Analisis zona pesisir terdampak berdasarkan model dispersi thermal dari air buangan sistem air pendingin pt. Badak ngl di perairan bontang kalimantan timur

(1)

ANALISIS ZONA PESISIR TERDAMPAK BERDASARKAN

MODEL DISPERSI THERMAL DARI AIR BUANGAN SISTEM

AIR PENDINGIN PT. BADAK NGL DI PERAIRAN BONTANG

KALIMANTAN TIMUR

K A S M A N

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : Analisis Zona Pesisir Terdampak Berdasarkan Model Dispersi Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL di Perairan Bontang, Kalimantan Timur adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, Juli 2011

K a s m a n C261060071


(3)

ABSTRAK

Simulasi buangan air pendingin PT. Badak NGL untuk memprediksi pola sebaran suhu telah dilakukan dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3D dengan mengaplikasikan model POM (Princeton Ocean Model) (Mellor 2003). Gaya pembangkit yang digunakan dalam model adalah pasang surut, debit buangan air pendingin dan debit sungai. Pemilihan langkah waktu (∆t)=0.5 detik, dengan 118 grid (barat-timur) dan 187 grid (utara-selatan), ukuran grid Δx=Δy=30 m. Nilai awal : u=v=ζ=0, T0 = 28 oC dan S0 = 32 ‰. Verifikasi

elevasi dan suhu antara hasil model dengan hasil pengukuran menunjukkan kesesuaian yang baik dengan nilai korelasi 0.97 untuk verifikasi elevasi, korelasi 0.90 untuk verifikasi suhu permukaan pada saat bulan purnama serta korelasi 0.87 saat bulan perbani. Hasil simulasi menunjukkan perbedaan pola sebaran suhu permukaan paling ekstrim ditemukan pada saat purnama untuk kondisi cuplik pasang maksimum dan surut maksimum. Perbedaan terutama terlihat pada Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) yakni 41 oC saat surut maksimum dan 35 oC saat pasang maksimum (ΔT=6 oC). Adapun perbedaan suhu antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup besar ditemukan di Stasiun C yakni sekitar 2.54 oC

untuk skenario musim kemarau dan 2.32 oC untuk skenario musim hujan.

Selanjutnya dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dan terumbu karang dipelajari dengan menggunakan hasil model dispersi thermal, di mana waktu observasi lapangan untuk fitoplankton disesuaikan dengan waktu cuplik model. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi negatif antara suhu dengan kelimpahan, jumlah spesies dan indeks keanekaragaman fitoplankton. Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton terutama ditemukan pada perairan dengan suhu >37.91 oC, di mana pada suhu ini jumlah spesies, kelimpahan dan indeks keanekaragaman fitoplankton sangat kecil dibandingkan dengan fitoplankton pada suhu alami. Sementara untuk terumbu karang hasil simulasi dicuplik pada lokasi di mana ditemukan adanya terumbu karang. Hasil analisis menunjukkan bahwa

kenaikan suhu sampai 35.3 oC akibat buangan air pendingin menyebabkan

kematian total terumbu karang, hal ini ditemukan pada terumbu karang di Sekambing Muara. Sementara kenaikan suhu hingga 33.3 oC di depan Pulau Sieca menyebabkan kerusakan sedang hingga kematian terhadap terumbu karang.

Kata Kunci : model POM, buangan air pendingin dan debit sungai, sebaran suhu, fitoplankton, terumbu karang


(4)

predict the pattern of thermal dispersion by using hydrodynamic model and 3-D thermal transport by applying POM model (Princeton Ocean Model) (Mellor 2003). Driving forces used in this model were tides, flows of cooling water discharge and rivers discharge. Choice of time step (∆t)=0.5 second, with 118 grids (west-east) and 187 grids (north-south), grid size Δx=Δy=30 m. Initial value : u=v=ζ=0, T0=28 oC and S0=32 ‰. Verification of elevation and temperature

between results of models and direct measurement showed a good suitability with correlation value was 0.97 for elevation verification, correlation 0.90 and 0.87 for thermal verification during spring and neap tides, respectively. Results of simulation revealed the most extreme difference in pattern of surface thermal dispersion that found during spring tide for sampling condition of maximum tide and ebb. Distinct difference was especially found at station 8 (mixing point) i.e.

41 oC during maximum ebb and 35 oC during maximum high tide. Whereas,

significantly high thermal difference between upper layer and bottom layer was found at station C i.e. around 2.54 oC for dry season scenario and 2.32 oC for wet season scenario. Effects of elevated water temperature from a thermal discharge on phytoplankton and coral reef was studied by using simulation results, where field observation for phytoplankton was adjusted with the time of output model. The results showed the negative correlation between temperature with abundance, the number of species and diversity index of phytoplankton. Impact of increase in temperature on the phytoplankton is mainly found in the waters with temperature > 37.91 oC, where at this temperature the number of species, abundance and diversity index of phytoplankton is very small compared with phytoplankton at natural temperature. As for coral reefs results simulation sampled at a location where the coral reefs found. The results showed that the increase of temperature up to 35.3 oC due discharge of cooling water caused the death of the coral reefs. While the temperature rise up to 33.3 oC in front of the Sieca Island cause damage to death of coral reefs.

Keywords :POM model, cooling-water and rivers discharges, thermal dispersion, phytoplankton, coral reef


(5)

RINGKASAN

KASMAN. 2011. Analisis Zona Pesisir Terdampak Berdasarkan Model Dispersi Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL di Perairan Bontang, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh ISMUDI MUCHSIN, ZAINAL ARIFIN, ARIO DAMAR, and I WAYAN NURJAYA.

Peningkatan suhu air laut dapat menyebabkan meningkatnya laju metabolisme organisme dan mengurangi konsentrasi oksigen terlarut (Poornima et al. 2005) sehingga dapat mengakibatkan makhluk hidup dalam air mati karena kebutuhan O2 tinggi sedangkan yang tersedia sedikit (Effendi 2003). Model

hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi mampu mensimulasi keadaan stratifikasi perairan dan menjelaskan distribusi kenaikan suhu secara temporal dan spasial (Maderich et al. 2008) serta dapat memprediksi dampak kenaikan suhu berdasarkan berbagai skenario hipotetis kondisi alam (Wu et al. 2001, Hamrick dan Mills 2000). PT. Badak NGL membuang air pendingin ke perairan Bontang dengan debit buangan air pendingin cukup besar yakni train A-F sebesar 141 000 m3/jam, train G sekitar 34 359 m3/jam, train H sebesar 36 254 m3/jam (Pertamina 2003). Selain debit yang besar, suhu buangan air pendingin tersebut tercatat juga tinggi yang berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan suhu air di muara kanal pendingin train A-F sebesar 43.89 oC saat pasang dan 45.56 oC saat surut sedangkan di lokasi muara pendingin train G terukur 40 oC pada saat pasang dan 40.56 oC pada saat surut (Pertamina 2003). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola sebaran suhu dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi dan menggunakan hasil model tersebut untuk menganalisis dampak kenaikan suhu perairan terhadap fitoplankton dan terumbu karang yang ada di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL. Metode dalam penelitian meliputi : (i) survei lapangan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL untuk penetapan untuk daerah model; (ii) identifikasi kondisi sebaran biota laut yang terdapat dalam daerah model; (iii) simulasi pola sebaran suhu buangan air pendingin dengan menggunakan model POM (Princeton Ocean Model), dimana gaya pembangkit yang digunakan dalam model adalah pasang surut, debit buangan air pendingin dan debit sungai. Pemilihan langkah waktu (∆t)=0.5 detik, dengan 118 grid (barat-timur) dan 187 grid (utara-selatan), ukuran grid Δx=Δy=30 m. Nilai awal : u=v=ζ=0, T0 = 28 oC dan S0

Verifikasi elevasi dan suhu antara hasil model dengan hasil pengukuran menunjukkan kesesuaian yang baik dengan koefisien korelasi (r) 0.97, kesalahan relatif rata-rata (MRE) 1.32% untuk verifikasi elevasi, r 0.90, MRE 5.17 % untuk verifikasi suhu permukaan pada saat bulan purnama dan r 0.87, MRE 7.12% saat bulan perbani. Verifikasi suhu dalam arah vertikal juga menunjukkan kesesuaian yang baik yakni layer-1 r 0.83, MRE 1.56%; layer-2 r 0.79, MRE 2.08%; layer-3 = 32 ‰. Simulasi model terdiri dari 4 skenario yakni : skenario musim kemarau dan musim hujan masing-masing untuk kondisi pasut purnama dan perbani; (iv) analisis dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL terhadap fitoplankton dan terumbu karang dengan menggunakan hasil simulasi model dispersi thermal; (v) rekomendasi pengelolaan wilayah pesisir yang meliputi pengelolaan buangan air pendingin serta arahan kebijakan terkait suhu buangan air pendingin.


