Suku Suku Perburuan harimau

f. Suku

Proboscidae Gajah sumatera adalah jenis dari suku Proboscidae yang ditemukan di lokasi penelitian. Gajah seluruhnya ditemukan dalam gerombolan besar. Gajah sering tertangkap kamera hanya memperlihatkan bagian bawah tubuhnya seperti kaki dan belalai serta sebagian perut. Selain anakan jarang terdapat foto gajah yang terlihat utuh. Gajah ditemukan pada lima kamera di dua kelompok pemasangan perangkap kamera. pada kelompok pemasangan Blang Raweu gajah ditemukan pada kamera RC_02, RC_05 dan RC_07 sedangkan Pada Kelompok pemasangan Alu Ilei Gajah ditemukan pada kamera ZSL_02 dan ZSL_06. Selain itu pada Kamera RC_05 dan RC_07 gajah merupakan pelaku perusakan terhadap kamera tersebut. Gambar 16 menyajikan foto gajah yang berhasil tertangkap kamera Gambar 16 Gerombolan gajah sumatera.

g. Suku

Cercopithecidae Beruk tertangkap kamera hampir seluruhnya dalam keadaan berkelompok. Setiap kelompok biasanya terdiri dari 3 sampai 7 ekor individu. Beruk yang tertangkap kamera umumnya tidak sama seperti jenis rusa atau kijang yang berjalan di tanah karena banyak sekuen foto justru beruk yang tertangkap kamera sedang bermain di ranting pohon atau tiang-tiang pohon yang dekat dengan tanah. Gambar 17 menunjukan salah satu kelompok beruk yang tertangkap perangkap kamera. Gambar 17 Beruk yang tertangkap perangkap kamera.

h. Suku Hystercidae

Jenis satwa mangsa yang juga banyak ditemukan adalah dari marga Hystercidae yaitu landak Histric brachyura. Landak ditemukan pada 6 kamera pada 2 kelompok pemasangan.. Landak ditemukan pada kamera RC_02, RC_05, RC_09 dan RC_11 pada kelompok pemasangan Blang Raweu serta kamera IOZ_02 pada kelompok pemasangan Krueng Gooha. Berdasarkan data tersebut landak hanya ditemukan pada habitat hutan primer dan tidak ditemukan pada habitat padang rumput. Gambar 18 menunjukan salah satu landak yang berhasil tertangkap kamera. Gambar 18 Landak yang berhasil tertangkap perangkap kamera. i. Suku Viveridae Binturong, linsang dan musang merupakan jenis satwa dari suku viveridae yang berhasil tertangkap kamera. Binturong hanya ditemukan pada dua kamera yaitu kamera RC_05 dan ZSL_01. Linsang ditemukan sebanyak 4 sekuen independen pada empat kamera yaitu kamera RC_02, RC_09 dan IOZ_02. Jenis musang yang ditemukan adalah jenis Diplogae derbiyanus. Gambar 19 menunjukan gambar suku viveridae yang berhasil tertangkap perangkap kamera. a c b Gambar 19 Suku viveridae yang tertangkap perangkap kamera a Binturong, b Linsang dan c Musang. j. Suku Phasianidae Sempidan sumatera, sempidan aceh, kuau raja dan kuau kerdil sumatera merupakan jenis burung langka dari suku Phasianidae yang masih dietmukan pada Kawasan Ulu Masen. Sempidan sumatera ditemukan sebanyak 3 sekuen pada dua lokasi pemasangan kamera yaitu pada kamera RC_09 dan ZSL_01. Sempidan aceh ditemukan pada kamera RC_09 di kelompok pemasangan Blang Raweu dan serta kamera ZSL_03 dan ZSL_06 pada kelompok pemasngan Alu Ilei. Kuau raja hanya ditemukan pada kamera RC_06 pada kelompok pemasangan Alu Ilei dan Kamera DLC_07 pada kelompok pemasangan CRU Gumue. Kuau kerdil sumatera ditemukan pada kamera RC_06 dan RC_11 di kelompok pemasangan Blang Raweu. Sempidan sumatera dan sempidan Aceh hampir selalu ditemukan berpasangan sedangkan kuau raja dan kuau kerdil sumatera semuanya ditemukan sendiri. Gambar 20 menunjukan suku Phasianidae yang tertangkap perangkap kamera. a b Gambar 20 Suku phasianidae a Sempidan aceh, b Kuau kerdil sumatera, c d c Sempidan aceh dan d Kuau raja.

5.1.2. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya berdasarkan Survey

Lapangan

5.1.2.1. Keberadaan Harimau Sumatera

Identifikasi keberadaan harimau berdasarkan survey lapangan diketahui bahwa cukup mudah menemukan tanda-tanda keberadaan harimau seperti jejak telapak kaki dan kotoran. Bahkan beberapa kali terdengar suara auman harimau sumatera di sekitar Krueng Ble atau dekat dengan camp utama pemasangan perangkap kamera. Tabel 7 menyajikan jenis dan jumlah temuan keberadaan harimau. Tabel 7 Jenis dan jumlah tanda-tanda keberadaan harimau sumatera No Tanda keberadaan Jumlah tanda 1 Jejak telapak kaki 61 buah 2 Kotoran 22 buah 3 Cakaran 10 buah 4 Cover 2 buah 5 Sisa makanan 1 buah Berdasarkan hasil survey pada Tabel 7 ditemukan 5 jenis tanda keberadaan harimau. Dari 61 jejak telapak kaki harimau 59 jejak ditemukan pada jalur pemasangan kamera serta 2 jejak lainya pada badan air tepatnya aliran sungai pada bagian pinggir sungai yang berarus tenang. Sementara dari kotoran yang ditemukan diperoleh 18 kotoran yang ditemukan dalam keadaan utuh dan 4 kotoran yang sudah mulai rusak. Dari semua kororan utuh yang ditemukan seluruhnya merupakan kotoran yang mengindikasikan mangsa harimau tersebut adalah jenis ungulata kecuali satu kotoran yang menunjukan bahwa makanan harimau tersebut adalah jenis felidae. Mangsa jenis felidae ini terlihat dari adanya kuku jenis felidae pada kotoran harimau tersebut. Cakaran yang ditemukan dapat dibedakan menjadi 3 tipe yaitu cakaran pada tanah 4 buah, cakaran pada pohon 2 buah dan cakaran bekas tempat duduk harimau 4 buah. Cakaran bekas tempat duduk deketahui berdasarkan tanda kotoran atau urine pada salah satu ujung bekas cakaran tersebut. Selain itu juga ditemukan cover berupa batu besar yang memiliki rongga dibagian bawahnya serta sisa makanan harimau berupa tulang-belulang rusa. Gambar 21 menyajikan foto beberapa temuan keberadaan harimau. a b c Gambar 21 Tanda keberadaan harimau a Jejak kaki, b Cakaran di pohon dan c kotoran.

5.1.2.2. Keberadaan Mangsa Harimau Sumatera

Keberadaan satwa mangsa harimau sumatera selain menggunkan perangkap kamera juga dapat diidentifikasi menggunkan survey langsung dilapangan. Survey lapangan dilakukan selama perjalanan pergi dan pulang pemasangan perangkap kamera dengan mencatat setiap perjumpaan langsung dan tanda-tanda yang menunjukan keberadaan suatu jenis satwa mangsa harimau sumatera. Tanda-tanda keberadaan satwa mangsa harimau sumatera dapat berupa jejak, kotoran, sisabekas makanan, kubangan, tempat makan dan minum serta melalui suaranya. Beberapa jenis satwa yang sering dijumpai langsung seperti rusa, kijang, monyet ekor panjang, kedih, siamang, sempidan sumatera, berbagai jenis rangkong, dan beberapa jenis ayam hutan. Sebagian besar satwa yang ditemukan secara langsung berada pada jalur survey perangkap kamera kecuali pada kawasan padang rumput Blang Raweu lokasi dimana ditemukannya rusa, gajah dan berbagai rangkong secara langsung. Pada padang rumput Blang Raweu satwa jenis gajah dan rusa sambar cukup mudah dikenali dari jarak jauh. Pada padang rumput Blang Raweu satwa dapat terlihat dari jarak dekat maupun pada jarak beberapa kilometer. Perjumpaan langsung dengan satwa mangsa sebisa mungkin diusahakan untuk mendapatkan dokumentasi terhadap satwa tersebut serta dilakukan pencatatan koordinat perjumpaan satwa menggunakan GPS. Perjumpaan satwa yang terlalu jauh jaraknya dari titik pengamatan tidak diulakukan pencatatan. Beberapa foto hasil perjumpaan langsung dengan satwa mangsa harimau sumatera dapat dilihat pada Gambar 22. a b c Gambar 22 Satwa yang dijumpai langsung a Sempidan Sumatera, b Rusa sambar, c Gajah sumatera, d Beruk, e Kedih dan f Siamang. d e f Selain perjumpaan langsung juga di identifikasi keberadaan satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan jejak yang ditinggalkan diantaranya rusa, kijang, beruang, kuau raja dan sempidan sumatera. Rusa dan kijang biasanya meninggalkan jejak berupa jejak kaki, kotoran dan bekas rumput yang dimakan. Beruang biasanya meninggalkan jejak berupa bekas cakaran di pohon serta kotoran. Sempidan sumatera dan kuau raja memiliki jejak yang khas yaitu lantai hutan yang seolah-olah disapu yang merukan bekas garukan kakinya pada tanah atau dalam bahasa lokal disebut “gelanggang burak”. Selain jejak dan perjumpaan langsung juga ditemukan pusat-pusat aktivitas satwa mangsa seperti tempat berkubang dan salt lick atau tempat satwa mengambil garam mineral senong. Terdapat 2 buah salt lick yang ditemukan dan berada tidak jauh dari sungai. Salt llick tersebut secra berkala akan dikunjungi oleh satwaliar terutama jenis rusa sambar dan gajah sumatera untuk memperoleh garam mineral yang mereka butuhkan. Perbedaan antara salt lick dan kubangan dapat dilihat pada Gambar 23. a b Gambar 23 a Salt lick dan b Kubangan.

5.1.3. Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera dan Mangsanya

5.1.3.1. Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera

Hasil perhitungan tingkat perjumpaan harimau berdasarkan foto perangkap kamera n=6 adalah 0.93 foto100 hari. Tingkat perjumpaan harimau untuk setiap kamera berkisar dari 0-7.85 foto100 hari. Tingkat perjumpaan harimau tertinggi terdapat pada kamera RC_02 dengan nilai 7.85 foto100 hari, diikuti kamera RC_03, RC_07 dan RC_11 masing masing dengan nilai 3.21 foto100hari, 6.41 foto100hari dan 2.83 foto100hari. Sedangkan kamera lainya memiliki nilai tingkat perjumpaan 0 atau tidak memiliki perjumpaan harimau sumatera. Perangkap kamera yang berhasil mendapatkan gambar harimau sumatera berada pada kawasan padang rumput dan punggungan bukit pada hutan primer. Gambar 24 menyajikan peta tingkat perjumpaan harimau yang dilakukan proses interpolasi menggunakan program Arc GIS 9.3 terhadap titik-titik pemasangan perangkap kamera. Gambar 24 Peta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera.

