Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Terumbu Karang Kondisi Oseanografi Wilayah Penelitian .1 Kondisi Pasang Surut

3.8 Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton

Dalam penelitian ini dilakukan analisis pengaruh kenaikan suhu perairan, pasang surut dan musim terhadap fitoplankton. Untuk mengetahui apakah musim dan pola pasang surut berpengaruh terhadap fitoplankton maka dilakukan uji statistik menggunakan ANOVA dua arah two-way ANOVA dengan hipotesa awal H Sementara untuk mengetahui pengaruh kenaikan suhu perairan akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL terhadap fitoplankton dilakukan dengan menggunakan uji ANOVA satu arah one-way ANOVA dengan hipotesa awal H adalah tidak terdapat perbedaan nyata antara kelimpahan dan jumlah spesies fitoplankton untuk empat kondisi pengambilan sampel fitoplankton pada tingkat kesalahan 5 atau pada tingkat kepercayaan 95. Kondisi pasut yang dianalisis adalah kondisi pada saat pasut purnama dan pasut perbani, masing- masing untuk musim hujan dan musim kemarau. Dengan demikian ada empat kondisi yang dianalisis, yakni : Kondisi I, musim kemarau pada saat pasut purnama, Kondisi II, musim kemarau saat pasut perbani, Kondisi III, musim hujan saat pasut purnama dan Kondisi IV, musim hujan saat perbani. o Analisis dengan menggunakan ANOVA telah banyak digunakan diantaranya dalam Saravanan et al. 2008 untuk membedakan populasi bakteri pada beberapa lokasi dengan suhu yang berbeda di sekitar pembangkit listrik tenaga nuklir. Poernima et al. 2005 dan Poernima et al. 2006 juga menggunakan ANOVA untuk menentukan perbedaan respon produktifitas fitoplankton terhadap suhu. adalah tidak terdapat perbedaan nyata antara kelimpahan dan jumlah spesies fitoplankton di stasiun yang mengalami kenaikan suhu dengan stasiun kontrol pada tingkat kesalahan 5 atau pada tingkat kepercayaan 95.

3.9 Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Terumbu Karang

Dalam penelitian ini analisis pengaruh suhu terhadap terumbu karang dilakukan dengan mencuplik suhu hasil model pada titik dimana terumbu karang ditemukan Gambar 15. Suhu hasil simulasi dicuplik untuk empat kondisi, yakni : Kondisi I, musim kemarau pada saat pasut purnama, Kondisi II, musim kemarau saat pasut perbani, Kondisi III, musim hujan saat pasut purnama dan Kondisi IV, musim hujan saat perbani. Pengaruh kenaikan suhu akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL terhadap terumbu karang dilakukan dengan menganalisis kondisi terumbu karang yang diperoleh dari hasil pengamatan berdasarkan karakteristik suhu yang diperoleh dari hasil simulasi. Selain itu kondisi terumbu karang yang mengalami kenaikan suhu dibandingkan dengan kondisi terumbu karang yang ditemukan pada kondisi suhu alami perairan.

