supervisor dan selebihnya pelaksana. Khusus bagian gudang logistik obat terdapat 4 orang yang
bertanggung jawab atas pemesanan dan persediaan obat. Dengan analisis jabatan dan uraian tugas
maka jumlah yang ada sekarang udah cukup. b
Kesesuaian uraian tugas di bagian SDM
Petugas pengelolaan obat sudah melaksnakan tugas sesuai dengan uraian tugas masing-masing.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang uraian tugas dan pelaksanaan tugas kerja
maka setiap karyawan sudah mengerti dan memahami uraian tugas mereka masing-masing
serta bertanggung jawab atas pekerjaan mereka. 2
Metode Dalam Standar Operasional Prosedur SOP Unit
Farmasi RSU Haji Medan, penentuan kebutuhan
didasarkan kepada data kebutuhan, data prediksi penyakit, jumlah persediaan barang di gudang, usulan masing-
masing unit, perhitungan pareto fast moving, moderate dan slow moving dan obat essensial.
Namun dalam menentukan fast moving, moderate dan slow moving belum pernah dilakukan perhitungan
berdasarkan data riil obat baik dari jumlah pemakaian maupun nilai investasi. Selama ini pengelompokan
persediaan hanya berdasarkan pengalaman saja. Obat yang sering diminta oleh apotek disebut fast moving dan obat
yang jarang diminta disebut slow moving. Metode pengendalian persediaan yang dilakukan RSU
Haji Medan belum sesuai dengan John dan Harding 2001, pengendalian persediaan dikatakan efektif harus dapat
menjawab tiga pertanyaan dasar, yaitu obat apa yang akan menjadi prioritas untuk dikendalikan, berapa banyak yang
harus dipesan dan kapan seharusnya dilakukan pemesanan kembali.
b. Proses Pengelompokan Obat Generik Melalui Metode Analisis
ABC
Menurut Sabarguna 2005, ciri logistikpersediaan rumah sakit yaitu: spesifik obat alkes, film, rontgen, dan lain-lain;
harga yang variatif; dan jumlah item yang sangat banyak. Begitu juga dengan perbekalan farmasi di RSU Haji Medan memiliki
karakteristik yang berbeda satu sama lain, baik dari jenis obat- obatan, alat kesehatan dan reagen. Setiap perbekalan farmasi
tersebut berbeda dari segi jumlah kebutuhan per item maupun harga per item. RSU Haji Medan fokus pada pelayanan kepada
masyarakat menengah ke bawah dengan program khusus Jamkesmas dan Jampersal, sehingga obat-obat yang sering
digunakan adalah obat generik yang penggunaannya disarankan oleh pemerintah.
Sebagaimana diatur
dalam Permenkes
RI Nomor
HK.0202Menkes068I2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, obat
generik merupakan obat dengan nama resmi International Nonpropoetary Names INN yang ditetapkan dalam Farmakope
Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Selain jauh lebih murah, kualitas dan khasiatnya
sama seperti obat bernama dagang bermerek. Berdasarkan daftar obat generik yang terdapat E-Catalogue
Obat Pemerintah Indonesia Provinsi Sumatera Utara, obat generik yang digunakan di RSU Haji Medan adalah sebanyak 166 jenis
obat dari 777 jenis obat yang terdaftar dalam e-katalog tersebut. Setiap jenis obat tersebut memiliki karakteristik yang berbeda
baik dari jumlah pemakaian maupun harga, yang keduanya menentukan nilai investasi obat.
Menurut Ahyari 1987, dalam kenyataannnnya akan terdapat bahan baku yang dipergunakan dalam jumlah unit yang besar
namun nilai rupiah yang kecil, sebaliknya akan terdapat sejumlah bahan baku dalam nilai rupiah yang tinggi walaupun jumlah unit
fisiknya tidak berapa besar. Berdasarkan hasil perhitungan mengenai jumlah pemakaian dan nilai investasi berdasarkan
kemasan obat generik di gudang farmasi tahun 2014, terlihat bahwa obat generik dengan kemasan tablet adalah yang paling
banyak digunakan baik dari jenis obat maupun jumlah pemakaian,
yaitu sebanyak 73 jenis obat dengan jumlah pemakaian sebanyak 665.297 tablet. Namun bukan berarti obat dengan satuankemasan
tersebut memiliki nilai investasi yang paling tinggi. Nilai investasi tertinggi adalah obat dengan satuankemasan vial. Obat
tersebut bernilai Rp. 357.535.538,00 walaupun hanya 16 jenis obat dengan jumlah pemakaian sebanyak 23.621 vial.
Sehingga diperlukan perlakuan yang berbeda terhadap setiap jenis obat terutama pada obat dengan nilai investasi tinggi. Hal ini
sesuai menurut Heizer dan Reider 2010, apabila bahan diperlakukan sama rata, maka tindakan tersebut terkadang akan
merugikan perusahaan karena terdapat perbedaan nilai mata uang dari bahan yang dipergunakan. Oleh sebab itu diperlukan
pengelompokkan obat berdasarkan nilai investasinya agar dapat menentukkan prioritas persediaan. Untuk menentukkan prioritas
persediaan cara yang paling umum digunakan adalah dengan analisis ABC.
Penentuan persediaan obat yang dilakukan oleh unit gudang farmasi RSU Haji Medan berpedoman pada formularium rumah
sakit sebagai dasar penyusunan kebutuhan obat. Namun permintaan obat di luar formularium masih terjadi. Hal ini
disebabkan adanya kasus penyakit baru yang diderita pasien, sehingga obatnya belum terdapat pada daftar formularium rumah
sakit. Menurut Seto 2004, penentuan kebutuhan obat di rumah sakit harus berpedoman kepada daftar obat essensial, formularium
rumah sakit, standar terapi dan jenis penyakit di rumah sakit. Hal ini menunjukkan bahwa RSU Haji Medan dalam melakukan
penentuan kebutuhan dilakukan sesuai dengan teori menurut Seto 2004, yaitu dengan menggunakan formularium rumah sakit,
namun belum sepenuhnya dapat terlaksanan dengan baik, karena masih adanya kasus permintaan obat di luar formularium rumah
sakit. Berdasarkan hasil wawancara dengan 3 informan yang telah
dilakukan, dalam penentuan kebutuhan di RSU Haji Medan dilakukan berdasarkan banyaknya jumlah pemakaian pada
periode sebelumnya. Kelompok obat yang tergolong fast moving akan disediakan dengan jumlah yang lebih banyak, begitupun
sebaliknya, obat yang tergolong slow moving akan disediakan lebih sedikit. Namun dalam pelaksanaannya untuk menentukan
obat yang fast moving atau slow moving dan obat dengan nilai investasi tinggi atau nilai investasi rendah tidak ditentukan
menggunakan analisis ABC. Berikut adalah pengelompokan obat generik menggunakan
analisis ABC pemakaian dan investasi:
1 Analisis ABC Pemakaian
Pada umumnya persediaan terdiri dari berbagai jenis barang yang sangat banyak jumlahnya. Masing-masing jenis
barang membutuhkan analisis tersendiri untuk mengetahui besarnya order size dan order point. Namun, berbagai jenis
barang yang ada dalam persediaan tersebut tidak seluruhnya memiliki tingkat prioritas yang sama. Sehingga, untuk
mengetahui jenis-jenis barang yang perlu mendapat prioritas, dapat digunakan analisis ABC, karena analisis ini dapat
mengklasifikasi seluruh jenis barang berdasarkan tingkat kepentingannya Rangkuti, 1996.
Berdasarkan hasil telaah dokumen berupa data pemakaian obat generik selama tahun 2014, diperoleh hasil analisis ABC
pemakaian terhadap 166 item obat generik yang tersedia di gudang yaitu terdapat 22 item atau 13,25 dari total item
obat generik termasuk ke dalam kelompok A dengan pemakaian tinggi yaitu sebesar 745.999 atau 69,41 dari
total pemakaian obat generik keseluruhan. Kelompok B terdiri dari 29 item atau 17,47 dari total item obat generik
dengan jumlah pemakaian sedang yaitu sebesar 220.873 atau 20,55 dari total pemakaian obat generik keseluruhan.
Sedangkan, kelompok C terdiri dari 115 item atau 69,28 dari total item obat generik dengan jumlah pemakaian rendah,
yaitu sebesar 107.964 atau 10,04 dari total pemakaian obat generik keseluruhan. Hasil analisis ABC pemakaian dapat
digambarkan sebagai berikut.
