2 Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk menentukan keberadaan
harimau dan mangsanya adalah dengan analisis sistem informasi geografis SIG Smith et al. 1998. Dalam ilmu satwaliar SIG dapat dimanfaatkan untuk analisis
habitat, tutupan lahan, penentuan wilayah jelajah dan teritori, pemodelan spasial habitat satwaliar, pemetaan sebaran satwaliar dan acuan pengambilan keputusan
dalam pengelolaan satwaliar salah satunya adalah harimau sumatera.
1.2. Tujuan
Penelitian tentang Aplikasi GIS untuk Analisis Distribusi Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 dan Mangsanya di
Hutan Blang Raweu, Ekosistem Ulu Masen, Aceh ini bertujuan: a. Menentukan hubungan distribusi harimau sumatera terhadap distribusi
mangsanya b. Mengidentifikasi populasi harimau sumatera dan satwa mangsanya,
c. Memanfaatkan GIS untuk analisis distribusi populasi harimau sumatera dan mangsanya.
1.3. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi distribusi populasi harimau dan satwa mangsanya di kawasan hutan Blang Raweu.
Hasil studi pemanfaatan GIS untuk analisis distribusi populasi dan satwa mangsa harimau sumatera hendaknya dapat dijadikan bahan pertimbangan pengelola
kawasan Ekosistem Ulu Masen dan pihak berwenang dalam perumusan kebijakan dan keputusan dalam usaha-usaha pelestarian harimau sumatera.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bio-Ekologi Harimau Sumatera 2.1.1. Taksonomi
Harimau dalam ilmu taksonomi oleh Carl Linne Linneaeus diklasifikasikan sebagai Felis tigris. Felis melipuiti semua jenis kucing. Para
ilmuwan menempatkan harimau pada genus yang berbeda dengan kucing yang lebih kecil yang diberi nama Panthera. Terdapat 8 subspesies harimau di dunia,
dimana tiga diantaranya telah dinyatakan punah Grzimek 1975, sub-spesies tersebut yaitu:
a. Panthera tigris altaica Temminck 1984; harimau siberia atau harimau amur, terdapat di Rusia, Cina dan Korea Utara.
b. Panthera tigris amoyensis Hilzheimer 1905; harimau cina, terdapat di Cina. c. Panthera tigris corbetti Mazak 1968; harimau indocina, terdapat di
Thailand, Cina, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia. d. Panthera tigris tigris Linneaeus 1758; harimau bengala, terdapat di India,
Nepal, Bangladesh, Bhutan dan Myanmar. e. Panther tigris sumatrae, Pocock 1929; harimau sumatera, terdapat di Pulau
Sumatera. f. Panthera tigris sondaica Temminck 1844; harimau jawa, terdapat di Pulau
Jawa dan dinyatakan punah pada sekitar tahun 1980. g. Panthera tigris balica Schwarz 1912; harimau bali, terdapat di Pulau Bali,
dan dinyatakan punah pada tahun 1937. h. Panthera tigris virgata Illiger 1815; harimau kaspia, terdapat di Iran,
Afghanistan, Turki dan Rusia, sudah punah sekitar tahun 1950. Sistematika taksonomi harimau sumatera Panthera tigris sumaterae,
Pocock 1929 oleh Grzimek 1975 digolongkan dalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebrata, Kelas Mamalia, Sub Kelas Theria
Ordo Karnivora, Sub Ordo Fissipedia, Famili Felidae, Sub Famili Pantherina, Genus Panthera, Spesies Panthera tigris, dan Sub Spesies Panthera tigris
sumatrae .
4
2.1.2. Morfologi
Secara umum bentuk warna dan corak tubuh delapan spesies harimau hampir sama yaitu loreng dengan warna dasar oranye dan corak berwarna hitam.
