Hal ini sejalan dengan penelitian Ulinta 1998 di Bandung, mengatakan bahwa masa kerja di suatu perusahaan yang mengandung
banyak debu mempunyai resiko tinggi untuk timbulnya pneumkoniosis. Sedangkan hasil penelitian Budiono 2007, tentang gangguan fungsi paru
pada pekerja pengecatan mobil di Semarang menyatakan bahwa, menurut hasil uji statistik Pvalue sebesar 0,0005 yang berarti ada hubungan masa
kerja yang diterima oleh pekerja pengecetan mobil dengan kapasitas vital paru.
Dari beberapa penelitian terdahulu tersebut semuanya mendukung temuan penelitian ini. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh masa kerja
dari setiap pekerja yang berbeda – beda, sesuai dengan pajanan berbahaya
yang diterima oleh pekerja berdasarkan masa kerjanya. Sesuai dengan teori yang menyatakan semakin lama seseorang dalam bekerja maka
semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka
semakin beresiko terkena gangguan KPV. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia
telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut Suma’mur,1996. Sehingga dibutuhkan upaya dan tindakan serius untuk
menerapkan shift kerja agar pajanan berbahaya yang diterima oleh pekerja tidak semakin lama dan berbahaya bagi kesehatan.
c. Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru
Pekerja yang mempunyai kebiasaan merokok dapat mempunyai risiko atau pemicu timbulnya keluhan subyektif saluran pernafasan dan
gangguan ventilasi paru pada tenaga kerja Giarno, 1995. Sementara Lubis 1989 menyatakan tenaga kerja yang sebagai perokok merupakan
salah satu faktor risiko penyebab penyakit saluran pernafasan. Yunus 1997 mengatakan asap rokok meningkatkan risiko
timbulnya penyakit bronchitis dan kanker paru, untuk itu pekerja hendaknya berhenti merokok bila bekerja pada tempat yang mempunyai
risiko terjadi penyakit tersebut. Beberapa penelitian tentang bahaya merokok terhadap kesehatan dan gangguan ventilasi paru dikemukakan
oleh Mangesiha dan Bakele 1998 terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dan gangguan saluran pernafasan.
Hasil pada penelitian ini menunjukkan pekerja yang memiliki kebiasaan merokok sama banyak dibandingkan dengan pekerja yang tidak
memiliki kebiasaan merokok. Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan
merokok dengan kapasitas vital paru pada pekerja di industri percetakan Megal Mall Ciputat tahun 2013. Hal ini sejalan dengan penelitian Budiono
2007 tentang gangguan fungsi paru pada pekerja pengecatan mobil di Semarang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru.
Menurut Suyono 2001 asap rokok mengiritasi paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah. Merokok lebih merendahkan kapasitas vital
paru dibandingkan beberapa bahaya kesehatan akibat kerja. Depkes RI 2003 menyatakan bahwa pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari
pada pengaruh debu hanya sekitar sepertiga dari pengaruh buruk rokok. Hal tersebut terdapat pada tabel 5.7 dimana ada sebagian besar
pekerja yang tidak merokok tetapi mengalami gangguan, disini terbukti bahwa asap rokok dapat membahayakan kesehatan. Hal ini disebabkan
asap rokok akan menghilangkan bulu-bulu silia di saluran pernafasan yang berfungsi sebagai penyaring udara yang masuk dalam pernafasan
Faidawati, 2003. Untuk menghindari gangguan kapasitas vital paru sebaiknya para pekerja yang merokok, untuk berhenti merokok karena
asap rokoknya juga memberikan efek negatif untuk dirinya dan bagi pekerja yang tidak merokok.
Sebaiknya pekerja dapat menghentikan kebiasaan merokok guna menjaga kesehatannya dengan menerapkan gaya hidup yang sehat untuk
kualitas hidup yang lebih berkualitas dan produktif. Pemilik percetakan menerapkan aturan larangan merokok di lingkungan kerja, agar pekerja
yang tidak merokok tidak terpapar oleh pajanan berbahaya yang berasal dari pekerja lain yang merokok.