Gambar 6.1. Pengelompokan Obat Generik Berdasarkan Analisis ABC Pemakaian Tahun 2014
Hasil analisis ABC pemakaian yang disajikan pada gambar diatas, diketahui bahwa obat generik yang termasuk kelompok A
fast moving hanya 13,25 dari seluruh jenis obat generik yang diminta oleh apotek, namun obat ini paling banyak diminta oleh
apotek untuk memenuhi kebutuhan obat pasien yaitu sebesar 69,41 dari total pemakaian. Sebagaimana menurut Seto 2004
Kelompok A merupakan obat yang cepat laku. Meskipun hanya ada sedikit kelompok A dalam persediaan apotek, tetapi karena
kelompok tersebut sangat tinggi permintaannya, merupakan obat yang berputar dengan cepat.
Merurut Seto 2004, kelompok B mempunyai penjualan rata-rata dan perputaran inventaris. Di Gudang Farmasi RSU Haji
Medan, obat yang termasuk kelompok B moderate merupakan jenis obat yang sedangagak lambat perputarannya, yaitu 17,47
10 20
30 40
50 60
70
Jumlah item 166 item
Jumlah Pemakaian
1.074.836 13.25
69.41
17.47 20.55
69.28
10.04
A B
C
dari seluruh jenis obat generik yang diminta apotek dan pemakaian yang sedang juga yaitu sebesar 20,55 dari total
pemakaian. Sedangkan obat yang termasuk kelompok C slow moving
merupakan obat generik yang paling banyak jenisnya, yaitu 69,28 dari seluruh jenis obat generik yang diminta oleh apotek
namun dengan pemakaian yang paling sedikitjarang digunakan yaitu hanya 10,04 dari total pemakaian. Sebagaimana menurut
Seto 2004, Kelompok C adalah obat yang paling lambat lakunya, obat produk yang paling kurang diminta.
Oleh karena itu pengendalian yang dapat dilakukan untuk masing-masing kelompok adalah:
a Kelompok A
Dengan memperhatikan persediaan 22 jenis obat yang tergolong kelompok A, gudang farmasi akan dapat
memenuhi ketersediaan obat sebanyak 69,41. Artinya, ketersediaan obat tersebut sangat penting diperhatikan dan
harus selalu tersedia di gudang farmasi karena memiliki nilai pemakaian yang paling tinggisering diminta oleh
apotek. Selain itu pengawasan dan pemantauan fisik persediaan harus lebih teliti dan ketat.
b Kelompok B
Dengan memperhatikan 29 jenis obat yang tergolong kelompok B, gudang farmasi akan dapat memenuhi
ketersediaan obat atau permintaan apotek sebanyak
20,55. Ketersediaan obat ini cukup penting diperhatikan setelah obat kelompok A.
Menurut Seto 2004, karena kelompok B merupakan jumlah yang jauh lebih besar dan merupakan proporsi
penjualan yang lebih kecil, tidak perlu dan tidak efisien untuk memonitor obat-obat tersebut seketat kelompok A.
Biasanya dapat cukup dikendalikan dengan menggunakan kartu stok gudang dan kartu stok di ruang peracikan dan
penjualan eceran. c
Kelompok C Dengan memperhatikan 115 jenis obat yang tergolong
kelompok C dapat memenuhi ketersediaan obat atau permintaan
obat oleh
apotek sebanyak
10,04. Penggunaanpermintaan obat ini sedikit namun dengan
jenis yang paling banyak yaitu 69,28 dari seluruh obat generik yang ada.
Sama seperti kelompok B, menurut Seto 2004, karena kelompok C merupakan jumlah yang jauh lebih besar dan
merupakan proporsi penjualan yang lebih kecil, tidak perlu dan tidak efisien untuk memonitor obat-obat tersebut
seketat kelompok A. Biasanya dapat cukup dikendalikan dengan menggunakan kartu stok gudang dan kartu stok di
ruang peracikan dan penjualan eceran. Menurut Seto 2004, bahwa pengelola secara periodik
seharusnya memonitor kelompok C untuk menentukan
apakah obat tersebut semestinya disingkirkan dari persediaan. Menyingkirkan kelompok C yang lambat
lakunya merupakan metode praktis mengurangi jumlah obat dan investasi dalam persediaan, tapi memberikan
pengaruh yang kecil pada penjualan dan biaya kehabisan persediaan.
Oleh karena itu, selain menggunakan kartu stok, diperlukan perhatian khusus terhadap obat yang tidak
berjalan. Perlu diperhatikan jenis persediaan dengan mengurangi variasi merk obat yang berbeda namun
memiliki kandungan yang sama.