3.10 Analisis Zona Pesisir Berdasarkan Kenaikan Suhu Perairan

Dalam penelitian ini digunakan beberapa kriteria suhu perairan untuk menentukan kondisi perairan, kriteria tersebut adalah : 1. Penentuan kondisi perairan berdasarkan pada Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut yang menetapkan diperbolehkannya terjadi perubahan suhu sampai dengan 2 o 2. Penentuan kondisi perairan berdasarkan kenaikan suhu perairan dan hasil analisis dampak kenaikan suhu akibat adanya buangan air pendingin dari PT. Badak NGL terhadap fitoplankton dan terumbu karang. C dari suhu alami, baik untuk perairan pelabuhan, wisata bahari maupun untuk biota laut.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Oseanografi Wilayah Penelitian 4.1.1 Kondisi Pasang Surut Hasil pengamatan pasang surut di Perairan Bontang yang dilakukan selama 29 hari 29 piantan sejak 13 September 2008-11 Oktober 2008 di Pelabuhan Sekangat dengan pencatatan setiap jam dapat dilihat pada Lampiran 1, sementara pola sinusoidal disajikan pada Gambar 16. Gambar 16 Data elevasi muka laut hasil pengukuran di Pelabuhan Baltim. Berdasarkan analisis data hasil pengamatan diketahui bahwa perbedaan kedudukan air tinggi dengan air rendah atau tunggang air range of tide mencapai 2.37 m, dimana air tinggi high water mencapai puncaknya pada kedudukan 1.32 m dari muka air rata-rata mean sea level pada saat bulan purnama sementara kedudukan terendah low water berada di titik 1.07 m dari mean sea level juga tercatat pada saat bulan purnama. Penelitian ini menggunakan Metode Admiralty dalam menentuan muka laut rata-rata pasang surut di wilayah penelitian, dimana permukaan air laut rata-rata diperoleh dengan menghitung komponen harmonik pasut. Adapun hasil perhitungan komponen harmonik pasut dengan menggunakan Metode Admiralty disajikan dalam Tabel 7 berikut. Tabel 7 Karakter komponen harmonik pasut di Pelabuhan Sekangat, Kota Bontang, 13 September 2008-11 Oktober 2008 So M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4 A cm 206.9 55.3 36.7 8.5 8.4 21.2 13.1 7.0 1.3 0.5 G 157.6 206.2 150.6 206.2 276.2 256.0 276.2 350.5 114.6 Sumber : Hasil analisis 2008 Keterangan : A : Amplitudo G : Beda fase M2 : Komponen utama bulan pasut ganda P1 : Komponen utama bulan harian S2 : Komponen utama matahari pasut ganda K2 : Komponen luni bulan ganda N2 : Komponen eliptik besar bulan pasut ganda K1 : Komponen luni bulan harian M4 : Komponen utama perempat harian MS4 : Komponen perairan dangkal bulan-matahari perempat harian O1 : Komponen utama matahari harian Tabel di atas menunjukkan bahwa komponen harmonik pasut dominan adalah M2 principal lunar Pond and Pickard, 1981. Adapun klasifikasi sifat pasut di lokasi tersebut ditentukan dengan menggunakan rumus Formzahl, sebagaimana diberikan pada persamaan 3.1. Dengan memasukkan nilai amplitudo komponen pasut kedalam persamaan 3.1, maka diperoleh nilai F = 0.37. Nilai ini menunjukkan bahwa tipe pasut di perairan Bontang adalah tipe pasang campuran ganda dominan dimana pasang surut dalam waktu 24 jam terjadi dua kali air tinggi dan dua kali air rendah semi diurnal tide . Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wirtky 1961. 4.1.2 Hasil Pengukuran Suhu 4.1.2.1 Suhu Permukaan Hasil pengukuran suhu permukaan pada beberapa stasiun pengamatan menunjukkan adanya kenaikan suhu perairan akibat adanya buangan air pendingin PT. Badak NGL dengan pola sebaran yang berbeda pada saat air pasang dan saat air surut baik pada pasut purnama maupun pasut perbani. Dalam hal ini sebagian stasiun menunjukkan suhu yang lebih tinggi pada saat purnama dibanding saat perbani, sementara pada beberapa stasiun lainnya menunjukkan sebaliknya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kondisi pasang surut sangat menentukan pola sebaran suhu di Perairan Bontang akibat adanya buangan air pendingin dari perusahaan tersebut. Suhu yang lebih tinggi pada saat air pasang dibanding saat air surut ditemukan di Pelabuhan Baltim Stasiun 3, Sekambing Bulu Stasiun 5, Sekambing Muara 1 Stasiun 10 dan Sekambing Muara 2 Stasiun 11. Tingginya suhu pada saat air pasang dibanding saat air surut di Stasiun 3 dan 5 disebabkan oleh adanya gerakan massa air dari laut ke dalam kolam pendingin sehingga massa air panas yang keluar dari outfall terdorong ke stasiun tersebut. Adapun kenaikan suhu pada Stasiun 10 dan 11 disebabkan oleh adanya dorongan massa air yang keluar dari muara kanal pendingin ke arah stasiun tersebut akibat air pasang. Stasiun lainnya mengalami peningkatan suhu yang lebih tinggi pada saat air surut disebabkan aliran massa air pendingin yang keluar dari outfall bergerak ke stasiun-stasiun tersebut mengikuti air yang sedang surut. Dalam hal ini luas perairan yang mengalami kenaikan suhu yang lebih tinggi terjadi pada saat air surut. Hasil pengukuran suhu permukaan dan hasil simulasi dapat dilihat pada Lampiran 2. 4.1.2.2 Suhu Arah Vertikal Hasil pengukuran suhu arah vertikal di Stasiun 8 menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi di lokasi ini, dimana suhu pada lapisan permukaan lebih tinggi daripada suhu di lapisan bawahnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wu et al. 2001, yang didasari oleh teori bahwa air dengan densitas lebih rendah berada di atas massa air yang berdensitas lebih tinggi. Suhu pada setiap lapisan juga senantiasa berubah menurut kondisi pasang surut dengan fenomena suhu lebih tinggi pada saat air surut dan lebih rendah pada saat air pasang. Suhu arah vertikal hasil pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 3. 4.1.3 Kondisi Sungai di Wilayah Penelitian Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kondisi kelima sungai yang bermuara ke daerah model memiliki karakteristik yang hampir sama dalam hal debit dan suhu air baik untuk musim hujan maupun musim kemarau. Hal ini disebabkan selain karena sungai-sungai tersebut memiliki luas penampang yang kecil, juga karena kondisi hulu dari sungai-sungai tersebut relatif sama. Tabel 8 di bawah menunjukkan suhu dan debit sungai rata-rata untuk musim kemarau dan musim hujan. Tabel 8 Suhu dan debit rata-rata beberapa sungai yang bermuara ke lokasi penelitian pada musim hujan dan musim kemarau St. Muara Sungai Musim Hujan Musim Kemarau Suhu rata-rata o Debit C rata-rata m 3 Suhu det rata-rata o Debit C rata-rata m 3 det s1 s2 s3 s4 s5 Baltim Muara Sekambing Sekangat Nyerakat Selangan 25.05 25.00 25.10 25.00 25.10 0.50 1.00 1.10 1.00 1.00 25.10 25.00 25.05 25.10 25.20 0.20 0.50 0.50 0.20 0.50 Sumber : Hasil pengamatan 2008 4.2 Verifikasi Model