Dari segi ukuran tubuh harimau sumatera merupakan sub-spesies harimau yang memiliki ukuran tubuh paling kecil dari ukuran tujuh sub-spesies lainnya. Tipe
loreng antar individu harimau berbeda dengan individu lainya begitu juga dengan corak kiri berbeda dengan corak kanan pada tubuh satu individu asimetris.
Jumlah corak atau loreng pada setiap individu harimau bervariasi dan cenderung terpisah-pisah Sriyanto 2003. Pada bagian tertentu tubuh harimau berwarna
putih dengan loreng berwarna hitam seperti pada bagian bawah tenggorokan dan bawah tubuh serta pada bagian dalam kaki Boerer 1971. Iris mata harimau
berwarna kuning dengan pupil mata berbentuk bulat, telinga bagian belakang berwarna hitam dan memiliki noda putih mencolok yang berfungsi sebagai tanda
visual untuk membantu anaknya pada malam hari Tilson et al. 1997. Harimau jantan memiliki ukuran tubuh lebih besar daripada harimau betina
Jackson 1990. Harimau sumatera jantan memiliki massa tubuh antara 100-140 kg, dengan panjang total 220-255 cm, sedangkan harimau betina memiliki massa
tubuh antara 75-110 kg, dengan panjang tubuh 215-230 cm Subagyo 1996. Ukuran kaki depan harimau lebih panjang dari kaki belakangnya yang membantu
memudahkan harimau melompat tinggi dan jauh Jackson 1990. Setiap kaki harimau dilengkapi dengan cakar berupa kuku yang tajam dan bantalan pada
telapak kakinya. Cakar kaki depan harimau lebih panjang daripada cakar kaki belakangnya. Cakar kaki depan harimau berupa kuku runcing dan tajam dengan
panjang 80-100 mm yang dapat ditarik dan diulur serta sangat efektif untuk menangkap dan menggenggam mangsa Jackson 1990. Bantalan pada telapak
kaki harimau berfungsi mengurangi suara saat melangkah terutama saat harimau mengejar mangsanya. Telapak kaki harimau berbeda antara telapak kaki depan
dan belakang. Telapak kaki depan harimau dewasa antara 10-20 cm dan kaki belakang lebih kecil 1-1,5 cm Singh 1999.
5
2.1.3. Perilaku
Harimau sumatera merupakan spesies kucing besar yang hidup soliter yaitu satwa yang sebagian besar waktu hidupnya dengan menyendiri, kecuali saat
musim kawin dan selama memelihara anak. Harimau dapat bergerak mengunjungi setiap bagian teritorialnya setiap 10 hari sambil mengikuti hewan mangsanya yang
secara terus-menerus bergerak aktif ketika harimau aktif bergerak mengejar mangsanya tersebut Jackson 1990.
Harimau merupakan satwa pemangsa yang menggunakan teknik berburu individual, bersembunyi, mengejar, menyerang secara tiba-tiba untuk kemudian
membunuh mangsanya Seidensticker et al. 1999. Dalam menjalankan perburuannya harimau mengawalinya dengan mengikuti setiap pergerakan
mangsanya, berada sedekat mungkin dari mangsanya tersebut sehingga sering ditemukan jejak harimau berada tidak jauh dari jejak mangsanya. Harimau
umumnya akan memulai perburuannya pada sore hari dan sangat aktif saat malam hari karena harimau merupakan satwa yang tidak tahan dengan panasnya sengatan
matahari Lekagul McNeely 1977. Akan tetapi jika cuaca siang hari dingin dan mendung atau matahari tidak bersinar terik dan suhu udara relatif rendah harimau
juga akan berburu mangsanya. Harimau sangat tergantung pada penglihatan dan pendengarannya saat
berburu mangsa jika dibandingkan dengan indera lainnya. Indera ini sangat membantu harimau saat berburu terutama saat berburu di malam hari Hoogerwerf
1970. Harimau berburu mangsa dan membunuhnya dengan cara mengigit pada
bagian leher. Gigitan pada leher mangsa terarah pada saluran tenggorokan dari arah samping atau dari arah bawah. Setelah mangsa mati digigit, harimau akan
cenderung membawa mangsanya mendekati sumber air dan memakannya di sana karena saat makan harimau berhenti beberapa saat untuk minum dan kembali
melanjutkan makannya Grzimek 1975. Untuk pemenuhan kebutuhannya akan energi yang berasal dari daging
mangsanya, harimau berburu setiap 3-6 hari sekali dan sangat ditentukan oleh ukuran dan massa tubuh mangsa yang dimakannya. Seekor harimau biasanya
membutuhkan energi dari 3-6 kg daging setiap harinya sehingga harimau biasanya
6 tidak menghabiskan mangsanya, hanya sekitar 70 mangsa yang dimakan
Seidensticker et al. 1999. Untuk satwa yang berukuran besar seperti rusa sambar biasanya dimakan beberapa kali. Sisa makanan biasanya disimpan dengan cara
menutupinya dengan dedaunan dan ranting untuk dimakan kembali serta agar mangsanya tidak tercium dan dimakan oleh satwa pemangsa lainnya Hutabarat
2005. Harimau betina memiliki satu periode bernama estrous yaitu periode
dimana harimau betina akan membuka diri menerima harimau jantan untuk melakukan perkawinan. Aroma khas harimau betina saat mengalami masa estrous
akan tercium oleh harimau jantan melalui urine harimau betina. Selama masa birahi harimau betina akan memperlihatkan perilaku yang lebih agresif dari
biasanya, lebih banyak mengeluarkan suara dan lebih sedikit beristirahat. Harimau betina yang mengalami masa birahi akan mengeluarkan suara yang berasal dari
udara dalam rongga hidung serta mengaum dan menggeram pelan atau disebut dengan istilah “prusten” McDougal 1979.
Pada daerah tropis seperti Indonesia yang memiliki fluktuasi iklim yang sangat kecil, harimau memiliki masa kawin sepanjang tahun. Lama kehamilan
harimau sekitar 103 hari dengan rata-rata kelahiran 2 ekor anak setiap kelahiran Sherpa dan Makey, 1998. Anak yang dilahirkan akan terus berada dalam sarang
sampai kira-kira berumur 6 bulan, setelah itu akan mulai dibawa induknya untuk berburu mangsa. Saat berumur 18-28 bulan anak harimau akan disapih oleh
induknya, namun beberapa temuan menyebutkan terdapat harimau yang masih di bawah pengasuhan induknya sampai menemukan pasangan hidupnya Sherpa dan
Makey, 1998. Harimau betina akan mencapai masa dewasa kelamin saat berumur 3 tahun
sedangkan harimau jantan baru akan mencapainya saat berumur 4 tahun Sherpa Maskey 1998. Setelah mencapai masa dewasa kelamin harimau betina dapat
melahirkan anak setiap dua tahun sekali sampai harimau tersebut berumur 9-10 tahun. Selama hidupnya harimau betina memiliki rata-rata masa berkembang biak
6,1 tahun dengan umur rata-rata harimau antara 10-15 tahun Sherpa dan Makey, 1998.