2 Nilai Investasi Obat Generik
Berdasarkan hasil analisis ABC investasi terhadap 166 item obat generik di gudang, diperoleh informasi bahwa
kelompok A terdiri dari 26 item atau 15,66 dari total item obat generik dengan nilai investasi tinggi sebesar Rp
931.385.322,00 atau mengambil porsi sebesar 69,57 dari total nilai investasi obat generik keseluruhan. Kelompok B
terdiri dari 33 item atau 19,88 dari total item obat generik dengan nilai investasi sedang sebesar Rp 269.557.806,00 atau
mengambil porsi sebesar 20,14 dari total nilai investasi obat generik keseluruhan. Kelompok C terdiri dari 107 item
obat generik atau 64,46 dari total item obat generik dengan nilai investasi rendah sebesar Rp 137.800.964,00 atau
mengambil porsi 10,29 dari total nilai investasi obat generik keseluruhan. Hasil analisis ABC investasi dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 6.2. Pengelompokan Obat Generik Berdasarkan Analisis ABC Investasi Tahun 2014
Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa hasil analisis ABC investasi bahwa obat generik yang termasuk kelompok A
hanya 15,66 dari seluruh jenis obat generik yang diminta oleh apotek
dengannilai investasi
tertinggi adalah
obat Methylprednisolon inj 125 mg2 ml, namun obat ini menyerap
anggaran rumah sakit paling banyak dibandingkan obat generik lainnya, yaitu sebesar 69,57 dari total penggunaan anggaran
obat generik. Kelompok B 19,88 dari seluruh jenis obat generik dan menyerap anggaran rumah sakit sebesar 20,14
dari total nilai investasi. Sedangkan obat yang termasuk kelompok C merupakan jenis obat yang paling banyak, yaitu
10 20
30 40
50 60
70
Jumlah item 166
Investasi 1.338.744.092
15.66 69.57
19.88 20.14
64.46
10.29
A B
C
64,46 dari seluruh jenis obat generik yang diminta oleh apotek, namun menyerap anggaran paling sedikit, yaitu hanya
10,29 dari total penggunaan anggaran untuk obat generik. Gagasan analisis ABC adalah untuk membuat kebijkan-
kebijakan persediaan yang memfokuskan persediaan pada bagian-bagian persediaan yang kritis namun sedikit bukan pada
yang banyak namun spele. Tidaklah realistis jika memantau barang yang tidak mahal dengan intensitas yang sama dengan
barang yang sangat mahal Heizer dan Render, 2010. Penggunaan analisis ini memungkinkan teridentifikasinya
barang yang benar-benar berpengaruh pada kinerja sediaan, sehingga manajemen yang efektif dapat berkonsentrasi pada
barang yang itemnya sedikit tersebut tanpa mengabaikan yang lain Johns dan Harding, 2001.
Oleh karena itu pengendalian yang dapat dilakukan untuk masing-masing kelompok adalah:
a Kelompok A
Kelompok A merupakan barang dengan jumlah unit fisik kecil atau rendah namun jumlah rupiahnya tinggi
Ahyari, 1987. Pada persediaan obat generik di RSU Haji Medan, dengan memperhatikan ketersediaan 26 jenis obat
generik yang tergolong A dapat mengoptimalkan persediaan dan pemakaian anggaran sebesar 69,57.
Sehingga menurut Heizer dan Render 2010, obat tersebut harus memiliki kontrol persediaan yang lebih
ketat, akurasi pencatatan yang lebih sering diverifikasi. Pengawasan fisik dapat dilakukan lebih ketat dan secara
periodik setiap bulan. Menurut Seto 2004, kelompok A seharusnya
dimonitor dengan hati-hati, angka pemesanan ulang dan EOQ-nya seharunya dihitung. Sehingga dalam penelitian
ini obat yang termasuk kelompok A dihitung EOQ Economic Order Quantity untuk menentukan jumlah
pemesanan yang ideal dan ROP Reorder Point untuk menentukan waktu yang tepat untuk dilakukan pemesanan
kembali. b
Kelompok B Kelompok B merupakan barang dengan jumlah fisik
dan jumlah rupiah yang sedang Ahyari, 1987. Pada persediaan obat generik di RSU Haji Medan, dengan
memperhatikan 33 jenis obat yang tergolong kelompok B dapat mengoptimalkan persediaan dan pemakaian
anggaran sebesar 20,14. Sehingga obat yang tergolong kelompok B memerlukan perhatian yang cukup penting
setelah kelompok A. Perlu adanya pengawasan fisik yang dilakukan secara periodik. Menurut Heizer dan Render
2010, persediaan yang tergolong kelompok B dapat dihitung setiap 3 bulan sekali.
