Konsumsi Energi dan Protein Penyelenggaraan Makanan Institusi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsumsi Energi dan Protein

Konsumsi energi dan protein adalah total asupan energi dan protein yang dikonsumsi oleh seseorang setiap harinya dibandingkan dengan kecukupan energi dan protein yang dianjurkan Supariasa, 2001. Manusia makan tidak hanya sekedar menghilangkan rasa lapar, tetapi juga memperhatikan konsumsi zat gizi yang diperoleh dari makanannya Suhardjo, 1989. Menurut Sedioetama 1996, konsumsi energi dan protein lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. Hal ini sesuai tertuang dalam firman Allah SWT               “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada- Nya” Al-Maidah: 88. Ada tiga faktor yang membuat tiap orang memiliki konsumsi energi dan protein yang berbeda yaitu karakteristik individu yaitu yang berasal dari dalam diri si penerima seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi, keterampilan memasak, dan kesehatan. Penilaian makanan yaitu penampilan makanan, rasa makanan dan variasi menu. Dan karakteristik lingkungan yang terdiri dari musim, pekerjaan, mobilitas, perpindahan penduduk, jumlah keluarga dan tingkatan sosial pada masyarakat Elizabeth dan Sanjur, 1981 dalam Suhardjo 1989. 2.2 Remaja 2.2.1 Definisi Remaja Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik dan perubahan sosial. Di sebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun Notoatmodjo, 2007. Remaja menurut World Health Organization WHO merupakan individu yang sedang mengalami masa peralihan yang secara berangsur- angsur mencapai kematangan seksual, mengalami perubahan jiwa dari jiwa anak-anak menjadi dewasa dan mengalami perubahan keadaan ekonomi dari ketergantungan menjadi relatif mandiri. Sedangkan menurut Mohammad 1994 mengemukakan bahwa remaja adalah anak berusia 13- 25 tahun, di mana usia 13 tahun merupakan batas usia pubertas pada umumnya, yaitu ketika secara biologis sudah mengalami kematangan seksual dan usia 25 tahun adalah usia ketika mereka pada umumnya secara sosial dan psikologis mampu mandiri Notoatmodjo, 2007. Konsumsi energi dan protein yang tidak baik semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Dampak negatif kekurangan mineral kerap tidak kelihatan sebelum mereka mencapai usia dewasa Arisman, 2004. Ingersoll GM 1992 dan Brown 2002 dalam Estetika 2007 membagi periode remaja menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Early Adolescence 11-14 tahun Pada periode ini remaja mulai memperhatikan body image mereka dan seksualitas. Cara mikir mereka juga menjadi konkret dan mulai membangun konsep awal dari moral mereka, pengaruh peer group juga sangat kuat. 2. Middle Adolescence 15 sampai 17 tahun Pada periode ini, remaja mulai agak menjauh dari orang tua mereka secara emosi. Untuk perkembangan kognitif, kemampuan verbal remaja semakin luas. Perilaku risiko mengenai kesehatan pada remaja periode ini juga meningkat dan remaja juga mulai tertarik pada peer group yang heterogen. 3. Late Adolescence 18 sampai 21 tahun Pada periode ini, remaja mulai membangun identifikasi diri dan juga mulai terpisah dari orang tua mereka. Cara pikir remaja pada periode ini juga menjadi lebih kompleks, selain itu mereka juga sudah memiliki ekonomi sosial. Menurut Anwar 2006 dalam Dilapanga 2008 Remaja putri pada umur 10-13 tahun dan remaja putra pada umur 12-15 tahun mengalami masa akil baligh. Pada masa itu, terjadi pertumbuhan yang cepat disertai perubahan fisiologis dan mental. Sesudah itu derajat pertumbuhan berkurang sehingga remaja putra dan putri yang mendekati usia 19 tahun pertumbuhannya berhenti dan mereka memasuki usia remaja. Pada remaja terjadi perkembangan fisik yang meliputi pertumbuhan organ seksual baik primer maupun skunder pertumbuhan otot tulang, hormon-hormon serta perkembangan kejiwaan yang meliputi emosi, intelektual, sosial, dan moral. Terlalu cepatterlalu lambat perkembangan remaja akan menjadi masalah bagi remaja dalam menghadapi kehidupannya. Perkembangan seksual ditandai dengan berfunsinya alat-alat reproduksi. Perkembangan otot tulang diawali pada tungkai kaki dan tangan,oleh karena itu tidaklah mengherankan jika tubuh remaja sering kelihatan tidak proporsional. Perkembangan emosi erat kaitannya dengan perkembangan hormon dan ditandai dengan emosi yang intens dan labil. Perkembangan intelektual ditandai bahwa remaja sudah mampu berfikir secara abstrak, kausalitas dan membuat proyeksi kemasa datang, berfikir kritis artinya tidak mau menerima begitu saja. Perkembangan social ditandai oleh keterkaitannya pada kelompok sebaya, hal ini mengembangkan rasa solidaritas, saling menghargai, saling menghormati yang sebelumnya tidak dimiliki ketika masa kanak-kanak Bart, 1994 dalam Julianto 2002.

2.2.2 Kecukupan Energi Protein pada Remaja

Kebutuhan zat gizi selama masa remaja dipengaruhi terutama oleh kecepatan pertumbuhan dan aktifitas fisik individu yang bersangkutan. Indikator lain yang perlu diperhatikan antara lain jenis kelamin, usia dan tumbuh kembang. Kebutuhan zat gizi berhubungan sangat erat dengan besarnya tubuh, hingga kebutuhan yang tinggi terdapat pada periode pertumbuhan yang cepat Sayogyo, 1992. Remaja mempunyai kebutuhan gizi yang unik dari sisi biologis, psikologis dan sosial. Dari sisi biologis, zat gizi yang lebih banyak dibutuhkan pada saat remaja adalah zat gizi pelindung seperti protein, vitamin dan mineral per unit energi yang dikonsumsi, dibandingkan masa kanak-kanak dan dewasa Asih, 2001. Ketidakseimbangan antara asupan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi lebih maupun gizi kurang.

2.2.2.1 Energi

Energi diartikan sebagai suatu kapasitas untuk melakukan suatu pekerjaan. Jumlah energi yang dibutuhkan seseorang tergantung pada usia, jenis kelamin, berat badan dan bentuk tubuh. Energi dalam tubuh manusia timbul dikarenakan adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak Nurachmah, 2001 dalam dalam Azinar, 2005. Energi diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, utilisasi bahan makanan, dan aktifitas sehari-hari. Kebutuhan rata-rata energi remaja adalah 40-60 kkalkgBBhari. Kebutuhan energi terutama disuplai dari karbohidrat dan lemak. Untuk menjaga agar tubuh remaja sehat dan bugar dibutuhkan banyak macam zat gizi yang terdapat dalam karbohidrat, protein, lemak, air, vitamin dan mineral. Remaja sebaiknya mengkonsumsi energi kurang lebih 60-70 dari karbohidrat, 20-25 dari lemak dan 12-15 dari protein dalam makanan sehari-harinya. Karbohidrat merupakan pondasi dari makanan bagi remaja yang banyak melakukan aktivitas fisik. Lemak mampu untuk mencegah penyempitan pembuluh darah akibat penumpukan kolesterol terutama lemak yang mengandung asam lemak esensial seperti asam linoleat, linoleat dan arakidonat. Protein dibutuhkan pada masa ini karena untuk pemeliharaan jaringan dan pembentukan jaringan baru. Air diperlukan untuk mengangkut zat gizi ke dan dari otot-otot yang bekerja, membuang panas dan mengangkut sisa metabolisme Sumosardjono, 1995 dalam Asih, 2001. Remaja yang mempunyai aktifitas banyak akan memerlukan energi yang lebih banyak dibandingkan remaja yang tidak banyak melakukan aktifitas Nelson, 1995. Selain dari makanan pokok, ketersediaan zat-zat gizi juga bisa berasal dari makanan kudapan, selingan, suplemen atau camilan snack. Camilan biasanya dikonsumsi di antara dua waktu makanan utama, yaitu antara makan pagi dan makan siang atau antara makan siang dan makan malam Anonim, 2010 dalam Martaliza, 2010. Made Astawan mengatakan, makanan kudapan menyumbang 80 asupan gizi dalam tubuh. Menurut Hardinsyah dan Dodik Briawan 1990 dalam Martaliza 2010 kontribusi sumbangan energi dari makanan jajanan atau kudapan adalah 10-25 dan sumbangan protein sebanyak 5-10. Oleh karena itu, makanan jajanan atau kudapan dibutuhkan juga untuk mencukupi kebutuhan enrgi dan mineral yang kadang-kadang masih kurang yang apabila zat gizi tersebut hanya dari makanan utama pagi, siang, dan malam.

2.2.2.2 Protein

Protein fungsi utamanya adalah untuk menyediakan asam amino bagi sintesis protein sel, hormon maupun enzim untuk mengatur metabolisme Pudjiadi, 2000. Ada dua sumber protein yaitu hewani dan nabati. Protein yang berasal dari hewani merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah maupun mutunya. Konsumsi protein yang seimbang dengan kebutuhan protein akan dapat menunjang status gizi, atau dengan kata lain tubuh akan mengalami pertumbuhan yang optimal. Kebutuhan protein remaja relative lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa. Pada masa remaja, protein terutama dibutuhkan untuk pemeliharaan jaringan dan pembentuk jaringan baru. Perhitungan protein diperoleh dari 15 total kalori Elisa, 2002. Kebutuhan protein meningkat pada masa remaja, karena proses pertumbuhan yang sedang terjadi dengan cepat. Pada awal masa remaja, kebutuhan protein remaja perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, karena memasuki masa pertumbuhan cepat lebih dulu. Pada akhir masa remaja, kebutuhan protein laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan karena perbedaan komposisi tubuh Yulia, 2009. Protein dalam tubuh berfungsi untuk menyediakan energi apabila kebutuhan energi tidak tercukupi dari konsumsi karbohidrat dan lemak.

2.2.2.3 Dampak Kekurangan Energi Dan Protein Pada Remaja

Kekurangan energi dan protein bagi remaja dampaknya sangat besar. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan menyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja, penurunan kosentrasi belajar selain itu juga dapat menyebabkan kekurangan zat gizi lain seperti zat besi, kalsium dan sebagainya. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian Hardinsyah dan Martianto, 1992. Bagi remaja wanita apabila kekurangan energi dan protein berlangsung dalam waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya Kurang Energi Kronis KEK dan jika asupan zat besi kurang makan dapat menyebabkan anemia gizi besi. Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi bagi orang Indonesia diketahui bahwa kebutuhan energi dan protein bagi remaja dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi Remaja Tahun 2005 No. Jenis Kelamin Usia Energi Kkal Protein gram 1 Laki-laki 13-15 2400 60 16-18 2600 65 2 Perempuan 13-15 2350 57 16-18 2200 50 Sumber: Widyakarya Pangan 2005

2.3 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Konsumsi energi dan protein pada Remaja

2.3.1 Karakteristik Individu

Konsumsi makan seseorang salah satunya dipengaruhi oleh karakteristik individu usia, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan gizi dan pendapatan, nafsu makan, rasa bosan, makanan tambahan dari luar.

2.3.1.1 Usia

Setiap orang memiliki kebutuhan zat gizi yang berbeda beda mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, sampai lansia. Pada umumnya remaja membutuhkan konsumsi makanan yang lebih karena usia remaja merupakan dalam masa pertumbuhan dan perkembangan sehingga diperlukan asupan zat gizi yang lebih dibandingkan dengan dewasa Arisman, 2010.

2.3.1.2 Jenis Kelamin

Remaja putera dan remaja puteri memiliki kebutuhan zat gizi yang berbeda. Kebutuhan energi dan protein remaja putra berbeda dengan remaja putri. Remaja putra memerlukan lebih banyak energi dibandingkan dengan remaja putri karena perbedaan komposisi tubuh dan kecepatan pertumbuhan. Menurut Suhardjo 1989 sebagian besar wanita mempunyai pantangan terhadap makanan sedangkan laki-laki cenderung lebih baik dalam penerimaan terhadap makanan. Menurut Gibney 2004 dalam Dilapanga 2008 jenis kelamin mempengaruhi tingkat konsumsi makanan seseorang. Berdasarkan survei konsumsi pangan di Eropa terdapat perbedaan konsumsi makan antara pria dan wanita. Para remaja terutama remaja putri mempunyai selera makan yang berubah-ubah, mereka cenderung lebih memperhatikan jumlah makanan yang mereka konsumsi. Berdasarkan penelitian Hakim 2001 diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan konsumsi energi pada remaja. Dalam penelitian Brisdon 1993 menyatakan bahwa remaja putera cenderung memiliki asupan energi lebih tinggi dibandingkan dengan remaja puteri. Sedangkan berdasarkan penelitian Matthys et al 2002 tidak ada perbedaan yang signifikan antara supan energi pada remaja laki-laki maupun pada remaja perempuan.

2.3.1.3 Pendidikan

Konsumsi makan seseorang sangat erat kaitannya dengan tingkat pendidikannya. Seseorang yang mempunyai pendidikan dan pengetahuan yang cukup tentang gizi maka mempertimbangkan kebutuhan fisiologik akan lebih penting dari pada kepuasan psikis Prajitno, 1994. Seseorang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi umumnya mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi juga sehingga akan memilih makanan yang lebih murah dan bernilai gizi lebih tinggi Suhardjo, 1989.

2.3.1.4 Uang Saku

Uang saku merupakan bagian pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan kepada anak untuk keperluan harian, mingguan, atau bulanan. Semakin besar pendapatan keluarga maka semakin besar uang saku yang diterima oleh anak Azizah, 2007 dalam Dilapanga, 2008. Uang saku sangat menentukan pemilihan makanan dan konsumsi makanan. Biasanya remaja memilih makanan sesuai dengan uang saku mereka. Dengan uang saku yang cukup besar, biasanya remaja sering mengkonsumsi makanan- makanan modern dengan pertimbangan prestice dan juga harapan akan diterima dikalangan peer group mereka. Menurut Berg 1986 dalam Hela 2008 uang sangat mempengaruhi makanan yang dikonsumsi oleh seseorang. Tingkat pendapatan akan mempengaruhi apa yang akan dibeli oleh seseorang dengan menggunakaan uang.

2.3.1.5 Pengetahuan Gizi

Remaja umumnya memiliki pemahaman yang kurang baik terhadap kandungan gizi yang terdapat dalam berbagai makanan dan manfaatnya terhadap tubuh McWilliams, 1993. Konsumsi makan juga berkaitan dengan pengetahuan gizi seseorang. Banyak orang yang menderita kekurangan gizi karena mereka tidak mengetahui manfaat makanan yang bervariasi dan mengandung zat- zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Mereka pada umumnya lebih memilih makanan yang terasa enak dan mengenyangkan tetapi rendah kandungan zat gizinya dan tidak mengerti akan pentingnya makanan untuk kesehatan Simanjutak, 1995 dalam Iskandar, 2003. Menurut Suhardjo 1989 pengetahuan gizi sangat penting karena dengan pengetahuan gizi yang cukup diharapkan status gizi baik sehingga penyediaan makanan yang bergizi dapat tercukupi dan pangan tersebut dapat diolah dan dikonsumsi guna perbaikan gizi. Sanjur dalam Kumary 2001 menyatakan bahwa pengetahuan gizi mempengaruhi praktek melalui sikap terhadap konsumsi makan. Praktek konsumsi pangan merupakan hasil interaksi dari pengetahuan gizi dalam sikap terhadap gizi. Orang yang memiliki pengetahuan gizi yang tinggi terdapat kecenderungan untuk memilih makanan yang lebih murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi Yahya, 1993 dalam Julianto, 2002. Menurut Khomsan 2003 pengukuran pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen berbentuk pertanyaan pilihan. Instrumen ini merupakan bentuk tes objektif yang paling sering digunakan, di dalam menyusun instrumen ini digunakan jawaban-jawaban yang sudah tertera di dalam tes dan responden hanya memilih jawaban yang benar. Alternatif jawaban yang benar dari berbagai opsi disebut jawaban, sedangkan alternatif yang salah disebut distracter. Distracter yang baik mempunyai ciri karakteristik yang hampir mirip dengan jawaban. Dengan demikian responden harus berpikir dahulu sebelum menentukan pilihan jawaban yang benar. Dalam penelitian Juliato 2002 diketahui bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pengetahuan gizi dengan konsumsi energi sedangkan terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan gizi dengan konsumsi protein. Periode remaja adalah periode perubahan yang sangat drastis baik fisik maupun psikologi. Sehingga pengetahuan baik tidak selalu mencerminkan perilaku remaja tersebut dalam mengkonsumsi makanan. Pada penelitian Elnovriza 2008 diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan gizi responden dengan asupan zat gizi. Sedangkan dalam penelitian Umri 2001 didapatkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pengetahuan gizi dengan tingkat konsumsi energi dan ada hubungan bermakna antara pengetahuan gizi dengan tingkat konsumsi protein.

2.3.1.6 Keterampilan Memasak

Konsumsi makan seseorang tergantung dari masakan yang dimasak, hal ini berarti dibutuhkan keterampilan memasak yang baik. Dengan keterampilan masak yang baik maka pemilihan bahan makanan dan pengolahan makanan yang baik dapat meningkatkan selera orang yang akan memakannya. Dalam rumah tangga keterampilan masak seorang ibu sangat diperlukan agar anak- anaknya dapat mengkonsumsi makanan yang disediakan dengan baik. Sedangkan untuk orang-orang yang berada di luar rumah seperti pondok pesantren, lembaga pemasyarakatan dan sebagainya tergantung kepada juru masak tempat tersebut Moehyi, 1992.

2.3.1.7 Kesehatan

Tubuh memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri dari penyakit infeksi apabila dalam keadaan gizi baik dan apabila keadaan gizi tidak baik atau buruk maka kemampuan tubuh dalam mempertahankan diri dari penyakit infeksi akan menurun. Hal ini disebabkan kekebalan tubuh yang menurun akibat kurangnya asupan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh Aritonang, 1996 dalam Amsirman 2001. Status kesehatan seseorang akan mempengaruhi konsumsi makannya. Pada orang dalam kondisi sakit cenderung memiliki konsumsi makan yang rendah dari pada orang dalam kondisi sehat.

