Konteks Pemberian Pendidikan Seksualitas

5. Konteks Pemberian Pendidikan Seksualitas

Tabel 10 Kategori dalam Konteks Pemberian Pendidikan Seks Konteks Waktu Situasi atau kondisi yang mendukung Waktu kejadian Trigger Tidak ada waktu khusus Saat waktunya pas atau ada kesempatan Personal Santai Spontan Sambil melakukan aktivitas lain Belajar biologi Dalam perjalanan Menonton TV Makan Menonton film Sebelum tidur Memandikan anak Online Ngerokin anak Pulang sekolah Ada berita kasus seksual Anak mengalami menstruasi Anak asyik dengan HP Pertumbuhan payudara anak Melihat iklan porno di internet Muncul adegan seksual di TV Anak bertanya Konteks Usia Usia perlu pendidikan seksualitas Usia belum perlu pendidikan seksualitas Usia SMA Kanak-kanak Kelas 4 SD Setelah mengalami menstruasi Kelas 5-6 SD Usia 14 tahun Usia SMP Konteks Keimanan Orang tua Berserah kepada Tuhan Mengarahkan anak aktif di gereja Nasihat dan peringatan terkait praktek dan nilai agama Ada tiga konteks yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu konteks waktu, konteks usia, dan konteks keimanan. Yang pertama dalam konteks waktu, dalam memberikan pendidikan seks, ada berbagai situasi dan kondisi yang mendukung. Yang pertama adalah orang tua tidak mengadakan waktu khusus untuk berbicara mengenai seks. Dari empat FG tidak ada orang tua yang mengusahakan adanya waktu khusus untuk berbicara mengenai seks dengan anak. Menurut orang tua merencanakan waktu khusus justru membuat orang tua menjadi tegang. “… karna kalo kita usahain cari waktu tertentu kitanya sudah tegang dulu, anaknya mungkin gak dong, tegang iki nek tak omongi ...” Ayah, FG1, 692- 696 “Spontan langsung gitu. Kalo ditata malah wagu gitu lho. Hahaha.” Ibu, FG2, 695-698 Selanjutnya adalah situasi yang personal. Pendidikan seks tidak diberikan saat ada banyak orang tetapi secara pribadi. “Tapi ngasi tau ya saya pribadi …” Ayah, FG1, 213-214 Kondisi yang santai juga dipandang ideal untuk terjadinya pendidikan seks. Sebab ketika memberikan pendidikan seks saat terbeban, maka orang tua merasa dapat salah berbicara. Oleh karena itu orang tua mencari suasana yang santai saat memberi pendidikan seks. Selain itu pendidikan seks umumnya diberikan saat melakukan aktivitas lain. Dengan demikian pendidikan seks tidak menjadi satu-satunya fokus pada saat itu. “iya kita bisa terbeban, pada waktu kita terbeban itu ngomong mbek anak menjadi luput lho. Beda. Jadi kita cari tempat yang refresh, yang santai, yang sama-sama santai, menikmati sesuatu, kita ngomong e lancar, dia menerimanya juga lancar.…” Ayah, FG1, 789-792 Ada beragam waktu dimana pendidikan seks terjadi. Saat anak belajar biologi, makan bersama, mengantar jemput anak dari sekolah, menonton TV atau film, sedang online, saat ngerokin atau memandikan anak, sebelum tidur, dan di rumah sepulang anak dari sekolah. “Aku terbiasa diskusi sama anak-anak jadi makan malem itu …” Ibu, FG3, 464 “saya juga pernah memberitahukan …. baik itu nonton film bersama atau di TV ya kita terangkan …” Ayah, FG4, 169-170 Ada berbagai hal yang menjadi memicu orang tua untuk memberi pendidikan seks kepada anaknya. Pemicu ini menciptakan sebuah kesempatan atau momen untuk orang tua dapat memberikan pendidikan seks. Pemicu tersebut seperti ketika muncul adegan porno di film atau TV. Kesempatan ini dipakai orang tua untuk memberikan pendidikan seks kepada anak. Momen lain adalah saat muncul berita mengenai kejahatan seksual. “biasanya sih kita pas ada momen-momen kayak pas nonton TV bareng ada orang ciuman, ya kan? Nah dari situ kita bisa masuk sedikit.