5.1.3.2. Tingkat Perjumpaan Satwa Mangsa

Tingkat perjumpaan satwa mangsa 296 foto independen adalah 67.72 foto100 hari. ER mangsa setiap jenis berkisar antara 0.31 foto100 hari sampai 13.58 foto100 hari. Berdasarkan jenis satwanya kijang dan rusa memiliki nilai tingkat perjumpaan yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan jenis lainnya masing-masing dengan nilai 13.58 foto100 hari dan 11.26 foto100 hari. Tingkat perjumpaan terendah adalah dengan nilai 0.31 foto100 hari yang dimiliki jenis kucing hutan. satwa mangsa lain yang juga memiliki nilai yang tinggi adalah beruk dengan nilai 6.17 foto100 hari dan landak dengan nilai 2.47 foto100 hari dan gajah sumatera dengan nilai 2.31 foto100 hari. Gambar 25 menyajikan grafik tingkat perjumpaan satwa mangsa berdasarkan jenis satwanya. Gambar 25 Grafik tingkat perjumpaan satwa mangsa berdasarkan jenis satwanya. Berdasarkan kamera, tingkat perjumpaan mangsa berkisar antara 0 sampai 199 foto100 hari dengan rata-rata setiap kameranya 67.72 foto100 hari. Tingkat perjumpaan satwa tertinggi berada pada kamera RC_07 dengan nilai 199 foto100 hari dan tingkat perjumpaan terkecil berada pada kamera RC_03 dengan nilai 0. Nilai tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau sumatera kemudian dilakukan proses interpolasi terhadap titik pemasangan perangkap kamera menggunakan program Arc GIS 9.3. Berdasarkan interpolasi yang dilakukan dapat diketahui lokasi-lokasi perjumpaan yang rendah sampai daerah dengan tingkat perjumpaan tinggi. Gambar 26 menunjukan interpolasi tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau sumatera. G ambar 26 Peta interpolasi tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau sumatera.

5.1.3.3. Hubungan Tingkat Perjumpaan Harimau dan Mangsanya

Untuk mengetahui hubungan tingkat perjumpaan harimau sumatera dengan satwa mangsanya maka terlebih dahulu dilakukan overlay nilai tingkat perjumpaan harimau sumatrea dengan nilai tingkat perjumpaan mangsanya. Gambar 27 menyajikan overlay nilai tingkat perjumpaan harimau dan mangsa dalam bentuk grafik. Gambar 27 Grafik overlay tingkat perjumpaan harimau dan satwa mangsa. Pada kamera RC_02 dan RC_07 nilai tingkat perjumpaan harimau masing- masing 7.85 foto100 hari dan 6.41 foto100 hari diikuti dengan tingginya nilai perjumpaan satwa mangsa masing-masing dengan nilai 70.7 foto100 hari dan 199 foto100 hari. Meskipun demikian bukan berarti tingginya nilai pejumpaan mangsa diikuti dengan tingginya perjumpaan harimau namun tingkat perjumpaan harimau dipengaruhi tingkat perjumpaan mangsa karena di sisa kamera lainnya tingginya tingkat perjumpaan mangsa tidak diikuti dengan perjumpaan harimau. Berdasarkan interpolasi nilai tingkat perjumpaan harimau sumatera dan interpolasi nilai tingkat perjumpaan mangsanya dapat dilakukan overlay untuk mendapatkan gambaran hubungan tingkat perjumpaan harimau dan mangsanya. Gambar 28 menyajikan peta overlay interpolasi tingkat perjumpaan harimau dan satwa mangsa. Gambar 27 Peta overlay interpolasi tingkat perjumpaan harimau dan mangsa. Pada peta terlihat nilai tingkat perjumpaan satwa mangsa yang tinggi pada kamera RC_02 dan RC_07 tumpang tindih dengan tingkat perjumpann harimau yang juga tinggi pada kamera tersebut. Namun demikian tumpang tindih ini hanya terjadi pada kamera tersebut dan tidak terjadi pada kamera lainya. Untuk membuktikan hubungan antara tingkat perjumpaan satwa mangsa dan harimau dilakuan uji regresi logistik menggunakan program SPSS 19.0. Hasil uji regresi logistik dengan n=20 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil uji regresi logistik tingkat perjumpaan harimau sumatera dan satwa mangsa 95 Confidence Interval for ExpB ER_Harimau B Std. Error Wald df Sig. ExpB Lower Bound Upper Bound Intercept 0.198 3.243 0.004 1 0.951 ER_Mangsa 0.016 0.056 0.082 1 0.775 1.016 0.911 1.133 a. The reference category is: 2.47. Hasil uji regresi logistik tingkat perjumpaan harimau dan mangsa pada Tabel 8 menunjukan kesimpulan yang sama yaitu tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat perjumpaan harimau dengan tingkat perjumpaan mangsanya atau sebaliknya. Dengan nilai signifikan P Sig. 0.775 menunjukan tidak adanya hubungan siknifikan antara tingkat perjumpaan harimau dan mangsa karena jika nilai signifikan P 0.05 maka menunjukan hubungan yang tidak signifikan antara dua variabel yang dihubungkan. Artinya tingkat perjumpaan harimau sumatera tidak dipengaruhi oleh tingkat perjumpaan satwa mangsanya demikian juga sebalikanya.

5.1.4. Pola Aktivitas Harian Harimau dan Mangsanya

Secara umum pola aktivitas harian satwaliar dikelompokan pada tiga tipe yaitu diurnal, nocturnal dan crespuscular. Diurnal merupakan aktivitas satwaliar yang sangat dominan pada siang hari, nocturnal merupakan pola aktivitas satwaliar yang dominan pada malam hari. Sedangkan crespuscular merupakan pola aktivitas satwaliar yang aktif pada waktu-waktu peralihan menjelang pagi, awal pagi, menjelang malam dan awal malam. Pola aktivitas harian satwa liar dapat dianalisis berdasarkan rekaman waktu perjumpaan pada foto yang tertangkap perangkap kamera. Menurut Laidlaw dan Noordin 1999 minimum dibutuhkan lebih dari lima buah foto satwaliar yang tertangkap perangkap kamera yang dapat dijadikan acuan untuk analisis pola aktivitas harian satu jenis satwaliar. Berdasarkan acuan tersebut harimau sumatera dan 17 jenis satwa mangsanya dapat dianalisis pola aktivitas hariannya. Jenis satwa mangsa harimau yang dapat dihitung pola aktivitas hariannya diantaranya adalah kucing emas, beruang madu, gajah sumatera rusa sambar, kijang, napu, babi, musang, beruk dan landak.

5.1.4.1. Pola Aktivitas Harian Harimau Sumatera

Harimau dalam aktivitas hariannya merupakan satwa yang sangat aktif. Pola aktivitas harian harimau sumatera dianalisis berdasarkan catatan waktu pada foto hasil perangkap kamera Pie 1995. Terdapat 14 sekuen foto yang digunakan sebagai data untuk analisis pola aktivitas harian harimau sumatera. Berdasarkan catatan waktu foto perangkap kamera diketahui 42.68 aktivitas harimau pada siang hari dan 57.14 aktif pada malam hari. Untuk mendapatkan pola yang lebih akurat aktivitas harian harimau dikelompokan berdasarkan selang waktu setiap satu jam. Gambar 29 menyajikan grafik aktivitas harian harimau sumatera dalam 24 jam. Gambar 29 Grafik pola waktu aktivitas harian harimau sumatera. Berdasarkan grafik di atas terlihat peningkatan aktivitas harimau sumatera pada selang waktu menjelang subuh, di awal pagi, menjelang siang dan di awal malam. Pada pagi hari terlihat dalam selang waktu 06.01-07.00 WIB dan selang 07.01- 08.00 WIB yang merupakan awal pagi pada lokasi penelitian serta pada senja hari 07.01-08.00 harimau sangat aktif bergerak menunjukan pada kawasan penelitian harimau digolongkan kedalam pola crespuscular.

5.1.4.2. Pola Aktivitas Harian Mangsa

Dari 28 jenis satwa yang tertangkap perangkap perangkap kamera hanya 17 jenis satwa yang dapat dianalisis pola aktivitas hariannya. Secara umum setiap satwa aktif pada waktu yang berbeda dengan satwa lainnya dan memiliki pola aktivitas harian yang dominan di siang hari atau dominan di malam hari. Gambar 30 grafik cicardian pola aktivitas harian mangsa hariamu sumatera. Gambar 30 Pola aktivitas cicardian mangsa harimau sumtera. Untuk mendapatkan hasil pola aktivitas mangsa yang lebih akurat maka dilakukan pengelompokan pola aktivitas mangsa harimau berdasarkan selang waktu setiap satu jam dalam 24 jam. Pengelompokan berdasarkan selang waktu diperoleh berdasarkan data rekaman waktu penangkapan foto mangsa harimau oleh perangkap kamera. Gambar 31 menyajikan grafik pola aktivitas harian mangsa harimau sumatera setiap jenisnya. Gambar 31 Grafik pola aktivitas harian satwa mangsa. Berdasarkan grafik di atas mangsa utama harimau seperti rusa sambar, kijang dan babi jenggot memiliki pola yang berbeda dan persamaan pada selang waktu tertentu. Rusa sambar sangat tinggi aktivitasnya pada malam hari mulai dari jam 21.01 sampai jam 02.00 dan kembali meningkat pada jam 4.01 sampai jam 6.00 sehingga rusa digolongkan pada satwa nokturnal. Berbeda dengan rusa kijang justru lebih tinggi aktivitasnya di pagi hari jam 07.00 sampai 10.00 dan di awal malam jam 18.00-12.00 sehingga digolongkan pada satwa crespuscular. Sedangkan babi jenggot lebih cenderung aktif siang hari diurnal yang terlihat dari tingginya aktivitas babi jenggot pada jam 7.00 sampai jam 10.00 WIB. Untuk jenis mangsa lainnya yang merupakan mangsa pilihan harimau memiliki pola yang bervariasi juga. Jenis mangsa dari suku felidae, viveridae, dan landak lebih cenderung disebut sebagi satwa nokturnal sedangkan jenis dari suku phasianidae cenderung merupakan satwa diurnal. Secara umum keseluruhan satwa mangsa harimau aktif sepanjang waktu sesuai dengan jenisnya.

5.1.4.3. Hubungan Pola Aktivitas Harian Harimau dan Mangsanya

Hubungan pola aktivitas harimau dan mangsa dilakukan dengan cara melakukan overlay antara grafik pola aktivitas harimau dengan grafik pola aktivitas keseluruhan satwa mangsa. Analisis hubungan pola aktivitas harimau dan satwa mangsanya didasarkan pada harimau sebagi pemangsa dan satwa mngsa sebagai yang dimangsa. Overlay grafik pola aktivitas harian harimau sumatera dan pola aktivitas harian satwa mngsa disajikan pada Gambar 32. Gambar 32 Grafik hubungan pola ativitas harimau sumatera dan mangsa. Dari hasil overlay di atas dapat dilihat kesamaan pola aktivitas harian harimau sumatera dan satwa mangsa. Peningkatan pola aktivitas satwa mangsa pada waktu tertentu diikuti dengan peningkatan pola aktivitas harian harimau sumatera. Dengan demikian asumsi kecenderungan harimau sumatera aktif mengikuti pola pergerakan mangsanya terpenuhi. Harimau sumatera aktif untuk mengejar mangsanya sedangkan mangsa aktif untuk menghindari harimau. Dapat disimpulakan pola aktivitas harian harimau sumatera mengikuti pola aktivitas harian mangsanya.

