Pengertian dan Tujuan Resensi

126 Bahasa dan Sastra Indonesia SMA dan MA Kelas XII Program IPA – IPS

3. Format Baku Resensi

Berikut ini adalah contoh resensi buku pengetahuan SASTRA POSKOLONIAL SEBAGAI MEDIA RESISTENSI Judul : Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik Sastra Poskolonial Penulis : Bill Ashcroft, Gareth Griffeths, dan Helen Tiffin Penerbit : Qalam, Yogyakarta Tahun terbit : 2004 Tebal : xvi + 393 Halaman Akhir-akhir ini wacana tentang poskolonialisme mencuat menjadi salah satu wacana intelektual utama, khususnya di negara-negara bekas jajahan. Bagi masyarakat negara-negara tersebut, tidak dapat dipungkiri, poskolonialisme memang merupakan wacana yang sangat menarik dan teoritis menantang. Ini mungkin karena kandungannya yang memiliki kaitan erat dengan kondisi mereka sebagai masyarakat poskolonial. Karena itulah, para penulis buku ini, Ashcroft, Griffeths, dan Tiffin, dalam salah satu bukunya yang lain yang berjudul The Postcolonial Studies Reader 1995 mengemukakan bahwa, meski wacana poskolonial ini mencakup tema-tema kajian yang sangat luas, terentang dari politik, idiologi, agama, pendidikan, kesenian, kebudayaan, enisitas, bahasa, dan sastra, satu hal yang mempertemukan dan mengkarak- terisasi beragam tema kajian ini adalah bahwa mereka semua dilatarbelakangi satu momen historis yang sama, yakni kolonialisme. Dalam konteks itulah, munculnya poskolonialisme dimaksudkan untuk mengembalikan dan memulihkan keutuhan dan kekuasaan masyarakat yang telah termajinal- kan oleh proses-proses kolonialisasi tersebut. Dan salah satu resistensi yang dilakukan adalah melalui karya sastra. Para kritikus asal Australia yang mengenalkan buku ini menggunakan istilah poskolonial untuk mencakup semua budaya yang menanggung akibat imperialisme, mulai dari masa kolonialisasi hingga sekarang. Mereka ingin menunjuk- kan bahwa para penulis yang lahir di negeri bekas jajahan telah mampu “mendekolonisasi” bahasa Inggris dan memakainya untuk menggugat asumsi-asumsi “Eurosentris” mengenai ras, bangsa, bahasa, dan juga sastra. Gambar cover buku berjudul Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik Sastra Posko- lonial data buku ½ ° ° ° °° o ¾ ° ° ° ° °¿ judul o ½ ° ° ° ° ° ° ° ° °°° o ¾ ° ° ° ° ° ° ° ° ° °°¿ ½ ° ° ° ° ° o ¾ ° ° ° ° °¿ pembukaan: b a n d i n g a n d e n g a n buku sejenis pembukaan: memaparkan sosok pengarang 127 Membangun Bangsa Melalui Pendidikan Gagasan dalam buku ini menunjukkan bahwa teks tetap diyakini memiliki keuatan dan kedudukan yang sangat penting dalam wacana kolonialisme dan poskolonialisme. Bagi penjajah, teks menjadi salah satu alat kontrol kolonial yang paling ampuh. Sebagai sarana komunikasi, teks menjadi kekuatan pendukung dan penyebar paling efektif hegemoni kekuasaa kolonial. Kekuasaan imperial mungkin hadir secara nyata melalui sarana-sarana koersif militer dan kekerasan, akan tetapi melalui tekslah kekuasaan ini dikonstruksikan secara lebih jelas. Melalui wacana-wacana tekstual yang disebarluaskan, pihak kolonial berupaya membentuk kesadaran masyarakat jajahan dan sekaligus mengonstruksikan identitasnya. Namun sebaliknya, melalui teks pulalah masyarakat poskolonial disadarkan dan mampu mengeskpresikan dan menemukan sarana resistensinya yang tajam. Poin inilah yang menjadi bidikan utama buku ini. Pada wilayah inilah sastra poskolonial berupaya menampilkan serta mengangkat karya-karya marjinal, karya- karya selama masa kolonial dibungkam oleh otoritas kolonial serta dipinggirkan. Ia mencoba menampilkan teks yang telah terkubur, menemukan lagi pandangan kritis yang ditawarkan sebuah teks, serta memperlihatkan jaring-jaring kekuasaan di sekitar teks. Di sinilah pendekatan poskolonial selalu menaruh “curiga” terhadap kanon, karena setiap “kanonisasi” memang tak pernah imun dari pertarungan kekuasaan. Kelebihan yang akan segera nampak ketika membaca buku ini bahwa para penulisnya ketika menuangkan gagasannya tidak berhenti pada tataran deskripsi, melainkan secara sangat memikat mampu menunjukkan analisis yang mendalam tentang perdebatan-perdebatan dan perbedaan- perbedaan yang ada dalam wacana poskolonial itu sendiri. Mereka mampu menunjukkan, misalnya perdebatan yang menarik antara para kritikus poskolonial pribumi yang menolak sinkretisitas dan hibriditas kondisi poskolonial karena ingin menghidupkan dan memulihkan kembali kebudayaan pribumi asli prakolonial dengan para penulis poskolonial tandingannya yang menerima hibriditas dan sinkretisitas tersebut dan bahkan menganggapnya sebagai hal yang tak terelakkan dari kondisi poskolonial. Kehadiran buku ini dalam edisi Indonesia layak diapresiasi, apalagi untuk konteks Indonesia kita, negara yang pernah mengalami kekejaman kolonial selama 3,5 abad lamanya. Diharapkan kehadiran buku ini mampu memberikan piranti-piranti teoritik yang memadai untuk melakukan pembacaan terhadap karya-karya sastra poskolonial yang hingga kini masih jarang dilakukan dalam masyarakat kita. ½ ° ° ° ° ° ° o ¾ ° ° ° ° ° °¿ pembukaan: tema buku ½ ° ° ° ° ° ° ° ° ° °° o ¾ ° ° ° ° ° ° ° ° ° ° °¿ isi: ulasan singkat dan sinopsis ½ ° ° ° ° ° ° ° ° °° o ¾ ° ° ° ° ° ° ° ° °°¿ tubuh dan isi: keunggulan buku ½ ° ° ° °° o ¾ ° ° ° ° °¿ penutup