur. Tanaman Cincau menjadi salah satu tanaman dari seluruh tanaman yang digilir untuk ditanam ganti tanaman padi.
Cincau yang dipanen, dijemur dan di cacah dipenggilingan oleh tenaga kerja wanita. Pada umumnya tanaman Cincau ini tetap ditanam di pematang sawah
yang sedang ditanami padi. Terkadang pematang diisi dengan tanaman Pare, Tomat, Cabe, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk tambahan pendapatan
bagi petani. Begitu banyak aktifitas yang terjadi di penggilingan. Bagi peternak ikan
atau ayam, dedak atau uut sebagai pakan ternak mereka dapat dibeli di penggilingan, bahkan jika beruntung, akan mendapatkan gratis dari petani padi.
Terutama jika petani padi yang sedang menggiling adalah kenalan, tetangga atau masih tergolong sanak keluarga. Petani jamur yang sedang digalakkan oleh IPB
didesa ini dapat mengambil sekam sebagai medium jamurnya.
Gambar 14. Penggilingan di Desa Tapos II dan Desa Tapos I
Aktivitas usahatani di penggilingan sangat banyak yang dapat diperhitungkan namun terkadang tidak pernah dilakukan oleh petani dengan
alasan telah membudaya sebagai tenggang rasa antar sesama penduduk desa. Hal ini membawa keuntungan bagi petani jika memerlukan pupuk kandang. Petani
cukup memintanya pada peternak tanpa bayaran. Penggilingan, adalah tempat berlindung yang strategis bagi penduduk yang tidak memiliki pekerjaan, dalam
artian dapat menyerap banyak tenaga kerja.
6.2. Sistem Mina Padi