Menanggapi Pembacaan Penggalan Novel
44 Bahasa dan Sastra Indonesia SMA dan MA Kelas XII Program IPA IPS
Jadi engkau tiada suka kepada menteri kabupaten itu? Ia bagus, berpangkat; mulutnya manis
.
Jangan berolok-olok juga, Akang. Bila Akang hendak pergi ke kota? Surat itu lebih baik dibakar saja Rupanya tak ada sedikit jua ia segan
kepada Akang Kita orang desa, tak berharga di matanya. Ya, hari Ahad di muka
ini saya ke rumah Juragan Patih. Surat ini saya bawa, ada gunanya. Akan penguatkan rundingan, supaya ia jangan berlalai-lalai juga.
Sesungguhnya pada hari yang ditentukan itu, pukul lima petang, Haji Junaedi sudah ada di rumah patih. Ia disambut oleh R. Atmadi
Nata dengan senang hati. Sesudah bercakap-cakap Akang hendak menyegerakan pekerjaan itu. Akan tetapi apa perlunya diburu-buru
benar? Takkan lari gunung dikejar. Apalagi ia baru dua bulan bekerja, tentu belum dapat menyediakan apa-apa.
Dari dahulu sudah saya katakan: tak usah di bersedia-sedia. Sekaliannya tanggungan saya, bukan? Yang perlu sekarang lekas
.
Menyesak benar rupanya Apa sebabnya? Kerja baik elok dilekaskan, Juragan, supaya jangan disela lekas
kerja buruk. Ada alasannya?
Banyak. Pertama Fatimah sudah besar, kedua kami sudah siap dan ketiga
. Ujar H. Junaedi dengan senyumnya, dan sambil menun-
jukkan sepucuk surat ke tangan R. Atmadi Nata ia pun menyambung perkataannya, Ini yang penting sekali juragan. Saya harap juragan baca
sendiri.
Baru melihat tulisan alamatnya saja, R. Atmadi Nata sudah tahu dari siapa surat itu. Dengan tenang surat itu pun dibacanya. Kemudian
dilipatnya dan diberikannya kepada Haji Junaedi kembali, seraya katanya, Tak kusangka-sangka Agaknya sudah terbalik otaknya. Jadi
bagaimana pikiran Akang sekarang?
Saya menurut timbangan juragan sendiri. elok kata juragan elok; buruk kata juragan, buruk. Asal kerja itu dilekaskan.
Dengan menteri itu? Haji Junaedi terkejut, pucat mukanya.
Ha, ha, ha, tertawa R. Atmadi Nata dengan tiba-tiba. Tetapi bila
menteri kabupaten bertemu dengan Fatimah? Dahulu, ketika ia bertandang ke rumah saya. Barangkali Juragan
masih ingat: ia hendak ayam
? Ya, saya masih ingat.
Beberapa hari sesudah itu ia datang ke desa, lalu saya sambut sebagai biasa. Ketika itu sudah ada jua terpikir oleh saya, bahwa
anaknya tidak lurus. Salah pandangannya kepada anak saya itu. Hem, ya
45 Kegiatan yang Menumbuhkan Kreativitas
Benar, Juragan Tunjuk lurus, kelingking berkait. Tetapi mengapa sekarang baru teringat olehnya akan berkirim surat
sedemikian? tanya patih, seraya menggelangkan kepalanya. Nasib Suria
, katanya pula dalam hatinya. Sekarang Kosim lagi yang jadi
batu penarung baginya Ya, benar kata Akang tadi, ujarnya kuat-kuat. Baik disegerakan kerja itu. Tentang surat itu, lebih baik dipandang
sebagai tak ada saja. Robek atau bakar, jangan sampai diketahui orang lain. Tunggu sebentar
. Ia bangkit berdiri dari kursinya, lalu masuk ke
dalam. Sejurus antaranya ia pun ke luar duduk pula.
Keduanya berdiam diri. Patih memandang ke samping, lalu kelihatan olehnya Raden Kosim datang dari belakang. Pada air mukanya terbayang
kesenangan hatinya, suka, sebagai sudah mendapat sesuatu yang diharap-harapkannya. Ia tersenyum simpul, naik ke langkah dan
memberi salam kepada Haji Junaedi dengan takzim. Sesudah itu ia pun tegak berdiri. Patih memberi isyarat, supaya ia duduk di kursi di
antara kedua mereka itu.