7
2.1.4. Populasi dan Penyebaran
Harimau sumatera tersebar di seluruh Pulau Sumatera, terutama di kawasan hutan primer mulai dari Ekosistem Ulu Masen di utara Sumatera sampai Way
Kambas di selatan. Sampai tahun 1994 diperkirakan terdapat 400-500 ekor harimau sumatera yang tersebar pada kawasan hutan di Pulau Sumatera PHPA
1994. Distribusi harimau sumatera di kawasan konservasi di Pulau Sumatera tahun 1994 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkiraan populasi harimau sumatera di kawasan konservasi pulau Sumatera
Kawasan Konservasi Luas ha
Habitat Harimau
Tersedia ha Dugaan
Populasi ekor
Perkiraan Laju Hilangnya harimau
ekortahun TN Gunung Leuser
900.000 360.000
110 2-4
TN kerinci Seblat 1.500.000
600.000 76
6 TN Bukit Barisan Selatan 357.000
282.000 68
1 TN Berbak
163.000 114.000
50 2
TN Way Kambas 130.000
97.000 20
SM Kerumutan 120.000
78.000 30
2 SM Rimbang
136.000 122.000
42 2
Jumlah 3.306.000 1653.000
396 15-17
Sumber : PHPA 1994
2.1.5. Habitat
Habitat satwaliar merupakan suatu kesatuan komponen biotik dan abiotik pada suatu kawasan yang digunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak
oleh satwaliar Alikodra 2002. Harimau dapat hidup di berbagai habitat mulai dari hutan dataran rendah, hutan pegunungan, savana, hutan rawa, hutan pantai,
hinggga hutan cemara di Semananjung Kamchatka, Rusia. Habitat yang optimum untuk harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput
karena memiliki kepadatan populasi mangsa yang cukup tinggi seperti babi hutan, rusa dan kijang PHPA 1994, Siswomartono 1994. Selain ketersediaan satwa
mangsa, harimau sumatera juga memilih habitat yang memungkinkannya untuk bertemu dengan pasangannya McDougal 1979.
Harimau sumatera sangat menyukai habitat hutan bersungai, hutan rawa, dan padang rumput Santiapilai Ramono 1985. Kesukaan harimau pada habitat
hutan bersungai dan berawa tersebut karena harimau tidak menyukai cuaca panas dan umumnya mencari tempat yang teduh untuk beristirahat. Selain itu harimau
8 merupakan jenis kucing yang suka berenang Lekagul McNeely 1977. Di
Indonesia, variasi habitat harimau sumatera yang menjadi pilihan Suwelo Soemantri 1978 adalah:
a. Hutan hujan tropis, hutan primer, hutan sekunder pada dataran rendah sampai pegunungan tinggi, savana, hutan terbuka dan hutan pantai,
b. Pantai berlumpur, mangrove, rawa payau dan pantai air tawar, c. Padang rumput terutama padang alang-alang,
d. Daerah datar sepanjang aliran sungai, e. Daerah perkebunan dan tanah pertanian.
Selain daerah tersebut harimau juga dapat hidup pada tipe habitat hutan gambut Hasiholan 2005.
2.1.6. Wilayah Jelajah dan Teritori
Wilayah jelajah home range merupakan seluruh wilayah yang dijelajahi oleh harimau dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Harimau jantan memiliki
wilayah jelajah yang lebih luas dibanding dengan harimau betina, yakni harimau jantan mampu menjelajah tiga kali lebih jauh dibanding betina. Harimau jantan
mampu menjelajah antara 33-65 km, sedangkan jarak jelajah rata-rata harimau betina antara 10-33 km. Angka ini bersifat relatif karena daya jelajah harimau juga
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh hewan tersebut, tipe habitatnya dan ketersediaan kebutuhan hidupnya Smith 1993.
Teritori merupakan wilayah yang dipertahankan dengan aktif seperti tempat tidur dan tempat bersarang Delany 1982. Teritori harimau sangat bervariasi
tergantung pada kualitas habitat yang ditempatinya. Harimau yang tinggal di habitat baik dan mendukung memiliki wilayah teritori yang lebih sempit
dibanding dengan harimau yang tinggal di wilayah yang kurang mendukung Sherpa Maskey 1998.
Harimau melakukan penjagaan terhadap wilayah teritorinya dengan cara meninggalkan bau-bauan pada urine dan faeses serta penandaan berupa cakaran
pada lokasi tertentu yang mereka anggap strategis dan mampu menghidarkan dari gangguan harimau lainnya, terutama pejantan. Penandaan wilayah teritori oleh
harimau akan terus dilakukan berulang. Pengulangan akan meningkat
9 frekuensinya jika berada pada wilayah yang memiliki frekuensi kontak tinggi
dengan harimau lain. Penandaan teritori juga dilakukan harimau dengan meninggalkan bekas cakaran pada pohon-pohon besar Jackson 1990.
Harimau merupakan kucing besar yang memiliki teritori intraseksual, yakni harimau jantan memiliki teritori yang lebih luas dibanding dengan harimau betina.
Harimau jantan dalam satu habitat utama mampu mencakup beberapa teritori harimau betina hingga mencapai rasio 3:1 teritori 3 harimau betina dalam teritori
satu jantan Sherpa Maskey 1998. Harimau jantan memiliki luas teritori 50- 150 km
2
, sedangkan betina 15-150 km
2
McDougal 1979. Harimau jantan tiga kali lebih sering mengontrol teritorinya jika dibanding dengan harimau betina
Jackson 1990.
2.1.7. Satwa Mangsa
Kucing besar merupakan karnivora yang cenderung memangsa beberapa jenis mangsa dengan rata-rata 4 jenis satwa mangsa Kitchener 1991. Beberapa
jenis kucing besar merupakan karnivora yang oportunis dalam preferensi satwa mangsa yang dimakannya, dan ukuran maksimum mangsanya berhubungan
dengan ukuran tubuhnya. Jumlah pakan yang dimakan kucing besar kurang lebih seperlima dari massa tubuhnya Schaller 1967.
Harimau memangsa berbagai spesies hewan yang berhasil ditangkapnya termasuk burung, reptil, amfibi, ikan, bahkan invertebrata. Akan tetapi komposisi
jenis pakan terbesar yang dimangsa harimau adalah mamalia, khususnya hewan ungulata. Di Taman Nasional Gunung Leuser, satwa mangsa yang disukai
harimau adalah rusa sambar, babi hutan, muncak dan landak Griffith 1997. Harimau kadang-kadang memangsa kijang dan kambing hutan pada kawasan
dengan ketinggian lebih dari 600 m dpl Seidensticker et al. 1999.
2.1.8. Hubungan antara Satwa Mangsa dan Harimau
Kepadatan dan populasi harimau pada suatu habitat dipengaruhi oleh kualitas habitat dan ketersedian satwa mangsa. Kepadatan satwa mangsa
merupakan faktor signifikan yang menentukan ukuran teritori harimau betina serta
kepadatan populasi harimau secara keseluruhan Sherpa Maskey 1998.
10 Wilayah teritori harimau jantan selain tergantung oleh ketersediaan mangsa juga
ditentukan oleh keberadaan betina yang dikawininya Jackson 1990. Pakan utama harimau sumatera adalah dari keluarga Cervidae berukuran
besar dan Suidae seperti, rusa sambar Cervus unicolor dan babi hutan Sus scrofa
. Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga memangsa berbagai jenis mangsa alternatif lain, seperti kijang Muntiacus muntjac, kancil Tragulus sp,
beruk Macaca nemestrina, landak Hystrix brachyura, trenggiling Manis javanica
, beruang madu Helarctos malayanus dan kuau raja Argusianus argus Sihotang 2008.
Penyusutan populasi satwa mangsa akan mengakibatkan menurunya tingkat keberhasilan berburu seekor harimau, pembuangan energi yang lebih besar setiap
berburu serta semakin luasnya pergerakan harimau Sunquist 1981. Jenis mangsa kucing besar termasuk harimau di hutan tropis yang telah ada sangat sedikit
dikaji, bahkan preferensi pakan sangat jarang diketahui khususnya mangsa harimau sumatera Kitchener 1991.
Harimau dan satwa mangsa memiliki hubungan yang dinamis pada aktivitas memangsa dan dimangsa dalam rantai makanan di dalam ekosistem
hutan. Sebagian besar kebutuhan makan harimau sumatera diperoleh dari Cervidae berbadan besar. Harimau betina dewasa membutuhkan daging 1708 -
2562 kg per tahun untuk hidup. Hal ini berarti seekor harimau betina dapat
membunuh 122 - 183 ekor kijang setiap tahunnya. Seidensticker et al. 1999.