c Kelompok C
Kelompok C merupakan barang dengan jumlah fisik yang besar atau tinggi namun nilai rupiah yang
rendahkecil Ahyari, 1987. Pada persediaan obat generik di RSU Haji Medan, dengan memperhatikan 107 jenis
obat yang tergolong kelompok C, dapat mengoptimalkan persediaan dan pemakaian anggaran sebesar 10,29.
Perlu memperhatikan obat yang tidak berjalan untuk dikurangi variasi obatnya. Karena obat tersebut
memberikan pengaruh kecil terhadap penjualan dan biaya kehabisan persediaan. Sejalan dengan pendapat Seto
2004, bahwa pengelola secara periodik seharusnya memonitor kelompok C untuk menentukan apakah obat
tersebut semestinya
disingkirkan dari
persediaan. Menyingkirkan kelompok C yang lambat lakunya
merupakan metode praktis mengurangi jumlah obat dan investasi dalam persediaan, tapi memberikan pengaruh
yang kecil pada penjualan dan biaya kehabisan persediaan.
Sehingga obat yang tergolong kelompok C tidak memerlukan pengendalian ketat seperti kelompok A dan
B. Pengendalian dan pemantauan tidak ketat, cukup sederhana di dalam RS tersebut. Namun RS belum
mempunyai perhitungan, sehingga cukup menentukan safety stockbuffer stock sebagai jumlah minimum stok di
gudang farmasi. Pengawasan juga tidak seperti kelompok A dan B cukup mengikuti pengawasan yang sudah
dilaksanakan di gudang farmasi selama ini yaitu setiap 6 bulan sekali. Menurut Heizer dan Render 2010,
persediaan yang tergolong kelompok C dapat dihitung setiap 6 bulan sekali.
c. Output Pengelompokan Obat Generik Melalui Metode Analisis
ABC
Berdasarkan perhitungan metode analis ABC yang termasuk kelompok A, didapatkan hasil yaitu obat Methylprednisolon inj
125 mg
2 ml
menempati peringkat
pertama dalam
pengelompokkan obat berdasarkan analisis ABC investasi. Yang artinya obat Methylprednisolon 125 mg ml merupakan obat
dengan nilai pemakaian paling tinggi dan pemakaian anggaran paling besar, sehingga menurut Heizer dan Render 2010, obat
tersebut harus memiliki kontrol persediaan yang lebih ketat, akurasi pencatatan yang lebih sering diverifikasi. Pengawasan fisik
dapat dilakukan lebih ketat dan secara periodik setiap bulan. Menurut Seto 2004, kelompok A seharusnya dimonitor dengan
hati-hati, angka pemesanan ulang dan EOQ-nya seharunya dihitung. Sehingga dalam penelitian ini obat yang termasuk
kelompok A dihitung EOQ Economic Order Quantity untuk menentukan jumlah pemesanan yang ideal dan ROP Reorder
Point untuk menentukan waktu yang tepat untuk dilakukan pemesanan kembali.
2.
Perhitungan
EOQ Obat Methylprednisolon inj 125 mg2 ml
Dalam persediaan, biaya yang mempengaruhinya adalah biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Pemesanan dengan jumlah yang banyak
akan mengurangi biaya pemesanan karena dengan pemesanan dengan jumlah yang banyak tentunya frekuensi pemesanan akan lebih sedikit.
Namun hal ini akan meningkatkan biaya penyimpanan karena pemesanan dengan jumlah yang banyak persediaan yang akan disimpan juga lebih
banyak. Sebaliknya, pemesanan dengan jumlah yang sedikit akan mengurangi biaya penyimpanan karena persediaan yang disimpan di gudang
lebih sedikit, namun akan meningkatkan biaya pemesanan karena frekuensi pemesanan akan meningkat.
Untuk itu jumlah pemesanan harus dapat meminimalkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Sebagaimana menurut Heizer dan
Render 2010, Bowersox 2010, Sabarguna 2004 dan Johns dan Harding 2001, bahwa seiring dengan meningkatnya kuantitas yang dipesan, jumlah
pemesanan pertahunnya akan menurun namun biaya penyimpanan akan meningkat karena jumlah persediaan yang harus diurus lebih banyak.
Sehingga menurut Seto 2004 untuk menentukan jumlah pemesanan yang ekonomis, harus diusahakan untuk memperkecil biaya-biaya pemesanan dan
biaya-biaya penyimpanan. Dalam pelaksanaan pemesanan obat Methylprednisolon inj 125 mg 2 ml
di Instalasi Farmasi RSU Haji Medan, tidak ada perhitungan khusus
mengenai jumlah pemesanan. Jumlah pemesanan tergantung pada jumlah permintaan dari apotek. Hal ini berisiko meningkatnya biaya pemesanan jika
pemesanan dilakukan dalam jumlah yang sedikit atau meningkatnya biaya penyimpanan jika jumlah pemesanan terlalu banyak.
Oleh sebab itu diperlukan perhitungan yang tepat untuk mengetahui jumlah pemesanan optimum obat Methylprednisolon inj 125 mg2 ml
yaitu dengan metode Economic Order Quantity EOQ. Economic Order Quantity EOQ adalah sejumlah persediaan barang yang dipesan pada
suatu periode untuk tujuan meminimalkan biaya dari persediaan barang tersebut Sabarguna, 2004. Dua macam biaya yang dipertimbangkan
dalam model EOQ adalah biaya penyimpanan dan biaya pemesanan Mardiyanto, 2009. Model persediaan umumnya meminimalkan biaya
total, untuk meminimalkan biaya total persediaan maka dapat dilakukan dengan cara meminimalkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan.
Perhitungan EOQ dalam penelitian ini digunakan untuk menghitung jumlah pemesanan optimum obat
Methylprednisolon inj 125 mg2 ml
yang tergolong kelompok A karena obat ini adalah obat yang paling berpengaruh
terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan obat di RSU Haji Medan.
Dengan menerapkan metode EOQ untuk menghitung jumlah pemesanan yang optimum akan membantu manajemen untuk mengambil keputusan
jumlah pemesanan agar tidak terjadi investasi berlebihan yang tertanam dalam persediaan dan tidak mengalami kekurangan persediaan yang
menyebabkan pelayanan terhenti.
Jumlah pemesanan optimum untuk obat Methylprednisolon inj 125 mg2 ml, berdasarkan perhitungan, jumlah pemesanan yang paling ekonomis
untuk obat ini adalah sebanyak 49 vial setiap kali pemesanan. Jumlah ini akan menggunakan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan yang paling
sedikit. Jika jumlah pemesanan ditingkatkan, maka akan meningkatkan biaya penyimpanan karena jumlah persediaan yang banyak. Jika jumlah
pemesanan diturunkan, maka akan meningkatkan biaya pemesanan karena pemesanan dengan jumlah yang sedikit frekuensi pemesanan akan lebih
meningkat sehingga meningkatkan biaya pemesanan. Oleh karena itu pemesanan 49 vial untuk obat Methylprednisolon inj 125
mg2 ml adalah jumlah yang paling ekonomis dalam setiap kali melakukan pemesanan.
Dalam menjalankan metode EOQ ini yang bertujuan untuk mendapatkan jumlah pemesanan yang optimum tentunya harus didukung
oleh sistem informasi yang dapat mengetahui jumlah pemakaian setiap obat setiap periode. Sistem informasi di RSU Haji Medan belum berjalan
secara maksimal sehingga belum bisa memberikan informasi mengenai jumlah pemakaian setiap obat tersebut. Hal ini menjadi kendala yang
dirasakan oleh gudang farmasi RSU Haji Medan, sehingga jumlah pemesanan hanya berdasarkan perkiraan.
3.
Perhitungan
ROP Obat Methylprednisolon inj 125 mg2 ml
Dalam menentukan waktu pemesanan kembali setiap obat di RSU Haji Medan tidak menggunakan perhitungan khusus. Obat Methylprednisolon inj
125 mg2 ml akan dipesan ketika obat tersebut mendekati jumlah stok 0.