5.1.5. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya

5.1.5.1. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Tipe

Tutupan lahan Berdasarkan tipe tutupan lahannya lokasi hutan Blang Raweu dan sekitarnya memiliki enam tipe tutupan lahan yaitu hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, ladang, sawah, badan air dan lahan terbuka. Berdasarkan lokasi pemasangan perangkap kamera dan temuan keberadaan harimau dan mangsanya kawasan penelitian memiliki tiga tipe tutupan lahan yaitu hutan primer, hutan sekunder dan padang rumput. Secara keseluruhan ditemukan 101 keberadaan harimau dan 55 tanda keberadaan mangsa. Tabel 9 menyajikan distribusi keberadaan harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan tipe tutupan lahan. Tabel 9 Distribusi keberadaan dan tingkat perjumpaan harimau dan mangsanya berdasarkan tipe tutupan lahan Harimau Mangsa Peta tematik HK CK TK KT JK ER SL K PL ER Hutan Primer 2 7 33 16 2 0.67 1 4 29 63.44 Hutan Sekunder 1 1 4 6 71.47 Padang Rumput 2 2 27 2 2 4.81 1 3 11 99.29 Jumlah 4 10 61 22 4 2 7 46 Ket : TK : Tapak kaki CK : Cakaran KT : Kotoran HK : Harimau di kamera JK : Jejak lainnya SL : Salt lick K : Kubangan PL : Perjumpaan langsung Berdasarkan Tabel 9 distribusi harimau dan mangsanya bervariasi di setiap tipe tutupan lahannya. berdasarkan titik perjumpaannnya distribusi keberadaan harimau tertinggi terdapat pada tipe hutan primer dengan total 60 temuan dan terendah pada tipe hutan sekunder dengan 6 temuan. Berbeda dengan tanda keberadaan harimau, tingkat perjumpaan harimau justru menunjukan sebaliknya. Tingkat perjumpaan tertinggi terjadi pada tipe padang rumput dengan 4.81 foto100 hari dan terendah pada hutan sekunder dengan 0 foto100 hari. Mangsa harimau juga menunjukan hal yang sama dengan harimau dimana temuan tertinggi terjadi pada hutan primer dengan 34 temuan dan terendah pada hutan sekunder dengan 6 temuan. Tingkat perjumpaan mangsa tertinggi justru ditemukan pada padang rumput dengan 99.29 foto100 hari yang didominasi jenis rusa dan gajah sumatera sedangkan paling rendah pada hutan sekunder yang didominasi oleh babi jenggot, kancil dan beruk. Gambar 33 menyajikan peta distribusi keberadaan serta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan tipe tutupan lahan kawasan penelitian. Gambar 33 Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan tutupan lahan

5.1.5.2. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Tipe

Hutan Menurut Ketinggian Menurut ketinggiannya kawasan Blang Raweu dibedakan menjadi 3 tipe hutan tropis yaitu hutan tropis dataran rendah 0-800 mdpl, hutan tropis pegunungan 800-1500 mdpl dan hutan tropis pegunungan tinggi 1500 mdpl. Tabel 10 menyajikan distribusi harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan tipe hutan menurut ketinggiannya. Tabel 10 Distribusi keberadaan harimau dan mangsa berdasarkan tipe hutan menurut ketinggian Harimau Mangsa Tiepe tutupan lahan HK CK TK KT JK ER SL K PL ER Hutan Dataran Rendah 3 65.32 Hutan perbukitan 4 7 55 19 4 1.35 2 8 40 68.81 Hutan Pegunungan 3 6 3 3 89.81 Jumlah 4 10 61 22 4 2 8 46 Ket : TK : Tapak kaki CK : Cakaran KT : Kotoran HK : Harimau di kamera JK : Jejak lainnya SL : Salt lick K : Kubangan PL : Perjumpaan langsung Berdasarkan perjumpaan tanda keberadaannya hutan pegunungan merupakan tipe hutan yang paling tinggi ditemukan keberadaan harimau dan mangsanya masing-masing 89 dan 50 tanda keberadaan. Hutan dataran rendah memiliki perjumpaan paling sedikit baik harimau maupun mangsanya masing masing 0 dan 3 tanda keberadaan. Berdasarkan tingkat perjumpaannya, harimau sumatera hanya ditemukan pada hutan pegunungan dengan tingkat perjumpaan 1.35 foto100 hari sedangkan mangsa harimau sumatera tertinggi perjumpaanya pada hutan pegunungan tinggi dengan 89.81 foto100 hari dan tingkat perjumpaan terendah 65.32 foto100 hari pada hutan dataran rendah. Gambar 34 menyajikan peta distribusi keberadaan serta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan tipe hutan menurut ketinggiannya. Gambar 34 Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan tipe hutan menurut ketinggiannya.

5.1.5.3. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Tingkat

Kemiringan Lahan Berdasarkan tingkat kemiringannya wilayah penelitian dibagi menjadi lima kelas kemiringan lahan yaitu datar, landai, sedang, curam dan sangat curam. Kawasan yang masuk dalam sampling area penelitian hanya memiliki empat kelas kemiringan lahan yaitu kelas datar, landai, sedang, dan curam. Tabel 11 menyajikan keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan kelas kemiringan lahan. Tabel 11 Distribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan kemiringan Harimau Mangsa Kemiringan lahan HK CK TK KT JK ER SL K PL ER Datar 0 2 18 8 1 4 12 86.73 Landai 1 3 3 5 0.64 12 80.27 Sedang 2 3 10 5 2 1.31 1 4 8 50.58 Curam 1 2 30 4 2 1.51 14 55.54 Jumlah 4 10 61 22 4 2 8 46 Ket : TK : Tapak kaki CK : Cakaran KT : Kotoran HK : Harimau di kamera JK : Jejak lainnya SL : Salt lick K : Kubangan PL : Perjumpaan langsung Berdasarkan temuan tanda keberadaannya harimau sumatera tersebar merata berdasarkan kemiringan lahan lokasi penelitian. Distribusi tanda keberadan harimau paling banyak dijumpai pada kelas kemiringan curam dengan 26 tanda dan paling rendah pada kelas kemiringan landai dengan 12 tanda keberadaan. Berdasarkan tingkat perjumpaannya, harimau paling sering dijumpai pada kelas kemiringan sedang dengan 1.51 foto100 hari dan paling rendah pada kelas kemiringan datar dengan 0 foto100 hari. Secara umum berdasarkan tingkat perjumpaannya harimau sumatera tersebar cukup merata berdasarkan kelas kemiringan lahan kawasan penelitian. Untuk mangsa harimau berdasarkan tanda-tanda keberadaan yang ditemukan menunjukan distribusi keberadaan mangsa tertinggi terdapat pada kelas kemiringan datar dengan 17 tanda dan terendah pada kelas kemiringan sedang dengan 13 tanda. Berdasarkan tingkat perjumpaannya mangsa tertinggi diperoleh tingkat perjumpaannya pada kelas kemiringan datar dengan 86.73 foto100 hari dan terendah pada kelas kemiringan sedang dengan 50.58 foto100 hari. Secara umum distribusi mangsa harimau tersebar merata berdasarkan kelas kemiringannya jika dilihat dari distribusi tingkat perjumpaan mangsa harimau tersebut berdasarkan kelas kelerengannya. Gambar 35 menyajikan peta distribusi keberadaan serta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan kelas kemiringan lahan. Gambar 35 Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan kelas kemiringan.

5.1.5.4. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Letak

Padang Rumput Padang rumput Blang Raweu seluas 9008.37 ha diduga memiliki pengaruh terhadap distribusi harimau dan mangsanya. Berdasarkan letak padang rumput dari temuan dan lokasi pemasangan kamera maka kawasan penelitian dibagi pada jarak setiap 5 km dari padang rumput sehingga didapat 6 kriteria jarak dari padang rumput tersebut. Keberadaan harimau dan mangsa terhadap padang rumput disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Distribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan letak padang rumput Jarak dari Harimau Mangsa Padang rumput HK CK TK KT JK ER SN PK PL ER 0 km 2 2 33 2 2 4.81 1 3 10 99.29 0-5 km 2 2 15 10 2 1.52 1 12 72.32 5-10 km 3 10 4 1 1 18 66.13 10-15 km 3 3 4 6 51.02 15-20 km 20 km Jumlah 4 10 61 20 4 2 5 46 Ket : TK : Tapak kaki CK : Cakaran KT : Kotoran HK : Harimau di kamera JK : Jejak lainnya SL : Salt lick K : Kubangan PL : Perjumpaan langsung Secara umum berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa semakin mendekati padang rumput tanda keberadaan serta tingkat perjumpaan harimau dan mangsanya semakin tinggi nilainya. Pada kawasan padang rumput total ditemukan 41 tanda keberadaan harimau dengan tingkat perjumpaan pada perangkap kamera mencapai 4.81 foto100 hari, sedangkan mangsa total ditemukan 14 tanda keberadaan dengan tingkat perjumpaan berdasarkan perangkap kamera 99.29 foto100 hari. Semakin menjauhi padang rumput,tingkat perjumpaan harimau mapun mangsanya akan mengalami penurunan. Gambar 36 menyajikan peta distribusi keberadaan serta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan letak padang rumput. Gambar 36 Peta distribusi harimau berdasarkan letak padang rumput. 5.1.5.5. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Letak Sungai Berdasarkan letak sungai temuan keberadaan harimau dan mangsanya dibedakan pada jarak dengan selang setiap 500 meter dari sungai. Berdasarkan selang tersebut diperoleh 5 selang jarak dari sungai. Disribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan letak dari sungai dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Distribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan letak sungai Harimau Mangsa Jarak dari sungai HK CK TK KT JK ER SL PK PL ER 0 - 500 meter 2 5 40 4 2 0.77 2 5 20 81.56 500 - 1000 meter 2 4 17 13 2 2.21 3 17 47.55 1000 - 1500 meter 1 4 3 4 1500 - 2000 meter 2 3 76.73 2000 meter 2 Jumlah 4 10 61 22 4 2 8 46 Ket : TK : Tapak kaki CK : Cakaran KT : Kotoran HK : Harimau di kamera JK : Jejak lainnya SL : Salt lick K : Kubangan PL : Perjumpaan langsung Berdasarkan Tabel 13, diketahui bahwa jarak 0 sampai 1 km merupakan lokasi yang paling tinggi tingkat perjumpaan dan jumlah tanda keberadaan harimau dan mangsanya yang ditemukan. Dari 101 tanda keberadaan harimau yang ditemukan 89 tanda diantaranya ditemukan jarak tersebut. Demikian juga halnya dengan mangsa harimau dari 55 tanda yang ditemukan 47 tanda diantaranya ditemukan pada jarak 0 sampai 1 km dari sungai. Semakin menjauhi sungai menunjukan semakin berkurangnya tanda keberadaan harimau dan mangsanya yang dapat ditemukan. Ditinjau dari tingkat perjumpaan harimau dan mangsa diketahui bahwa distribusi tingkat perjumpaan harimau tertinggi terletak pada jarak 0.5-1 km dari sungai dengan nilai 2.21 foto100 hari dan tingkat perjumpaan harimau pada jarak lebih dari 1 km adalah 0 foto100 hari. Tingkat perjumpaan mangsa cukup bervariasi dimana tingkat perjumpaan tertinggi terletak pada jarak kurang dari 0.5 km dari sungai namun tingkat perjumpaan mangsa juga memiliki nilai yang relatif tinggi pada jarak 1.5-2 km dari sungai. Berdasarkan Tabel juga diketahui bahwa salt lick yang merupakan tujuan berbagai jenis satwa untuk mendapatkan garam juga berada pada jarak 0-0.5 km dari sungai. Gambar 37 menyajikan peta distribusi keberadaan serta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan letak sungai. Gambar 37 Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan letak dari sungai.