2.3.1.8 Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan adalah cara seseorang atau sekelompok orang memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh sosial, budaya, fisiologis, dan psikologi. Menurut Khumaidi 1994 yang dimaksud kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau sekelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Sikap positif atau negatif terhadap makanan bersumber pada nilai afektif yang berasal dari alam, budaya, sosial, ekonomi. Menurut Husaini 1989 dalam Elisa 2002 Kebiasaan makan merupakan refleksi dari pemenuhan kebutuhan fisik, keinginan, kepuasan dan ketenangan. Kebiasaan makan menentukan jumlah zat gizi yang dikonsumsi, baik dipandang dari segi kualitas maupun kuantitas. Remaja puteri mempunyai kebiasaan makan dan pemilihan makan yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terdiri dari fisik, sosial, lingkungan, keluarga, teman sebaya dan psikologi Story, 1995 dalam Amsirman, 2001.

2.3.1.9 Kesukaan Preferensi Makanan

Preferensi makanan adalah sebagai tindakan atau ukuran suka atau tidak sukanya terhadap makanan Pilgrin, 1957 dalam Suhardjo, 1989. Pada remaja, kesukaan terhadap makanan tergantung pada lingkungan sekitar mereka. Pada umumnya pihak keluarga dan teman sebaya mempunyai pengaruh yang besar bagi remaja terhadap makanan yang disukai dan tidak disukai. Menurut Khumaidi 1989 terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu merupakan hasil dari kesenangan sebelumnya yang diperoleh pada saat mereka makan untuk memenuhi rasa laparnya.

2.3.1.10 Citra Tubuh Body Image

Citra tubuh adalah sikap, persepsi, keyakikan dan pengetahuan individu secara sadar atau tidak sadar terhadap tubuhnya yaitu ukuran, bentuk, struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan objek yang kontak secara terus menerus baik masa lalu maupun sekarang Harnawatiaj, 2002 dalam Handayani, 2009. Citra tubuh adalah sebuah istilah yang mengacu kepada persepsi seseorang mengenai bentuk dan tampilan fisik tubuhnya. Citra tubuh seringkali diukur dengan menanyakan kepada subjek bentuk tubuhnya saat ini dengan bentuk tubuh ideal yang ditampilkan melalui serangkaian gambar. Perbedaan antara kedua nilai tersebut menggambarkan sejauh mana ketidakpuasaan subjek tersebut terhadap dirinya sendiri Field, 1999.

2.3.2 Penilaian Makanan

Kualitas hidangan merupakan salah satu yang mempengaruhi tingkat konsumsi makan seseorang. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam suatu hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lainnya Sayogyo, 1994. Konsumsi makan seseorang yang berasal dari karakteristik makanan yaitu cita rasa makanan yang terdiri dari penampilan makanan dan rasa makanan. Menurut moehyi 1992 cita rasa makanan ditimbulkan oleh terjadinya rangsangan terhadap berbagai indera dalam tubuh manusia, terutama indera penglihatan, indera penciuman, dan indera pengecap. Makanan yang memiliki cita rasa yang tinggi adalah makanan yang disajikan dengan menarik, menyebarkan bau yang sedap dan memberikan rasa yang lezat. Semakin banyak jumlah porsi makanan yang harus dimasak, semakin sukar untuk mempertahankan cita rasa makanan seperti yang diinginkan. Usaha untuk mendapatkan cita rasa makanan yang baik, dimulai sejak pemilihan bahan makanan yang akan digunakan dan kemudian menyiapkan bahan makanan itu untuk dimasak melalui berbagai cara, memotong, mengiris, menggiling, mengaduk, serta membuat bentuk- bentuk tertentu agar menarik. Pengolahan yang tidak dilakukan secara professional, perencanaan yang kurang baik, tenaga pelaksana yang tidak professional, sistem pengawasan yang lemah, dan rendahnya dedikasi petugas penyelenggara menyebabkan mutu dan cita rasa makanan yang disajikan kurang baik. Cita rasa makanan yang khas dapat diciptakan dengan menggunakan bumbu-bumbu tertentu atau dapat juga dengan cara memasak makanan yang khusus. Selain itu mutu dan cita rasa makanan sangat tergantung pada tenaga ahli juru masak. Cita rasa makanan mencakup dua aspek utama yaitu penampilan makanan sewaktu dihidangkan dan rasa makanan waktu dimakan. Kedua aspek itu sama pentingnya untuk diperhatikan agar betul- betul dapat menghasilkan makanan yang memuaskan.