4.2.1 Verifikasi Elevasi Pasang Surut

Hasil verifikasi untuk elevasi pasang surut menunjukkan bahwa elevasi dan fasa hasil simulasi secara umum telah mempunyai kesesuaian yang cukup baik dengan elevasi dan fasa dari data hasil pengukuran di lapangan, dimana antara hasil simulasi dengan data lapangan menunjukkan elevasi dan fasa dengan besaran dan pola yang relatif sama . Amplitudo hasil simulasi jika dibandingkan dengan amplitudo hasil pengukuran menunjukkan selisih yang cukup kecil dengan rata-rata 0.11 m, nilai korelasi 0.97 dan Kesalahan Relatif Rata-rata Mean Relative ErrorMRE 1.32 dengan persamaan regresi y = 0.927x - 0.044. Perbedaan antara hasil simulasi dan hasil observasi kemungkinan disebabkan oleh keterbatasan data batimetri, tidak dimasukkannya angin sebagai gaya pembangkit driving force dalam model, atau karena keterbatasan model yang digunakan. Hasil verifikasi elevasi pasang surut antara hasil model dan data lapangan disajikan dalam Gambar 17 di bawah. Dengan demikian model ini dianggap cukup representatif untuk menggambarkan kondisi pasang surut di wilayah model. Gambar 17 Verifikasi elevasi pasang surut antara hasil model dan data lapangan.

4.2.2 Verifikasi Suhu Secara umum pola sebaran dan besaran suhu hasil pengukuran di lapangan

baik arah horizontal maupun arah vertikal menunjukkan kedekatan yang baik dengan pola sebaran dan besaran suhu hasil simulasi. Dengan demikian model hidrodinamika dan transpor suhu POM 3-Dimensi dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suhu di wilayah penelitian. Hasil verifikasi suhu baik suhu permukaan maupun struktur vertikal suhu diuraikan pada bagian berikut.