5.1.5.6. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Letak

Pemukiman dan Aktivitas Manusia Keberadaan manusia dan aktivitas yang dilakukannya sering merupakan bentuk gangguan terhadap kawasan tersebut. Keberadaan harimau dan satwa mangsanya dikelompokan pada jarak selang 5 km dari pemukiman. Keberadaan harimau dan mangsa berdasarkan letak pemukiman dan aktivitas manusia disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan jarak dari pemukiman dan terhadap gangguan Peta tematik Harimau Mangsa HK CK TK KT JK ER SN PK PL ER 0 - 5 KM 3 45.55 5 - 10 KM 2 7 4 1 3 12 72.47 10 - 15 KM 4 8 6 1 11 71.7 15-20 KM 4 4 41 10 4 2.90 1 4 17 74.73 20 KM 5 2 0 59.89 Jumlah 4 10 61 22 4 2 8 43 Ket : TK : Tapak kaki CK : Cakaran KT : Kotoran HK : Harimau di kamera JK : Jejak lainnya SL : Salt lick K : Kubangan PL : Perjumpaan langsung Secara umum aktivitas manusia dan gangguan terhadap kawasan terjadi hampir disepanjang jalur pemasangan perangkap kamera dengan temuan fakta lapangan berupa sisa-sisa camp bekas pencari rusa dan alin. Aktivitas manusia paling banyak terjadi pada selang jarak 5-10 kmdari pemukiman dan pada selang jarak 15-20 km dari pemukiman. Tempat ditemukannya sisa camp aktivitas perburuan selalu berada dekat dengan pusat keberadaan mangsa dan jerat yang ditemukan berada pada jalur utama pergerakan satwa. Distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan aktivitas manusia dan letak pemukiman disajikan pada Gambar 38. Gambar 38 Peta distribusi harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan aktivitas manusia dan letak terhadap pemukiman.

5.1.6. Populasi Harimau Sumatera dan Mangsanya

5.1.6.1. Populasi Harimau Sumatera

Populasi harimau dapat diduga melalui analisis terhadap foto-foto harimau yang diperoleh melalui perangkap kamera. Jumlah individu teridentifikasi yang diperoleh merupakan populasi minimum harimau pada kawasan tersebut. Selain itu berdasarkan perjumpaannya dengan menggunakan proggram CAPTURE juga dapat dihitung dugaan populasi absolutnya. Rekapitulasi harimau tertangkap perangkap kamera disajikan pada Tebel 15. Tabel 15 Individu harimau sumatera tertangkap kamera Individu Jenis kelamin Perkiraan umur Lokasi temuan Agam Jantan dewasa RC 02 Krueng Pisang Ineung 1 Betina dewasa RC 02 Krueng Pisang Ineung 2 Betina dewasa RC 07 Senong ba’kiet, krueng ble Ineung 3 Betina dewasa RC 03 Alu Ikuloe Idaek Ineung 4 Betina dewasa RC 11 Puncak Alu Gajah Indram Total keseluruhan foto harimau yang tertangkap perangkap kamera adalah 14 sekuen foto. Dari 14 sekuen foto tersebut dinyatakan terdapat 6 sekuen foto independen dan dinyatakan terdapat 5 individu hariamau. Berdasarkan sekuen foto yang berhasil teridentifikasi dapat dinyatakan bahwa populasi minimum harimau sumatera pada kawsan penelitian adalah 5 ekor. Keseluruhan harimau yang terfoto hidup secara soliter dimana tidak diperoleh foto individu yang berpasangan atau dengan anaknya. Dari lima individu tersebut empat individu dinyatakan sebagai individu betina dewasa dan satu individu merupakan individu jantan dewasa. Pada hasil perangkap kamera tidak ditemukan individu berusia anakan atau remaja. Dengan demikian dari foto harimau yang berhasil diidentifikasi tersebut diketahui bahwa perbandingan sex ratio harimau antara jantan dan betina pada kawasan ini adalah 1:4 dengan struktur umur 100 dewasa. Selain itu juga terdapat satu sekuen foto yang tidak bisa diidentifikasi apakah merupkan recapture dari individu yang ada atau sebagai individu baru, karena foto yang terakam tidak dapat dijadikan acuan untuk menunjukan perbedaan atau persamaan dngan individu yang telah terlebih dahulu di identifikasi. Foto ini diperoleh karena harimau tersebut bergerak terlalu dekat dengan posisi lensa kamera sehingga sulit dilakukan identifikasi pada harimau tersebut. Harimau yang berhasil diidentifikasi diberi nama sebagai pengenal dan mempermudah dalam penyebutan harimau sumetera tersebut Lima individu yang berhasil tertangkap kamera tersebut dapat dilihat pada Gambar 39. a b c d e Gambar 39. Harimau tertangkap kamera a Agam b Ineung 1 c Ineung 2 d Ineung 3 e Ineung 4. Untuk mendapatkan dugaan kepadatan harimau pada keseluruhan kawasan maka dilakukan analisis foto independen perangkap kamera menggunakan program CAPTURE. Hasil analisis data menggunakan program tersebut disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Populasi harimau sumatera berdasarkan Analisi CAPTURE Item Nilai Efektif Traping kamera 192.67 km 2 Tes Closure 0.17 Kriteria seleksi M h Jumlah individu 5 Rata-rata P -hat 0.17 Peluang Capture M t+1N 0.75 Populasi N dan Standar Error 6 2.45 Populasi CI 95 4 -15 Nilai p dari hasil analisis CAPTURE adalah asumsi populasi tertutup closed population pada lokasi penelitian dapat diterima, hal ini mengacu pada penelitian Karant 1995 yang mengungkapkan jika nilai P0,005 maka asumsi populasi tertutup dapat diterima. Asumsi populasi tertutup adalah selama periode pemasangan perangkap kamera tidak ada penambahan dan atau pengurangan populasi baik melaui kelahiran, kematian atupun migrasi.

5.1.6.2. Populasi Mangsa

Terdapat dua jenis satwa mangsa harimau yang dapat dihitung populasinya yaitu rusa sambar dan kijang. Parameter yang dapat diketahui berdasarkan perangkap kamera adalah kepadatan dan sex rasio. Rekapitulasi dugaan kepadatan populasi rusa dan kijang disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Kepadatan rusa sambar dan kijang Kepadatan ekor 100 Km 2 Jenis satwa Blang Raweu Krueng Gooha Rata-rata Sex Rasio Rusa sambar 56.09 56 39.39 39 58.96 59 1:5.11 1:5 Kijang 31.33 31 37.34 37 74.57 75 1:1.11 1:1 Nilai rata merupakan rataan dari keseluruhan pemasangan kamera bukan rataan dari dua lokasi tersebut. Dari empat kelompok pemasangan perangkap kamera, rusa dan kijang hanya dapat dihitung dugaan kepadatan populasinya pada dua kelompok pemasangan yaitu kelompok pemasangan Blang Raweu dan kelompok pemasangan Krueng Gooha. Meskipun perhitungan kepadatan keseluruhan menunjukan kepadatan rusa lebih rendah daripada kepadatan kijang namun kijang tidak ditemukan satu individu pun pada kawasan padang rumput Blang Raweu sedangkan rusa ditemukan hampir di semua lokasi pemasangan kamera. Berdasarkan analisis jenis kelamin pada rusa sambar dan kijang perbandingan kelamin sex rasio antara jantan dan betina memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Sex rasio rusa sambar antara jantan dan betina adalah 1:5 1:5.11 sedangkan sex rasio kijang adalah 1:1 1:1.11.

5.1.7. Potensi Gangguan Terhadap Kawasan

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan informasi masyarakat sekitar kawasan potensi ganguan utama yang terdapat dalam kawasan adalah perburuan satwaliar dan penebangan pohon. Perburuan satwaliar yang paling intensif dilakukan adalah perburuan rusa dan kijang yang dijadikan sebagai pasokan kebutuhan daging bagi masyarakat sekitar kawasan. Penebangan pohon umumnya terjadi pada kawasan yang relatif dekat dari jalan besar atau lokasi-lokasi yang memiliki potensi kayau yang bernilai ekonomis tinggi seperti kayu bran meranti yang merupakan sumber bahan baku utama untuk membangun rumah bagi masyarakat sekitar kawasan. Potensi gangguan pada setiap lokasi sangat tergantung dari jarak lokasi tersebut dari pemukiman serta potensi sumberdaya yang dimilikinya. Tabel 18 menunjukan potensi gangguan yang umum ditemukan pada blok pemasangan kamera. Tabel 18 Potensi gangguan pada kawasan penelitian. Kriteria Blang Raweu Krueng gooha Gumue Alu ilei Perburuan ++ ++ +++ ++ Penebangan liar +++ + Perambahan 0 ++ +++ + kebakaran +++ + ++ + Pencari hasil hutan non kayu + ++ +++ + Ket erangan : : potensi gangguan sangat rendah + : potensi gangguan rendah ++ : potensi gangguan sedang +++ : potensi gangguan tinggi Berdasarkan pengamatan dan informasi dari masyarakat tingginya tingkat perburuan satwaliar terutama jenis Rusa sambar dan Kijang dikarenakan hewan tersebut merupkan sumber daging bagi masyarakat sekitar kawasan. Tidak adanya pasokan daging dari peternakan sapi atau kambing pada masyarakat sekitar kawasan mengakibatkan masyarakat mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan makanan berupa daging. Selain itu potensi gangguan yang menarik adalah pencari ikan kerelieng. Ikan kerelieng merupakan jenis ikan aliran deras yang berukuran besar. Ikan jenis ini banyak terdapat di sungai-sungai dalam kawasan yang memiliki aliran sepanjang tahun dan berarus deras. Pencarian ikan dalam kawasan masih dilakukan secara tradisional menggunakan pancing dan jala. Bagi masyarakat sekitar kawasan ikan jenis ini merupakan ikan yang paling mereka sukai sehingga harganya cukup mahal dibandingkan jenis ikan lainnya bahkan jika dibandingkan dengan ikan laut. Namun permasalahan yang dikhawatirkan timbul bukan dari pencarian ikannya tapi dari tingginya intensitas masyarakat masuk kawasan.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan

Perangkap Kamera Survey keberadaan distribusi populasi harimau sumatera dan mangsanya ini menggunakan 28 unit perangkap kamera. Dari 28 kamera terpasang hanya 20 unit kamera yang dapat dimanfaatkan foto hasil perangkapnya, sisanya terdapat 4 kamera rusak dan 1 kamera hilang serta 3 kamera lainnya tidak dapat dimanfaatkan datanya. Jumlah jenis dan intensitas perjumpaan satwa menggunakan perangkap bervariasi baik jenis maupun jumlahnya berdasarkan titik lokasi pemasangannya. Jumlah jenis dan intensitas perjumpaan satwa mangsa dipengaruhi oleh bebrapa faktor diantaranya perilaku satwa, lama satwa menempati sudut tangkap kamera dan penempatan kamera di lapangan. Sifat yang mempengaruhi penangkapan gambar satwa oleh perangkap kamera adalah sifat sosial satwa. Sifat sosial ditunjukkan dengan memiliki kelompok-kelompok atau rombongan dalam aktivitas hariannya seperti mencari makan, migrasi harian dan aktivitas lainnya. Rusa, gajah dan beruk adalah jenis satwa yang menunjukan aktivitas sosial dalam kesehariannya. Aktivitas sosial rusa, gajah dan beruk terlihat dari foto yang diperoleh sering dalam keadaan berkelompok atau rombongan. Berbeda dengan hewan tersebut, sempidan sumatera tertangkap kamera selalu berpasangan. Menurut Riansyah 2007 sebagian besar satwa mangsa selain babi dan beruk yang tertangkap perangkap kamera bersifat soliter dan populasinya di alam semakin berkurang. Sementara itu sempidan sumatera dan sempidan aceh merupakan satwa yang hampir selalu tertangkap kamera berpasangan. Pemanfaatan sudut tangkap perangkap kamera oleh satwa liar mempengaruhi kuantitas foto yang didapat. Bentuk pemanfaatan ruang sudut tangkap kamera diantaranya makan, bermain, berjalan, berlari, dan aktivitas sosial. Satwa yang memanfaatkan ruang tangkap perangkap kamera dalam waktu lama akan terus tertangkap kamera karena sensor yang digunakan adalah sensor panas sehingga kamera akan terus menangkap gambar pada sudut tangkapnya. Gajah sumatera yang bergerak dalam rombongan besar dan berjalan dengan kecepatan rendah sering tertangkap dalm satu sekuen independen lebih dari satu sekuen foto bahakan mencapai 10 sekuen foto. Faktor terakhir yang sangat berpengaruh adalah posisi pemasangan perangkap kamera. Perangkap kamera dipasang pada jarak 30-60 cm dari tanah sehingga dapat dikatakan dipasang pada lantai hutan. Kondisi seperti ini mengakibatkan kamera hanya mampu menangkap pergerakan satwa pada lantai hutan terestrial. Menurut Pie 1995 pemasangan perangkap kamera yang di tempatkan pada punggungan bukit dan feeding ground tidak mewakili satwa- satwa yang bersifat arboreal. Kerusakan kamera trap disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam merupakan faktor yang bersal dari kamera tersebut. Kerusakan dari faktor kamera diantaranya kerusakan komponen elektronik dan lensa kamera. kerusakan komponen elektronik yang terjadi yaitu kerusakan pada sensor panas sehingga kamera mengambil gambar terus menerus. Selain karena kerusakan sensor, panas exposure light yang berlebihan di sekitar perangkap kamera mengakibatkan sensor kamera bekerja secara terus menerus Wibisono et al. 2007, Hutajulu 2007. Kerusakan lensa menyebabkan gambar yang dihasilkan tidak jelas blur. Kerusakan karena faktor luar yang ditemukan yaitu perusakan oleh gajah sumatera. Gajah sumatera melakukan perusakan dengan menendang kamera. Diduga gajah merasa terganggu oleh lampu LED berwarna merah yang menyala saat kamera bekerja mengambil gambar. Menurut Hutajulu 2007 satwa sperti harimau pada saat pertama kali melintasi perangkap kamera cenderung kaget dengan cahaya lampu yang dihasilkan kamera sehingga satwa merusak dengan mencakar atau menggigit kamera. Pernyataan Hutajulu ini terbukti dimana diperoleh foto harimau dan beruang yang mendekati kamera sampai menjilati dan mencakar kamera seperti adanya bekas cakaran pada badan kamera. Kemungkinan hal yang terjadi pada harimau dan beruang juga dihadapi oleh gajah sehingga melakukan perusakan. Salah satu faktor luar yang juga merusak kamera adalah longsoran tanah yang terjadi di kawasan padang rumput. Longsoran tanah merusak karena menimbun kamera sehingga lumpur masuk ke dalam kamera. Satwa mangsa yang berhasil dididentifikasi dibedakan dalam dua kelompok yaitu mangsa utama dan mangsa pilihan. Mangsa utama merupakan mangsa yang mampu memenuhi kebutuhan energi bagi harimau dan mudah untuk diburu. Mangsa utama ini ditandai dengan seringnya satwa tersebut dimangsa oleh harimau. Pada kawasan penelitian mangsa utama harimau adalah rusa sambar, kijang dan babi hutan. Mangsa pilihan harimau juga dibedakan menjadi dua yaitu mangsa yang memiliki peluang diburu tinggi dan mangsa yang kecil kemungkinan untuk diburu oleh harimau. Mangsa pilihan yang besar peluangnya diburu oleh harimau adalah satwa-satwa yang memiliki ukuran tubuh yang cukup besar seperti napu, beruk, landak, macan dahan, beruang, gajah anak dan sigung sedangkan yang kecil peluangnya seperti burung-burung kecil, tikus dan kadal.

5.2.2. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Survey

Lapapangan 5.2.2.1. Keberadaan Harimau Sumatera Survey keberadaan harimau sumatera dilakukan melalui identifikasi tanda- tanda keberadaannya. Tanda tanda yang digunakan adalah jejak kaki, cakaran, kotoran, sisa dan bekas makanan, serta tanda lainnya yang dapat dijadikan acuan sebagai tanda keberadaan harimau sumatera. Jejak yang paling banyak dijumpai adalah jejak kaki dan kotoran harimau. Jejak kaki dan kotoran harimau ditemukan di sepanjang jalur survey. Berdasarkan proses identifikasi lapangan jejak kaki lebih mudah ditemukan pada jalur utama survey dibandingkan pada jalur baru yang sengaja dibuat untuk pemasangan kamera. Jalur utama lebih disukai harimau karena dalam aktivitasnya harimau lebih menyukai jalur yang bersih yang dapat menghindarkan kulitnya dari terluka akibat duri dan tajamnya dedaunan seperti yang terlihat pada jalur utama. Sebagian jalur pemasangan merupakan jalur satwa sedangkan sebagian lagi merupakan jalur yang dibuat tim survey. Dengan jalur yang dibuat baru maka jalur terlihat sempit dan banyak halangan yang terdapat di sepanjang jalur sehingga tidak disukai oleh harimau. Kondisi tersebut juga sejalan dengan pernyataan Santiapilai dan Ramono 1985 yang mengemukakan kerapatan vegetasi merupakan faktor yang menyebabkan satwa susah untuk dijumpai. Vegetasi yang rapat dapat mempengaruhi visual dalam identifikasi jejak harimau. Berdasarkan hasil pengamatan pada kawasan padang rumput, harimau lebih menyukai jalur yang ada yang dibuat oleh gajah sumatera. Gajah sumatera membuat jalur ini melalui aktivitas migrasinya dari satu hutan ke hutan lainnya dalam kawasan ekosistem Ulu Masen. Rapatnya vegetasi rumput pada padang rumput juga merupakan faktor harimau lebih menyukai melintas pada jalur gajah sumatera karena jalur gajah sumatera terlihat jelas dan datar meskipun berada pada pinggir-pinggir tebing padang rumput. Selain itu pada padang rumput juga terdapat lubang-lubang dan jurang yang secara kasat mata tidak terlihat karena tersamarkan oleh rapatnya vegetasi rumput dan pada bagian tertentu bisa mencapai ketinggian 2 meter. Dengan berjalan pada jalur gajah yang ada harimau juga dapat memantau satwa buruannya pada area padang rumput yang luas karena berdasarkan survey lapangan dari banyak titik dapat terpantau area yang luas dengan keberadaan pergerakan rusa yang terpantau jelas bahkan dari satu titik dapat terpantau hampir keseluruhan area padang rumput. Dengan penglihatan yang tajam harimau akan mampu melihat jauh lebih baik dari tim survey.

5.2.2.2. Keberadaan Mangsa

Pada hutan primer dan sekunder, satwa yang umum dijumpai langsung adalah jenis satwa arboreal dan beberapa jenis satwa terestrial. Satwa arboreal yang paling sering dijumpai adalah dari jenis primata dan burung. Semua jenis primata dilakukan pencatatan sementara untuk burung hanya jenis yang dapat dikenali saja yang dilakukan pencatatan. Siamang, kedih, beruk dan monyet ekor panjang merupakan jenis primata yang paling sering dijumpai bahakan pada beberapa titik perjumpaan satwa tersebut tidak merasa terganggu dengan kehadiran manusia. Diduga satwa-satwa tersebut telah terbiasa dengan kehadiran manusia karena pada jalur tersebut merupakan jalur utama dari perkampungan menuju padang rumput Blang Raweu. Jenis satwa lainynya baik arboreal maupun satwa terestrial relatif sulit ditemukan pada hutan primer amupun hutan sekunder. Satwa terestrial sulit ditemukan karena terlebih dahulu telah menghindar saat menyadari kedatangan tim survey pada wilayah mereka. Selain itu kerapatan hutan yang cukup rapat juga menyulitkan pengamatan secara visual. Faktor lain yang mempengaruhi pengamatan langsung adalah kecepatan berjalan rombongan yang cepat karena harus sampai pada tujuan tepat waktu serta jumlah rombongan yang cukup banyak sehingga menimbulkan gangguan pada satwa yang ada sekitar jalur survey. Meskipun demikian pengamatan langsung juga berhasil mengamati beberapa jenis hewan terestrial pada hutan diantaranya, gajah sumatera, rusa, kijang, kucing emas, sempidan sumatera dan beberapa jenis ayam hutan. Pengamatan langsung pada padang rumput relatif lebih baik dari pada di hutan. Pengamatan pada padang rumput memberikan ruang pandang yang cukup luas dan cahaya yang cukup untuk menemukan keberadaan satwaliar secara langsung. Namun demikian tetap ada kekurangannya yaitu pada daerah yang memiliki rumput yang tinggi banyak hewan yang bersembunyi dalam rerumputan seperti rusa justru tidak dapat terlihat. Beberapa jenis satwa mangsa harimau yang ditemukan pada padang rumput adalah gajah sumatera. Rusa sambar, elang ular, dan julang emas. Perjumpaan tanda-tanda keberadaan satwa mangsa harimau sumatera pada hutan atau padang rumput relatif sama. Tanda-tanda yang umum ditemukan berupa kubangan, kotoran, jejak kaki, bekas goresan tandukgading, senong dan sisabekas makanan. Tidak semua tanda dilakukan pencatatan, tanda-tanda yang dicatat adalah kubangan, senong, kotoran dan goresan tandukgading yang jelas di ketahui jenisnya. Jejak kaki yang ditemukan sepanjang jalur pengamatan tidak dicatat karena dianggap jalur yang terekam GPS merupakan jalur perlintasan satwa sehingga sepanjang jalur tersebut merupakan titik perjumpaan tanda-tanda keberadaan satwa mangsa harimau sumatera.