2.3.2.1 Penampilan Makanan

Penampilan makanan sewaktu disajikan di meja makan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

2.3.2.1.1 Warna Makanan

Betapapun lezatnya makanan, apabila penampilannya tidak menarik waktu disajikan akan mengakibatkan selera orang yang akan memakannya menjadi hilang. Warna makanan memegang peranan penting dalam penampilan makanan. Untuk mendapatkan warna makanan yang sesuai dan menarik harus digunakan teknik memasak tertentu Moehyi, 1992. Menurut West dan Wood 1988 warna makanan yang menarik dapat meningkatkan cita rasa. Kombinasi warna menjadi sangat penting dalam membuat makan menjadi lebih menarik ketika disajikan. Oleh karena itu, suatu menu yang baik haruslah terdapat kombinasi warna yang menarik.

2.3.2.1.2 Konsistensi atau Tekstur Makanan

Konsistensi makanan juga merupakan komponen yang turut menentukan cita rasa makanan karena sensitivitas indera cita rasa dipengaruhi oleh konsistensi makanan. Makanan yang berkonsistensi padat atau kental akan memberikan rangsang yang lebih lambat terhadap indera kita. Cara memasak dan lama waktu memasak makanan akan menentukan pula konsistensi makanan. Jadi apabila seseorang memakan makanan dengan konsistensi dan tekstur yang sesuai dengan jenis makanannya maka dapat meningkatkan selera si pemakannya.

2.3.2.1.3 Bentuk Makanan yang disajikan

Menurut Moehyi 1992 untuk membuat makanan menjadi lebih menarik biasanya disajikan dalam bentuk- bentuk tertentu. Bentuk makanan waktu disajikan dapat dibedakan menjadi beberapa macam bentuk seperti: 1 Bentuk sesuai dengan bentuk asli bahan makanan. Misalnya, ikan sering disajikan dalam bentuk aslinya dengan lengkap. 2 Bentuk yang menyerupai bentuk asli, tetapi bukan merupakan bahan makanan yang utuh. Ayam kodok misalnya, dibuat menyerupai asli ayam. 3 Bentuk yang diperoleh dengan cara memotong bahan makanan dengan teknik tertentu atau mengiris bahan makanan dengan cara tertentu. 4 Bentuk sajian khusus seperti bentuk nasi tumpeng atau bentuk lainnya yang khas. Bentuk makanan yang serasi akan memberikan daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan.

2.3.2.1.4 Porsi Makanan

Pentingnya porsi makanan tidak hanya berkaitan dengan penampilan makanan waktu disajikan, tetapi juga berkaitan dengan perencanaan dan penghitungan pemakaian bahan. Misalnya potongan daging atau ayam atau ikan yang terlalu besar atau terlalu kecil akan merugikan penampilan.

2.3.2.1.5 Variasi Menu

Variasi menu adalah variasi menggunakan bahan makanan, resep makanan dan cara pengolahan dalam suatu hidangan. Variasi menu akan merangsang selera makan. Menu yang semakin bervariasi akan menambah gairah untuk makan sehingga makanan yang disajikan akan habis dimakan oleh konsumen. Suatu jenis makanan yang dihidangkan berkali-kali dalam jangka waktu yang singkat akan membosankan konsumen, begitu juga penggunaan bahan makanan dasar untuk membuat masakan berkali-kali dalam jangka waktu yang singkat akan membuat penerima merasa jenuh. Menurut Moehyi 1992 menu yang baik tidak berarti harus berasal dari bahan mewah dan mahal atau dimasak ala barat, tetapi yang penting adalah memenuhi syarat gizi, rasa enak, bervariasi dan menarik, karena faktor-faktor tersebut membangkitkan selera makan. Jenis masakan yang disajikan maupun bahan makanan dasar yang digunakan disajikan berkali-kali dalm waktu yang singkat akan membuat konsumen merasa jenuh. Penganekaragaman menu perlu dilakukan untuk menghindari kebosanan para konsumen dan mengingat beragamnya konsumen yang dilayani serta mempunyai keinginan atau kesukaan yang berbeda pula. Berikut ini merupakan susunan hidangan yang terdapat di Indonesia Moehyi, 1992: a. Hidangan makanan pokok yang umumnya terdiri dari nasi. Berbagai variasi masakan nasi sering juga digunakan seperti nasi uduk, nasi minyak, nasi kuning dan nasi tim. Disebut sebagi makanan pokok karena dari makanan inilah tubuh memperoleh sebagian besar zat gizi yang diperlukan tubuh. b. Hidangan lauk pauk, yaitu masakan yang terbuat dari bahan makanan hewani atau nabati atau gabungan keduanya. Bahan makanan hewani yang digunakan dapat berupa daging sapi, kerbau, atau unggas seperti ayam, burung dara, dan bebek. Selain itu, bahan makanan hewani dapat juga berupa ikan, udang, kepiting atau berbagai jebis hasil laut lainnya. Lauk pauk nabati biasanya berupa lauk pauk yang terbuat dari kacang-kacangan atau hasil olahannya seperti tempe dan tahu. Bahan-bahan makanan itu dimasak dengan berbagai cara, seperti masakan berkuah, masakan tanpa kuah, dipanggang, dibakar, digoreng atau jenis masakan lainnya. c. Hidangan berupa sayur mayor. Biasanya hidangan ini berupa masakan yang berkuah karena berfungsi sebagai pembasah nasi agar mudah ditelan. Hidangan sayur- mayur dapat lebih dari satu macam masakan yang biasanya terdiri dari gabungan maskaan berkuah atau tidak berkuah. d. Hidangan yang terdiri dari buah-buahan, baik dalam bentuk buah-buahan segar atau buah-buahan yang sudah diolah seperti setup atau sari buah. Hidangan ini berfungsi sebagai penghilang rasa yang kurang sedap sehabis makan sehingga diberi nama pencuci mulut.