Jika stok obatnya sudah mencapai 0, maka pemesanan dilakukan secara cito. Sehingga tidak jarang permintaan apotek tidak dapat terpenuhi dalam jumlah
yang tepat karena persediaan yang tidak cukup untuk memenuhi permintaan. Obat harus selalu tersedia setiap saat dibutuhkan. Terputusnya
kemampuan pelayanan terjadi karena persediaan sudah habis. Oleh karena itu sebelum persediaan habis maka pemesanan barang harus dilakukan. Hal
ini sesuai dengan Anief 2001
yaitu keseimbangan antara persediaan dan permintaan perlu diciptakan agar kemampuan pelayanan pada pasien
dapat berlanjut. Untuk itu
perlu dicari waktu yang tepat, pada saat dimana pembeliaan harus dilakukan sehingga terjadi keseimbangan antara beban
pekerjaan dan kemampuan memenuhi permintaan sehingga pelayanan tidak terputus, tetapi persediaan masih dalam batas-batas yang ekonomis.
Untuk mencari waktu yang tepat tersebut dapat dilakukan dengan perhitungan Reorder Point ROP. Apabila terjadi lead time masa
tenggang maka kita harus menentukan tingkat persediaan minimal sehingga apabila tingkat ini sudah dicapai, kita harus mengajukan pesanan baru untuk
menjaga jangan sampai terjadi kekosongan dalam stok Siagian, 1987. Waktu pemesanan kembali ditetapkan agar persediaan dapat menutupi
kebutuhan persediaan selama masa tenggangmenunggu pesanan tiba. Menurut Dirjend Binakefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI 2010,
lead time adalah waktu tunggu yang diperlukan mulai pemesanan sampai obat diterima.
Menurut John dan Harding 2010, keputusan mengenai kapan mengajukan pemesanan kembali terletak pada dua faktor, yaitu yang
pertama pertimbangan tingkat pemesanan kembali secara langsung
berdasarkan pada pemakaian normal dan yang kedua pertimbangan sediaan pengaman berdasarkan derajat ketidakpastian dan tingkat
pelayanan yang diminta. Oleh sebab itu perlu dilakukan perhitungan mengenai buffer stocksafety stock terlebih dahulu agar dapat
menentukan kapan mengajukan pemesanan kembali.
Persediaan pengaman itu merupakan proteksi terhadap 2 jenis ketidakpastian. Pertama, ketidakpastian mengenai penjualan yang melebihi
ramalan selama periode pengisian kembali. Kedua, adalah ketidakpastian mengenai keterlambatan delays dalam penerimaan pesanan, pengolahan
pesanan, atau keterlambatan transportasi selama pengisian kembali Bowersox, 1995.
Selama ini buffer stock yang tersedia di RSU Haji Medan hanya berdasarkan perkiraan, tidak ada perhitungan khusus. Menurut Rangkuty
1996, buffer stock adalah persediaan tambahan yang diadakan untuk melindungi dan menjaga kemungkinan terjadinya kekurangan bahan
stock out.
Oleh karena itu waktu pemesanan kembali yang ideal adalah ketika stok obat mencapai kebutuhan selama waktu tunggu atau permintaan harian rata-
rata dikalikan dengan waktu tunggu. Namun permintaan obat di Gudang Farmasi RSU Haji Medan berfluktuatif setiap harinya. Sehingga apabila
perhitungan ROP tidak mempertimbangkan safety stock yang berfungsi sebagai proteksi terhadap kemungkinan peningkatan kebutuhanpermintaan
obat, berisiko terjadinya kekurangan stok stock out. Perhitungan safety stock obat Methylprednisolon inj 125 mg2 ml adalah
72 vial dan Reorder Point-nya adalah 116 vial. Artinya, pemesanan obat
Methylprednisolon inj 125 mg2 ml akan dilakukakan jika stok obat tersebut mencapai 116 vial.
Jumlah tersebut merupakan titikjumlah ideal dilakukannya pemesanan ulang agar terhidar dari kekurangan stok karena stock out dan terhindar dari
kekurangan stok karena permintaan yang meningkat.
Kendala yang dirasakan oleh gudang farmasi dalam menentukan waktu pemesanan kembali adalah tidak adanya perhitungan buffer stock
karena belum adanya sistem informasi yang memadai sehingga waktu pemesanan tergantung dengan kondisi stok yang tersedia di gudang.