5.2.3. Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera dan Mangsanya

5.2.3.1. Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera

Tingkat perjumpaan harimau pada setiap kameranya bervariasi. Kamera menunjukan hanya terdapat empat kamera yang menangkap pergerakan harimau yaitu kamera RC 02, RC 03, RC 07 dan RC 11. Tingkat perjumpaan harimau bervariasi dari 0 sampai 7.85 foto100 hari. Bervariasinya tingkat perjumpaan harimau pada keseluruhan kawasan sangat dipengaruhi oleh keberadaan harimau tersebut pada kawasan penelitian selama periode pemasangan perangkap kamera. dalam periode pemasangan perangkap kamera harimau yang memiliki pergerakan dan jelajah yang luas mungkin berada dalam kawsan perangkap kamera dan mungkin juga sedang berada di luar kawasan pemasangan perangkap kamera. Selain faktor keberadaan harimau, faktor yang juga berpengaruh diantaranya pemanfaatan lokasi pemasangan perangkap kamera oleh harimau. Kamera yang berada pada jalur utama pergerakan harimau menjadikan peluang tertangkapnya harimau lebih tinggi bila dibandingkan dengan kamera yang dipasang pada lokasi yang bukan jalur harimau. Selain itu penggunaan proporsi contoh yang berkaitan dengan jumlah kamera dibandingkan dengan luasan kawasan penelitian juga ikut mempengaruhi peluang tertangkapnya harimau sumatera. Semakin banyak kamera dipasang pada satu tipe hutan atau tipe lahan maka semakin besar peluang harimau tertangkap kamera.

5.2.3.2. Tingkat Perjumpaan Mangsa

Tingkat perjumpaan pada kawasan penelitian bervariasi baik dari segi jenis yang ditemui maupun intensitas perjumpaan terhadap jenis satwa pada tiap- tiap kameranya. Tingkat perjumpaan mangsa harimau dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya keberadaan mangsa, pemanfaatan lokasi pemasangan perangkap kamera oleh satwa mangsa. Lokasi-lokasi pemasangan perangkap kamera yang berada pada kawasan yang tinggi pemanfaatannya oleh satwa mangsa menyebabkan tingginya tingkat perjumpaan terhadap mangsa yang tinggi pula. Hal ini terlihat pada kamera RC 07 yang dipasang didekat salt lick yang menjadikan kamera tersebut paling tinggi tingkat perjumpaannya. Sebaliknya kamera RC 03 yang berada di kawasan padang rumput tidak mendapatkan keberadaan mangsa sedikitpun. Padang rumput yang luas dan memiliki banyak jalur pergerakan satwa diduga menyebabkan kamera tersebut tidak mendapatkan foto satwa mangsa harimau. Kamera RC 03 diduga terpasang tidak pada jalur pergerakan satwa mangsa atau satwa mangsa tidak memanfaatkan jalur tersebut dalap pergerakannya selama periode pemasangan perangkap kamera.

5.2.3.3. Hubungan Tingkat Perjumpaan Harimau dan Mangsanya

Berdasarkan overlay interpolasi tingkat perjumpaan harimau dan mangsanya serta analisis uji regresi linier menunjukkan tidak adanya hubungan antara perjumpaan harimau dengan perjumpaan satwa mangsanya dan sebaliknya. Pada kamera RC 07 dan RC 02 tingginya tingkat perjumpaan harimau diikuti oleh tingginya tingkat perjumpaan satwa mangsanya namun tidak pada kamera lainya dimana tingkat perjumpaan satwa tetap tinggi namun tingkat perjumpaan harimau tidak ada. Pada kamera RC 03 tingkat perjumpaan harimau 6.41 foto 100 hari tidak diikuti oleh perjumpaan satwa mangsa harimau dimana pada kamera tersebut tidak terjadi perjumpaan dengan satwa mangsa harimau. Tidak adanya korelasi antara tingkat perjumpaan harimau dan mangsanya disebabkan mangsa harimau yang beragam dengan jumlah yang banyak serta memiliki wilayah penyebaran yang merata memungkinkan harimau tidak terkonsentrasi pada titik tertentu yang memiliki tingkat konsentrasi satwa yang cukup tinggi. Pemasangan kamera yang dilakukan tidak serentak pada semua lokasi penelaahan diduga ikut mempengaruhi tingkat perjumpaan satwa terutama harimau yang memiliki daerah jelajah yang luas. Daerah jelajah harimau yang yang luas meyebabkan harimau tidak tertangkap perangkap kamera karena pada periode pemasangan perangkap kamera pada suatu lokasi harimau justru berada pada lokasi lainnya.

5.2.4. Pola Aktivitas Harian Harimau Sumatera dan Mangsanya

5.2.4.1. Pola Aktivitas Harian Harimau Sumatera

Pola aktivitas harimau pada kawasan hutan Blang Raweu dan sekitarnya digolongkan pada pola crespuscular. Artinya harimau cenderung meningkat aktivitasnya pada waktu-waktu peralihan seperti waktu menjelang subuh sampai awal pagi dan menjelang senja sampai awal malam. Berdasarkan penelitian Riansyah 2007 di taman nasional Kerinci Seblat, 69 aktivitas harimau digolongkan pada diurnal. Laidlaw 1999 dan Sunquist 1981 menggolongkan harimau sebagai satwa crespuscular karena lebih cenderung aktif pada waktu fajar dan senja hari. Hutajulu 2007 mengemukakan hal yang sama bahwa di Lansekap Tesso Nilo-Bukit Tiga Puluh harimau sumatera memiliki pola aktivitas harian crespuscular. Pola aktivitas harimau yang cenderung aktif pada selang waktu tertentu menjadikan harimau sangat aktif bergerak pada waktu tersebut dibandingkan pada waktu lainnya. Pergerakan aktivitas harimau yang aktif dan tinggi daya jelajahnya merupakan bentuk perilaku pemangsaan terhadap mangsanya. McDonald 1984 mengungkapkan bahwa harimau memiliki pola aktivitas berburu soliter yang lebih aktif mencari daripada menunggu yang menyebabkan pola aktivitasnya sangat tinggi. Mangsa harimau yang tersebar luas baik jenis maupun jumlahnya serta memiliki pola aktivitas yang berbeda-beda mendukung harimau untuk dapat mencari dan menemukan mangsanya Riansyah 2007.

5.2.4.2. Pola Aktivitas Harian Satwa Mangsa

Pola aktivitas harian mangsa bervariasi setiap jenisnya. Secara keseluruhan 54.41 mangsa aktif pada siang hari dan 45,59 aktif pada malam hari. Rusa sambar, kijang dan babi jenggot memiliki pola aktivitas yang sangat berbeda. Kijang dan babi jenggot lebih cenderung aktif pada siang hari sedangkan rusa sambar cenderung sangat aktif pada malam hari. Kesimpulan ini senada dengan pernyataan Alikodra 2002 yang menyatakan bahwa kebanyakan jenis mamalia aktif pada siang hari dan berlindung pada malam hari. Pola aktivitas harian mangsa erat hubungannya dengan pemilihan dan adaptasi satwa tersebut terhadap waktu dalam mencari pakan.

5.2.4.3. Hubungan Pola Aktivitas Harian Harimau Sumatera dan Mangsanya

Secara umum pola aktivitas harian harimau sumatera akan mengikuti pola aktivitas harian mangsanya. Sebagian besar satwa mangsa harimau berdsaarkan foto perangkap kamera meningkat aktif pada waktu peralihan antara sebelum subuh sampai awal pagi dan menjelang senja sampai malam hari atau dalam selang waktu 04.00-09.00 WIB dan 15.00-22.00 WIB. Peningkatan aktivitas mangsa pada selang waktu tersebut juga diikuti oleh peningkatan aktivitas harimau sumatera. Menurut Riansyah 2007 pola aktivitas harimau sumatera cenderung mengikuti pola aktivitas mangsa pilihan atau utamanya. Kecenderungan tersebut dapat dilihat pada pola aktivitas rusa dan kijang yang meningkat aktivitasnya pada waktu tersebut. Kecenderungan kesukaan harimau pada jenis satwa tertentu disebabkan oleh ukuran tubuh satwa tersebut yang besar yang dapat mencukupi kebutuhan untuk beberapa hari serta kemudahan untuk mendapatkannya. Menurut Sunquist 1981 harimau membutuhkan 5-6 KG daging setiap harinya. Dengan memburu satwa berbadan besar kijang ±40 KG, rusa ±200KG akan memberikan efesiensi energi pada harimau tersebut karena tidak harus berburu setiap hari. Aktivitas satwa mangsa potensial harimau yang meningkat aktivitasnya pada selang waktu yang sama dengan peningkatan aktivitas harimau dan dua mangsa utamanya memberikan kemudahan bagi harimau untuk memburu mereka. Harimau yang bersifat oportunis tidak akan melewatkan peluang mendapatkan mangsanya meskipun mangsa tersebut juga merupakan pemangsa. Sifat oportunis harimau ini terlihat dari analisis kotoran yang menunjukan bahwa kotoran tersebut merupakan kotoran harimau yang memakan jenis kucing-kucingan. Jenis kucing tersebut diidentifikasi berdasarkan bentuk kuku yang masih tersisa serta adanya bantalan seperti telapak kaki kucing yang masih menempel dengan kuku tersebut.

5.2.5. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Distribusi Harimau

Sumatera dan Mangsanya 5.2.5.1. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Tipe Tutupan Lahnnya Berdasarkan tipe tutupan lahannya harimau sumatera tersebar cukup merata pada tipe tutupan hutan primer dan padang rumput jika ditinjau dari temuan tanda keberadaannya di lapangan, namun sangat sulit ditemukan pada kawasan hutan sekunder. Berbeda halnya dengan harimau satwa mangsanya tersebar relatif merata pada berbagai tipe tutupan lahan namun berbeda dari segi jenis yang menempati setiap tipe tutupan lahannya. Tutupan lahan bagi harimau sumatera erat kaitannya dengan fungsi perlindungan cover dari sinar matahari yang didapatkan dari lahan tersebut. McDougal 1979 mengemukakan bahwa harimau merupakan satwa yang tidak tahan terhadap sinar matahari. Hutan primer mampu memberikan perlindungan bagi harimau dari matahari. Struktur vegetasi hutan merupakan salah satu perlindungan yang peranannya dapat dibedakan atas tempat persembunyian hiding cover dan tempat penyesuaian terhadap perubahan suhutemperatur udara thermal cover lingkungannya Lestari 2006. Pada padang rumput meskipun terbuka namun masih bisa dijadikan tempat perlindungan bagi harimau. Lestari 2006 mengemukakan bahwa di Taman Nasional Way Kambas harimau biasa memanfaatkan alang-alang sebagai tempat perlindungannya. Harimau menjadikan alang-alang sebagai perlindungan dari sengatan matahari dengan cara merebahkan dirinya. Alang-alang yang dapat dijadikan perlindungan bagi harimau adalah alang-alang yang tingginya lebih tinggi dari tinggi harimau tersebut. Pada padang rumput Blang Raweu di beberapa bagiannya memiliki rumput yang tingginya bahkan lebih tinggi dari tinggi manusia sehingga pada bagian padang rumput seperti inilah yang dimanfaatkan harimau sebagai tempat perlindungan. Bagi banyak mangsa harimau, tutupan lahan erat hubungannya dengan ketersediaan pakan. Padang rumput merupakan tempat paling ideal bagi rusa sambar karena mampu memeberikan pakan yang cukup melimpah bagi satwa dengan tipe pemakan rumput tersebut. Pada hutan primer maupun hutan sekunder rusa sambar akan membutuhkan energi lebih banyak dalam menemukan pakannya karena keanekaragaman jenis tanaman yang tinggi yang hanya sebagian kecil saja yang merupakan pakannya. Berbeda dengan rusa, kijang merupakan satwa mangsa harimau bertipe browser atau menyukai tunas-tunas tanaman sebagai makannya Endri 2007. Kijang ditemukan terdistribusi merata di semua kawasan penelitian kecuali pada padang rumput. Luasnya distribusi atau sebaran kijang pada lokasi penelitian dapat diasumsikan bahwa kijang merupakan satwa mangsa utama harimau pada kawasan hutan primer dan hutan sekunder. Babi yang juga merupakan mangsa utama harimau memiliki distribusi yang lebih sempit berdasarkan tipe tutupan lahan lokasi penelitian. Babi jenggot lebih banyak dijumpai pada kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan kawasan perladangan. Babi jenggot lebih menyukai kawasan tersebut diduga karena sifat tolerannya terhadap perubahan dan gangguan serta ketersedian pakan yang melimpah di sekitar kawasan tersebut yang paling banyak terdapat pada ladang penduduk sehingga babi sering merupakan hama bagi penduduk.

