16 pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh dengan cara yang terkontrol,
selain sebagai produk yaitu pengetahuan manusia sains atau IPA juga sebagai proses yaitu bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut.
IPA pada hakikatnya dapat dipandang dari segi produk, proses dan pengembangan sikap. Artinya, belajar IPA memiliki dimensi proses, dimensi hasil
produk dan dimensi pengembangan sikap ilmiah. Ketiga dimensi tersebut saling terkait. Patta Bundu 2006: 11-13 menegaskan bahwa secara garis besar Ilmu
Pengetahuan Alam IPA memiliki tiga komponen, yaitu: IPA sebagai produk, IPA sebagai proses, dan IPA sebagai sikap ilmiah.
a. IPA sebagai produk
IPA sebagai produk karena berisi kumpulan hasil kegiatan yang dilakukan ilmuan dalam bentuk fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum
dan teori-teori. b.
IPA sebagai proses Proses IPA merupakan sejumlah keterampilan untuk mengkaji fenomena-
fenomena alam dengan cara-cara tertentu untuk memperoleh ilmu dan pengembangan ilmu tersebut selanjutnya. Keterampilan yang dimaksud adalah
keterampilan keterampilan proses yang meliputi kegiatan pengamatan, merumuskan hipotesis, melakukan eksperimen dan lain-lain.
c. IPA sebagai sikap ilmiah
Sikap ilmiah dalam IPA adalah sikap yang dimiliki para ilmuan dalam mencari dan mengembangkan pengetahuan baru, misalnya obyektif terhadap
17 fakta, hati-hati, bertanggung jawab, berhati-hati, selalu ingin meneliti dan
sebagainya. Dengan adanya beberapa pengertian beberapa pendapat tersebut dapat
dinyatakan bahwa bahwa IPA adalah suatu ilmu untuk mempelajari tentang peristiwa-peristiwa di alam ini. Langkah-langkah yang ditempuh dalam
memahami peristiwa alam merupakan proses IPA, sedang pengetahuan yang dihasilkan disebut produk IPA. Keduanya harus didukung oleh sikap ilmiah.
2. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar
Dalam pembelajaran di SD siswa sebagai peserta didik adalah subjeknya. Menurut Sutari Imam Bernadib Dwi Sismoyo, 2011: 96 sebagai manusia yang
memiliki potensi kodrati, siswa memungkinkan untuk bisa tumbuh dan berkembang menjadi makhluk yang sempurna a fully functioning person.
Usman Samatowa 2006: 7 mengungkapkan bahwa anak-anak masa Sekolah Dasar dibagi menjadi dua fase yaitu masa-masa kelas rendah sekolah dasar kelas
1 sampai dengan kelas 3 dan masa-masa kelas tinggi sekolah dasar kelas 4 sampai dengan kelas 6. Berdasarkan pembagian fase masa sekolah dasar, siswa
kelas III sekolah dasar termasuk dalam kelas rendah. Piaget Hendro Darmodjo, 1992: 19-20 membagi tahap perkembangan kognitif anak-anak ke dalam empat
tahapan, yaitu: a. Sensorimotorik 0-2 tahun
Dalam tahap sensorimotorik kemampuan berpikir anak baru melalui gerakan atau perbuatan. Perkembangan panca indera sangat berpengaruh dalam
diri mereka. Keinginan terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh atau
18 memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui reaksi dari
perbuatannya. Pada usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah menangis. Memberi pengetahuan pada anak dalam usia ini
tidak dapat hanya sekedar dengan menggunakan gambar sebagai media, melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak.
b. Praoperasional 2-7 tahun Pada tahap praopersional kemampuan skema kognitif anak masih terbatas.
Mereka masih suka menirukan perilaku orang lain, terutama orang tua dan guru yang pernah dilihat ketika orang itu merespon perilaku orang, keadaan dan
kejadian pada masa lampau. Anak mulai mampu menggunakan kata-kata yang benar dan mampu pula mengekspresikan kalimat pendek secara efektif.
c. Operasional konkrit 7-11 tahun Pada tahap operasional konkrit anak sudah mulai memahami aspek-aspek
komulatif materi, misalnya volume dan jumlah. Mempunyai kemampuan memahami cara mengkombinasikan beberapa golongan benda yang tingkatannya
bervariasi. Anak sudah mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkrit.
d. Operasional formal 12-15 tahun Anak telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan dua ragam
kemampuan kognitif secara serentak maupun berurutan. Misalnya kapasitas merumuskan hipotesis dan menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Dengan
kapasitas merumuskan hipotesis anak mampu berpikir memecahkan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan.