maupun reaksi yang hampir sama diderita oleh individu yang terjangkit gegar budaya. Pertama-tama individu akan menolak
lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan hingga penyesalan diri. Lingkungan di kampung halaman sekarang terasa menjadi
demikian penting. Semua kesulitan dan masalah yang dihadapi menjadi tekanan dan hanya hal-hal menyenangkan dikampung
halamanlah yang diingat menjadi sangat dirindukan. Bagi individu perantau hanya pulang ke kampung halamannya yang akan
membawanya kepada realitas.
c. Gejala-Gejala dan Reaksi Culture Shock Gegar Budaya
Secara umum, banyak definisi awal memfokuskan gegar budaya sebagai sindrom, keadaan rekatif dari patologi atau defisit spesifik:
individu pindah ke lingkungan baru yang asing, kemudian mengembangkan gejala psikologis negatif dan beberapa gejala gegar
budaya ini adalah buang air kecil, minum, makan serta tidur yang berlebih-lebihan; perasaan tidak berdaya lalu keinginan untuk terus
bergantung pada individu-individu sebudayanya; marah mudah tersinggung karena hal-hal sepele; reaksi yang berlebih-lebihan
terhadap penyakit-penyakit sepele; hingga akhirnya, keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman Mulyana, 2006:175.
Gegar budaya
banyak menyebabkan
gangguan-gangguan emosional, seperti depresi dan kecemasan yang dialami oleh pendatang
baru. Pada tahap awal penyesuaian kebudayan baru, individu
pendatang akan mengalami masa terombang-ambing antara rasa marah dan depresi. Gegar budaya sebagai pengalaman belajar yang mencakup
akuisisi dan pengembangan keterampilan, aturan, dan peran yang dibutuhkan dalam setting kultur yang baru. Gegar budaya juga sebagai
hilangnya control seseorang saat ia berinteraksi dengan orang lain dengan kultur yang berbeda. Kehilangan kontrol umumnya memang
menyebabkan kesulitan penyesuaian tetapi tidak selalu merupakan gangguan psikologis Mulyana, 2006:176.
Harry Triandis, seorang psikolog terkenal memandang gegar budaya sebagai hilangnya kontrol seseorang saat ia berinteraksi dengan
orang lain dari kultur yang berbeda. Kehilangan kontrol umumnya memang menyebabkan kesulitan penyesuaian tetapi tidak selalu
merupakan gangguan psikologis Shiraev dan Levy, 2012: 443. Pedersen mengemukakan dalam salah satu teori gegar
budaya melihat gegar ini sebagai penyesuaian awal kelingkungan baru atau asing yang diasosiasikan dengan
perkembangan individu, pendidikan, dan bahkan pertumbuhan personal. Secara singkat bahwa segala bentuk stress mental
maupun fisik yang dialami individu pendatang selama berada di lokasi asing disebut sebagai gejala culture shock, akan tetapi
gejala culture shock yang terjadi pada setiap individu memiliki tingkatan atau kadar yang berbeda mengenai sejauhmana
culture shock mempengaruhi kehidupannya. Ada beberapa gejala dan reaksi yang biasanya ditunjukkan individu saat
mengalami culture shock dapat dilihat dari tabel berikut Shiraev dan Levy, 2012: 444: