kerja dan ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurunan dari kondisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan
rekan-rekan Khan dkk. dalam Munandar, 2006. Hubungan sosial yang menunjang supportive dengan rekan-rekan kerja,
atasan, dan bawahan di pekerjaan, tidak menimbulkan tekanan-tekanan antar pribadi yang berhubungan dengan persaingan. Kelompok kerja dapat
memberikan tekanan yang besar kepada anggota kelompoknya untuk berperilaku konform, sesuai dengan norma-norma kelompok kerjanya.
Kondisi ini dapat merupakan sumber dari stres jika individu memliki keyakinan, nilai dan norma yang berbeda. Tenaga kerja yang penuh
semangat kerja akan merasakan stres dalam situasi kerja dimana semua rekan-rekan kerjanya bekerja secara santai.
2.4.5. Struktur dan Iklim Organisasi
Gambaran perusahaan Asia dewasa ini masih diwarnai oleh kurangnya struktur organisasi yang jelas. Salah satu sebabnya karena perusahaan di
Asia termasuk Indonesia, masih banyak yang berbentuk family business. Kebanyakan family business dan bisnis-bisnis lain di Indonesia yang masih
sangat konvensional dan penuh dengan budaya nepotisme, minim akan kejelasan struktur yang menjelaskan jabatan, peran, wewenang dan tanggung
jawab. Tidak hanya itu, aturan main yang terlalu kaku atau malah tidak jelas, iklim politik perusahaan yang tidak sehat serta minimnya keterlibatan atasan
membuat karyawan jadi stres karena merasa seperti anak ayam kehilangan induk - segala sesuatu menjadi tidak jelas.
Faktor stres yang dikenali dalam kategori ini terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta pada support sosial. Penelitian
menunjukkan bahwa kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku
negatif. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan kinerja dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik.
2.4.6. Tuntutan dari Luar Organisasi Pekerjaan
Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seorang yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan
dan kerja di dalam satu organisasi, dan dengan demikian memberi tekanan pada individu. Isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan
keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat
merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaanya, sebagaimana halnya stres dalam pekerjaan mempunyai dampak yang negatif pada kehidupan
keluarga dan pribadi.
2.4.7. Karakteristik Individu
Menurut pandangan interaktif dari stres, stres ditentukan pula oleh individunya scndiri, sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stres.
Reaksi-reaksi sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stres. Reaksi-reaksi psikologis, fisiologis, dan dalam bentuk perilaku terhadap
stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya, mencakup ciri- ciri kepribadian yang khusus dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada
sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman masa lalu, keadaan kehidupan dan kecakapan antara lain inteligensi, pendidikan, pelatihan, pembelajaran.
Dengan demikian, faktor-faktor dalam diri individu berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang merupakan pembangkit
stres potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang menentukan bagaimana, dalam kenyataannya, individu bereaksi terhadap pembangkit
stres potensial.
a Kepribadian
Mereka yang berkepribadian introvert bereaksi lebih negatif dan menderita ketegangan yang kebih besar daripada mereka yang
berkepribadian extrovert, pada konflik peran. Kepribadian yang flexible orang yang lebih terbuka terhadap pengaruh dari orang lain sehingga
lebih mudah mendapatkan beban yang berlebihan mengalami ketegangan yang lebih besar dalam situasi konflik, dibandingkan dengan
mereka yang berkepribadian rigid.
b Kecakapan
Kecakapan merupakan variabel penting dalam menentukan stres tidaknya seorang individu menghadapi situasi yang dihadapinya. Jika
seseorang tidak mampu memecahkan sebuah masalah, sedangkan masalah yang dihadapinya sangat penting, maka hal tersebut dapat
memicu terjadinya stres. Ketidakmampuan individu menyelesaikan masalah tersebut, sehingga menyebabkan terjadinya stres, berkaitan
dengan kecakapan dan kemampuan masing-masing individu Munandar, 2006.
c Nilai dan Kebutuhan
Setiap organisasi dan perusahaan memiliki budaya dan nilai masing-masing. Para tenaga kerja diharapkan dapat mengikuti nilai dan
budaya yang dimiliki perusahaan tersebut. Proses sosialisasi pekerja dalam mengikuti nilai dan budaya yang dimiliki oleh perusahaan tidak
sepenuhnya berjalan lancar, ada yang sepenuhnya berhasil, ada yang setengah, adapula yang gagal menyesuaikan diri. Bagi pekerja yang
gagal tersebut biasanya akan mengundurkan diri. Bila ia tidak mengundurkan diri, karena tidak ada pekerjaan lain atau sebab lain
maka tenaga kerja tersebut akan mengalami stres Munandar, 2006
d Masa Kerja
Masa kerja mempunyai potensial untuk terjadinya stres kerja. Baik masa kerja yang sebentar ataupun lama dapat memicu terjadinya
stres kerja serta diperberat dengan adanya beban kerja yang besar Munandar, 2006.
Selain itu menurut Munandar 2006 bahwa masa jabatan yang berhubungan dengan stres kerja sangat berkaitan dengan kejenuhan
dalam bekerja. Pekerja yang telah bekerja di atas 5 tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan yang lebih tinggi daripada pekerja yang baru
bekerja. Sehingga dengan adanya tingkat kejenuhan tersebut dapat menyebabkan stres kerja.
