“Surat Johari melahirkan minat yang sebelumnya tak terpikirkan. Kenapa tidak ke Jakarta, mengadu nasib? Siapa
tahu peruntungan lebih baik. Makin hari makin keras. Ya, Jakarta” Riantiarno, 2004: 31.
“Aku ingin maju. Dan harapanku, kerja hanya bisa diperoleh di kota besar maca
m Jakarta” Riantiarno, 2004: 37.
“Sejak tinggal di Jakarta aku mencoba sekuat daya melupakan peristiwa ayah. Kenangan malam berhujan di
kota C, sangat menyakitkan” Riantiarno, 2004: 177.
Selama di Jakarta, Arsena tinggal bersama Hilman, sahabat dekat kakaknya. Ini terlihat dalam kutipan berikut.
“Sudah empat jam mencari, akhirnya rumah hilman kutemukan” Riantiarno, 2004: 162.
“Setelah beberapa hari tinggal bersama, aku tahu dia bekerja sebagai perancang seni pertunjukan, yang hamper
semuanya masih menggunakan istilah asing, Hilman Art Director” Riantiarno, 2004: 171.
“Sudah empat tahun aku tinggal di rumah hilman.Segala lancar” Riantiarno, 2004: 232.
Jakarta memang tempat orang mencoba mengadu nasib, namun karena tidak memiliki surat bebas G-30SPKI, Arsena sulit
mencari pekerjaan, akhirnya ia bekerja membantu Hilman. Pekerjaan ini juga membawanya berkenalan dengan
seorang gadis bernama Nancy dan Edu seorang lak-laki gay.Ini
terlihat dalam kutipan berikut. “Begini, kalau mau kau boleh kerja denganku,
Tenagamu akan kuusulkan kepada Paman” Riantiarno, 2004: 180.
“Kerja dalam sebuah produksi film barangkali menarik juga” Riantiarno, 2004: 180.
“Tapi sejak itu kami sering bersama. Mempelajari scenario Hilman dengan tekun lalu coba menguraikan
adegan demi adegan dan memainkannya. Aku membantu Nancy dan menjadi stand in actor pemeran utama”
Riantiarno, 2004: 197. “Eduard Panggil saja Edu ..” Dia menggenggam
tanganku erat- erat ketika kami bersalaman” Riantiarno,
2004: 239.
Jakarta memang kota yang keras, banyak permasalahan yang akan dihadapi oleh Arsena. Masalah percintaan dan
masalah pribadi lainnya yang akan memunculkan berbagai macam masalah dalam hidupnya.
2.2.2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah
kapan tersebut biasanya dihubungan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah
Nurgiyantoro, 2010: 230. Latar waktu yang menunjuk keadaan sosial
masyarakat dalam novel Cermin Merah adalah latar waktu dengan latar belakang peristiwa G-
30SPKI atau sekitar tahun 1965‟an serta tahun dimana Presiden masih Soekarno. Ini terlihat dalam kutipan berikut.
“Sampai tiba hari naas itu. Sengaja tidak kucatat hari, tanggal, dan bulan, meski tahunnya, mau tak mau, aku tetap ingat;
1966. Sampai kini aku tidak pernah mengerti. Mengapa?Peristiwa yang tetap jadi misteri. Dan meyakitk
an” Riantiarno, 2004: 9. “Dan, buntut peristiwa G-30SPKI atau Gestok adalah
trauma nasional” Riantiarno, 2004: 18. “Catatan tentang korban yang jatuh sejak 1965 hingga 1966,
sangat bervariasi. Belakangan, kubaca semua data dan ulasan mengenai G-30SPKI dengan teliti. Siapa tahu ada nama Ayah ada
di dalamnya. Laporan resmi menyebut 80.000 korban” Riantiarno,
2004: 20. “Setiap warga wajib mengurus surat bebas G-30SPKI.
Kartu setara freepass agar bisa masuk ke mana pun” Riantiarno, 2004: 30.
“Jenderal Soeharto, panglima tertinggi tentara, berhasil membakar emosi rakyat. Dia membubarkan PKI secara resmi
karena Soekarno, presiden RI pertama, tidak bersedia membubarkan partai yang jelas-
jelas dianggap sudah memberontak” Riantiarno, 2004: 19.
2.2.3 Latar Sosial
Dalam novel ini ada tiga latar sosial yang sangat dominan, yaitu 1. latar sosial kota Jakarta, 2 latar sosial
perilaku dan seks “menyimpang”, dan 3 latar sosial G30SPKI. Latar sosial berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi. Di dalam novel Cermin Merah, terdapat latar sosial kota Jakarta.
Jakarta digambarkan sebagai tempat yang keadaannya sudah sangat maju, tidak teratur dan tata cara kehidupan kota Jakarta yang keras
dengan segala macam godaan. Ini terlihat dalam kutipan berikut. “Korban kesibukan metropolitan, ketika ayah dan ibu yang
bertanggung jawab terhadap terwujudnya keluarga harmonis berubah jadi mesin pencetak uang yang super-
sibuk” Riantiarno, 2004: 266.
“Waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga tidak menjadi prioritas lagi. Sehingga, banyak anggota keluarga yang
kesepian dam hilang pegangan” Riantiarno, 2004: 266.
Kehidupan Arsena sewaktu kecil sudah mulai melenceng dari kehidupan normal yaitu mencintai seorang laki-laki. Hal ini terbawa saat
ia tumbuh menjadi dewasa. Saat ia pergi ke Jakarta kemudian mulai mengenal seorang laki-laki sebagai penganti cinta masa lalunya. Edu
sebagai laki-laki menjadi bayangan Anto cinta masa lalunya itu sehingga membuatnya terbawa dalam pesona Edu. Ini terlihat dalam kutipan
berikut. Edu. Dia mengincarmu,akhirnya dia mengungkap
dugaan. Aku sebetulnya juga sudah menduga. Edu sama seperti Anto. Dan, aku punya pengalaman dengan Anto di kali Skl. Aku
bisa merasakan Riantiarno, 2004: 251.