(6)

maksimum, menuju surut dan surut maksimum) baik untuk skenario musim hujan maupun musim kemarau. Perbedaan suhu paling dinamis ditemukan pada saat purnama untuk kondisi cuplik pasang maksimum dan surut maksimum terlihat pada Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) yakni 41 oC saat surut maksimum dan 34.25 oC saat pasang maksimum (ΔT=6 oC). Adapun perbedaan suhu antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup besar ditemukan di Stasiun 8 yakni sekitar 2.54 oC untuk skenario musim kemarau dan 2.32 oC untuk skenario musim hujan. Perbedaan suhu antara outfall 1, kolam pendingin (700 m dari outfall 1), Muara Kanal Pendingin (zona terdampak) (2 100 m dari outfall 1) dan perairan depan Pulau Sieca (3 200 m dari outfall 1) bervariasi menurut kondisi cuplik, dengan kisaran suhu berturut-turut sebagai berikut : 43.54-44.00 oC, 41.5-43.2 oC, 34.25-41.02 oC dan 32.23-33.21 oC. Dengan demikian perbedaan suhu antara kolam pendingin dengan Muara Kanal Pendingin berkisar antara 0.48-8.95 oC, perbedaan tertinggi tercatat saat purnama untuk waktu cuplik surut maksimum dan terendah pada saat pasang maksimum. Sementara perbedaan suhu antara Muara Kanal Pendingin dengan Pulau Sieca berkisar antara 1.04-8.79 o

Selanjutnya dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dianalisis dengan menggunakan hasil model dispersi thermal, dimana waktu dan lokasi pengambilan sampel fitoplankton disesuaikan dengan waktu dan titik cuplik hasil model. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata untuk empat kondisi pengambilan sampel, yang berarti bahwa jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton tidak dipengaruhi oleh kondisi pasang surut dan musim. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya korelasi negatif antara suhu dengan kelimpahan dan jumlah spesies fitoplankton.

C, tertinggi pada saat purnama untuk waktu cuplik surut maksimum.

Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah spesies Stasiun Kontrol dengan Stasiun A, B dan C. Demikian pula analisis kelimpahan fitoplankton menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara kelimpahan fitoplankton di Stasiun Kontrol dengan stasiun lainnya, kecuali pada Stasiun A, B dan C. Hal ini berarti jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton pada A, B dan C dipengaruhi oleh tingginya suhu di stasiun tersebut, dalam hal ini dampak kenaikan suhu terhadap jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton terutama ditemukan pada perairan dengan suhu >37.91 o

Sementara untuk terumbu karang hasil simulasi dicuplik pada lokasi di mana ditemukan adanya terumbu karang. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan suhu sampai 35.3

C.

o

C akibat buangan air pendingin menyebabkan

kematian total terumbu karang, hal ini ditemukan pada terumbu karang di Sekambing Muara. Sementara kenaikan suhu hingga 33.3 o

Kata kunci : model POM, buangan air pendingin dan debit sungai, sebaran suhu, fitoplankton, terumbu karang

C di depan Pulau Sieca menyebabkan kerusakan sedang hingga kematian terhadap terumbu karang.


(7)

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

K A S M A N

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc Penguji pada Ujian Terbuka : Ir. Nurul Jannah, MM, PhD


(10)

Nama : Kasman

NRP : C261060071

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin

Ketua Anggota

Dr. Ir. Zainal Arifin, MSc

Dr. Ir. Ario Damar, MSi

Anggota Anggota

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, MSc

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(11)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam karena berkat rahmat dan petunjuk-Nya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan.

Sejak awal penyusunan disertasi ini penulis telah diperhadapkan pada berbagai permasalahan baik yang bersifat teknis maupun non-teknis. Namun berkat usaha yang tidak pernah mati dan adanya berbagai dukungan dari pembimbing maka draft disertasi ini dapat dirampungkan.

Karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin selaku pembimbing utama dalam penelitian ini yang secara bijaksana telah memberi pandangan yang luas dalam penulisan proposal ini. Demikian juga rasa terima kasih yang dalam saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Zainal Arifin, MSc, Dr. Ir. Ario Damar, M.Si dan Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, MSc, selaku pembimbing anggota yang telah banyak memberi masukan dan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang penulis hadapi dalam penulisan disertasi ini.

Rasa hormat yang setinggi-tingginya dan terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Unggul Aktani, MSc (almarhum) atas jasa-jasanya membimbing penulis selama ini baik yang bersifat akademik maupun spirituil. Semoga amal baik beliau diterima di sisi Allah SWT, diampuni segala dosanya dan diberi tempat yang mulia di sisi-Nya, amin.

Akhirnya penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga sangat diharapkan adanya kritik dan saran membangun dalam rangka perbaikan yang lebih komprehensif.

Bogor, Juli 2011


(12)

Penulis dilahirkan di Sila-sila, Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada tanggal 24 Maret 1974. Penulis adalah anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan keluarga Bapak H. Muhammad Kasim (Alm) dan Ibu Hj. St. Fatimah.

Setelah lulus dari SMA Negeri 1 Polewali Tahun 1992 penulis kemudian melanjutkan pendidikan strata-1 pada Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin. Pada Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral (FIKTM), Institut Teknologi Bandung, lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan program doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Teknik Universitas Trunaya Bontang sejak tahun 2002, dengan bidang keilmuan berkonsentrasi pada pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Selain sebagai tenaga pengajar, penulis juga aktif dalam lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Analisis Zona Pesisir Terdampak Berdasarkan Model Dispersi Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL di Perairan Bontang, Kalimantan Timur merupakan karya ilmiah yang sebagian muatannya diselesaikan di Tokyo University of Marine Science and Technology (TUMSAT), Jepang. Hal ini berkat diberikannya kesempatan bagi penulis untuk mengikuti Program Sandwich dari Direktorat Pendidikan Tinggi Republik Indonesia tahun 2009 di Universitas tersebut.


(13)

Glossaries :

Ambient level = suhu alami

BML = Baku Mutu Lingkungan

ANOVA = Analysis of Variance

CFL = Courant-Friedrichs-Levy

Cooling Water = air buangan dari proses pendingin Grid = Teknik penyusunan cell dalam model

Intake = lokasi dimana air laut diambil sebagai air pendingin Isotherm = garis yang menghubungkan nilai suhu yang sama

Kepmen LH = Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup

Layer = Lapisan berdasarkan kedalaman perairan

LNG = Liquefied Natural Gas

LPG = Liquefied Petroleum Gas

MRE = Mean Relative Error

Mixing point = Daerah dimana terjadi percampuran antara air buangan dengan air laut

ORITIDE = Ocean Research Institute TIDE

Outfall = lokasi dimana buangan air pendingin dilepas ke perairan Outlet = titik dimana buangan air pendingin keluar pertama kali

dari pipa sistem pendingin

Permen LH = Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup

POM = Princeton Ocean Model

SK Gubernur = Surat Keputusan Gubernur

Titik cuplik = titik dimana hasil model diprint hasilnya

Train = kilang dimana terjadi proses pencairan gas

TC = titik cuplik


(14)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman 1 2 3 DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang... 1.2 Perumusan Masalah... 1.3 Tujuan Penelitian... 1.4 Manfaat Penelitian... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian...

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Gambaran Umum Kota Bontang... 1.1.1 Kondisi Umum Meteorologi dan Oseanografi... 1.1.2 Kondisi Pasang Surut... 1.1.3 Kondisi Alami Suhu Perairan Bontang... 1.1.4 Kondisi abiotik Perairan Bontang………. 1.2 Buangan Air Pendingin PT. Badak NGL... 1.3 Studi tentang Buangan Air Pendingin dan Dampaknya…………...

1.3.1 Model Numerik Buangan Air Pendingin PLTU Suralaya… 1.3.2 Pengaruh Limbah Panas terhadap Biota Laut……...

1.3.2.1Terumbu Karang... 1.3.2.2Fitoplankton... 1.4 Regulasi Buangan Air Pendingin di Indonesia……… 1.5 Model Dispersi Thermal... 1.5.1 Model Hidrodinamika 3-Dimensi... 1.5.1.1 Persamaan-persamaan Dasar... 1.5.1.2 Implementasi Teknik Mode Pemisah... 1.5.1.3 Penyusunan Grid... 1.5.1.4 Penentuan Langkah Waktu……….. 1.5.1.5 Syarat Batas (Boundary Condition)………. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian... 3.2 Daerah Model... 3.3 Pendekatan Penelitian... 3.4 Tahapan Pelaksanaan Studi... 3.4.1 Tahap Persiapan……….. 3.4.2 Tahap Penelitian Lapangan………. 3.4.2.1 Survei oseanografi dan debit sungai………... 3.4.2.2 Analisis sumberdaya pesisir……… 3.5 Desain dan Skenario Model………

xvii xix xxv 1 2 3 3 3 3 5 6 7 7 8 9 11 11 11 11 15 20 22 23 23 27 27 28 29 31 31 33 36 36 36 36 39 41


(15)

xiv

4

3.5.1 Desain Simulasi Model Hidrodinamika………... 3.5.2 Elevasi Pasang Surut di Batas Terbuka Model... 3.6 Verifikasi Hasil Model ……….. 3.7 Data Simulasi... 3.8 Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton... 3.9 Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Terumbu Karang... 3.10 Analisis Zona Pesisir Berdasarkan Kenaikan Suhu Perairan…….. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Oseanografi Wilayah Penelitian………. 4.1.1 Kondisi Pasang Surut……… 4.1.2 Hasil Pengukuran Suhu………. 4.1.2.1 Suhu Permukaan……….. 4.1.2.2 Suhu Arah Vertikal………. 4.1.3 Kondisi Sungai di Wilayah Penelitian……….. 4.2 Verifikasi Model……….. 4.2.1 Verifikasi Elevasi Pasang Surut……… 4.2.2 Verifikasi Suhu ……… 4.2.2.1 Verifikasi Suhu Permukaan……….. 4.2.2.2 Verifikasi Suhu Arah Vertikal.………. 4.2.3 Verifikasi Pola Arus………... 4.3 Profil Suhu Hasil Model………... 4.3.1 Profil Suhu pada Musim Kemarau untuk Pasut Perbani... 4.3.1.1 Struktur Vertikal Suhu……….. 4.3.1.2 Pola Sebaran Suhu Permukaan……….. 4.3.2 Profil Suhu pada Musim Kemarau untuk Pasut Purnama…... 4.3.2.1 Struktur Vertikal Suhu……….. 4.3.2.2 Pola Sebaran Suhu Permukaan……….. 4.3.3 Profil Suhu pada Musim Hujan untuk Pasut Perbani……… 4.3.3.1 Struktur Vertikal Suhu………... 4.3.3.2 Pola Sebaran Suhu Permukaan………... 4.3.4 Profil Suhu pada Musim Hujan untuk Pasut Perbani ... 4.3.4.1 Struktur Vertikal Suhu………... 4.3.4.2 Pola Sebaran Suhu Permukaan………... 4.4 Kualitas Buangan Air Pendingin... 4.5 Kualitas Air Laut di sekitar PT. Badak NGL... 4.6 Struktur Vertikal Suhu dan Kondisi Fitoplankton di Stasiun

