1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini, keamanan pangan merupakan masalah dan isu penting dalam produksi pangan dunia, terlebih dengan makin banyaknya kasus keracunan
pangan yang terjadi di berbagai negara Beulens et al. 2003. WHO 1999 mencatat bahwa sekitar 81 juta orang
setiap tahunnya menderita sakit akibat keracunan makanan dan 9.000 kasus diantaranya menyebabkan kematian.
Berdasarkan data kasus keracunan pangan yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya, dari 76 juta jiwa yang keracunan, terdapat 5.000 kasus yang
menyebabkan kematian dan sebanyak 350.000 jiwa dirawat di rumah sakit dengan menghabiskan biaya sekitar 7 milyar dolar Mead et al. 1999. Kasus keracunan
makanan di Cina diperkirakan terjadi sekitar 2.700 kasus setiap tahunnya, dimana sekitar 2,4 juta menyebabkan kematian untuk anak-anak di bawah usia lima tahun
WHO, 1997. Sedangkan berdasarkan data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, Layanan Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat Centers for Disease
Control and Prevention menunjukkan bahwa pada tahun 2005 tercatat sebanyak 1.400 kasus akibat keracunan makanan. Kasus ini terlihat cenderung meningkat,
dimana pada tahun 2007 telah terjadi 21.244 kasus keracunan makanan dan 18 kasus telah menyebabkan kematian CDC 2007.
Melihat masih banyaknya kasus keracunan akibat makanan dan berdampak pada kematian, maka sejak tahun 1993 FAO dan WHO melalui Codex
Alimentarius Comitte telah merekomendasikan HACCP sebagai suatu sistem yang paling efektif dalam menjamin keamanan pangan WHO 1995. Konsep HACCP
Hazard Analysis Critical Control Point diadopsi dalam sistem manajemen keamanan pangan karena dapat diterapkan dengan pendekatan yang sistematik
dalam mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya-bahaya potensial pada setiap tahapan proses untuk memastikan keamanan pangan produk yang diolah dan
dikonsumsi. Konsep HACCP ini berfokus pada tindakan pencegahan, dengan cara melakukan analisis terhadap bahaya potensial yang ada, melakukan identifikasi
titik kendali kritis pada setiap tahapan proses dan selanjutnya menerapkan sistem pengendalian pada setiap titik kendali kritis yang ada tersebut CAC 2003.
Meskipun penggunaan HACCP sudah tersebar luas pada industri makanan, namun Wallace et al. 2011 mencatat beberapa kejadian timbulnya bahaya
keamanan pangan pada industri pangan yang telah menerapkan program HACCP. Sebagai contoh tercatat di Jepang pada tahun 2000, dimana terjadi kontaminasi
Staphylococcus aureus pada produk susu dan yogurt yang disebabkan oleh monitoring suhu pada titik kendali kritis penyimpanan susu mentah yang tidak
tercatat dengan baik saat terjadinya pemadaman listrik. Pada tahun 2006, tercatat terjadi 60 kasus kontaminasi Salmonella montevideo pada produk coklat di
Amerika yang ternyata diakibatkan dari adanya kebocoran pipa air limbah yang menetes ke dalam area produksi pembuatan coklat. Selain itu pernah juga
dilaporkan bahwa di Amerika Serikat pada tahun 1982 telah terjadi wabah besar akibat kontaminasi E.coli. Kejadian tersebut ternyata diakibatkan dari hamburger
yang dikonsumsi tidak matang. Akibat kejadian tersebut 500.000 orang mengalami keracunan Riley et al.1983. Kejadian-kejadian tersebut menunjukkan
bahwa permasalahan dalam pengelolaan industri pangan merupakan masalah yang komplek dan memerlukan perencanaan yang matang dalam pelaksanaannya,
terutama penerapan pelaksanaan program HACCP. Belum modernnya sistem manajemen rantai pasokan supply chain management, sistem ketelusuran
traceability dan penarikan produk recall procedur, serta surveilance yang buruk dapat juga mengindikasikan bahwa masih kurang berhasilnya penerapan
program HACCP ini, contoh kasus ini adalah kesalahan pelabelan pada produk tuna beku Indonesia yang terjadi pada tahun 2008 di Australia, yang
menyebabkan kerugian yang sangat besar pada produsen tuna Indonesia, akibat dari adanya penolakan para pemasok tuna di Australia Rushdy et al. 1998.
Penerapan HACCP pada industri perikanan tuna tentu juga akan membawa implikasi pada persaingan antar perusahaan pengolahan tuna untuk menghasilkan
produk tuna yang bermutu baik, selain tantangan akan bahaya histamin. Berdasarkan laporan Rapid Alert Sistem for Food and Feed RASFF Uni Eropa
menunjukkan bahwa pada tahun 2007 terdapat 7 kasus penolakan tuna dari Indonesia dengan 4 kasus disebabkan tingginya kadar histamin EC 2007.
Kemudian Food and Drugs Administration USA juga melaporkan bahwa sebanyak 13 kasus penolakan tuna asal Indonesia selama tahun 2008 diakibatkan
oleh kadar histamin yang melebihi ambang batas FDA 2009. Hasil evaluasi pengendalian risiko bahaya histamin pada proses pengolahan tuna dengan
menggunakan six sigma pada tahapan yang menjadi titik kendali kritis oleh Dahyar 2009; Yahya 2010, terlihat masih menunjukkan adanya berbagai
hambatan dalam pelaksanaan HACCP di perusahaan-perusahaan pengolahan tuna di Indonesia, baik yang bersifat eksternal maupun internal.
Hambatan eksternal pelaksanaan program HACCP diantaranya meliputi kurangnya kepercayaan pelanggan terhadap pelaksanaan HACCP pada industi
tuna. Sebagai contoh yaitu adanya pihak pembeli buyer yang bersikeras melakukan monitong sendiri terhadap pelaksanaan program HACCP di
perusahaan, terutama pada tahapan titik kendali kritisnya. Sedangkan hambatan internal antara lain meliputi kurangnya kesadaran pihak manajemen mengenai
praktek-praktek sanitasi dan higiene, pemahaman dan pengetahuan mengenai HACCP, dan perhatian terhadap sumber daya manusia seperti tingkat kompetensi,
kompensasi, komitmen, motivasi dan pelatihan HACCP Gilling et al. 2001. Oleh karena itu, upaya peningkatan kinerja HACCP tidak hanya menyangkut
pelaksanaan HACCP, tetapi juga menyangkut kinerja sumber daya yang dimiliki. Peningkatan kinerja HACCP pada perusahaan tuna loin tidak dapat berdiri
sendiri, agar implementasi dapat berjalan secara efektif perlu adanya peran pihak manajemen untuk menyusun strategi-strategi yang tepat dalam peningkatan
kinerja HACCP. Secara teoritis, implementasi HACCP pada perusahaan makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kualitas sumber daya, ukuran
perusahaan, keuangan, dan juga ketersediaan yang menyeluruh akan faktor penunjang yang menjadi prasyarat pre-requisite keefektifan penerapan HACCP
seperti sarana dan prasarana dalam penerapan GMP Good Manufacturing Practice dan GHP Good Hygienic Practice Snyder et al. 2003. Selain itu,
berdasarkan catatan Sperber 2005
a
dan Sperber 2005
b
, keberhasilan pelaksanaan HACCP perlu ditunjang dengan program-program prasyarat dasar
hygiene seperti: prosedur pelabelan, desain peralatan dan perlengkapan, pelatihan sumber daya manusia, keamanan air, pengendalian transportasi, pengendalian
senyawa allergen, pengendalian bahan kimia, dan penyimpanan produk. Secara praktis, perusahaan perlu mendesain sistem perumusan strategi, sistem
perencanaan strategi, dan sistem penyusunan program untuk memotivasi seluruh personel perusahaan dalam mencari dan merumuskan langkah-langkah strategi
untuk membangun masa depan perusahaan David 2006. Berbagai bentuk konsep manajemen dan perencanaan strategis telah banyak
dikembang dan diterapkan pada berbagai perusahaan dan industri. Salah satu konsep perencanaan strategi yang sudah cukup luas digunakan oleh berbagai jenis
perusahaan adalah balanced scorecard Bernadine, 2001. Konsep ini banyak digunakan, karena mampu menerjemahkan visi, misi, dan tujuan perusahaan
menjadi strategi-strategi jangka panjang yang dapat diukur dan di monitor terus- menerus. Selain itu, konsep ini dalam prakteknya memberikan pengertian
penyeimbangan empat perspektif utama dari suatu unit bisnis yaitu persepektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif
pembelajaran serta pertumbuhan Kaplan dan Norton 1996. Sejak
kemunculannya, balanced scorecard telah banyak diadopsi oleh
berbagai perusahaan dunia. Berdasarkan hasil riset dari beberapa penelitian ditemukan bahwa pada tahun 2001 sekitar 44 perusahaan di seluruh dunia telah
menggunakan balanced scorecard dengan rincian 57 perusahaan di Inggris, 46 di Amerika Serikat, dan sebanyak 26 di Jerman dan Austria. Brain dan
Company memperlihatkan bahwa 708 perusahaan di lima benua, sebanyak 62 telah menggunakan balanced scorecard Gumbus dan Lyons 2002. Survei lain di
Amerika Serikat oleh majalah Fortune mengestimasikan bahwa 60 dari 1000 perusahaan telah mencoba balanced scorecard Hendricks et.al 2004. Salah satu
contoh keberhasilan penerapan balanced scorecard adalah pada perusahaan business jet milik Frank Jansen yang mampu meningkatkan angka pertumbuhan
penjualan sebesar 10 , penurunan tingkat keluhan pelanggan sebesar 30 , peningkatan tingkat kepuasan karyawan sebesar 85 , serta peningkatan proses
bisnis internal sebesar 25 Rampersad 2005. Berdasarkan informasi tersebut maka konsep balanced scorecard dapat
digunakan sebagai salah satu model untuk pengkajian penerapan program HACCP. Penggunaan konsep balanced scorecard yang dipadukan dengan
HACCP diharapkan mampu memberikan solusi mengenai strategi-strategi yang tepat bagi perusahaan perikanan dalam meningkatkan kinerja baik dari sisi
peningkatan mutu produk maupun peningkatan kualitas sumber daya yang dimilikinya.
1.2 Tujuan