D. Efektivitas Pengendalian Persediaan Obat Methylprednisolon inj 125
mg2 ml Pasca Penerapan Metode ABC, EOQ dan ROP
Dengan berbagai bentuk pengendalian yang dilakukan RSU Hai Medan selama ini, nyatanya Gudang Farmasi RSU Haji Medan masih mengalami
kekosongan barang stockout. Penyebab kekosongan tersebut biasanya disebabkan oleh adanya peningkatan demand permintaan dari bagian
farmasi dari biasanya, dikarenakan terdapat kasus atau kondisi khusus di lapangan. Sehingga, stok yang dimiliki tidak mencukupi kebutuhan tersebut.
Selain itu, kekosongan juga disebabkan oleh adanya perubahan perilaku obat, dimana obat yang sebelumnya slow moving atau tidak laku tiba-tiba menjadi
fast moving. Berbagai penyebab kekosongan tersebut tentunya mengakibatkan gudang
farmasi tidak dapat melayani permintaan dan terjadi penolakan permintaan. Kondisi ini dapat mengakibatkan pemborosan, karena obat yang dibeli ke
apotek luar atau RS lain tentunya mengeluarkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan membeli ke distributor. Seharusnya menurut Aditama
2002, barangbahan yang dibutuhkan untuk kegiatan operasional instansi harus tersedia dalam jumlah, kualitas, dan pada waktu yang tepat sesuai
dengan kebutuhan dengan harga serendah mungkin. Pembelian cito atau pembelian kecil-kecilan ini tidak sejalan dengan
tujuan pengawasan persediaan yang diungkapkan Rangkuti 1996, yaitu salah satunya menghindari pembelian kecil-kecilan. Pembelian cito ini juga
akan merugikan karena proses pembelian dilakukan berulang, serta tidak adanya diskon karena harga yang kita beli sudah merupakan harga jual.
Dalam SOP Unit Farmasi RSU Haji Medan, penentuan kebutuhan didasarkan kepada data kebutuhan 3 bulan, data prediksi penyakit, jumlah
persediaan barang di gudang, usulan masing-masing unit, perhitungan pareto fast moving, moderate dan slow moving dan obat essensial. Artinya
penentuan kebutuhan menggunakan metode kombinasi, yaitu metode konsumsi berdasarkan data kebutuhan 3 bulan dan perhitungan pareto fast
moving, moderate dan slow moving, metode epidemiologi prediksi penyakit dengan memperhatikan sisa stok di gudang farmasi. Dalam
menentukan obat yang tergolong fast moving atau slow moving pun petugas gudang farmasi tidak melakukan menggunakan perhitungan, melainkan
berdasarkan pengalaman pemesananpenggunaan obat oleh apotek. Obat yang seringbanyak diminta tergolong fast moving dan yang tidak seringbanyak
diminta tergolong slow moving.
Metode pengendalian persediaan yang dilakukan RSU Haji Medan selama ini belum efektif. Berdsarkan hasil telaah dokumen, diperoleh informasi
bahwa pembelian cito obat Methylprednisolon inj 125 mg 2 ml yang dilakukan selama periode tahun 2014 adalah sebanyak 1.700 obat dengan
nilai investasi sebesar Rp. 65.790.000. Terlihat bahwa kerugian biaya yang ditimbulkan oleh pengendalian persediaan obat Methylprednisolon inj 125
mg 2 ml yang dilakukan RSU Haji Medan selama tahun 2014. Hasil dari perhitungan ABC, Economic Order Quantity EOQ dan
Reorder Point ROP obat Methylprednisolon inj 125 mg 2 ml, didapatkan jumlah pemesanan yang optimum dan waktu pemesanan kembali. Setelah
dilakukan penerepan metode ABC, Economic Order Quantity EOQ dan Reorder Point ROP di gudang farmasi Rumah Sakit Umum Haji Medan
pada bulan Juni 2015 didapatkan hasil bahwasanya dengan menggunakan metode tersebut dapat mengatasi permasalahan stock out obat sehingga tidak
terjadi pembelian secara cito terhadap obat Methylprednisolon inj 125 mg 2 ml.
Penerapan metode ABC, Economic Order Quantity EOQ dan Reorder Point ROP efektif dalam mengatasi permasalahan stock out obat
Methylprednisolon inj 125 mg 2 ml pada bulan Juni 2015 di gudang farmasi RSU Haji Medan. Hal ini sesuai dengan John dan Harding 2001,
pengendalian persediaan dikatakan efektif harus dapat menjawab tiga pertanyaan dasar, yaitu obat apa yang akan menjadi prioritas untuk
dikendalikan, berapa banyak yang harus dipesan dan kapan seharusnya dilakukan pemesanan kembali.