4.2.2.1 Verifikasi Suhu Permukaan

Verifikasi suhu permukaan hasil model dengan suhu permukaan hasil pengukuran pada saat purnama dan pada saat perbani dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19 pada beberapa stasiun pengamatan. Hasil verifikasi menunjukkan kedekatan yang baik, dimana nilai korelasi untuk kondisi purnama sebesar 0.90, MRE 5.17 dengan persamaan regresi y = 0.851x + 5.170. Sementara pada saat perbani nilai korelasi yang diperoleh adalah 0.87, MRE 7.12 dengan persamaan regresi y = 1.391x - 15.22. Selisih suhu terbesar dengan hasil simulasi lebih tinggi dibanding hasil pengukuran ditemukan di Stasiun 5 Sekambing Bulu yakni 4.3 o C pada saat purnama dan 4.8 o C pada saat perbani. Selisih suhu yang cukup besar ini disebabkan oleh adanya aliran sungai yang bermuara ke Sekambing Bulu namun tidak dimasukkan sebagai input dalam model. Sungai tersebut meskipun tidak sebesar dengan sungai yang lain namun pada waktu tertentu cukup berpengaruh terhadap suhu perairan di Sekambing Bulu akibat limpasan air sungai yang relatif lebih dingin. Suhu permukaan hasil simulasi dapat dilihat pada Lampiran 4. Gambar 18 Verifikasi suhu permukaan antara hasil simulasi dengan hasil observasi saat purnama pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 3 Oktober 2008. Gambar 19 Verifikasi suhu permukaan antara hasil simulasi dengan hasil observasi saat perbani pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 10 Oktober 2008. Selain faktor tersebut, secara umum perbedaan antara hasil simulasi dan hasil pengukuran disebabkan oleh faktor teknis yakni sulitnya menyamakan antara waktu cuplik model dengan pangambilan data lapangan. stasiun waktu stasiun waktu

4.2.2.2 Verifikasi Suhu Arah Vertikal

Verifikasi suhu dalam arah vertikal menunjukkan adanya kesesuaian yang baik antara suhu hasil simulasi dan suhu hasil observasi baik pada lapisan permukaan maupun pada lapisan bawah, dimana untuk layer-1 korelasi 0.83, MRE 1.56, layer-2 korelasi 0.79, MRE 2.08, layer-3 korelasi 0.73, MRE 2.36, dan layer-4 korelasi 0.71, MRE 2.94. Persamaan regresi untuk layer-1, 2, 3 dan 4 masing- masing adalah y = 1,007x – 0,613, y = 0,702x + 10,68, y = 0.877x + 4.568 dan y = 0.666x + 11.68. Perbedaan nilai korelasi untuk tiap kedalaman kemungkinan disebabkan oleh keterbatasan data input batimetri atau input data debit buangan air pendingin. Hasil verifikasi untuk masing-masing layer diberikan dalam Gambar 20, 21, 22 dan 23 di bawah ini. Adapun suhu arah vertikal hasil simulasi dapat dilihat pada Lampiran 5. Gambar 20 Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dengan hasil observasi untuk lapisan permukaan, 5-7 Oktober 2008. Gambar 21 Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dengan hasil observasi pada kedalaman 2 m, 5-7 Oktober 2008. jam tanggal jam tanggal Gambar 22 Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dengan hasil observasi pada kedalaman 4 m, 5-7 Oktober 2008. Gambar 23 Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dengan hasil observasi pada kedalaman 6 m, 5-7 Oktober 2008. 4.2.2.3 Verifikasi Pola Arus Pola arus permukaan hasil model menunjukkan kesesuaian yang baik dengan hasil pengamatan, dimana pada saat surut menuju pasang, pola arus permukaan di Teluk Bontang bergerak dari timur ke arah PT. Badak NGL sementara pada kondisi pasang menuju surut arus bergerak menjauhi PT. Badak NGL menuju Selat Makassar DKP Bontang 2007. Kondisi tersebut sesuai dengan pola arus hasil model yang dicuplik untuk kondisi air menuju pasang dan saat air menuju surut. Selain itu pola aliran air panas pada saat air surut hasil pengamatan PT. Badak NGL 2008 Gambar 24a juga menunjukkan pola yang sama dengan pola arus hasil model yang dicuplik pada saat air surut Gambar 24b. jam tanggal jam tanggal Sumber : PT. Badak NGL 2008 Sumber : PT. Badak NGL 2008 Keterangan : = aliran air panas dominan saat surut = arah arus saat pasang = aliran air panas dengan volume lebih kecil = aliran air laut dengan volume kecil Gambar 24 Verifikasi pola arus pada saat air surut antara : a hasil pengamatan dengan b hasil model, untuk kondisi saat air surut dan antara c hasil pengamatan dengan d hasil model, untuk kondisi saat air pasang.