…” Ayah, FG4, 80-82 “Eee, ketika terjadi kejahatan seksual di berita, itu sebetulnya kita bisa masuk ya, dalam arti menjelaskan…” Ibu, FG2, 491-492 Selanjutnya saat anak mengalami menstruasi pertama atau orang tua merasa payudara anak mengalami pertumbuhan, maka kejadian itu dipakai orang tua untuk menjelaskan perubahan fisik yang terjadi. “… pada waktu buah dada anak saya keluar, itu tumbuh, saya bilangadek sekarang sudah besar, ini nanti buah dadanya …. Sayamemberikan pendidikan seks kepada anak saya, …pada waktu dia tumbuh buah dada, dan pada waktumenstruasi pertama kali, …” Ibu, FG3, 195-230 Orang tua juga terdorong memberikan pendidikan seks ketika melihat anak asyik dengan HPnya. Selain itu munculnya iklan berbau seksual saat anak sedang online juga dipakai sebagai kesempatan memberi pendidikan seks. “Kalo saya sih malah saya kasi tau sekalian. Toh misalnya suka internet, biasanya kan anak saya main game gitu ya, main game tapi terus kan memang sering ditawarkan [konten porno] di ini [situs game ] to.…” Ibu, FG2, 591- 593 “Kadang nek dikamar, nganu HP terus ngguya-ngguyu kan, kadang nganu, ya itu saya masuk ngasi [pendidikan seksualitas] gitu” Ibu, FG2, 700-701 Pemicu yang terakhir adalah ketika anak menanyakan hal seks kepada orang tua. Orang tua sering menunggu anak bertanya sebelum mulai memberi pendidikan seks. Pertanyaan anak memberi orang tua kesempatan untuk dapat menjelaskan seks secara mendalam. Selain itu ketika anak bertanya maka anak membutuhkan jawaban. Menurut orang tua ini membuat pendidikan seks dari orang tua dapat diterima anak dengan baik. “tapi kalo anak-anak yang tanya itu mudah karena orang bertanya membutuhkan jawaban, dan biasanya pada waktu dia menanti jawaban,jawabannya kita jadi diterima cepat. …” Ibu, FG2, 215-218 “Nah saya diem aja, waktu dia tanya, „kog nikah ya bu ya?‟, baru tak kasi tahu kenapa dia menikah …” Ibu, FG3, 525-526 Saat anak bertanya ada beragam respon yang diberikan oleh orang tua. Ada orang tua yang berusaha menjawab sejujur mungkin sesuai kemampuan. Ada orang tua yang menjawab sebagian saja dan justru mengajukan pertanyaan kembali ke anak. Ini dilakukan agar orang tua dapat memahami maksud pertanyaan anak dengan baik. Selanjutnya saat menjawab pertanyaan anak, anak diajak berpikir dan menemukan jawaban atas pertanyaannya. “Kalau saya njawabnya tak balik, separuh tak jawab, separuh balik nakoni.Jadi saya mau nggiring, dia maunya kemana sih.…” Ayah, FG1, 213- 214 “ …sehingga disitulah mulai menggiring sehingga dia tahu o menggauli itu itu, saya tidak bilang menggauli itu adalah, langsung definisi itu gak. Biar dia berpikir sendiri.” Ayah, FG1, 912-914 Kadang kala orang tua menunda menjawab pertanyaan anak. Ini dilakukan bila anak bertanya pada saat yang tidak tepat, misalnya didepan banyak orang. Ketika itu terjadi, orang tua mengalihkan pertanyaan anak dengan memberikan humor. “… tidak saya jawab, karna dia tanyanya ditempat terbuka. Jadi ada saya, ibunya, ada orang- orang gitu … Itu jadi PR buat saya.Saya gak jawab.Diajak guyon wae. Ya to tak ajak guyon yang lain …” Ayah, FG1, 863-875 Dari pengamatan orang tua, mereka menemukan masih ada orang tua yang marah saat anak menanyakan hal seks. Orang tua-orang tua ini mengenyahkan pertanyaan anak. Akibatnya anak lebih memilih bertanya kepada teman. Hal ini tidak baik karena memberi kesan bahwa seksualitas itu tabu. Orang tua ini biasanya masih ditemukan di kampung-kampung. “kadang-kadang kita terus „wis kamu anak kecil belum ..