Pengambilan Sampel Fitoplankton……….. 4.6.1 Stasiun A ……… 4.6.1.1 Musim Kemarau………. 4.6.1.2 Musim Hujan……….. 4.6.2 Stasiun B ……… 4.6.2.1 Musim Kemarau………. 4.6.2.2 Musim Hujan……….. 4.6.3 Stasiun C ……… 4.6.3.1 Musim Kemarau………. 4.6.3.2 Musim Hujan……….. 4.6.4 Stasiun D ………

41 43 43 45 46 46 47 49 49 50 50 51 51 52 52 53 53 55 56 57 58 58 60 66 66 68 73 73 75 79 79 81 85 86 90 90 90 93 95 95 96 98 98 100 102


(16)

4.6.4.1 Musim Kemarau……….. 4.6.4.2 Musim Hujan………... 4.6.5 Stasiun E ………. 4.6.5.1 Musim Kemarau……….. 4.6.5.2 Musim Hujan……….. 4.6.6 Stasiun F ……… 4.6.6.1 Musim Kemarau……….. 4.6.6.2 Musim Hujan………... 4.6.7 Stasiun G (Stasiun Kontrol)……… 4.6.7.1 Musim Kemarau……….. 4.6.7.2 Musim Hujan………... 4.6.8 Stasiun H ……… 4.6.8.1 Musim Kemarau……….. 4.6.8.2 Musim Hujan………... 4.7 Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton…………

4.7.1 Profil Suhu di Stasiun Pengambilan Sampel Fitoplankton 4.7.2 Analisis Spesies Fitoplankton……….. 4.7.2.1 Profil Spesies berdasarkan Kondisi Pasut dan

Musim………. 4.7.2.2 Pengaruh Suhu terhadap Jumlah Spesies

Fitoplankton……… 4.7.3 Analisis Kelimpahan Fitoplankton………... 4.7.3.1 Kelimpahan Fitoplankton berdasarkan Kondisi

Pasut dan Musim………... 4.7.3.2 Pengaruh Suhu terhadap Kelimpahan

Fitoplankton……… 4.8 Analisis Terumbu Karang……….. 4.8.1 Kondisi Terumbu Karang yang Tidak Terkena Dampak…. 4.8.1.1 Pulau Beras Basah……….. 4.8.1.2 Pulau Melahing………... 4.8.2 Kondisi Terumbu Karang yang Terkena Dampak………. 4.8.2.1 Profil Suhu dan Kondisi Terumbu Karang di

Depan Pulau Sieca……….. 4.8.2.2 Kondisi Terumbu Karang di Depan Pulau Sieca... 4.8.2.3 Profil Suhu dan Kondisi Terumbu Karang di

Sekambing Muara……….. 4.8.2.4 Kondisi Terumbu Karang di Sekambing Muara… 4.9 Analisis Kondisi Perairan Berdasarkan Kriteria Suhu untuk

Fitoplankton………... 4.9.1 Kondisi Menuju Pasang………... 4.9.2 Kondisi Pasang Maksimum...………... 4.9.3 Kondisi Menuju Surut...………... 4.9.4 Kondisi Surut Maksimum.………... 4.10 Arahan Pengelolaan……….

4.10.1 Menurunkan Suhu Buangan Air Pendingin………...

4.10.2 Pendalaman Kolam Pendingin………..……….

4.10.3 Perluasan Kolam Pendingin………... 4.10.4 Pelebaran Kanal Pendingin………

102 104 105 105 107 109 109 110 112 112 114 115 115 117 119 119 120 120 121 127 127 128 131 131 131 132 133 133 137 138 141 142 143 144 146 148 150 150 154 156 157


(17)

xvi

5

4.10.5 Regulasi Buangan Air Pendingin…..………. 4.11 Implikasi Buangan Air Pendingin terhadap Tata Ruang Kota Bontang………... KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan………..……. 5.2 Saran……… DAFTAR PUSTAKA……….. LAMPIRAN

158 162

165 165 167


(18)

xvii DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Hasil pengukuran beberapa parameter abiotik di Perairan Bontang.... Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap terumbu karang……….. Variabel lingkungan (n=12) yang diukur setiap tiga bulan di daerah intake dan outfall Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan……….. Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap fitoplankton……….. Baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004………. Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu……… Karakter komponen harmonik pasut di Pelabuhan Sekangat, Bontang, 13 September 2008 – 11 Oktober 2008………... Suhu dan debit rata-rata beberapa sungai yang bermuara ke lokasi penelitian pada musim hujan dan kemarau……….. Hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin PT. Badak NGL Bulan Maret dan September 2009... Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL, Maret 2009……….. Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL, Agustus 2009……….. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun A pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun A pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun B pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun B pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun C pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun C pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun D pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………...

9 15 17 17 21 22 50 52 87 88 89 91 94 95 98 99 101 102


(19)

xviii

19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun D pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun E pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun E pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………. Jumlah total dan jenis spesies yang ditemukan berdasarkan klasifikasi suhu perairan di beberapa stasiun……….... Kelimpahan fitoplankton berdasarkan klasifikasi suhu perairan pada beberapa stasiun……….... Kondisi suhu hasil simulasi di depan Pulau Sieca untuk musim kemarau dan musim hujan……….... Kondisi suhu hasil simulasi di Sekambing Muara untuk musim kemarau dan musim hujan………... Luas perairan berdasarkan kriteria kenaikan suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk empat kondisi cuplik pada saat pasut purnama……….

105 106 107 110 111 113 114 117 118 126 130 136 141


(20)

Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Jumlah curah hujan bulanan di Kota Bontang, 2001-2007…………. Jumlah curah hujan rata-rata bulanan di Kota Bontang, 2001-2007.. Stasiun pengamatan beberapa parameter fisik dan kimia di Perairan Bontang... Nilai suhu yang terukur pada titik-titik stasiun pengamatan hasil pengukuran saat pasang 11 Juli 2002………. Pola distribusi sebaran peningkatan suhu perairan di sekitar PLTU Suralaya……….. Sistem Koordinat Sigma-σ………. Langkah waktu dari teknik mode-splitting... Sistem Grid 3-Dimensi untuk mode eksternal dalam model POM… Sistem Grid 2-Dimensi untuk mode internal dalam model POM….. Peta administrasi wilayah Kota Bontang……… Daerah model lokasi penelitian……….. Diagram Kerangka Pemikiran Rencana Penelitian………. Diagram Alir Program POM……….. Stasiun pengukuran suhu permukaan, suhu arah vertikal, elevasi muka laut dan debit sungai………. Stasiun pengambilan sampel fitoplankton dan pengamatan terumbu karang……….. Data elevasi muka laut hasil pengukuran di Pelabuhan Baltim…….. Verifikasi elevasi pasang surut antara hasil model dan data lapangan……….. Verifikasi suhu permukaan antara hasil pengukuran dengan hasil simulasi saat purnama pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 3 Oktober 2008……… Verifikasi suhu permukaan antara hasil pengukuran dengan hasil simulasi saat perbani pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 10 Oktober 2008……….. Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan untuk lapisan permukaan, 5-7 Oktober 2008……….. Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan pada kedalaman 2 m, 5-7 Oktober 2008………. Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan

6 7 8 10 11 24 27 27 28 31 32 34 35 37 40 49 53 54 55 55 55 xix


(21)

xx 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37

pada kedalaman 4 m, 5-7 Oktober 2008………. Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan pada kedalaman 6 m, 5-7 Oktober 2008………. Verifikasi pola arus pada saat air surut antara : (a) hasil pengamatan dengan (b) hasil model……… Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani………. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju pasang………... Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air pasang maksimum……….. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju surut………... Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air surut maksimum………. Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama……… Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju pasang………. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air pasang maksimum……… Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju surut………. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air surut maksimum………... Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani……….. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju pasang………... Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air pasang maksimum………..

56 56 57 58 61 62 64 65 67 69 70 72 73 74 76 77


(22)

38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53

Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju surut………... Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air surut maksimum………. Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama……… Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju pasang………. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air pasang maksimum……… Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju surut………. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air surut maksimum………... Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A pada musim kemarau (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani………... Pola arus permukaan saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani….. Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun A (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Pola arus permukaan pada musim hujan saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.. Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun B (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani……… Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun B (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun C (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani……… Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun C (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun D (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani………...

78 79 80 82 83 84 85 91 92 93 94 96 97 99 101 103


(23)

xxii 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71

Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun D (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun E (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani……… Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun E (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani……….. Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun F (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani……… Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun F (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.. Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun G (a) kondisi pasut purnama; (b) kondisi pasut perbani………... Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun G (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani……… Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim purnama di Stasiun H (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani……….... Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun H (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Profil suhu beberapa stasiun berdasarkan kondisi pasut dan musim.. Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun berdasarkan kondisi pasut dan musim………. Profil suhu dan jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel……….. Kelimpahan fitoplankton berdasarkan kondisi pasut dan musim….. Profil suhu dan kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel……….. Histogram Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Pulau Beras Basah... Histogram Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Melahing... Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2……….. Struktur vertikal suhu pada musim kemarau saat purnama untuk titik cuplik (a) PA1 (b) PA2………

104 106 108 109 111 113 115 116 118 119 120 122 127 129 132 132 133 135


(24)

72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87

Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat perbani pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2………... Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat purnama pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2……… Histogram penutupan substrat dasar terumbu karang di depan Pulau Sieca... Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2………. Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat purnama pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2………... Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat perbani pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2……….. Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat purnama pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2………... Kondisi perairan pada saat air menuju pasang menurut kriteria suhu berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004...………. Kondisi perairan pada saat air pasang maksimum menurut kriteria suhu berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004...………. Kondisi perairan menurut kriteria suhu pada saat air menuju surut berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004………. Kondisi perairan menurut kriteria suhu pada saat air surut maksimum berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004...………. Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario musim hujan saat purnama dengan input suhu buangan air pendingin yang berbeda (a) suhu 38 oC (b) suhu 44 o

Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario musim hujan saat perbani dengan input suhu buangan air pendingin yang berbeda (a) suhu 38

C……….

o

C (b) suhu 44 o

Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah pendalaman kolam pendingin (a) setelah pendalaman menjadi 4 m (b) sebelum pendalaman…………

C………...

Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah perluasan kolam pendingin (a) setelah perluasan kolam pendingin (b) sebelum perluasan kolam pendingin………. Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah pelebaran kanal pendingin (a) setelah pelebaran kanal (b) sebelum pelebaran kanal ……...……….

136 136 137 138 139 139 140 144 145 147 149 153 154 155 156 158


(25)

xxv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Hasil Pengukuran Pasang Surut di Pelabuhan Tanjung Limau selama 29 hari (29 piantan)………. Sebaran suhu permukaan hasil pengukuran saat purnama (3

Oktober 2008) dan saat perbani (10 Oktober 2008) di beberapa stasiun pengamatan………. Hasil pengukuran suhu (o

Suhu permukaan hasil simulasi pada titik verifikasi……….. C) dalam arah vertikal di Stasiun 8

(Muara Kanal Pendingin)………

Suhu (o

Hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin PT. Badak NGL Bulan Maret 2008 dan September 2008...

C) hasil simulasi per-layer pada titik verifikasi model……..

Hasil pengukuran kualitas air laut di sekitar PT Badak NGL (Maret 2008)………... Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL (September 2008)………... Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun A saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau……… Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun A saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan………. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun B saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau……… Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun B saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan………. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun C untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau……… Jumlah Jenis dan Kelimpahan fitoplankton di Stasiun C untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan………. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun D untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau……… Jumlah Jenis dan Kelimpahan Plankton di Stasiun D saat air pasang dan air surut untuk kondisi purnama pada musim hujan…………. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun E untuk

173 175 176 178 179 180 181 181 183 183 184 184 185 185 186 187


(26)

18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29

kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau……… Jumlah Jenis dan Kelimpahan fitoplankton di Stasiun E untuk kondisi perbani pada musim hujan……….. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun F untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau……… Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun F untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan………. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau……… Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan………. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau……… Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan………. Tabel hasil uji ANOVA (jumlah spesies fitoplankton)……….. Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel………. Tabel hasil uji ANOVA (kelimpahan fitoplankton)………... Kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel………... Foto kondisi terumbu karang pada beberapa lokasi survei…………

188 188 189 189 190 191 192 193 194 196 198 199 200


(27)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Studi tentang buangan air pendingin dari sistem air pendingin (cooling water system) dengan menggunakan integrasi model hidrodinamika dan model dispersi thermal 3-dimensi telah mampu mensimulasi keadaan stratifikasi perairan dan menjelaskan distribusi kenaikan suhu secara temporal dan spasial (Shahidi et al. 2010; Maderich et al. 2008), serta digunakan untuk menilai dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh meningkatnya suhu perairan akibat aktifitas industri (You dan Li 2009; Abbaspour et al. 2005). Banyak kesulitan yang ditemukan dalam observasi langsung terhadap karakteristik distribusi kenaikan suhu dapat dikurangi dengan menggunakan model numerik. Model dapat menjelaskan proses dinamik selama periode observasi lapangan dengan simulasi dan dapat memprediksi dampak kenaikan suhu berdasarkan berbagai skenario hipotetis kondisi alam (Wu

et al. 2001, Hamrick dan Mills 2000).

Adanya kegiatan PT. Badak NGL di Pesisir Bontang yang membuang air pendingin ke perairan memerlukan kajian terhadap pola sebaran suhu mengingat debit buangan air pendingin beberapa train yang beroperasi di perusahaan tersebut cukup besar yakni train A-F sebesar 141 000 m3/jam, train G sekitar 34 359 m3/jam, train H sebesar 36 254 m3/jam (Pertamina 2003). Selain debit yang besar, suhu buangan air pendingin tersebut tercatat juga tinggi yang berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan suhu air di muara kanal pendingin train A-F sebesar 43.89oC saat pasang dan 45.56oC saat surut sedangkan di lokasi muara pendingin train G terukur 40oC pada saat pasang dan 40.56o

Suhu merupakan salah satu variable lingkungan paling penting yang mempengaruhi keberlangsungan hidup, pertumbuhan dan reproduksi organisme akuatik. Peningkatan suhu air laut dapat menyebabkan meningkatnya laju metabolisme organisme dan mengurangi konsentrasi oksigen terlarut

C pada saat surut (Pertamina 2003). Buangan limbah air pendingin di perairan tropis dengan kisaran suhu tersebut berpotensi merusak kehidupan biota laut, karena biota tropis hidup pada suhu yang dekat dengan batas atas toleransi suhu (Roessler dan Zieman 1969; Kolehmainen et al. 1974).


(28)

(Poornima et al. 2005). Apabila kadar O2 sedikit saat suhu air naik, maka hal tersebut dapat mengakibatkan makhluk hidup dalam air mati karena kebutuhan O2

Sumberdaya pesisir yang kemungkinan terkena dampak akibat naiknya suhu perairan yang disebabkan oleh buangan air pendingin dari PT. Badak NGL di Perairan Bontang diantaranya adalah mangrove, terumbu karang, plankton, bentos dan lain-lain. Biota laut ini secara langsung terpapar oleh buangan air pendingin yang menyebabkan kerusakan dengan tingkat yang berbeda-beda tergantung jarak mereka terhadap sumber buangan air pendingin (outfall) dan kemampuan bertahan terhadap kenaikan suhu (Pertamina 2003). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kenaikan suhu 2°C diatas suhu maksimum tahunan dapat menyebabkan efek sublethal (hilangnya pigmen zooxanthella) pada terumbu karang dan kenaikan 4-5°C menyebabkan kematian pada sebagian besar jenis karang (Coles et al. 1976). Adapun untuk fitoplankton, kenaikan suhu hingga 3.4-5.9

tinggi sedangkan yang tersedia sedikit (Effendi 2003).

o

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan simulasi dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi untuk melihat pola sebaran suhu dari buangan air pendingin ke badan air serta melakukan identifikasi sumberdaya pesisir yang ada di sekitar PT. Badak NGL. Selanjutnya pola sebaran suhu yang diperoleh dari hasil simulasi digunakan untuk menganalisis dampak kenaikan suhu terhadap sumberdaya pesisir tersebut.

C menyebabkan terjadinya pengurangan jumlah klorofil-a sekitar 15-50% (Poernima et al. 2005).

1.2 Perumusan Masalah

Tingginya suhu buangan air pendingin (cooling water) PT. Badak NGL yang dilepas ke Perairan Bontang dapat menyebabkan terganggunya berbagai biota laut yang ada di sekitarnya. Di antara biota laut yang berpotensi terkena dampak dari kenaikan suhu perairan tersebut adalah terumbu karang, lamun, mangrove, bentos, berbagai jenis ikan, plankton dan lain-lain.

Untuk meminimalkan dampak kenaikan suhu terhadap biota laut yang ada di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL, maka perlu diketahui kondisi suhu dimana biota laut tersebut ditemukan. Berdasarkan hal tersebut, maka beberapa permasalahan yang harus dipecahkan adalah :


(29)

3

1. Bagaimana pola sebaran suhu yang terjadi akibat adanya buangan air pendingin yang dilepaskan ke Perairan Bontang oleh PT. Badak NGL.

2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh buangan air pendingin dari proses industri terhadap terumbu karang dan fitoplankton di sekitarnya.

3. Bagaimana kondisi perairan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. 1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang timbul pada wilayah penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis pola sebaran suhu dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL.

2. Menganalisis dampak kenaikan suhu perairan terhadap fitoplankton dan terumbu karang yang ada di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL dengan menggunakan hasil model dispersi thermal 3-dimensi.

3. Menganalisis kondisi perairan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL berdasarkan hasil analisis kenaikan suhu dan dampaknya terhadap fitoplankton dan terumbu karang serta menganalisis luasan perairan yang terkena dampak menurut baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam hal :

1. Pengembangan ilmu khususnya bidang biofisik kelautan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.

2. Memberi kontribusi bagi pemerintah daerah dalam menyusun strategi pembangunan di wilayah perairan sekitar kawasan air buangan PT. Badak NGL secara optimal dan berkelanjutan.

3. Menjadi acuan bagi perusahaan yang menggunakan sistem air pendingin misalnya PLTU dalam mengelola buangan air pendingin yang dihasilkan, dengan kata lain memudahkan manajemen perusahaan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan perairan di sekitarnya.