Kosim, kata R. Atmadi Nata dengan perlahan-lahan. Emang Haji datang sekali ini sengaja hendak menentui rundingan
tempo hari. Bagaimana pikiranmu sekarang? Sudahkah engkau terima jawab dari ibumu?
Saya, juragan, sahut orang muda itu, antara kedengaran dengan tiada. Kebetulan ada saya menerima sepucuk surat dari Garut tadi,
tengah hari. Ia pun minta izin akan mengambil surat itu ke kamarnya. Ketika ia datang kembali, diserahkannyalah surat itu ke tangan patih.
Nah, selesai sudah, kata patih, sesudah membaca surat itu. Kehendak Akang Haji telah berlaku dan berkenan. Ia sudah beroleh
izin dari ibunya. Alhamdulillah
Dengan segera Patih menyuruh Kosim memanggil ibunya ke belakang. Setelah istri patih duduk, demikian pula Kosim, keempat-
empatnya pun mulai memperundingkan cara dan waktu perkawinan Kosim dengan Fatimah akan dilangsungkan. Tentang perkara tempat,
lama istri patih bertegang-tegang dangan Haji Junaedi. Masing-masing mengeraskan di rumahnya. Akan tetapi, akhirnya istri patih terpaksa
mengalah. Apa boleh buat, katanya dengan senyumnya. Benar, tentu tak enak bagi Mak Fatimah, kalau beralat di sini. Jadi bila waktunya?
Tiga pasang mata memandang kepada Kosim. Dengan kemalu- maluan orang muda itu pun berkata, ujarnya, Apabila ibuku datang
dari Garut, Ibu. Di Rancapurut sudah sedia sekaliannya, bukan? kata Patih.
Sudah, Juragan. Bila saja dapat dilangsungkan
. Kalau begitu, kata istri patih pula, sekarang ini tanggal lima belas.
Tanggal 2
.., tanggal 3 bulan di muka jatuh pada hari Minggu - bagaimana kalau hari ini?
46 Bahasa dan Sastra Indonesia SMA dan MA Kelas XII Program IPA IPS
Baik, kata Haji Junaedi dengan cepat dan riang. Pikirku, kata R. Atmadi Nata, sebab ibu Kosim akan datang ke
mari, sebagaimana tersebut dalam surat ini, lebih baik dengan dia kita sama-sama mencari saat yang sempurna. Ingat: anaknya yang laki-laki
Cuma seorang ini saja. Hendaknya jangan karena hal yang sedikit itu ia berasa dibelakangkan. Jangan kita ambil sekalian kekuasaannya.
Benar pula itu, kata Haji Junaedi. Pendeknya, saya menurut saja. Tiga pekan kemudian daripada itu, pada hari Ahad, kelihatan
banyak tamu berangkat dari kota Sumedang ke Rancapurut, ditumpangi oleh priyayi dan menak-menak dengan istrinya masing-masing, karena
pada hari itu ada perjamuan besar di sana. Mereka itu terpanggil akan menghadiri upacara nikah kawin Kosim dengan Fatimah, yang
diramaikan dengan bunyi-bunyian dan permainan yang biasa di tanah Pasundan. Ada tayuban, tari-tarian, dan pada malam hari dipertunjuk-
kan wayang golek yang sangat digemari orang.
Demikian ramai orang besar-besar ke perjamuan itu, kata Suminta yang berdiri di pinggir jalan, tapi heran, Juragan Suria tiada tampak.
Ke mana dia gerangan? Juragan istri pun tiada juga, sahut bininya.
Hem, ya, mungkin
beralangan. Kata Suminta pula. Sayang, padahal Juragan Suria suka benar akan keramaian serupa itu. Dan
wayang golek kegemarannya
Barang kali malam kelak dia ke sana, siapa tahu? sahut bini
Suminta pula, sambil masuk ke pekarangan rumahnya, di sebelah atas jalan raya itu. Keadaan orang masing-masing tidak dapat kita tentukan
Sumber: novel Katak Hendak Jadi Lembu, halaman 119-124