xvii
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 2.1. Jenis racun pada rokok ....................................................................... 44
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kapasitas vital paru adalah jumlah udara maksimum pada seseorang yang berpindah pada satu tarikan napas. Kapasitas ini mencakup volume cadangan
inspirasi, volume tidal dan cadangan ekspirasi. Nilainya diukur dengan menyuruh individu melakukan inspirasi maksimum, kemudian menghembuskan sebanyak
mungkin udara di dalam parunya ke alat pengukur Corwin, 2001. Menurut Tambayong 2001, kapasitas vital paru adalah jumlah udara maksimal yang
dapat dikeluarkan dari paru, setelah udara dipenuhi secara maksimal. Pada tahun 1999, ILO International Labor Organization mendata
penyebab kematian yang berhubungan dengan pekerjaan antara lain 34 disebabkan karena kanker, kecelakaan sebanyak 25, penyakit saluran
pernapasan kronis 21, penyakit kardiovaskuler 15, dan lain-lain sebanyak 5
Sulistomo, 2002. Sebagian besar penyakit paru akibat kerja mempunyai akibat
yang serius. Lebih dari 3 kematian akibat penyakit paru di New York adalah
berhubungan dengan pekerjaan Ikhsan, 2002.
Inggris melakukan penelitian pada tahun 1989 dengan nama The Surveillance of Work Related and Occupational Respiratory Disease SWORD.
Dari data tahun 1996 ditemukan 3300 kasus baru penyakit paru yang berhubungan dengan pekerjaan. Sedangkan di Indonesia belum ada data resmi
tentang berapa banyak angka kejadian kasus penyakit paru akibat kerja, tetapi
dari beberapa penelitian yang dilakukan cukup banyak dijumpai kasus penyakit paru akibat kerja Ikhsan, 2002.
Berbagai partikel berbahaya di tempat kerja dapat memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan tenaga kerja seperti debu kertas dan tinta. Debu kertas
dan tinta yang berada di udara tempat kerja dapat berpotensi masuk ke dalam paru-paru melalui inhalasi, sehingga dapat menyebabkan perubahan pada
jaringan paru sampai pada berkurangnya fungsi paru atau lebih dikenal dengan penurunan fungsi paru yang bersifat restriktif Siregar,2004.
Suatu penelitian yang dilakukan di Cina pada tahun 1996 menunjukkan bahwa lebih dari 7 juta tenaga kerja telah terpajan oleh bahaya debu, ditemukan
sekitar 400.000 kasus pneumoconiosis dan mengakibatkan kurang lebih 80.000 kematian. Hal ini merupakan salah satu contoh risiko kesehatan yang
dihubungkan dengan pencemaran udara di lingkungan kerja Wang Sheng, 1997 dalam Siregar, 2004.
Debu dapat menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis apabila terinhalasi selama bekerja terus menerus. Bila alveoli mengeras, akibatnya mengurangi
elastisitas dalam menampung volume udara sehingga kemampuan mengikat oksigen menurun Depkes RI, 2003. Semakin lama seseorang dalam bekerja
maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut
Suma’mur, 1988. Tinta merupakan campuran bahan kimia yang sudah dikenal sejak dahulu
dan banyak digunakan di berbagai industri. Tinta cetak berupa partikel halus
yang dapat terhisap ke dalam saluran nafas. Lokasi deposisi partikel di saluran nafas ditentukan oleh konsentrasi, kelarutan, dan ukurannya.Partikel dengan
ukuran yang kecil akan mudah terhisap, sehingga potensial merupakan pajanan khususnya terhadap kesehatan paru. Tinta cetak juga dapat mempengaruhi
beberapa organ lain seperti susunan saraf pusat, hati, ginjal, kulit, mata, organ reproduksi, jantung, dan paru Wahyuningsih,2003.
Partikel berukuran 10 μm atau lebih akan mengendap di hidung dan faring, yang berukuran kurang dari 5 μm dapat penetrasi sampai ke alveoli, dan
partikel berukuran sedang 5- 10 μm akan mengendap di beberapa tempat di
saluran nafas besar. Lokasi deposisi partikel akan memberikan respon atau penyakit yang berbeda. Faktor manusia juga berperan penting dalam
berkembangnya penyakit, seperti kebiasaan merokok, kecepatan aliran udara pernafasan, ukuran paru dan faktor genetik Levi,1994.
Industri percetakan yang kini banyak termasuk dalam industri sektor informal. Industri sektor informal adalah sektor kegiatan ekonomi marginal atau
kecil-kecilan. Ciri-ciri kegiatan ekonomi marginal yang dikategorikan ke dalam sektor informal antara lain sebagai berikut: 1 Pola kegiatannya tidak
teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaan, 2 Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh
pemerintah, 3 Modal, peralatan, dan perlengkapan maupun omsetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian, 4 Pada umumnya tidak
mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggal, 5
Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar, 6 Pada umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapatan rendah,
7 Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat pendidikan dan
8 Umumnya tiap-tiap satuan usaha memperkerjakan tenaga dari lingkungan keluarga, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama Direktorat Bina Peran
Serta Masyarakat, 1990. Menurut Iryanti 2010, Direktur Tenaga Kerja dan Penciptaan
Kesempatan Kerja Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwa timbulnya sektor informal ini adalah akibat dari rendahnya peluang kerja
di sektor formal sehingga pertumbuhan angkatan kerja tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja. Akibatnya, banyak pencari kerja yang mengadu
nasib di sektor informal, saat ini ada sekitar 70 pekerja Indonesia yang bekerja di sektor informal. Akan tetapi, kelompok masyarakat pekerja sektor informal
masih belum memperoleh perhatian dalam hal kesehatan kerjanya. Selama ini mereka hanya memperoleh pelayanan kesehatan secara umum, namun belum
dikaitkan dengan pekerjaannya. Seperti tindakan pencegahan dan pengendalian yang ada belum di sesuaikan dengan potensi bahaya yang ada di tempat kerja.
Pada umumnya fasilitas pelayanan keselamatan dan kesehatan kerja lebih banyak dinikmati oleh tenaga kerja yang bekerja pada industri berskala besar jumlah
pekerja lebih dari 500 orang. Pada industri berskala kecil dan menengah,