P. SIECA

DARATAN a b DARATAN c d

P. SIECA

4.3 Profil Suhu Hasil Model

Secara umum hasil model menunjukkan pola sebaran suhu akibat buangan air pendingin PT Badak NGL relatif sama untuk skenario musim kemarau Agustus 2009 dengan skenario musim hujan Maret 2010. Perbedaan pola sebaran suhu terlihat untuk empat kondisi cuplik menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum pada saat pasut purnama. Demikian pula untuk empat kondisi cuplik menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum pada saat pasut perbani menunjukkan pola sebaran suhu yang berbeda untuk keempat kondisi cuplik tersebut, meskipun tidak sebesar pada saat pasut purnama. Penjelasan tentang hal ini diuraikan lebih lanjut pada bagian berikut. 4.3.1 Profil Suhu pada Musim Kemarau untuk Kondisi Pasut Perbani 4.3.1.1 Struktur Vertikal Suhu Hasil simulasi sebaran suhu dengan menggunakan model POM 3-Dimensi menunjukkan adanya perbedaan suhu permukaan dengan suhu di lapisan bawah, dimana suhu pada lapisan permukaan relatif lebih besar dan pada lapisan bawah relatif lebih kecil. Hasil simulasi tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kolluru et al. 2003. Besarnya perbedaan suhu secara vertikal ini bervariasi menurut jarak dari sumber buangan air pendingin. Gambar 25 di bawah menjelaskan bahwa untuk titik cuplik 1 dan 2 menunjukkan lapisan homogen dengan suhu sebesar 44 o C, untuk titik cuplik 3 sampai 7 menunjukkan adanya variasi suhu vertikal yang kecil yakni 0.04-0.09 o Perbedaan suhu secara vertikal di muara kanal titik cuplik 10 menunjukkan adanya variasi suhu yang cukup besar yakni sekitar 0.5 C, dan titik cuplik 8 dan 9 menunjukkan adanya lapisan homogen secara vertikal. o C dimana suhu permukaan adalah 41.54 o C dan pada lapisan bawah 41.07 o C. Perbedaan suhu yang lebih besar ditunjukkan pada titik cuplik 11, 12 dan 13 dengan variasi suhu secara vertikal bervariasi antara 1.29-2.54 o C, dengan suhu permukaan bervariasi antara 35.16- 37.95 o C dan suhu lapisan bawah bervariasi antara 33.87-35.41 o C. Sementara untuk titik cuplik selanjutnya menunjukkan lapisan yang cenderung homogen dengan suhu permukaan bervariasi antara 34.22-32.23 o C dan suhu lapisan bawah bervariasi antara 33.61-32.22 o C. Keterangan : Titik Cuplik TC menunjukkan jarak suatu titik dari outfall 1 TC 1 = 30 m TC 2 = 420 m TC 3 = 750 m TC 4 = 930 m TC 5 = 1 050 m TC 6 = 1 170 m TC 7 = 1 350 m TC 8 = 1 620 m TC 9 = 1 800 m TC 10= 2 160 m TC 11 = 2 310 m TC 12 = 2 520 m TC 13 = 2 580 m TC 14 = 2 700 m TC 15= 2 880 m TC 16= 3 000 m TC 17= 3 180 m TC 18= 3 300 m TC 19= 3 450 m TC 20= 3 540 m Gambar 25 Struktur vertikal suhu o Dengan demikian struktur vertikal suhu dari buangan air pendingin ke laut lepas dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yakni lapisan homogen dan lapisan terstratifikasi, dimana lapisan homogen ditemukan mulai dari outfall buangan air pendingin sampai ke muara kanal dan dari bagian tengah laut lepas sampai ke Pulau Sieca. Adapun lapisan terstratifikasi ditemukan di muara kanal sampai ke bagian tengah laut lepas, dengan daerah permukaan relatif lebih luas. C hasil simulasi pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani. Lapisan homogen yang terjadi pada kolam pendingin sampai di muara kanal pendingin terjadi karena perairan ini cukup dangkal sehingga dengan proses difusi dan gaya turbulensi yang ditimbulkan oleh arus pasang surut menyebabkan air dapat bercampur secara homogen. Sementara lapisan homogen yang terbentuk pada bagian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 -2 -4 -6 -8 -10 titik cuplik ke dal am an m Dasar Perairan Dasar Perairan o C Outfall 1 P. Sieca Muara Kanal