2.3.2.2 Rasa Makanan

Rasa makanan merupakan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah penampilan makanan itu sendiri. Apabila penampilan makanan yang disajikan merangsang saraf melalui indera penglihatan sehingga mampu membangkitkan selera untuk mencicipi makanan itu, maka pada tahap berikutnya cita rasa makanan itu ditentukan oleh rangsangan terhadap indera pencium dan indera pengecap. Berikut ini komponen-komponen yang berperan dalam penentuan rasa makanan, yaitu:

2.3.2.2.1 Aroma Makanan

Aroma makanan lebih banyak terpaut dengan indera penciuman sehingga apabila seseorang penciumannya mengalami gangguan maka kemampuannya untuk mencium aroma makanan akan terpengaruh juga. Aroma yang disebarkan oleh makanan memiliki daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera pencium sehingga membangkitkan selera. Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya suatu senyawa yang mudah menguap. Terbentuknya senyawa yang mudah menguap itu dapat sebagai akibat reaksi karena senyawa enzim, tetapi dapat juga terbentuk tanpa terjadi reaksi enzim. Misalnya aroma jambu biji yang menyengat timbul karena reaksi enzimatik dalam buah jambu dan membentuk senyawa yang mudah menguap. Aroma yang dikeluarkan oleh setiap makanan berbeda-beda. Demikian pula cara memasak makanan akan memberikan aroma yang berbeda pula. Penggunaan panas yang tinggi dalam proses pemasakan makanan akan lebih menghasilkan aroma yang kuat, seperti padamakanan yang digoreng, dibakar, atau dipanggang. Lain halnya dengan makanan yang direbus yang hamper-hampir tidak mengeluarkan aroma yang merangsang. Aroma makanan dapat juga ditimbulkan dengan menggunakan aroma sintetik. Berbagai macam aroma buah-buahan, seperti aroma apel, aroma pisang, bahkan aroma teh dan kopipun sudah dapat disintetiskan di pabrik- pabrik dan dipasarkan dengan harga yang murah.

2.3.2.2.2 Bumbu Masakan dan Bahan Penyedap

Cita rasa makanan yang khas dapat diciptakan dengan menggunakan bumbu-bumbu tertentu atau dapat juga dengan cara memasak makanan yang khusus. Berbagai bumbu yang digunakan dapat membangkitkan selera karena memberikan rasa makanan yang khas selain bau yang sedap. Bumbu yang digunakan pada makanan berasal dari minyak astirinya yang terdapat dalam rempah- rempah sebesar 2 aroma yang timbul ketika terjadi pemanasan Winarno, 2005. Bumbu masakan dan bahan penyedap, disamping bau yang sedap dapat mengakibatkan selera dari rasa makanan yang khas. Rasa makanan dapat diperbaiki dan dipertinggi dengan menambah bahan penyedap. Penggunaan standarisasi bumbu sangat penting untuk menjaga cita rasa makanan dari waktu ke waktu Moehyi, 1992.

2.3.2.2.3 Keempukan Makanan

Keempukan makanan selain ditentukan oleh mutu bahan makanan yang digunakan juga ditentukan oleh cara memasak. Misalnya dalam memasak daging atau bahan makanan berprotein tinggi bila dimasak dengan suhu tinggi akan mengakibatkan makanan menjadi keras sesuai dengan sifat kimia protein yang akan menggumpal pada suhu tinggi. Hal yang sama juga berlaku untuk ayam, ikan, dan bahan makanan lainnya yang mengandung protein tinggi Castonguay, 1987.

