2. Bahan pengikat vehicle Bahan pengikat memuat zat warna dan mengikatnya dengan bahan-
bahan cetak. Bahan pengikat biasanya menentukan penyediaan, penyebaran, pemindahan dan daya penutupan dari tinta, serta menentukan cara atau
kecepatan pengeringannya. Pada tahun-tahun terakhir ini damar sintetis telah menggantikan minyak pengering. Untuk Fotografur digunakan suatu bahan
pengikat khusus yaitu alkohol atau aseton yang menyebabkan tinta mengering sebagian karena penyerapan dan sebagian karena penguapan. Tinta Fotografur
cepat menguap namun kilaunnya kurang dan berbahaya bagi kesehatan karena uap yang dihasilkan dapat menimbulkan bahaya kebakaran.
3. Bahan pencair thinner Pencair ini membantu kerja pada mesin. Pencair ini biasanya
dipisahkan dari bahan pengikatnya, mempengaruhi ketahanan, peresapan, penggilapan, pengeringan dan pelekatan tinta.
Semua tinta mengandung pelarut solvent yang biasanya berupa tiner. Tiner akan menguap segera
setelah tinta digunakan dalam proses industri, saat itu pekerja percetakan dapat menghisap bahan berbahaya yang terkandung dalam solvent. Pajanan
terhadap solvent dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, iritasi mata, hidung, dan tenggorokan, masalah reproduksi dan kanker Holmberg, 1994.
4. Bahan pengering drier Bahan pengering ini ditambahkan kepada tinta cetak untuk membantu
pengeringan secara oksidasi. Kebanyakan bahan pengering berunsur cobalt merupakan bahan berawrna keputih-putihan seperti besi, nikel, mangan,
timah, yang dapat larut kedalam berbagai bahan pengikat. Bahan pengering bekerja seiring dengan peningkatan suhu sehingga tinta lebih cepat mengering
pada suhu panas dari pada suhu dingin.
5. Pengubah modifier Pengubah berbentuk seperti malam dan minyak untuk mengontrol
pengeringan, kekenyalan, ketahanan, kekilapan dan kemampuan bertahan terhadap gesekan. Jika bahan pembungkus mentega, daging, buah, sayur-
sayur, dan lain-lain dicetak, maka pengubah modifier dapat mengatur bau dari pada tinta.
G. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Vital Paru pada Pekerja
Industri Percetakan
Banyak faktor yang mempengaruhi gangguan fungsi paru khususnya pada
aspek tenaga kerja adalah usia tenaga kerja saat bekerja,jenis kelamin, masa kerja,
penggunaan Alat Pelindung Diri APD, kebiasan merokok, kebiasaan olahraga , status gizi dan riwayat penyakit. Adapun faktor yang mempengaruhi gangguan
fungsi paru pekerja pada aspek non – pekerjaan adalah paparan kadar debu total
serta luas ventilasi udara dalam ruangan.
1. Umur
Umur merupakan variabel yang penting dalam hal terjadinya gangguan fungsi paru. Semakin bertambahnya umur, terutama yang disertai
dengan kondisi lingkungan yang buruk serta kemungkinan terkena suatu penyakit,maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru dapat terjadi
lebih besar. Seiring dengan pertambahan umur, kapasitas paru juga akan menurun.
Kapasitas paru orang berumur 30 tahun ke atas rata-rata 3.000 ml sampai 3.500 ml, dan pada orang yang berusia 50 tahunan kapasitas paru kurang dari
3.000 ml Guyton,1994. Secara fisiologis dengan bertambahnya umur maka kemampuan organ-
organ tubuh akan mengalami penurunan secara alamiah tidak terkecuali fungsi paru. Kondisi seperti ini akan bertambah buruk dengan keadaan lingkungan
yang berdebu dan faktor-faktor lain seperti kebiasaan merokok, tidak tersedianya masker juga penggunaan yang tidak disiplin, lama paparan serta
riwayat penyakit yang berkaitan dengan saluran pernafasan. Rata-rata pada umur 30
– 40 tahun seseorang akan mengalami penurunan fungsi paru yang dengan semakin bertambah umur semakin bertambah pula gangguan yang
terjadi Price,1995. Dalam penelitian Siti M 2006, semakin bertambah usia maka akan
dapat menurunkan kapasitas vital paru seseorang. Begitupun hasil penelitian yang dilakukan Yulaekah 2007 pada pekerja industri batu kapur menunjukan
ada hubungan yang bermakna antara umur seseorang dengan kapasitas vital paru.
2. Jenis kelamin
Menurut Guyton 1997 volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25 persen lebih kecil dari pada pria, dan lebih
besar lagi pada atletis dan orang yang bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis. Menurut Tambayong 2001 disebutkan bahwa
kapasitas paru pada pria lebih besar yaitu 4,8 L dibandingkan pada wanita yaitu 3,1 L.
Kapasitas vital rata – rata pria dewasa muda lebih kurang 4,6 liter dan
perempuan muda kurang lebih 3,1 liter. Volume paru pria dan wanita terdapat perbedaan bahwa kapasitas paru total kapasitas inspirasi dan kapasitas residu
fungsional, pria adalah 6,0 liter dan wanita 4,2 liter Antarudin,2002. Dalam penelitian Yulaekah 2007 mengatakan bahwa ada hubungan antara jenis
kelamin dengan kapasitas vital paru pada pekerja.
3. Masa Kerja
Menurut Mila 2006, masa kerja adalah lamanya seorang tenaga kerja bekerja dalam tahun dalam satu lingkungan perusahaan, dihitung mulai
saat bekerja sampai penelitian berlangsung. Dalam peneiltian Setiyani 2005, dalam lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat mempengaruhi dan
menurunkan kapasitas fungsi paru pada karyawan. Menurut Fahmi 1990 yang dikutip oleh Solech 2001, menyebutkan bahwa masa kerja dapat
dikategorikan menjadi dua yaitu: 1. Masa kerja baru 5 tahun
2. Masa kerja lama ≥ 5 tahun Bermacam bahan baku di industri percetakan merupakan bahan
karsinogen yang dapat menyebabkan penyakit paru seperti kanker paru. Pajanan kronik dari bahan karsinogen membutuhkan waktu lama untuk dapat
menyebabkan kanker. Lama waktu pajanan akan meningkatkan risiko kanker paru.
Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut
Suma’mur, 1988. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Ulinta 1998 di
Bandung, mengatakan bahwa masa kerja di suatu perusahaan yang mengandung banyak debu mempunyai resiko tinggi untuk timbulnya
pneumkoniosis.
4. Penggunaan Alat Pelindung Diri APD
Suatu kegiatan industri, paparan dan risiko yang ada ditempat kerja tidak selalu dapat dihindari. Upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan
penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja harus senantiasa dilakukan. Ada beberapa alternatif pengendalian secara tehnik dan administratif yang bisa
dilaksanakan, namun mempunyai beberapa kendala. Pilihan yang sering dilakukan adalah melengkapi tenaga kerja dengan alat pelindung diri
dijadikan suatu kebiasaan dan keharusan. Hal ini sesuai dengan Undang- Undang No 1 Th 1970 tentang keselamatan kerja khususnya pasal 9, 12 dan
14 yang mengatur penyediaan dan penggunaan alat pelindung diri di tempat kerja baik pengusaha maupun tenaga kerja.
Menurut Suma’mur 1988, alat pelindung diri adalah suatu alat yang
dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja. Jadi, alat pelindung diri merupakan salah satu cara untuk mencegah
kecelakaan, dan secara teknis APD tidaklah sempurna dapat melindungi tubuh akan tetapi dapat mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan yang terjadi.
Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat, peralatan dan lingkungan kerja adalah sangat perlu diutamakan.