4. Memberi kontribusi bagi pihak yang berkompeten merumuskan regulasi tentang buangan air pendingin ke wilayah perairan.


(30)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Pola sebaran suhu dikaji dengan menggunakan model POM (Princeton Ocean Model) yang dikembangkan oleh Mellor 2003. Model ini telah digunakan secara luas dalam mempelajari daerah pesisir dan laut karena akurat dan efisien (Aoki dan Isobe 2007). Dalam penelitian ini digunakan gaya pembangkit pasang surut, debit buangan air pendingin dan debit sungai. Tidak dimasukkanya angin sebagai gaya pembangkit model mengingat daerah model merupakan perairan semi tertutup (semi enclosed) sehingga stress permukaan yang ditimbulkan oleh angin dapat diabaikan. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, diantaranya oleh Aoki dan Isobe 2007 di Teluk Fukuoka, Shahidi et al. 2010 di Teluk Persia, Maderich et al. 2008 di Sungai Waal dan beberapa penelitian lainnya.

Wilayah studi dibatasi dengan memperhatikan aspek keterwakilan wilayah terkena dampak, potensial kena dampak, dan tidak terkena dampak di sekitar wilayah pembuangan air pendingin proses industri PT. Badak NGL. Dalam penelitian ini analisis dampak kenaikan suhu terhadap biota laut yang berada di sekitar buangan air pendingin dibatasi pada terumbu karang dan fitoplankton. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa hasil model 3-dimensi yang digunakan dapat menjelaskan kondisi suhu kedua biota laut tersebut, dimana sebaran suhu arah horizontal hasil model dapat menjelaskan kondisi fitoplankton, sementara arah vertikal dapat menjelaskan kondisi suhu di zona terumbu karang.

1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian

Penelitian ini melakukan sinkronisasi antara model fisis dengan analisis biota laut untuk digunakan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Hal ini merupakan sesuatu yang baru mengingat selama ini antara permodelan fisis dengan analisis biota laut dilakukan secara parsial. Kebaruan ini semakin nyata mengingat metode sinkronisasi tersebut diimplementasikan dalam paradigma ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu.


(31)

5

2. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian yang berhubungan dengan kenaikan suhu di wilayah penelitian telah banyak dilakukan baik oleh manajemen perusahaan PT. Badak NGL, Pemerintah Kota Bontang, maupun oleh peneliti dari berbagai perguruan tinggi. Walaupun demikian dari hasil penelusuran literatur, penulis belum menemukan adanya penelitian tentang model dispersi thermal secara spesifik yang mengarah pada dampak buangan air pendingin industri terhadap ekosistem di sekitarnya dan bagaimana menggunakan hasil model dispersi thermal tersebut untuk menganalisis dampak kenaikan suhu terhadap biota laut.

2.1 Gambaran Umum Kota Bontang

Kota Bontang merupakan sebuah kota kecil yang terletak di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Luas wilayah Kota Bontang hanya ±49 757 Ha yang terdiri dari daratan seluas ±14 780 Ha (29.70%) dan lautan seluas ±34 977 Ha (70.30%) dengan panjang garis pantai 24.4 km.

Wilayah administrasi Kota Bontang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Kutai

Timur, Kalimantan Timur

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar, Kalimantan Timur

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur

Luas daratan Kota Bontang 14 780 Ha, meliputi : Kawasan Hutan Lindung seluas 5 950 Ha (11.96%), PT. Pupuk Kaltim 2 010 Ha (4.04%), PT. Badak NGL 1 572 Ha (3.15%) dan kawasan pemukiman penduduk seluas 5 248 Ha (10.56%). Wilayah ini dilalui oleh garis khatulistiwa yang beriklim tropika basah, yakni wilayah tropis yang beriklim panas tetapi memiliki curah hujan yang tinggi dengan suhu udara bervariasi antara 24-33o

Hasil interpretasi peta rupa bumi menunjukkan bahwa Kota bontang didominasi oleh bentuk wilayah yang datar hingga bergelombang dengan


(32)

kemiringan lahan antara 0-8%. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa penutupan vegetasi berupa kebun campuran, semak belukar, alang-alang dan hutan sekunder dapat dijumpai di semua kecamatan, sedangkan hutan bakau hanya dijumpai di Kecamantan Bontang Utara dan Kecamatan Bontang Selatan di sekitar bibir pantai dan pulau-pulau kecil (Bappeda Kota Bontang 2005).

2.1.1 Kondisi Umum Meteorologi dan Oseanografi

Kota Bontang dipengaruhi oleh iklim muson tropis, dimana periode muson barat daya terjadi sekitar bulan Desember-Februari dan muson tenggara dari Juni-Agustus, periode waktu lainnya merupakan periode transisi. Pada periode Maret-Mei angin bergerak dari arah baratdaya ke tenggara, dan pada periode September-Nopember bergerak dari arah tenggara ke baratdaya. Muson baratdaya biasa disebut dengan muson basah atau musim penghujan, dimana angin bertiup dari arah baratdaya ke tenggara membawa hujan lebat. Sebaliknya, muson tenggara dicirikan dengan kondisi yang kering, sehingga disebut muson kering atau musim kemarau. Namun fenomena ini tampaknya tidak terjadi di daerah Bontang, hal ini karena di daerah studi tidak ada perbedaan musim yang jelas antara musim penghujan dan musim kemarau, yaitu dicirikan oleh terjadinya hujan hampir sepanjang tahun (Gambar 1).

Gambar 1 Jumlah curah hujan bulanan di Kota Bontang, periode 2001-2007 (Sumber : Lab. PT. Badak NGL 2008).

Curah hujan bulanan tercatat berfluktuasi dari tahun ke tahun namun secara rata-rata jumlah curah hujan agak rendah selama bulan Juli-September (Gambar 2). Fenomena ketidakteraturan curah hujan di daerah Bontang diduga


(33)

7

berkaitan dengan aktifitas PT. Pupuk Kalimantan Timur yang memproduksi urea dan amonia. Selama proses produksi kemungkinan ada komponen urea atau amonia yang lolos ke udara sebagai debu dan merupakan partikel yang baik sebagai inti kondensasi uap air. Kondisi ini akan mempercepat terjadinya hujan di wilayah Bontang karena presipitasi atau hujan sangat tergantung pada keberadaan uap air, sedangkan inti kondensasi dalam hal ini debu-debu urea selalu siap. Dengan demikian maka dapat dimaklumi bila jumlah curah hujan tidak menentu setiap bulannya atau dengan kata lain berfluktuasi (Sasongkodan Rahmat 2004).

Gambar 2 Jumlah curah hujan rata-rata bulanan di Kota Bontang, periode 2001-2007 (Sumber : hasil olah data Lab. PT. Badak NGL 2008).

2.1.2 Kondisi Pasang Surut

Kondisi pasang surut di Perairan Bontang dijelaskan berdasarkan hasil pengamatan pasang surut yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bontang Tahun 2008 dan dari peramalan pasang surut global yang disebut ORITIDE yang dikembangkan oleh Ocean Reserch Institut (ORI), University of Tokyo, bekerjasama dengan National Astronomical Observatory (NAO), JAPAN untuk tahun yang sama. Indeks Formzahl (F) dari hasil pengamatan dan peramalan tersebut adalah sebesar 0.37. Nilai indeks demikian digolongkan sebagai tipe pasang surut campuran dominasi ganda (mixed tide, predominantly semi-diurnal) (Wyrtki 1961).

2.1.3 Kondisi Alami Suhu Perairan Bontang

Pengukuran suhu di Perairan Bontang menunjukkan sebaran yang cenderung homogen atau tidak banyak berbeda yakni bervariasi antara 28.3-29oC untuk sebaran arah horizontal dan secara vertikal bervariasi antara 28.3-29.1oC


(34)

dari permukaan hingga kedalaman 41 m. Hasil pengukuran suhu secara vertikal menunjukkan bahwa di perairan ini terdapat lapisan yang homogen sampai kedalaman 10-15 meter dengan suhu sekitar 29o

2.1.4 Kondisi Abiotik Perairan Bontang

C (Pertamina 2003).

Hasil survei kondisi abiotik pada beberapa lokasi di Perairan Bontang menunjukkan nilai yang relatif sama untuk beberapa parameter baik parameter fisik maupun kimia. Parameter yang relatif berbeda secara ekstrim dari beberapa lokasi pengamatan adalah parameter suhu di Stasiun a1 (Gambar 3), yakni berbeda sekitar 8-11oC dibanding dengan suhu di stasiun lain. Stasiun a1 merupakan outlet buangan air pendingin PT. Badak NGL.

Keterangan :

Stasiun : a1=Outlet PT. Badak; b1=P. Beras Basah; c1=P. Tihik-tihik; d1=P. Segajah; e1=P. Gusung; f1=Pelabuhan PT. Indominco; g1=Muara Bontang Kuala;

h1=Tambak Bontang Kuala; i1=Sungai Api-api

Gambar 3 Stasiun pengamatan beberapa parameter fisik dan kimia di Perairan Bontang (sumber : DKP Kota Bontang 2005).

B o n t a n g

a1

b1 c1

d1 e1

f1 g1

h1 i1


(35)

9

Hasil survei beberapa parameter abiotik dibeberapa stasiun yang dianggap dapat mewakili Perairan Bontang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil pengukuran beberapa parameter abiotik di Perairan Bontang

(sumber : DKP Kota Bontang 2007)

2.2 Buangan Air Pendingin PT. Badak NGL

Dari hasil pengukuran suhu saat survei tanggal 11 Juli 2002 di sekitar LNG Badak, ditemukan bahwa suhu pada buangan (outfall) Train A/B (Stasiun 1), Train C/D (Stasiun 2) dan Train E/F (Stasiun 3) bervariasi antara 45.1-45.3oC. Suhu air pada outfall Train G/H (Stasiun 4) adalah 41.5oC baik saat air pasang maupun saat air surut. Sebelum masuk ke kanal pendinginan, air pendingin dari outfall Train A/B/C/D/E/F bergabung sepanjang sejauh lebih kurang 3 km melalui Stasiun 5, 6 dan 7 lalu masuk ke kolam pendingin melalui Stasiun 8. Setelah mengalir sekitar 1 km, suhu mulai turun menjadi 44oC di Stasiun 7 dan setelah tiba di muara kanal Train A/B/C/D/E/F (Stasiun 8) suhu telah mengalami penurunan sampai 43oC saat air pasang dan 42.5oC saat air surut. Adapun muara kanal G/H (Stasiun 9) suhu telah mengalami penurunan dengan suhu rata-rata 38oCtahun 2000-2001 (Gambar 4).

Pada Stasiun 13 yang merupakan muara dimana buangan air pendingin memasuki perairan Teluk Bontang, suhu air pada saat survei berkurang menjadi 30.5oC (saat air pasang) dan 32.3oC (saat air surut). Hasil pengukuran pada Stasiun 13 yang dilakukan sejak 1997-2002 menunjukkan suhu yang konsisten yakni berkisar antara 32.3-42oC, dengan suhu rata-rata tahun 2000-2001 sebesar 38.98oC saat air surut dan 35.15o

No

C saat air pasang (Pertamina 2003).

Parameter Stasiun

a1 b1 c1 d1 e1 f1 g1 h1 i1

1 Suhu (o

38

C) 29 29 30 30 30 27 29 27 2 Salinitas (‰) 31 33 33 34 34 32 12 30 5 3 pH 7.7 7.9 7.8 7.8 7.8 7.7 7.6 7.7 7.4 4 DO (gr/l) 7.2 7.6 7.8 7.8 7.6 7.7 8.6 5.3 7.9 5 Arus (m/detik) 0.3 0.6 0.8 0.5 1.1 0.7 0.4 0 0 6 Kecerahan (m) 3 3.8 4 3.5 2.5 3 0.5 0.3 0.3


(36)

Keterangan :

1. Outfall Train A/B

2. Outfall Train C/D

3. Outfall Train E/F

4. Outfall Train G/H

5. Jembatan TOP

6. Jembatan TON

7. Sebelah barat Plant #34

8. Muara kanal Train A/B/C/D/E/F

9. Muara Air Pendingin Train G/H

10. Muara Sungai Sekambing

11. Pelabuhan Sekambing Baltim

12. Pertemuan Air Pendingin Train A-H

13. Muara Sungai Sekangat

14. Sebelah Selatan Loading Dock II

15. Basin Cooling Water Intake

16. Pantai Sebelah Barat Berbas

17. Perairan Sekitar Pulau Tihi-Tihi

18. Perairan Sekitar Pulau Selangan

Gambar 4 Nilai suhu (oC) yang terukur pada titik-titik stasiun pengamatan hasil pengukuran saat pasang 11 Juli 2002 (Sumber : Pertamina 2003).

L a u t

L a u t

D a r a t 1

2 3

4 5

6

7

8 9 10

11

12

13 14 17 18

16

15

D a r a t D a r a t


(37)

11

2.3 Studi tentang Buangan Air Pendingin dan Dampaknya 2.3.1 Model Numerik Buangan Air Pendingin PLTU Suralaya

Sebaran buangan air pendingin yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya telah disimulasikan dengan menggunakan model numerik. Sebaran peningkatan suhu di Perairan PLTU/PLTGU Tambak Lorok dilakukan dengan skenario kondisi angin calm, ∆T outlet sebesar 9oC dan debit outlet sebesar 26.49 m3/dt, dengan suhu alami 29o

Hasil simulasi dicuplik untuk empat kondisi yakni saat air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan pola sebaran suhu untuk keempat kondisi cuplik tersebut. Pola sebaran suhu untuk keempat kondisi cuplik dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah.

Gambar 5 Pola distribusi sebaran peningkatan suhu perairan di sekitar PLTU Suralaya (Sumber : Mihardja 2006).

C.

2.3.2 Pengaruh Limbah Panas terhadap beberapa Biota Laut 2.3.2.1 Terumbu karang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang hampir ditemukan di seluruh perairan dunia, meskipun hanya di perairan tropis dapat berkembang dengan baik. Distribusi dan stabilitas ekosistem terumbu karang bergantung pada beberapa

KONDISI PASUT

PERBANI

KONDISI PASUT

PERBANI

KONDISI PASUT

PERBANI

KONDISI PASUT


(38)

parameter fisika, diantaranya adalah suhu. Pada umumnya terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu antara 25-29o

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang rentan terhadap kenaikan suhu perairan. Respon terumbu karang terhadap tekanan lingkungan berupa kenaikan suhu dapat dikelompokkan menjadi : (1) respon fisiologis secara langsung terhadap faktor tunggal, (2) respon interaktif terhadap beberapa faktor lingkungan, (3) akibat tidak langsung yang terjadi pada interaksi komunitas (Smith dan Buddemeier 1992).

C, namun suhu diluar kisaran tersebut masih bias ditolerir oleh spesies tertentu dari terumbu karang untuk dapat berkembang biak dengan baik (Dahuri et al. 2001).

Peningkatan suhu perairan diyakini menjadi pemicu terjadinya pemutihan (bleaching) terumbu karang dan organisma lainnya yang bersimbiosis dengan zooxanthella dan selanjutnya akan dapat menyebabkan kematian. Namun menurut Smith dan Buddemeier (1992) kepekaan terumbu karang terhadap suhu sangat adaptif, tergantung spesies dan tergantung pula pada sejarah panjang fluktuasi suhu lingkungan sekitarnya. Faktor suhu yang dapat menyebabkan terjadinya pemutihan apabila mengalami kenaikan 3-4°C di atas suhu maksimum alami selama 2-3 hari pemaparan atau sekitar 1-2°C selama pemaparan beberapa minggu. Selanjutnya dinyatakan bila suhu naik sampai lebih dari 4°C maka akan menyebabkan kematian lebih dari 90% populasi terumbu hanya dalam beberapa hari (Smith dan Buddemeier 1992).

Sub-lethal efek suhu pada terumbu karang dapat terjadi pada penurunan respon makan, menurunkan laju reproduksi, menambah pengeluaran lendir, mempercepat keluarnya simbion zooxanthelae dan menurunkan perbandingan fotosintesis/respirasi (Grigg dan Dollar 1990).

Pada umumnya karang kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas 33.5oC. Akan tetapi pengaruh suhu terhadap binatang karang yang harus dihindari adalah adanya perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level), karena menurut Neudecker (1981) perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6oC di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan dapat mematikannya.


(39)

13

Suhu dapat mempengaruhi tingkah laku makan bagi karang. Pada umumnya karang kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas 33.5oC dan dibawah 16.5oC. Walaupun terdapat beberapa karang yang dapat bertahan hidup pada suhu yang tinggi, seperti jenis Acropora yang dapat hidup pada perairan dengan kisaran suhu musiman 16-40oC.

Pada dasarnya pengaruh suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu yang ekstrim, yaitu suhu minimum dan maksimum saja, namun lebih kepada perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level). Menurut Neudecker (1981) perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6o

Meskipun beberapa karang dapat dijumpai di lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10

C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan dapat mematikannya.

Salah satu akibat dari tekanan yang terjadi pada terumbu karang adalah peristiwa pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan Karang (menjadi pudar atau berwarna putih salju) terjadi akibat degenerasi atau hilangnya zooxanthellae dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya (Brown et al. 1999). Tekanan penyebab pemutihan karang antara lain tingginya suhu air laut yang tidak normal, tingginya tingkat sinar ultraviolet, kurangnya cahaya, tingginya tingkat kekeruhan, sedimentasi air, penyakit, kadar garam yang tidak normal dan polusi.

Selain perubahan suhu, perubahan salinitas juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup terumbu karang. Brown et al. 1999 menjelaskan bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland runoff) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.

o C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10m


(40)

dan suhu sekitar 25oC sampai 29o

Coles (1985) mempelajari dampak peningkatan suhu pada keberhasilan “settlement” dari larva planula karang di sekitar pembangkit tenaga listrik di Hawai. Berdasarkaan kepadatan settlement dari juvenile pada berbagai gradient suhu Coles (1985) menyimpulkan suhu optimum jangka pendek 33°C sampai 34°C untuk planula (Poillopora damicornis) menetap di Hawai yang berkisar antara 6-7°C lebih tinggi daripada suhu maksimum tahunan sebesar 27°C di perairan lepas pantai Hawai. Kenaikan suhu 6-7°C bagi planula karang di wilayah yang suhu ambien maksimumnya lebih tinggi dari Hawai untuk spesies karang sejenis atau lainnya mungkin dapat dihipotesiskan bahwa respon dari planula karang akan bergeser sesuai dengan kondisi suhu lingkungannya.

C. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans 1984).

Suhu ambien normal terumbu karang di ASEAN termasuk Indonesia adalah 28-30°C. Karang dewasa lebih sensitif terhadap kenaikan suhu, dimana kenaikan suhu sebesar 3-5°C diatas suhu ambien telah terbukti mempengaruhi kehidupan karang dewasa di berbagai wilayah geografik (Coles 1975; Neudecker 1981). Neudecker (1981) mempelajari pertumbuhan dan kelulusan hidup berbagai spesies karang batu yang dipapar pada limbah air pendingin pembangkit tenaga listrik di Guam. Peningkatan suhu 4-6°C di atas suhu ambien mempengaruhi pertumbuhan karang, dimana spesies karang yang tumbuhnya lambat lebih tahan terhadap kenaikan suhu daripada spesies karang yang tumbuhnya cepat.

