sejumlah perubahan. Denaturasi protein dan agregasi protein miofibrillar yang dapat menyebabkan perubahan dalam sifat fungsional dari protein otot ikan
sehingga akan kehilangan daya ikat air dan terjadi perubahan tekstur Baroso et al. dalam Martines et al. 2010.
2.2 Histamin
Histamin adalah senyawa amin biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim dekarboksilase. Satuan kadar histamin dalam
daging tuna dapat dinyatakan dalam mg100 g, mg , atau ppm mg1000 g Sumner et al. 2004. Histidin bebas yang terdapat dalam daging ikan erat
kaitannya dengan histamin dalam daging. Enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan sendiri, namun sebagian besar enzim tersebut dihasilkan
oleh mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi ikan Keer et al. 2002. Bakteri jenis Clostridium
perfringens, Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumoniae, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Raoutella planticula dan Vibrio alginolyticus
termasuk dalam golongan bakteri yang menyebabkan histamin sampai tingkat membahayakan Kanki et al. 2002; Kimata diacu dalam Borgstrom 1961; Taylor
et al. 1979; Yoshinaga dan Frank 1982. Sistem intestinal dari manusia mengandung enzim diamine oxidase DAO
dan Histamin N-methyl transferase HMT dimana akan mendegradasi histamin menjadi produk yang tidak berbahaya, akan tetapi jika dosis histamin yang
dikonsumsi besar maka kemampuan dari DAO dan HMT untuk menghancurkan histamin akan menyebabkan efek toksik dari histamin pada jaringan tubuh. Gejala
keracunan histamin adalah gatal-gatal, diare, demam, sakit kepala, dan tekanan darah turun Keer et al. 2002.
Food and Drug Administration FDA menetapkan bahwa untuk ikan tuna dan ikan sejenisnya, 5 mg histamin100 gram daging ikan merupakan jumlah yang
harus diwaspadai dan sebagai indikator terjadinya dekomposisi, sedangkan 50 mg histamin100 gram daging ikan merupakan jumlah yang membahayakan
atau dapat menimbulkan keracunan FDA 2001.
2.3 HACCP
Sistem HACCP Hazard Analysis Critical Control Point merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya-bahaya
yang signifikan dalam keamanan pangan CAC 2003. Keberhasilan pelaksanaan program HACCP tergantung pada empat pilar utama yaitu komitmen manajemen,
pendidikan dan pelatihan, ketersediaan sumber daya dan adanya tekanan dari pihak luar misalnya peraturan, kekuatan pasar, harapan konsumen dan
pengendalian keamanan pangan yang dianggap merupakan prioritas utama pada perusahaan Panisello dan Quantick 2001.
Sejak Codex Guidelines for the Application of the HACCP System
diadopsi oleh FAOWHO, Codex Alementarius Commission pada tahun 1993, termasuk the Codex Code on General Principle direvisi untuk mencakup sistem
HACCP, beberapa negara di dunia mulai merubah sistem keamanan pangan dari end product testing menuju aplikasi HACCP. Konsep HACCP menurut CAC
2003 terdiri dari 12 tahap yang terdiri dari 5 langkah awal dan 7 prinsip HACCP, yaitu :
1 Pembentukan tim HACCP
Pembentukan tim HACCP merupakan kesempatan baik untuk memotivasi karyawan dan menginformasikan tentang HACCP kepada karyawan. Tim
HACCP harus memberikan jaminan bahwa pengetahuan dan keahlian spesifik produk tertentu tersedia untuk pengembangan rencana HACCP secara efektif.
2 Deskripsi produk
Deskripsi produk adalah perincian informasi lengkap mengenai produk. Deskripsi produk harus digambarkan termasuk informasi mengenai komposisi,
struktur kimiafisik, perlakuan-perlakuan pemanasan, pembekuan, penggaraman, pengeringan, pengemasan, kondisi penyimpanan, daya tahan, persyaratan
standar, dan metode pendistribusian.
3 Identifikasi penggunaan produk
Setiap produk yang akan dikendalikan melalui penerapan sistem HACCP terlebih dahulu harus ditentukan rencana penggunaannya atau dengan kata lain
harus diidentifikasi terlebih dahulu sasaran konsumennya. Pengelompokan konsumen penting dilakukan untuk menentukan tingkat resiko dari setiap produk.
4 Penyusunan diagram alir proses produksi
Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan mencatat seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan
dihasilkannya produk jadi untuk disimpan. Diagram alir harus meliputi tahapan- tahapan dalam proses secara jelas mengenai rincian seluruh kegiatan proses
termasuk inspeksi, transportasi, penyimpanan, penundaan proses, bahan-bahan yang dimasukkan ke dalam proses, keluaran proses seperti limbah, pengemasan,
bahan baku, dan lain-lain.
5 Verifikasi diagram alir proses produksi
Diagram alir yang telah dibuat seringkali masih belum sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Proses verifikasi diagram alir harus dilakukan
secara hati-hati dan teliti terhadap keseluruhan lini proses.
6 Identifikasi bahaya
Analisis bahaya yang merupakan prinsip pertama dari HACCP yang mencakup identifikasi semua potensi bahaya, analisis bahaya, dan pengembangan
tindakan pencegahan. Analisis bahaya seharusnya mencakup : a kemungkinan terjadinya bahaya dan tingkat pengaruhnya terhadap kesehatan, b evaluasi
kualitatif dan kuantitatif dari bahaya, c ketahanan hidup atau perkembangan bahaya potensial mikroorganisme, d produksi atau keberadaan toksin, e
kondisi yang mempunyai kecenderungan menuju terjadinya bahaya.
7 Penetapan CCP Critical Control Point
Critical Control Point atau CCP adalah tahapan dari prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya bagi keamanan produk makanan itu
dapat dicegah, dihilangkan, atau dikurangi. Alat yang digunakan untuk membantu dalam penentuan CCP yang benar menurut Codex Alimentarius Commission
GL32 1998 adalah dengan CCP Decision Tree.
8 Penetapan batas kritis critical limit
Batas kritis adalah persyaratan dan toleransi yang harus dipenuhi oleh setiap CCP. Batas-batas kritis ini meliputi persyaratan teknis, definisi penolakan
dan toleransi penolakan. Suatu batas kritis adalah nilai maksimum atau minimum yang harus dikendalikan pada setiap CCP.
9 Pemantauan pada setiap CCP monitoring
Pemantauan monitoring terdiri atas aktivitas pengamatan, pengukuran atau pengujian yang dilakukan untuk menilai apakah suatu CCP berada dalam
batas-batas kritis yang ditetapkan atau tidak. Kegiatan monitoring dapat berupa pengukuran suatu parameter misalnya suhu dan waktu.
10 Penetapan tindakan koreksi corective action
Selama pemantauan, bila hasil pemantauan pada suatu CCP melampaui batas kritis atau toleransi maka harus dilakukan tindakan perbaikan corection.
Program HACCP harus mencakup prosedur tindakan korektif danatau preventif untuk menghindari pemusnahan produk dari ketidaksesuaian serta melakukan
perbaikan atau korektif dengan mencari akar-akar penyebab masalah dan memperbaikinya.
11 Penetapan prosedur verifikasi
Kegiatan verifikasi terhadap CCP dilakukan untuk menjaga agar kegiatan pengendalian dan pemantauan CCP dapat berjalan dengan normal. Kegiatan
verifikasi harus menjamin bahwa sistem pada CCP dapat kembali berjalan normal. Informasi yang didapat melalui verifikasi harus dipakai untuk meningkatkan
sistem HACCP Pierson dan Corlett 1992.
12 Penetapan dokumentasi
HACCP memerlukan penetapan prosedur pencatatan yang efektif untuk mendokumentasikan sistem HACCP. Dokumentasi dan catatan harus cukup
melingkupi sifat dan ukuran operasi di lapangan. Catatan harus dapat membuktikan bahwa batas-batas kritis telah terpenuhi dan tindakan koreksi yang
benar telah diambil pada saat batas kritis terlampaui. Efektivitas pelaksanaan program HACCP dapat dilihat dari tingkat
efektivitas pengendalian CCP. Hal ini dikarenakan CCP merupakan parameter keberhasilan HACCP.
Salah satu tujuan dari proses yang berkelanjutan adalah untuk memastikan bahwa produk jadi sesuai dengan spesifikasi. Variasi
merupakan karakterisasi yang ada pada setiap tahapan produksi Beker 1993. Variasi-variasi tersebut dapat diukur dengan berbagai perangkat statistika
manajemen, seperti menggunakan peta kontrol control chart. Sementara untuk mengetahui apakah kondisi proses mampu untuk menghilangkan variasi penyebab
khusus dan menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi, dapat dilihat dari nilai kapabilitas prosesnya Breyfogle 2003.
Penerapan sistem HACCP di industri perikanan Indonesia ternyata masih belum efektif dilakukan untuk menjamin tidak adanya bahaya keamanan pangan
food safety. Sistem dokumentasi record keeping, misalnya dilakukan hanya untuk memenuhi formalitas sertifikasi dari instasi yang berwenang saja dengan
penekanan hanya pada aspek persyaratan kelayakan dasar pre-requisite yang tidak dioptimalkan fungsinya sebagai alat yang dapat memberikan informasi
mengenai efektifitas proses produksi yang sedang berlangsung Yahya 2010. Berdasarkan evaluasi dengan konsep dasar lean six sigma yang dilakukan oleh
Dahyar 2009, hasil penilaian keefektifan dari pengendalian resiko bahaya histamin menunjukkan bahwa pengendalian CCP di suatu perusahan pengolahan
tuna di Indonesia masih belum berjalan efektif.
2.3 Balanced Scorecard