4. Konteks Pemberian Pendidikan Seks
Tabel 17 Perbandingan Hasil Penelitian pada Aspek Konteks Pemberian Pendidikan
Seks
Hasil penelitian sebelumnya Topik
Selaras Bertentangan
Orangtua tidak
mengkhususkan waktu untuk membicarakan seks dengan
anak
Walker 2004
Situasi yang
dirasa mendukung
terjadinya pendidikan
seks adalah
situasi yang pribadi, santai, spontan, dan atau sedang
melakukan kegiatan lain
Pluhar dan Kuriloff 2004
Trinh et al. 2009 Pluhar dan Kuriloff
2004
Trigger merupakan hal penting untuk memulai pembicaraan
mengenai seks Bastien et al 2011
Trinh et al. 2009 Wamoyi et al. 2010
Walker 2004
SES orangtua yang rendah mempengaruhi
perilaku orangtua yang meremehkan dan
marah saat
anak bertanya
mengenai seks Bastien et al. 2011
Dorsckoch 2011 Wamoyi 2010
Catatan. Penelitan yang dicetak miring adalah penelitian di negara-negara berkembang.
Dalam memberikan pendidikan seks orang tua memberikannya secara informal dalam arti tidak mengkhususkan waktu untuk membicarakan seks
dengan anak. Orang tua lebih memilih untuk mencari situasi dan kondisi yang tepat untuk membicarakan seks dengan anak dan tidak menjadwalkan waktu
untuk membicarakan seks. Walker 2004 menyatakan bahwa orang tua menggunakan pendekatan oportunistik dalam memberikan pendidikan seks.
Pendekatan ini membantu agar topik pembicaraan tidak dipandang sebagai isu besar dan menginvasi privasi anak.
Situasi lain yang dirasa mendukung adalah situasi yang pribadi atau personal, santai, spontan, dan atau sedang melakukan kegiatan lain. Hal ini
senada dengan penelitian Pluhar dan Kuriloff 2004, dan Trinh et al. 2009 dimana diskusi seks dilakukan sambil beraktivitas lain on-the-fly seperti saat
makan bersama, menonton TV, atau membantu orang tua melakukan aktivitas rumah tangga. Pada penelitian ini pendidikan seks dari orang tua diberikan
pada beragam kejadian seperti. Saat menemani anak belajar biologi, makan bersama, mengantar jemput anak dari sekolah, menonton TV atau film, sedang
online, saat ngerokin atau memandikan anak, sebelum tidur, dan dirumah sepulang anak dari sekolah.
Hasil penelitian ini berbeda dari Pluhar dan Kuriloff 2004 dimana orang tua menginginkan pendidikan seks dalam komunikasi tatap muka secara
fokus tanpa kegiatan lain. Keinginan dari orang tua dalam penelitian Pluhar dan Kuriloff mengindikasikan adanya waktu khusus untuk berbicara mengenai
seks semata. Hal ini tampaknya belum diinginkan oleh orang tua dalam penelitian ini, kemungkinan karena orang tua masih belum benar-benar
nyaman membicarakan seks dengan anak. Salah satu ibu bahkan menceritakan bahwa saat dirinya memberikan pendidikan seks kepada anak, maka mereka
tidak saling berhadapan. Terkait dengan memberikan pendidikan seks kepada anak, pemicu
obrolan trigger merupakan hal yang penting untuk memulai terjadinya pendidikan seks. Beberapa pemicu yang ada seperti berita kasus seksual,
muncul iklan porno di internet, atau muncul adegan seksual di TV. Hal yang
mirip juga ditemukan Bastien et al 2011, Trinh et al. 2009 dan Wamoyi et al. 2010 dimana trigger pembicaraan mengenai seks adalah munculnya
peristiwa terkait seks, misalnya melihat orang yang terkena HIV, atau mendengar kabar perempuan hamil. Menurut Wamoyi, trigger menjadi hal
yang sangat penting untuk memulai diskusi. Wamoyi menemukan bahwa keluarga yang tidak menemukan trigger mengalami kesulitan untuk memulai
obrolan mengenai seks. Salah satu trigger lain adalah menstruasi dan pertumbuhan payudara
anak. Menurut Walker 2004, menstruasi dijadikan penanda oleh orang tua untuk bisa memulai pendidikan seks kepada anak perempuan. Dalam penelitian
ini terungkap bahwa menstruasi dipandang sebagai tanda kedewasaan anak sehingga anak mulai perlu pendidikan seks.