Coles (1975) melakukan studi dampak limbah bahang Electrical Company Kobe Generating Station, Hawai selama 2 tahun terhadap terumbu karang, hasilnya menunjukkan bahwa suhu absolut atas yang berkepanjangan jauh lebih kritis sebagai faktor yang menyebabkan kerusakan dan kematian daripada kenaikan suhu yang cepat di atas suhu lethal atas yakni 34ºC (4ºC diatas suhu ambien)

Coles et al. (1976) mempelajari intensitas dan durasi kenaikan suhu alami maksimum dari berbagai jenis karang tropis (Eniwetak, Atoll, Marshall Islands) dan subtropis (Kaneohe Bay, Oahu, Hawai). Paparan dalam waktu lama pada suhu di atas 32.7°C, menemukan bahwa suhu tersebut mendekati nilai kritis. Suhu maksimum ambien tahunan di Hawai 26.5°C, sementara suhu di Eniwetak 2°C


(41)

15

lebih tinggi daripada di Hawai. Kenaikan suhu 2°C di atas suhu maksimum tahunan ternyata menyebabkan efek sublethal (hilangnya pigmen zooxanthella), sedangkan kenaikan 4-5°C menyebabkan kematian pada sebagian besar jenis karang di kedua lokasi. Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap terumbu karang disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap terumbu karang

Taxon/ Ekosistem Lokasi ΔT

(ºC) Jenis Dampak

Suhu kritis (oC) Terumbu karang

Terumbu karang

Terumbu karang

Karang

West Indies Kahe Point, Hawai

Kahe Point, Hawai

Tanguisson Point, Guam

3-4

5-6

6-8

Hilangnya pigmen zooxanthella, dan mortalitas tinggi

Kematian karang pada +4-5 oC, efek sublethal pada +2-3 o

36

32-33 C

Kematian karang (Sumber : diadaptasi dari GESAMP 1984)

2.3.2.2 Fitoplankton

2.3.2.2.1 Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton

Salah satu parameter perairan yang berperan penting dalam menentukan keberadaan fitoplankton adalah suhu. Distribusi suhu di permukaan laut sangat berpengaruh terhadap komposisi dan ukuran fitoplankton (Bouman et al. 2003). Suhu berpengaruh langsung terhadap laju fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan, sementara pada hewan berpengaruh terhadap proses fisiologi khususnya derajat metabolisme dan siklus reproduksi. Selain itu suhu dapat berperan dalam menentukan suksesi jenis fitoplankton pada suatu perairan.

Suhu berpengaruh tidak langsung terhadap kelarutan CO2 yang digunakan untuk fotosintesis dan kelarutan O2 yang digunakan untuk respirasi hewan-hewan laut. Daya larut O2 akan berkurang dengan meningkatnya suhu perairan. Toleransi terhadap suhu bervariasi pada setiap spesies. Adaptasi organisme dapat terjadi


(42)

terhadap perubahan suhu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari suhu normalnya (Poornima et al. 2005).

Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplanton terutama dapat ditemukan di sekitar industri yang membuang air pendingin mereka ke perairan di sekitarnya. Hasil penelitian yang dilakukan di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Atom Madras di India menunjukkan bahwa fitoplankton dan klorofil-a mengalami penurunan selama melewati sistem air pendingin (cooling water system) dari tempat pengambilan air laut (intake) ke tempat pembuangan air pendingin (outfall), sementara pada daerah percampuran (mixing point) jumlah klorofil-a mengalami recovery secara signifikan. Suhu intake tercatat maksimum 29.6oC pada bulan Maret dan minimum pada bulan Januari yakni 26.9oC. Adapun suhu di

outfall menunjukkan ∆T bervariasi antara 7.3-9.3oC dan pada daerah mixing point

∆T bervariasi antara 3.4-5.9o

Jumlah klorofil-a dan jumlah sel fitoplankton di outfall berkurang antara 35-70% dibandingkan dengan di intake. Sementara pada daerah mixing point

klorofil-a dan jumlah fitoplankton hanya berkurang sekitar 15-50% dibandingkan dengan di intake (Poernima et al. 2005).

C (Poernima et al. 2005)

Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton juga dilakukan dengan uji laboratorium, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa fitoplankton yang berada pada suhu 42oC dengan waktu kontak 15-30 menit tidak menyebabkan perubahan signifikan dalam kandungan klorofil-a dibandingkan dengan suhu kontrol (28o

Penelitian sejenis juga telah dilakukan di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan. Perbedaan suhu antara daerah intake dan suhu daerah outfall sepanjang musim dari Pembangkit Listrik ini adalah ±10

C). Percobaan laboratorium juga menunjukkan dalam waktu kontak tersebut produktifitas primer fitoplankton mengalami pengurangan sebesar 19% dibandingkan dengan suhu kontrol (Poernima et al. 2005).

o

C. Hasil penelitian menunjukkan Klorofil-a fitoplankton di daerah intake secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan di daerah outfall. Perbedaan antara daerah intake dan daerah outfall paling besar terjadi pada musim semi, dimana nilai rata-rata klorofil-a fitoplankton di daerah intake sebesar 0.67 mg m-3 sedangkan di daerah outfall sebesar 0.44 mg m-3 (Chuang et al. 2009).


(43)

17

Hasil penelitian tentang dampak buangan air pendingin terhadap fitoplankton menunjukkan bahwa buangan air pendingin tidak mempengaruhi sebaran parameter lingkungan yang lain seperti salinitas, pH, DO dan nutrien (nitrat, nitrit, amoniak, posfat dan silikat) di perairan pesisir (Poernima et al. 2005). Tidak ada perbedaan signifikan dalam monitoring faktor-faktor lingkungan yang dideteksi antara daerah intake sampai outfall kecuali suhu air (Chuang et al.

2009). Variabel lingkungan di daerah intake dan outfall Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Variabel lingkungan (n=12) yang diukur setiap tiga bulan di daerah

intake dan outfall Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan

Site

Intake Outlet

Winter Spring Summer Autumn Winter Spring Summer Autumn Water temperature (oC)

Salinity (psu) DO (mgL-1) pH

Linght extinction (m-1

18.7±0.5 33.0±1.0 7.6±0.2 7.8±0.0 1.1±0.2 ) 24.4±2.0 35.0±0.0 73±0.5 7.3±0.0 1.1±0.2 28.0±2.1 32.6±1.4 6.1±0.2 8.2±0.0 1.4±0.2 24.2±1.3 33.2±1.6 6.7±0.4 8.4±0.1 1.1±0.1 28.2±0.6 35.0±0.0 6.8±0.2 7.8±0.0 1.1±0.5 32.3±1.7 35.3±0.3 6.0±0.4 7.3±0.0 1.3±0.3 38.8±1.0 32.7±0.9 5.7±0.2 7.9±0.1 1.1±0.3 33.8±2.1 34.0±0.1 6.0±0.2 8.3±0.0 0.9±0.2

(Sumber : Chuang et al. 2009)

Beberapa eksperimen dan studi lapangan pada beberapa lokasi yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh kenaikan suhu terhadap kehidupan fitoplankton diberikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap fitoplankton

Taxon/ Ekosistem Lokasi ΔT

(ºC) Jenis Dampak

Suhu kritis (oC) Fitoplankton Diatom : Gyrosigma spenceri Mediteranean Martigues-Ponteau Eksperimen 7 10 17 Berkurangnya 10-60% jumlah sel Tidak ada, T0=12 oC Tidak ada, T0=16 o

39

C (Sumber : diadaptasi dari GESAMP 1984)

2.3.2.2.2 Faktor Lain yang dapat Mempengaruhi Fitoplankton

Salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan fitoplankton secara langsung atau tidak langsung adalah karakteristik hidrooseanografi termasuk sifat


(44)

fisik perairan. Perairan pantai menunjukkan variabilitas fitoplankton yang sangat tinggi, hal ini disebabkan perairan pantai memiliki dinamika fisik yang kompleks yang dicirikan sebagai perairan dangkal, kaya nutrien, dan adanya pengaruh arus pasang surut serta penerima beban sungai (May et al. 2003).

a. Distribusi dan Ketersediaan Nutrien N, P dan Si

Secara spasial, distribusi vertikal nutrient N, P dan Si pada kolom air memiliki nilai yang rendah di lapisan permukaan laut dan berlimpah di lapisan lebih dalam (Thurman 1993). Penyebab rendahnya nutrient di permukaan karena diserap oleh alga dan bakteri di zona fotik. Adapun sebaran horizontal, nutrien memiliki konsentrasi yang lebih tinggi di daerah paparan benua (dekat daratan) jika dibandingkan dengan di luar paparan benua (laut lepas) (Zuzuki at al. 1997).

Distribusi nutrien secara temporal berhubungan dengan proses-proses fisika seperti percampuran vertikal dan upwelling. Kelimpahan klorofil-a di Selat Malaka sangat ditentukan oleh terbentuk tidaknya tidal front di Perairan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa proses fisika berupa gaya turbulensi yang cukup besar di suatu perairan merupakan salah satu faktor yang menentukan kesuburan suatu perairan (Kasman 2006).

b. Intensitas Cahaya

Cahaya matahari merupakan salah satu faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton dalam perairan. Cahaya berfungsi sebagai sumber energi pada proses fotosintesis (Lalli dan Pearsons 1995). Makin dalam penetrasi cahaya pada kolom perairan maka lapisan dimana proses fotosintesis dapat berlangsung akan semakin besar, dengan demikian konsentrasi oksigen terlarut masih memiliki nilai yang tinggi pada kolom air yang lebih dalam.