Sedangkan menurut Wantoro 1999 mengatakan bahwa pekerja dengan masa kerja lebih lama, lebih mempunyai pengalaman yang luas,
kematangan berfikir dan bersikap, sehingga dapat bertindak lebih bijaksana. Semakin lama masa kerja seorang pekerja berarti semakin
tinggi pengalamannya di tempat kerja. Dengan demikian semakin tinggi pula kepuasan kerjanya, mereka lebih berpengalaman sehingga
mempunyai kemampuan untuk mengatasi berbagai situasi pekerjaan, lebih mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan
disekitarnya dan adanya kesempatan untuk pengembangan kemampuan dan keterampilan kerjanya, sehingga lebih terhindar dari stres.
Berdasarkan penelitian Suprapto 2008 pada polisi lalu lintas menunjukkan bahwa responden yang memiliki masa kerja 5 tahun
sebesar 40,6 mengalami stres kerja berat. Sementara itu responden yang memiliki masa kerja 5 tahun hanya sebesar 36,7 yang
mengalami stres kerja. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Setyani 2013, menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara masa kerja dengan stres kerja dengan p value sebesar 0,034. Sedangkan menurut penelitian Aulya 2013 menyatakan bahwa tidak
ada hubungan antara faktor individu masa kerja dengan stres kerja.
e Umur
Hubungan antara umur dengan stres memiliki kesamaan dengan hubungan antara masa kerja dengan stres. Namun, tidak selamanya
umur dengan stres kerja dihubungkan dengan masa kerja. Ada beberapa jenis pekerjaan yang sangat berpengaruh dengan umur, terutama yang
berhubungan dengan sistem indera dan kekuatan fisik. Biasanya pekerja yang memiliki umur yang lebih muda memiliki penglihatan yang dan
pendengaran yang lebih tajam, gerakan yang lebih lincah dan daya tahan tubuh yang kuat. Namun, untuk beberapa jenis pekerjaan lain, faktor
umur yang lebih tua biasanya memiliki pengalaman dan pemahaman bekerja yang lebih banyak, sehingga pada jenis pekerjaan tertentu umur
dapat menjadi kendala dan dapat memicu terjadinya stres Munandar, 2006.
Penelitian yang dilakukan oleh Cardiff University 2000 yang dikutip dalam Suprapto 2008 terhadap faktor-faktor demografi yang
mempengaruhi timbulnya stres kerja, dapat disimpulkan bahwa umur memiliki hubungan dengan timbulnya stres kerja. Dalam penelitian ini,
umur dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu usia 18-32 tahun, 33-40 tahun dan di atas usia 51 tahun. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa
kategori usia 41-50 tahun memiliki persentase terbesar untuk terkena stres kerja tinggi 20,8. Sedangkan untuk kategori usia yang memiliki
persentase terbesar yang mengalami stres tingkat rendah adalah usia 18- 32 tahun dan usia 51 tahun ke atas 83. Hal ini disebabkan pada usia
awal perkembangan keadaan emosi seseorang masih lebih labil. Sedangkan pada usia lanjut biasanya daya tahan tubuh seseorang sudah
mulai berkurang sehingga sangat berpotensi untuk terkena stres. Berdasarkan penelitian Airmayanti 2009 yang dilakukan pada
pekerja bagian produksi PT ISM Bogasari Flour Mills Tbk diketahui bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan stres kerja. Sementara
itu, penelitian Suprapto 2008 yang dilakukan pada polisi lalu lintas di kawasan puncak Bogor diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna
antara umur dengan stres kerja.
f Pendidikan
Baik disadari atau tidak, pendidikan mempunyai pengaruh dalam stres kerja. Hal ini disebabkan seorang pekerja harus memiliki
kualifikasi sebagai gambaran keserasian seseorang dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya yang secara internal dipengaruhi oleh
kemampuan, pengalaman, pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki Effendi, 2003.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Utami 2009 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
pendidikan dengan kejadian stres kerja. Namun pada hasil penelitian Lelyana 2003 diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara
tingkat pendidikan dengan stres kerja dengan p value 0,002.
g Status Pernikahan
Status pernikahan dapat pula berpengaruh terhadap pekerjaan. Menurut Handy dalam Appelbaum 1981 menyatakan bila seseorang
pekerja mendapat dukungan dalam karier dari istri maka ia akan mendapatkan kepuasan kerja, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu,
hubungan pernikahan yang baik membantu pekerja untuk mencegah atau mengurangi stres kerja.
Evayanti 2003 menyatakan bahwa bagi pekerja yang berstatus menikah, keadaan keluarga bisa menjadi penghambat, mempercepat
atau menjadi penangkal proses terjadinya stres. Bila sesorang mempunyai
masalah gawat di rumah, kecenderungan untuk mendapatkan stres di tempat kerja akan lebih besar. Sebaliknya, bila
rumah tangga dirasakan aman, nyaman dan menyenangkan maka masalah-masalah di tempat kerja dapat dihadapi dengan lebih baik.
Hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Utami 2009 pada perawat di RS Pelni Petamburan, menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara status pernikahan dengan kejadian stres kerja dengan p value sebesar 0,031. Hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Hidayat 2012 pada pengemudi bus yang ada di Terminal Kampung Rambutan Jakarta, yang menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara status perkawinan dengan stres kerja.
2.5. Dampak Stres Kerja
Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi perusahaan. Namun pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan
diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Reaksi terhadap stres dapat merupakan reaksi bersifat psikis
maupun fisik. Biasanya karyawan yang stres akan menunjukkan perubahan perilaku dan terjadi pada diri manusia sebagai usaha mengatasi stres. Usaha mengatasi stres
dapat berupa perilaku melawan stres flight atau berdiam diri freeze. Dalam kehidupan sehari-hari kedua reaksi ini biasanya dilakukan secara bergantian,
tergantung situasi dan bentuk stres.