tolak atas dasar moral. Namun kejahatan ini tergambar secara tidak langsung saat
pertengkarannya dengan Hilman. Hilman adalah teman dekat kakaknya. Bahkan selama ia berada di Jakarta Arsena tinggal di rumah Hilman.
Diberi pekerjaan oleh hilman sehingga Arsena dapat pengalaman- pengalaman baru. Hilman juga yang telah mengenalkan Edu kepada
Arsena. Pada suatu hari Hilman marah karena kedekatan Arsena dan Edu. Hilman menuduh Arsena melakukan hal-hal yang aneh. Ini terlihat dalam
kutipan berikut. “Ars, aku tidak menuduh kau melakukan tindakan aneh.
Aku cuman kasih ingat, sebaiknya hati-hati. Jangan bergaul terlalu intim dengan dia,”kata Hilman” Riantiarno, 2004: 286.
“Hilman naik pitam. “Kau selalu bertanya. Kau tidak mau tahu, tidak semua pertanyaan punya jawaban. Kenapa? Kenapa?
Pikir dengan kepala dingin. Pakai hati yang jembar” Riantiarno, 2004: 286.
Arsena marah karena tidak terima dituduh yang macam-macam. Sehingga pertengkaran Antara Arsena dan Hilmanpun terjadi.
Pertengkaran yang disesali oleh Arsena. Ini terlihat dalam kutipan berikut. “Kata-kata Hilman menusuk ulu hati. Dia masih marah
karena keteledoranku membawa kunci rumah pada malam pertama aku tidur di rumah Edu” Riantiarno, 2004: 287.
“Hilman sudah menuduh. Dia bicara perkara ranjang Aku mendadak marah tapi masih coba menahan hati” Riantiarno, 2004:
288. “Tanpa sadar aku terlanjur mengatakan sesuatu yang
sesungguhnya tidak ingin kukatakan, “Akang iri hati karena aku dekat Edu” Riantiarno, 2004: 293.
“Tapi secepat kilat, sebuah tijuan menghantam mulutku. Tinju hilman. Tubuhku terlempar ke sudut ruang, menabrak meja,
menyebabkan patung gips kepala Julius Caesar jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai. Untuk sesaat mataku gelap. Terdengar
pintu dibanting keras dan langkah- langkah kakiyang menjauh”
Riantiarno, 2004: 293.
Inilah pertengkaran Antara Hilman dan Arsena. Mereka sama-sama kerasa dan dalam pikiran mereka sendiri-sendiri. Mereka tidak mau
mengalah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Shadow terlihat jelas dalam pikiran Arsena dalam menghadapi peristiwa tersebut. Bahkan
shadow terlihat saat pertengkarannya dengan Hilman sampai membuat
dirinya jatuh pingsan karen ditinju oleh Hilman, Arsena sangat marah dengan tuduhan Hilman karena kedekatannya dengan Edu. Namun
kepolosan dan ketidak dewasaan Arsena di setiap tindakannya membuatnya lemah.
3.2.2 Shadow kolektif dalam diri Arsena
Dalam taraf tak sadar kolektif, shadow merupakan personifikasi yang universal dari bentuk kejahatan dalam psike Alfons, 1994: 10.
Dalam novel Cermin Merah, tidak digambarkan secara langsung shadow dalam taraf tak sadar kolektif yaitu yang berbentuk kejahatan psike.
Shadow kolektif yang di Alami oleh Arsena merupakan kejahatan psike yang dilakukannya karena adanya bayang-bayang masa lalu.
Kejadian ataupun peristiwa yang dialami Arsena di pengaruhi oleh masa lalu yang di anggap tabu oleh masyarakat. Adanya aturan dan norma-
norma dalam masyarakat membuat Arsena dianggap salah, hal itulah yang membuat tekanan batin dalam diri Arsena. Ada dua hal yang di alami oleh
Arsena dan peristiwa itu di anggap tabu oleh masyarakat yaitu peristiwa G30SPKI dan Homoseksual.
3.2.2.1 Shadow Tragedi 1965
Tragedi 1965 merupakan sebagai tragedi yang sangat besar dalam sejarah Indonesia. Tragedi 1965 adalah sebuah trilogi
kejadian yang bermulu di tahun 1965, yang meliputi: G30S, yaitu penculikan dan pembunuhan enam jendera dan seorang perwira
pada malam 30 September, pasca-G30S yaitu ketika terjadi pembunuhan kira-kira setengah juta jiwa orang-orang PKI,
keluarga dan simpatisannya,dan pembuangan sekitar 12.000 tahanan politik tapol ke Pulau Buru antara tahun 1969-1979
Taum Adam, 2004. Trilogi kejadian itu dianggap sebagai „tragedi‟ yaitu kejadian-kejadian yang secara dratis mengubah
nasib Resersal of fortume para pengikut, simpatisan, dan keluarga PKI menjadi sesuatu yang menyedihkan
Shadow kolektif bekerja dalam diri Arsena karena adanya peristiwa penangkapan sang ayah yang dianggap terlibat
G30SPKI. Rasa kesal dan kecewa karena bingung atas peristiwa sang ayah karena serdadu membawa pergi semua barang di rumah
sebagai barang bukti . Ini terlihat dalam kutipan berikut. “Dalam hati aku berteriak, bukti apa? Bukti apa?