Proses fotosintesis fitoplankton hanya dapat berlangsung bila ada cahaya pada kolom perairan. Hasil fotosintesis yang cukup besar dapat ditemukan mulai dari lapisan permukaan sampai ke kedalaman dengan nilai intensitas cahaya minimum 1%, lapisan ini disebut zona eufotik (Nontji 1984). Kedalaman lapisan ini dapat dihitung dengan menggunakan Hukum Lambert-Beer (Parsons et al.

1984) yakni dengan menghitung koefisien peredupan cahaya sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya tinggal 1%.


(45)

19

Zona di bawah dari zona tersebut adalah kedalaman kompensasi (titik kompensasi) dengan intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya permukaan. Pada lapisan ini laju fotosintesis sama dengan laju respirasi. Zona di bawah titik kompensasi disebut zona disfotik yang mempunyai laju fotosintesis lebih kecil dari laju respirasi. Perubahan laju fotosintesis merupakan hasil dari respon fitoplankton terhadap variabilitas cahaya (Hood et al. 1991).

c. Kekeruhan

Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optic air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan diabsorpsi oleh partikel-partikel yang ada dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik maupun anorganik tersuspensi dan terlarut seperti lumpur pasir halus plankton dan mikroorganisme. Kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas fitoplankton pada perairan.

d. Karakteristik Hidrodinamika Oseanografi (Flushing)

Pada sistem akuatik yang mengandung biomassa hidup, nutrient, zat pencemar, gas-gas terlarut dan partikel tersuspensi yang terbawa dalam medium fluida, maka proses-proses hidrodinamika yang mengangkut air beserta material yang dikandungnya penting untuk dipahami. Salah satu yang berhubungan dengan hal itu adalah pemahaman tentang flushing time.

Flushing time adalah waktu yang diperlukan suatu badan perairan untuk bergerak ke suatu badan perairan lainnya (Sumich 1992). Hal ini berarti bahwa dengan adanya pergerakan air menyebabkan material lainnya ikut terbawa dalam aliran tersebut. Implikasi dari pergerakan air tersebut menyebabkan terjadinya perubahan biota perairan seperti kelimpahan fitoplankton dari waktu ke waktu. fitoplankton memiliki kelimpahan yang rendah di daerah muara karena adanya pembilasan yang cepat dari arus-arus riverin ke arah laut.

Salah satu faktor penting penyebab terjadinya flushing adalah pasang surut. Pada saat pasang, plankton perairan pantai dapat terbawa memasuki estuaria, sementara pada saat surut plankton (termasuk jenis-jenis payau) dapat terbawa ke laut. Fenomena flushing ini yang menyebabkan kelimpahan fitoplankton menjadi berfluktuasi.


(46)

e. Salinitas

Salinitas mempunyai peranan penting terhadap keberadaan fitoplankton di perairan. Salinitas selain dapat mempengaruhi proses produksi fitoplankton (Baroon et al. 2003), juga dapat merubah struktur komunitas fitoplankton sejalan dengan perubahan salinitas (Ayadi et al. 2004 dalam Tambaru 2008). Laju fotosintesis fitoplankton yang hanya mampu bertahan pada salinitas rendah (stenohaline) di daerah estuari sangat dipengaruhi oleh variasi salinitas di daerah tersebut. Salinitas yang sesuai bagi fitoplankton untuk dapat bertahan hidup dan memperbanyak diri serta aktif melaksanakan proses fotosintesis adalah di atas 20‰ (Sachlan 1972).

2.4 Regulasi Buangan Air Pendingin di Indonesia

Pengelolaan buangan air pendingin (cooling water) di Indonesia cukup mendapat perhatian, hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang menetapkan baku mutu parameter suhu. Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan laut pemerintah dalam hal ini Menteri Negara Lingkungan Hidup telah melakukan upaya pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat mencemari dan atau merusak lingkungan laut dengan menetapkan baku mutu air laut termasuk baku mutu parameter suhu untuk biota laut yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Lampiran 3 (Tabel 5).

Keputusan Menteri tersebut memberi batasan bagi perusahaan yang beroperasi di wilayah pesisir agar tidak membuang limbah pada perairan yang ditemukan adanya biota laut di atas ambang batas yang telah ditetapkan. Meskipun demikian, kebijakan ini menimbulkan masalah dalam implementasinya mengingat aktifitas industri di wilayah pesisir selama ini menggunakan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat yang bersifat sangat longgar, sehingga beberapa industri telah melampaui baku mutu yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri tersebut.

Untuk menangani masalah ini, pemerintah kemudian mengaturnya di dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 Pasal 5 (2) yang berbunyi ”Dalam hal daerah telah menetapkan baku mutu air laut lebih longgar sebelum ditetapkannya keputusan ini, maka baku mutu air laut tersebut perlu disesuaikan dengan


(1)

Lampiran 26 Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel

Stasiun Koordinat Kedalaman (m)

Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa kondisi

I II III IV

A N: 00 o E: 117

05’12.5”

o 1.75

27’48.8” 4 2 4 3

B N: 00 o E: 117

05’28.2”

o 2.03

28’02.0” 3 4 5 4

C N: 00 o E: 117

05’00.6”

o 6.12

28’41.9” 7 5 5 3

D N: 00 o E: 117

05’00.2”

o 3.24

28’40.9” 8 12 5 7

E N: 00 o E: 117

05’01.4”

o 7.87

28’41.9” 4 3 5 4

F N: 00 o E: 117

05’00.1”

o 4.25

29’12.5” 8 6 7 9

G N: 00 o E: 117

05’00.6”

o 3.12

2’41.9” 8 6 9 11

H N: 00 o E: 117

06’10.8”

o 8.12

28’51.8” 9 9 8 11

Keterangan :

I = Musim kemarau saat pasut purnama II = Musim kemarau saat pasut perbani III = Musim hujan saat pasut purnama IV = Musim hujan saat pasut perbani


(2)

Lampiran 27 Tabel hasil uji ANOVA (kelimpahan fitoplankton) Pengaruh pasang surut dan suhu terhadap kelimpahan fitoplankton

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Rows 37201039 7 5314434 4.648127 0.002819 2.487578

Columns 6204515 3 2068172 1.808871 0.176444 3.072467

Error 24010341 21 1143350

Total 67415895 31

Keterangan : Rows = analisis pengaruh suhu terhadap fitoplankton

Columns = analisis pengaruh pasut terhadap kelimpahan fitoplankton

Pengaruh suhu terhadap kelimpahan fitoplankton (pengujian antara stasiun pengamatan dengan stasiun kontrol)

Stasiun A dengan Stasiun G ANOVA

Source of

Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 5746050 1 5746050 27.019044 0.002018777 5.98737758

Within Groups 1276000 6 212666.67

Total 7022050 7

Stasiun B dengan Stasiun G ANOVA

Source of

Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 3281922 1 3281922 13.8583 0.009821 5.987378

Within Groups 1420920 6 236820

Total 4702842 7

Stasiun C dengan Stasiun G ANOVA

Source of

Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 2579856 1 2579856 10.99472 0.016088 5.987378

Within Groups 1407870 6 234645


(3)

Lampiran 27 (Lanjutan) Tabel hasil uji ANOVA (kelimpahan fitoplankton) Stasiun D dengan Stasiun G

ANOVA Source of

Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 616605.1 1 616605.1 0.682495 0.440336 5.987378 Within Groups 5420746 6 903457.6

Total 6037351 7

Stasiun E dengan Stasiun G ANOVA

Source of

Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 1217580 1 1217580 4.718852 0.072831 5.987378 Within Groups 1548148 6 258024.6

Total 2765728 7

Stasiun F dengan Stasiun G ANOVA

Source of

Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 911250 1 911250 2.276767 0.18206 5.987378 Within Groups 2401432 6 400238.7

Total 3312682 7

Stasiun H dengan Stasiun G ANOVA

Source of

Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 6763842 1 6763842 1.669081 0.243909 5.987378 Within Groups 24314602 6 4052434


(4)

Lampiran 28 Kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel

Stasiun Koordinat Kelimpahan fitoplankton pada beberapa kondisi

I II III IV

A N: 00 o E: 117

05’12.5”

o 228

27’48.8” 76 176 114

B N: 00 o E: 117

05’28.2”

o 472

28’02.0” 770 728 280

C N: 00 o E: 117

05’00.6”

o 608

28’41.9” 988 760 475

D

N: 00o E: 117

05’00.2”

o 1805

28’40.9” 4085 1425 2280

E

N: 00o E: 117

05’01.4”

o 741

28’41.9” 1140 1456 916

F

N: 00o E: 117

05’00.1”

o 1558

29’12.5” 722 570 1824

G

N: 00o E: 117

05’00.6”

o 2130

2’41.9” 1615 1064 2565

H

N: 00o E: 117

06’10.8”

o 1425

28’51.8” 6935 1330 5040

Keterangan :

I = Musim kemarau saat pasut purnama II = Musim kemarau saat pasut perbani III = Musim hujan saat pasut purnama IV = Musim hujan saat pasut perbani


(5)

Lampiran 29 Foto kondisi terumbu karang pada beberapa lokasi survei Foto Kondisi Terumbu Karang di Pulau Beras Basah

Foto Kondisi Terumbu Karang di Pulau Melahing


(6)

Foto Kondisi Terumbu Karang di Sekambing Muara