Pemicu yang dipandang penting oleh orang tua adalah saat anak bertanya. Orang tua umumnya menunggu anak bertanya dahulu baru
memberikan pendidikan seks. Hal ini mengindikasikan pendidikan seks dari orang tua cenderung bersifat reaktif bukan proaktif. Argumen orang tua bahwa
ketika anak bertanya berarti anak menginginkan informasi sehingga informasi pasti diterima dengan baik, memang masuk akal. Namun bisa jadi anak tidak
bertanya bukan karena tidak ingin tahu tapi karena berbagai alasan lain, seperti merasa malu, merasa orang tua tidak bisa ditanyai atau takut dianggap aktif
secara seksual Trinh et al, 2009; Walker 2004. Oleh karena itu orang tua juga perlu sesekali bersikap proaktif dan memulai diskusi mengenai seks lebih
dahulu. Sebagaimana diungkapkan oleh Kirkman 2005, memang tidak mudah
untuk menyeimbangkan diri antara menunggu pertanyaan anak dan memulai lebih dahulu.
Selanjutnya orang tua dari penelitian ini menunjukkan kemauan untuk menjawab pertanyaan dari anak dengan jujur dan sesuai kemampuan. Menurut
Kirkman 2005, hal ini mendemonstrasikan keterbukaan orang tua dalam membahas seks. Ketika anak mempersepsikan orang tua sebagai orang tua
yang terbuka, maka diskusi mengenai seks dapat berjalan lebih lancar Walker, 2004.
Salah satu hasil menarik mengenai pertanyaan anak kepada orang tua adalah, orang tua dalam diskusi mendiskusikan mengenai adanya orang tua
yang marah atau meremehkan pertanyaan dari anak. Menurut para orang tua, orang tua semacam ini banyak ditemukan di kampung-kampung. Hal ini
kemungkinan berkaitan dengan SES sosial economic status dari para orang tua di kampung, atau tingkat pendidikan yang mungkin secara rata-rata lebih
rendah. Menurut Bastien et al. 2011 dan Dorsckoch 2011, semakin tinggi pendidikan orang tua maka semakin nyaman dan sering orang tua
membicarakan seks dengan anak, dan sebaliknya. Wamoyi et al. 2010 berpendapat bahwa pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan orang tua
mengenai seks sehingga mengurangi hambatan orang tua. Selain itu pandangan orang tua mengenai kesehatan juga menjadi lebih luas, sehingga mungkin lebih
terdorong untuk membicarakan seks. Pembicaraan mengenai seks juga dipengaruhi oleh usia anak. Apabila
orang tua mempersepsikan anak belum cukup umur untuk mendapatkan
informasi seksual maka orang tua menunda memberikan informasi tersebut atau memberikan informasi yang kurang tepat namun lebih mudah dipahami,
misalnya mengatakan bahwa “bayi lahir dari perut” kepada anak yang masih kecil.
Dalam penelitian ini masalah usia layak terima pendidikan seks tidak tergali secara mendalam. Hanya terdapat beberapa pandangan sekilas. Dari
hasil yang ada terdapat beragam pandangan. Ada yang merasa pendidikan seks perlu dimulai sejak TK, sejak SD, bahkan baru diberikan saat SMA. Meskipun
begitu orang tua sepakat bahwa anak baru perlu tahu mengenai hubungan seksual pada saat mereka sudah SMA. Meskipun begitu alasan orang tua
merasa materi hubungan seksual baru perlu diberikan saat anak sudah SMA, tidak didalami lebih lanjut dalam penelitian ini. Namun hal ini bisa karena
orang tua takut membicarakan hal tersebut akan mendorong anak untuk ingin melakukannya Trinh et al, 2009.
5. Metode