5.2.5.2. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Tipe

Hutan Menurut Ketinggiannya Hutan sebagai perlindungan yang disukai harimau juga dipengaruhi oleh ketinggian. Ketinggian hutan mempengaruhi harimau karena perbedaan ketinggian akan memberikan perbedaan tutupan tajuk hutan yang dijadikan cover bagi harimau dari sinar matahari. Borner 1978 dalam Santiapillai dan Ramono 1985 mengemukakan bahwa harimau sumatera dapat dijumpai sampai ketinggian lebih dari 2000 mdpl. Pernyataan tersebut dapat dijadikan salah satu alasan mengapa distribusi tanda-tanda keberadaan harimau sumatera tersebar merata pada kawasan penelitian yang ketingginya berkisar antara 400-1700 mdpl. Menurut Setijati et al.,1992 harimau sumatera dapat ditemukan pada berbagai tipe hutan mulai dari hutan dataran rendah sampai dataran tinggi, meliputi dataran pantai, berawa payau dengan vegetasi primer sekunder, padang rumput sampai lahan perkebunan dan lahan pertanian masyarakat. Kawasan penelitian yang didominasi oleh hutan pegunungan mengakibatkan pada hutan ini distribusi harimau dan mangsanya terlihat sangat tinggi bila dibandingkan dengan tipe hutan lainnya. Hal ini tidak dapat dijadikan alasan bahwa distribusi harimau pada tipe habitat lainnya tidak tersebar merata karena pemasangan kamera dan jalur pengamatan yang tidak cukup mewakili keseluruhan tipe hutan berdasarkan ketinggiannya. Namun demikian tingginya perjumpaan tanda-tanda keberadaan harimau pada hutan perbukitan disebabkan oleh kerapatan tajuk hutan pegunungan yang relatif rapat menyebabkan lantai hutan menjadi sejuk dan teduh karena sinar matahari terhalang masuk Marlan 2009. Kondisi lantai hutan yang sejuk dan teduh merupakan kondisi ideal yang disukai oleh harimau. Selain disukai oleh harimau kondisi hutan pegunungan juga memberikan kebutuhan akan pakan bagi mangsa harimau serat memberikan perlidungan dna persembunyian bagi mangsa harimau tersebut

5.2.5.3. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Tingkat

Kemiringan Berdasarkan kelas kemiringan lahannya harimau sumatera dan mangsanya terdistribusi merata pada semua kelas kemiringan lahan pada lokasi penelitian mulai dari datar sampai curam. Dengan distribusi yang merata tersebut menandakan pada kawasan hutan Blang Raweu dan sekitarnya faktor kemiringan lahan tidak berpengaruh terhadap distribusi harimau maupun mangsanya. Meratanya distribusi harimau dan mangsanya terutama mangsa yang bersifat terestrial diduga karena jalur-jalur yang dijadikan survey dan lokasi pemasangan perangkap kamera justru memiliki tingkat kemiringan yang tergolong landai meskipun berdasarkan analisis terhadap peta kemiringan kawasan yang sama menunjukan kelas kemiringan yang sedang bahkan curam. Jalur-jalur yang menjadi pilihan bagi harimau dan mangsanya dalam beraktivitas merupakan jalur- jalur yang secara alami dibuat oleh gajah sumatera yang melakukan perjalanan secara periodik. Gajah sumatera berdasarkan pengamatan lapangan terlihat berjalan dalam kecepatan yang lambat dan cenderung memilih atau membuat jalur baru yang memberikan kemudahan baginya dalam melakukan perjalanan. Dengan massa dan ukuran tubuh yang besar serta langkah yang pendek dalam pergerakan normalnya gajah sumatera akan selalu meninggalkan jalur perlintasannya dalam keadaan seperti jalur baru yang lebar dan mudah dilalui oleh satwa lainnya. Gajah sumatera memiliki kecenderungan berjalan mengikuti garis kontur atau sejajar garis kontur dan sangat jarang dijumpai jalur yang langsung memotong kontur sehingga meskipun berdasarkan peta kemiringan lahan kawasan tersebut memiliki kemiringan yang sedang sampai curam tapi jalur yang dibuat dan dilalui gajah sumatera tersebut pada sebagian besar jalurnya justru memiliki kemiringan yang datar dan landai. Jalur-jalur seperti inilah yang dijadikan oleh satwa lainnya termasuk harimau sumatera sebagi jalur perlintasannya. Pemanfaatan jalur-jalur gajah tersebut oleh harimau sumatera dan mangsanya terlihat dari banyaknya jejak telapak kaki harimau dan mangsanya yang ditemukan pada jalur tersebut.

5.2.5.4. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Letak

Padang Rumput Lokasi penelitian yang berada pada radius 15 km dari padang rumput menunjukan bahwa padang rumput tidak terlalu berpengaruh terhadap distribusi mangsa harimau sumatera hal ini dapat dilihat dari tetap tingginya tingkat perjumpaan mangsa harimau meskipun berada jauh dari padang rumput. Berbeda dengan mangsanya tersebut harimau sumatera justru memperlihatkan adanya pengaruh padang rumput yang cukup signifikan terhadap keberadaan dan tingkat perjumpaannya. Pengaruh padang rumput terhadap keberadaan dan tingkat perjumpaan harimau diduga terkait dengan keberadaan rusa sambar yang cukup melimpah di padang rumput yang merupakan mangsa utamanya. Pada padang rumput juga memberikan kemudahan bagi harimau dalam mengintai dan berburu mangsanya. Pada padang rumput harimau dapat tersamarkan oleh rumput yang berwarna kuning kecoklatan sehingga dapat mengaburkan pandangan mangsanya terhadap keberadaan harimau tersebut. Selain faktor tersebut faktor keberadan salt lick yang juga berada dalam kawasan padang rumput diduga merupakan faktor paling berpengaruh karena salt lick yang ada merupakan lokasi yang dikunjungi secara berkala oleh mangsa harimau terutama rusa sambar. dengan keberadaan salt lick dan keuntungan yang didapat harimau dari padang rumput menjadikan kawasan tersebut sebagai tepat paling ideal bagi harimau dalam berburu mangsanya.

5.2.5.5. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Letak

Sungai Harimau memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap air karena harimau memiliki mobilitas yang tinggi dalam aktivitas hariannya sehingga harimau memiliki kadar metabolisme dan suhu tubuh yang tinggi Yong, 2005. Menurut Sunquist 1981 Harimau sumatera menyukai habitat yang dekat dengan sungai atau pinggiran sungai riverine habitat. Meskipun demikian harimau juga bisa ditemukan pada habitat-habitat yang jauh dari sungai. Sebaran mangsa yang juga berada di sekitar sungai juga menunjukan ketergantungan mangsa dengan air. Dengan demikian selain karena faktor harimau yang suka air juga terdapat faktor keberadaan mangsa yang juga menyukai habitat sekitar perairan atau sungai. Hutajulu 2007 mengemukakan sungai sebagai tempat berkumpulnya satwa kemungkinan berhubungan dengan proses pemangsaan mangsa oleh harimau sumatera. Pada padang rumput terutama saat suhu udara tinggi harimau juga akan cenderung mendekati sungai dalam melakukan aktivitasnya di siang hari hal ini berguna untuk memudahkan mendapatkan air saat harimau membutuhkannya untuk mendinginkan suhu tubuhnya atau untuk menghindari dehidrasi. Menurut Hutajulu 2007 saat suhu harian mencapai 33 C memungkinkan bagi harimau untuk menurunkan suhu tubuhnya dengan berendam di sungai. Pada beberapa pemetaan perjumpaan terdapat tanda-tanda keberadaan harimau dan mangsa berada jauh dari sungai. Data tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar karena berdasarkan fakta lapangan pada kawasan tersebut ternyata juga terdapat aliran sungai kecil yang mengalir sepanjang tahun namun tidak terpetakan dengan baik. Demikian juga halnya di padang rumput banyak terdapat aliran air kecil yang banyak digunakan oleh harimau dan mangsanya sebagai tempat minum yang ditandai dengan dijumpainya jejak harimau dan mangsa disekitar aliran tersebut. Ketersedian air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal Alikodra, 2002. Pada saat musim kemarau sumber air yang bersifat temporal tidak mampu menyediakan air yang cukup bagi harimau dan mangsanya sehingga harimau dan mangsanya cenderung memanfaatkan air yang tersedia sepanjang tahun pada sungai-sungai besar untuk memenuhi kebutuhannya.

5.2.5.6. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Letak

Pemukiman dan Aktivitas Manusia Pemukiman dan aktivitas manusia di kawasan dan sekitar kawasan penelitian identik dengan adanya gangguan terhadap harimau sumatera dan mangsanya bahkan terhadap habitatnya. Secraa umum harimau sumatera ditemukan semakin menjauhi pemukiman maka semakin tinggi perjumpaannya. Berbeda halnya dengan harimau, mangsanya justru tersebar merata pada semua selang jarak dari pemukiman namun memiliki komposisi jenis yang berbeda-beda. Pada kawasan yang dekat dengan pemukiman mangsa utama harimau yang seing dijumpai dan tinggi perjumpaannya adalah babi jenggot semakin menjauhi pemukiman komposisi akan mengalami perubahan dimana rusa dan kijang akan tinggi perjumpaannya bila dibandingkan dengan babi hutan. Meskipun berdasarkan data lapangan harimau memiliki kecenderungan menjauhi pemukiman namun berdasarkan informasi masyarakat harimau sumatera sering dijumpai memasuki kawasan pemukiman terutama perladangan. Harimau di perladangan masyarakat sering terlihat dalam aktivitas merawat anaknya. Selain itu harimau juga memasuki perkebunan durian masyarakat saat musim durian berlangsung. Hampir semua masyarakat yang memberikan informasi keberadaan harimau mengungkapkan bahwa harimau saat memasuki perkebunan durian ketika musim durian karena harimau menyukai buah durian untuk dimakannya.