Tapi aku tak mampu berkata-kata. Ya, bukti apa? Keluh hanya bersuara di dalam hati” Riantiarno, 2004: 10.
“Rasa takut yang dingin bikin tubuh berkeringat. Bagaimana kalau mereka membawaku juga? Sebisa
mungkin kutahan tangis. Aku tak sudi keliatan lemah” Riantiarno, 2004: 22.
Ini adalah bentuk kemarahan Arsena karena ketidakjelasan penangkapan sang ayah. Timbul berbagai pertanyaan dalam diri
Arsena terkait siapa ayahnya yang sebenarnya, karena yang Arsena tahu ayah adalah orang yang baik dan taat beribadah. Ini terlihat
dalam kutipan berikut.
“Kami tak pernah tahu nasib apa yang kemudian menimpa Ayah. Kami mulai bertanya-tanya, siapa
sebetulnya Ayah? Dibawa ke mana? Apa dia pemimpin serikat buruh kereta api penentang pemerintah? Atau Cuma
sedang kena fitnah? Ya, fitnah. Ibu yakin Ayah sudah kena
fitnah” Riantiarno, 2004: 13. “Tentu kami tak percaya semua kabar dan ocehan
orang. Komunis? Bagaimana mungkin? Ayah rajin ke gereja, ini patut dicatat. Tapi mengapa dia ditangkap?”
Riantiarno, 2004: 14.
Walaupun tidak jelas alasan mengapa ayah ditangkap, tetap saja Ayah dianggap sebagai komunis. Peristiwa ini membuat
kehidupan Arsena menjadi berubah karena para tetangga dan keluarga pergi menjauh. Ini terlihat dalam kutipan berikut.
“Para tetangga menyebar bisik-bisik, Ayah komunis. Ayah pimpinan teras partai yang resmi sudah
dilarang. Dan karena Ayah dianggap komunis, mereka mulai menjauh. Menghindar kalau kebetulan berpapasan
dengan kami, bicara seadanya jika tak sempat menghindar. Sekedar berbasa-basi. Mengapa sikap mereka berubah
secepat itu, aku tak tahu. Apa kuatir kena getahnya?” Riantiarno, 2004: 14.
“Banyak sahabat keluarga mulai menjauh. Bahkan yang masih terhitung famili, jauh atau dekat. Sahabat atau
famili komunis bisa terkena tuduh komunis juga, mungkin begitu anggapan mereka. Sikap dan pola pikir aneh. Meski
sering terjadi. Diduga terlibat pun bisa dibilang sudah
terlibat. Dan itu kenyataan” Riantiarno, 2004:14. “Aku selalu siap mendengar segala komentar
tentang Ayah. Aku prihatin kepada nasib malangnya. Tapi aku juga benci karena Ayah diam. Jika betul dia aktivis
partai, mengapa harus menutupi dan merahasiakan semua kegiatan? Kami adalah keluarganya. Kalau terjadi apa-apa
kami ikut menanggung resikonya. Seperti yang sekarang terjadi” Riantiarno, 2004: 177.
Peristiwa G30SPKI memang sangat sensitif, bisa membuat orang takut. Bila ada satu orang dalam keluarga kita terlibat maka
semua anggota keluarga akan merasakan dampaknya, Hal itu dirasakan oleh Arsena yang tidak mendapatkan surat bebas
G30SPKI. “Setiap kantor menanyakan surat atau kartu bebas
G30SPKI. Semuala aku tidak menyangka kartu itu begitu penting. Tapi, memang sangat penting dan jadi persyaratan
mutlak bagi semua kegiatan, terutama yang berhubungan dengan
lembaga pemerintah.
Bukan hanya
untuk memperoleh pekerjaan atau melanjutkan sekolah, bahkan
untuk memperoleh surat kelakuan baik pun harus dengan syarat kartu bebas G30SPKI” Riantarno, 2004: 29.
“Aku tidak mungkin bisa memiliki surat bebas G30SPKI sebab ayahku ditahan karena dianggap terlibat
PKI” Riantiarno, 2004: 29.
Kesulitan hidup semakin terasa. Buntut Peristiwa G30SPKI atau Gestok adalah sebuah trauma nasional. Menjadi
sesuatu yang tabu untuk diingat ataupun dibicarakan karena merupakan luka masa lalu bangsa indonesia.