Berkurangnya jumlah satwa mangsa harimau merupakan faktor penting dalam menentukan kelangsungan hidup harimau. Namun demikian faktor ini
sering terabaikan oleh para ahli pelestarian hingga saat ini Karant Stith 1995. Hal ini disebabkan oleh efek pengurangan jumlah satwa mangsa hampir tidak
kentara, tidak seperti perburuan harimau dan musnahnya habitat yang dramatis. Tidak kentaranya pengaruh penurunan jumlah satwa mangsa terhadap populasi
harimau juga disebabkan oleh kurangnya survey satwa mangsa yang dilakukan secara berkala dan rutin Kitchener 1991.
11
2.2. Perangkap Kamera Camera Trap
Perangkap kamera merupakan suatu alat dan sistem untuk memantau satwaliar secara efektif dan efisisen dalam upaya mendukung usaha-usaha
konservasi terhadap satwaliar khususnya harimau sumatera Karant Nicolas 2001. Teknologi perangkap kamera telah banyak memberikan kemudahan dalam
pemantauan berbagai jenis satwaliar termasuk di Indonesia. Penggunaan perangkap kamera dalam pemantauan satwaliar di Indonesia pertama kali
digunakan oleh Grifft 1994 di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara. Pada awalnya perangkap kamera yang umum digunakan adalah perangkap
kamera konvensional kamera analog yaitu menggunakan film sebagai bahan untuk merekam gambar. Seiring perkembangannya perangkap kamera mulai
menggunakan tipe digital dengan menggunakan memori SD, CF dan Micro SD sebagai alat untuk merekam data. Kamera analog yang umum digunakan adalah
tipe DeerCam dan tipe Trail Master, sedangkan kamera digital yang digunakan diantaranya tipe Reconix dan DLC.
Dalam penggunaannya terdapat dua tipe sensor peangkap gambar yaitu sensor gerak dan sensor panas. Perangkap kamera Trail Master merupakan
perangkap kamera yang menggunakan sensor gerak sedangkan perangkap kamera tipe DeerCam, Reconix dan DLC merupakan perangkap kamera yang
menggunkan sensor panas. Perangkap kamera analog mampu merekam berbagai informasi satwaliar
dan lingkungannya. Informasi yang mampu direkam perangkap kamera konvensional diantaranya, jenis satwa, keadaan fisik satwa, pergerakan satwa,
waktu perjumpaan sebagai waktu aktivitas. Kamera digital selain mampu merekam data yang sama dengan perangkap konvensional juga mampu
menangkap beberapa data tambahan diantaranya suhu lokasi pemasangan, jarak perpindahan satwa pada sudut tangkap kamera. Hutchinson Waser 2007
menggunakan kamera Reconix untuk menghitung kecepatan berjalan satwa. Kecepatan berjalan satwa dihitung untuk menduga kepadatan populasi satwa
tersebut. Dalam pengunaannya perangkap kamera digital jauh lebih unggul
dibandingkan perangkap kamera konvensional. Keunggulan yang dimiliki kamera
12 digital diantaranya, mampu merekam informasi lebih banyak, mampu merekam
data foto lebih banyak, tahan terhadap perubahan cuaca yang ekstreem, hemat penggunaan baterei, dan memiliki casing yang kuat. Dalam pelaksanaan
perangkap kamera digital juga memeilki beberapa kelemahan diantaranya ukuran ynag besar an bobotnya yang berat bobot terpasang jenis Reconix ± 5kgunit,
rawan pencurian, gangguan satwaliar terutama gajah sumatera, mengambil gambar secara otomatis, dan ketergantungan terhadap cahaya matahari untuk
mendapatkan data foto yang akurat.
2.3. Sistem Informasi Geografis SIG 2.3.1. Definisi