5.2.5.7. Hubungan Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya

Pada dasarnya harimau dapat hidup pada berbagai jenis tipe habitat. Menurut McDonald 1984 harimau merupakan jenis satwa yang mudah beradaptasi pada berbagi tipe habitat yang bervariasi. Bahkan menurut Endri 2006 harimau dapat hidup dan berkembang biak dengan baik pada kawasan hutan yang berada relatif dekat dengan manusia atau pemukiman selama masih tersedia cukup mangsa untuk menunjang kebutuhannya. Ada tiga komponen utama yang menyusun kebutuhan harimau yaitu ketersediaan air, mangsa yang cukup banyak dan perlindungan cover. Tidak pada semua wilayah ketiga komponen tersebut dapat tercukupi sehingga harimau cenderung bergerak dan menjelajah untuk mencukupi kebutuhannya tersebut. Pergerakan harimau mencari mangsanya diikuti juga oleh pergerakan mangsanya menghindari harimau. Distribusi harimau sumatera sangat dipengaruhi oleh distribusi satwa mangsanya. Tipe tutupan lahan yang mempengaruhi distribusi satwa mangsa harimau terutama rusa dan kijang secara tidak langsung juga mempengaruhi distribusi harimau sumatera dan hewan yang dimangsanya. Pada kawasan padang rumput Blang Raweu harimau sumatera akan memilih rusa sebagai mangsa utamanya karena kepadatan rusa yang tinggi serta adanya pusat aktivitas rusa berupa salt lick yang memberi kemudahan bagi harimau dalam menentukan daerah perburuan. Pada padang rumput harimau sumatera relatif tidak memiliki mangsa cadangan selain rusa sehingga pada kondisi dimana rusa tidak ditemukan pada padang rumput atau berada di hutan, harimau akan memiliki pilihan lain dalam mencari mangsanya. Pada kawasan hutan terdapat tiga mangsa utama yang dapat dimakan harimau yaitu rusa, kijang dan babi. Namun berdasarkan sebarannya yang lebih merata rusa dan kijang merupakan pilihan utama bagi harimau sedangkan babi merupakan pilihan utama jika harimau berada pada kawasan yang dekat dengan pemukiman karena pada kawsan ini babi sangat mendominasi. Menurut Seidensticker et al., 1999 harimau sumatera pada ketinggian lebih dari 600 mdpl akan cenderung memangsa kijang dan kadang-kadang kambing hutan. Dengan demikian pada kawasan hutan, harimau memiliki kecendrungan lebih memilih kijang sebagai mangsa utamanya. Tingginya perjumpaan dan ratanya distribusi kijang dapat mendukung kelanjutan populasi harimau, sesuai dengan pernyataan Seidenticker et al., 1999 yang menyatakan bahwa populasi kijang yang seimbang dapat mendukung populasi harimau secara berkelanjutan. Berdasarkan tingkat perjumpaan satwa menggunakan perangkap kamera jenis satwa yang mungkin menjadi pilihan jika harimau mendapat kesulitan memperolah maka jenis satwa yang dapat dijadikan pilihan sebagai mangsa cadangan adalah beruk dan landak karena memiliki sebaran yang merata. Tingginya perjumpaan beruk dan landak dapat mengindikasikan bahwa kedua satwa tersebut dapat merupakan satwa mangsa utama harimau. Hasil penelitian di TN gunung Leuser menunjukan bahwa landak merupakan salah satu satwa mngsa utama harimau Griffith, 1997 dalam Seidenticker et al., 1999. Dari survey lapangan ditemukan tulang belulang rusa yang kuat dugaan merupakan bekas pemangsaan oleh harimau sumatera. Rusa tersebut mati diduga dibunuh oleh harimau sumatera berdasarkan tulang-belulang yang berserakan dan berbeda dekat sungai yang agak tersembunyi dari jalur. Di sekitar tulang belulang tersebut juga ditemukan jejak harimau sumatera. Kuat dugaan lokasi tersebut merupakan teritori harimau sumatera. Harimau sumatera setelah membunuh mangsanya cenderung menyeret mangsanya ke pinggir sungai atau sumber air dan memakannya di sana.

5.2.6. Populasi Harimau Sumatera dan Mangsanya

5.2.6.1. Populasi Harimau Sumatera

Data perjumpaan harimau tersebut juga dianalisis menggunakan program CAPTURE dengan model M h diperoleh populasi X ± SE 5.99±2.45 ekor untuk keseluruhan kawasan atau sekitar 3.11±2.45 ekor100 km 2 . Dugaan estimasi populasi harimau antara 4 sampai 15 ekor atau dengan luasan kawasan penelitian 192.67 km 2 dan dengan tingkat kepercayaan 95 diperoleh kepadatan harimau X ± SE yaitu 2-8 2.08-7.79 ± 2.45 individu harimau100 km 2 . Berdasarkan analisis foto perangkap kamaera minimal terdapat 5 individu harimau sumatera sehingga kepadatan minimum harimau sumatera pada kawasan ini adalah 2,59 ekor100 km 2 tergolong tinggi bila dibandingkan dengan penelitian Riansyah 2007 di Ipuh Seblat 1.9 ekor100 km 2 . Bila dibandingkan dengan penelitian Hutajulu 2007 di beberapa hutan di Lansekap Tesso Nilo seperti Taman Nasional Tesso Nilo atau TNTN 4.89± 1.36 ekor100 km 2 dan Kerumutan 11.15±5.58 ekor100 km 2 kepadatan harimau sumatera pada lokasi penelitian tergolong rendah namun berdasarkan peneelitian Hutajulu 2007 di Rimbang Baling 2.89±1.83 ekor100 km 2 kepadatan harimau sumatera pada lokasi penelitian tidak jauh berbeda. Jika mengacu pada Yosry 2004 kepadatan ideal harimau sumatera adalah antara 4-5 individu harimau100 km 2 dan menurut Linkie 2006b Harimau sumatera berada pada tingkat kepadatan yang rendah pada angka kepadatan 1-3 ekor100 km 2 maka kepadatan harimau sumatera pada kawasan penelitian Blang Raweu dan sekitarnya dengan perkiraan kepadatan 3.11±2.45 ekor100 km 2 dapat dikatakan sedang. Nilai kepadatan populasi harimau sumatera seperti ini dapat terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi tertangkapnya individu harimau oleh perangkap kamera. Faktor pertama yang mempengaruhinya adalah kurang idealnya lokasi pemasangan perangkap kamera. Sebagian besar pemasangan perangkap kamera mengacu pada titik acak yang ditetapkan sebelum pemasangan sehingga dengan usaha pemasangan sedekat mungkin ketitik yang ditentukan dalam satu grid sering terjadi tidak ditemukanya lokasi yang ideal untuk penempatan kamera. Untuk pendugaan populasi harimau sumatera yang paling ideal menggunakan perangkap kamera menurut Linkie 2006a adalah pada jalur- jalur yang kuat dugaan merukan jalur yang sering dilewati harimau sumatera. Faktor kedua yang diduga mempengaruhi nilai kepadatan populasi harimau tersebut adalah tigginya aktivitas manusia pada jalur-jalur pemasangan kamera. Tingginya aktivitas manusia terutama terjadi pada kelompok pemasangan Alu Ilei. Secara alami satwa liar akan menghindari pertemuan dengan manusia termasuk harimau sehingga dengan tingginya aktivitas manusia pada jalur pemasangan kamera akan menyebabkan harimau menghindari jalur-jalur yang dilewati tersebut yang juga dijadikan sebagi lokasi pemasangan perangkap kamera. Faktor ketiga adalah lamanya periode pemasangan perangkap kamera pada lokasi penelitian. Menurut Riansyah 2007 semakin pendek periode sampling maka semakin teliti rata-rata tangkap foto yang diperoleh sehingga nilai dugaan kepadatan populasi yang diperoleh semakin teliti pula. Jika periode sampling terlalu lama maka asumsi populasi tertutup kemungkinan tidak akan tercapai sehingga menghasilkan data yang tidak akurat atau bias Linkie, 2005.

5.2.6.2. Populasi Satwa Mangsa

Pendugaan populasi satwa mangsa harimau sumatera dihitung menggunakan metode Hutchinson Waser 2007 yang menjadikan kecepatan berjalan satwa mangsa sebagai acuan perhitungan pendugaan populasi satwa mangsa. Parameter yang dihitung adalah dugaan kepadatan harimau sumatera. Metode ini hanya dapat dilakukan pada satwa yang menunjukan adanya pergerakan berjalan satwa yang konstan pada foto perangkap kamera yang diperoleh. Dengan batasan tersebut menjadikan hanya rusa dan kijang yang dapat dihitung kepadatannya. Berdasarkan analisis tersebut diperoleh kepadatan rata-rata rusa sambar 58 58.96 ekor100 km 2 dan kijang 75 74.57 ekor100 km 2 . Kepadatan rusa sambar sangat tinggi antara Blang Raweu 56 ekor100 km 2 bila dibandingkan dengan Krueng Gooha 39 ekor100 km 2 sedangkan kijang relatif sama yaitu masing masing 31 dan 37 individukm 2 . Tingginya kepadatan rusa di Blang Raweu erat kaitannya dengan keberadaan padang rumput Blang Raweu yang digunakan rusa sebagai Feeding ground. Selain faktor padang rumput faktor yang terlihat sangat berpengaruh berdasarkan analisis peta adalah keberadaan salt lick pada padang rumput. Kamera RC 07 menunjukan tingginya aktivitas mangsa terutama rusa sambar dan gajah sumatera. Berbeda dengan rusa, kijang hanya ditemukan pada kawasan hutan dan tidak ditemukan pada kawasan padang rumput. Keadaan seperti ini erat kaitannya dengan pakan kijang tersebut berupa pucuk-pucuk tanaman bukan rumput yang hanya tersedia pada kawasan hutan.

5.2.7. Potensi Gangguan Terhadap Kawasan

Secara umum keseluruhan kawasan hutan Blang Raweu yang berada di kecamatan Mane dan Geumpang memiliki kondisi hutan yang relatif baik. Indikasi baiknya kondisi kawasan dapat dilihat dari tingginya tingkat perjumpaan satwaliar baik jumlah jenis maupun intensitas temuannya serta masih banyaknya pohon-pohon berdiameter besar. Meskipun demikian bukan berarti kawasan ini terlepas dari gangguan manusia dan kerusakan alami. Beberapa ancaman dan gangguan yang terjadi pada kawasan diantaranya.

a. Perburuan harimau

Perburuan harimau merupaka ancaman paling mematikan bagi harimau karena langsung berhubungan dengan satwa tersebut. Perburuan harimau dilakukan dengan menggunkan jerat yang terbuat dari kawat atau tali, meskipun harimau dapat lepas dari jeratan kawat besar kemungkinan harimau mengalami cedera yang parah akibat kuatnya jeratan kawat tersebut. Harimau sumatera biasanya diburu untuk diperjual belikan baik hidup maupun anggota tubuhnya. Menurut Endri 2006 harga kulit harimau sumatera mencapai U 500 atau sekitar Rp.4.500.000,- kurs 1 = Rp 9.000,- di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat. Kegitan perburuan mulai berkurang dan sempat terhenti selama bergejolaknya konflik antara Gerakan Aceh Merdeka GAM dengan pemerintahan RI. Berkurangnya perburuan terjadi karena semakin sulitnya memasuki kawasan karena akses yang awalnya mudah menjadi sulit karena semasa konflik akses jalan tersebut sengaja dirusak dan perkampungan yang ada disekitarnya dibakar sehingga membentuk hutan baru. Alasan lainnya adalah mulai direkrutnya pemburu harimau menjadi pasukan penjaga hutan Ranger yang dibina oleh FFI Aceh bekerjasama dengan dinas kehutanan propinsi Aceh.. Namun demikian menurut cerita dari ranger perburuan masih terjadi meskipun secara sembunyi-sembunyi.

b. Perburuan satwa mangsa harimau