‟, Nah itu kan malah keliru, anak malah jadi merasa itu tabu.…” Ayah, FG1, 845-847 “„cah cilik ki tekon koyo ngono.‟ … Dikampung itu pak. Hohoho. … Minggu, tetangga saya di Sono Pakis itu termasuk kampung itu, itu ya masih banyak. … Iya, orang tua seperti itu masih banyak, „cah cilik ngerti opo‟ bahasanya itu sudah bahasa yang gak sehat itu.” Ayah, FG4, 1304-1312 Selanjutnya dalam konteks usia, bagi orang tua, usia anak menjadi penentu apakah anak perlu mendapat informasi seksualitas atau tidak. Terkait usia anak perlu menerima pendidikan seks, orang tua memiliki pandangan yang berbeda-beda. Beberapa merasa pendidikan seks perlu dimulai dari SD kelas 4, bahkan dari kanak-kanak. Namun ada juga yang memandang anak SD kelas 6 pun belum memerlukan pendidikan seks. “Gak papa [memberikan pendidikan seksualitas], kelas 4 itu anak, anak tapi dengan bahasa yang jangan vulgar ya.” Ibu, FG3, 1203-1204 “…belum umur kalo menurut saya, karena masih ya kelas 5 atau kelas 6 itu ya masih k ocak begitu lho ...” Ayah, FG4, 124-126 Dalam memberikan pendidikan seks, keimanan orang tua merupakan satu hal yang berpengaruh kepada pendidikan seks orang tua. Pengaruh ini tampak pada perilaku orang tua yang berserah kepada Tuhan dalam memberikan pendidikan seks. Alasan orang tua berserah kepada Tuhan adalah orang tua merasa dirinya terbatas dalam memberikan pendidikan seks. Orang tua juga merasa dirinya tidak bisa mengawasi pergaulan anaknya. Lokasi anak yang jauh dari orang tua juga mendorong orang tua berserah kepada Tuhan untuk menjagai anaknya. Alasan terakhir adalah orang tua merasa anak bisa tidak jujur kepada dirinya. “ … „Tuhan hanya ini yang bisa saya lakukan.‟, dalam arti sebagai ibu saya sudah berusaha mereka, tapi diluar ada hal-hal yang diluar kemampuan saya. …” Ibu, FG3, 705-708 Penyerahan kepada Tuhan ini diwujudkan dengan cara mendoakan anak. Salah satu ibu juga memberikan kalung salib sembari mendoakan anak. “… pada waktu anak saya mau berangkat, masing-masing saya kasi kalung deng an liontin salib, saya kasi mereka sambil saya bilang, „Tuhan saya serahkan, sertailah anak-anak saya didalam pergaulan dan didalam masa depannya semuanya saya serahkan kepada Tuhan karena saya sebagai orang tua, tidak bisa mengikuti anak saya untuk ke Jog ja.‟ …” Ibu, FG3, 211-216 Selain berserah kepada Tuhan, keimanan orang tua tampak saat orang tua juga mengarahkan anak-anaknya untuk aktif di gereja. Gereja dipandang sebagai lingkungan pergaulan yang baik untuk anak. “jadi saya punya pikiran „nek nggolek konco iki yo sing apik.‟, nah kemudian memang istri saya kemudian mengarahkan diarahkan yang pertama gereja, karena walaupun sakelek-elek e gerejo, memang gereja kan tidak selalu baik ya, tapi sejelek-jeleknya orang yang ada digereja dia takut pada Tuha n,” Ayah, FG4, 714-720 Selanjutnya orang tua juga mengkaitkan nasihat dan peringatan yang mereka berikan dengan nilai dan praktek agama yang dianutnya. Misalkan saat melarang anak beronani, orang tua mengingatkan bahwa menurut agamanya, onani itu dosa. “… pasti lemes karna itu [masturbasi] mengeluarkan energi yang besar, dan itu pun tidak boleh. Dalam ajaran kita itu tidak boleh. Dosa.” Ayah, FG1, 539-541

6. Metode