2.3.2.2.4 Kerenyahan Makanan

Kerenyahan makanan menberikan pengaruh tersendiri terhadap cita rasa makanan. Untuk mendapatkan makanan yang renyah juga diperlukan cara memasak tersendiri. Cara masak yang salah, misalnya menggoreng kerupuk yang salah akan menghasilkan kerupuk yang keras dan tidak renyah. Yang dimaksud dengan kerenyahan makanan adalah makanan yang dimasak menjadi kering, tetapi tidak keras sehingga enak dimakan Moehyi, 1992.

2.3.2.2.5 Tingkat Kematangan

Tingkat kematangan masakan itu tentu saja akan mempengaruhi cita rasa makanan. Tingkat kematangan di Indonesia belum mendapat perhatian karena umumnya masakan Indonesia harus dimasak sampai matang benar, kecuali untuk masakan telur yang dibedakan menjadi telur yang dimasak setengah matang dan telur yang dimasak sampai matang Moehyi, 1992. Berbeda dengan masakan eropa untuk beberapa jenis masakan, misalnya steak, ada perbedaan tingkat kematangan. Ada steak yang dimasak setengah matang yang disebut dengan istilah medium rare, matang rare dan matang benar yang disebut dengan istilah weldone. Tingkat kematangan itu tentu saja akan mempengaruhi cita rasa makanan.

2.3.2.2.6 Suhu Makanan

Suhu makanan waktu disajikan memegang peranan dalam penentuan cita rasa makanan. Namun, makanan yang terlalu panas atau dingin akan sangat mengurangi sensitivitas saraf pengecap terhadap rasa makanaan. Menurut Winarno 1991 makana yang terlalu panas akan membakar lidah dan merusak kuncup cecapan, sedangkan makanan yang terlalu dingin dapat membius kuncup cecapan sehingga tidak peka lagi. Sensitivitas terhadap rasa akan berkurang bila suhu berada di bawah 20 C atau di atas 30 C. Makanan yang dihidangkan kepada konsumen sebaiknya sesuai suhu makanan tersebut seperti soto dan sop diberikan dalan keadaan hangat. Untuk menyajiakan makanan itu harus dipilih tempat yang bertutup atau dapat juga digunakan panci yang dilengkapi alat pemanas. Sebaliknya, makanan yang harus dihidangkan dalam keadaan dingin hendaknya dihidangkan dalam keadaan dingin seperti agar-agar Moehyi, 1992.

2.3.2.3 Penyajian Makanan

Penyajian makanan merupakan faktor penentu dalam penampilan hidangan yang disajikan. Jika penyajian makanan tidak dilakukan dengan baik, seluruh upaya yang telah dilakukan guna menampilkan makanan denga cita rasa yang tinggi akan tidak berarti. Penampilan makanan waktu disajikan akan merangsang indera terutama indera penglihatan yang bertalian dengan cita rasa makanan. Ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam penyajian makanan, yaitu sebagai berikut: a Pemilihan alat yang digunakan Untuk meyajikan makanan dibutuhkan alat seperti piring, mangkuk, atau tempat menyajikan makanan khusus yang lainnya. Alat yang digunakan harus sesuai dengan volume makanan yang disajikan. Makana yang berkuah banyak tentu tidak sesuai disajikan dengan menggunakan piring ceper. Sebaliknya, makanan yang tidak berkuah hendaknya tidak disajikan dengan menggunakan tempat yang cekung dan dalam, tetapi disajikan dengan menggunakan tempat yang agak datar. Makanan yang harus dimakan dalam keadaan hangat harus disajikan dengan menggunakan tempat yang bertutup atau dapat menggunakan panci khusus yang dilengkapi alat pemanas. b Cara menyusun makanan dalam tempat penyajian makanan Cara menyusun hidangan perlu dilakukan dengan cermat sehingga memberikan kesan menarik. Misalnya irisan daging atau ikan hendaknya disusun serapi mungkin. c Penghias hidangan Penghias hidangan sangat diperlukan untuk membuat makanan lebih menarik, dalam menghias hidangan diperlukan keahlian dan rasa seni tersendiri. Banyak ragam sayur-mayur atau buah-buahan yang dapat digunakan sebagai penghias hidangan. Daun slada, buah tomat masak, cabai merah besar, wortel, daun sledri, daun peterseli, daun pandan, buah mentimun, dan buah jeruk nipis dapat digunakan sebagi penghias hidangan karena dapat menambah menarik penampilan makanan yang disajikan.

2.3.3 Karakteristik Lingkungan

2.3.3.1 Musim

Bencana alam seperti banjir, gempa bumi dan terutama perubahan lingkungan hidup keluarga secara tidak langsung akan mengubah kebiasaan makan. Adanya bencana alam tersebut mengurangi bahkan meniadakan cadangan makanan keluarga Suhardjo, 1989.

2.3.3.2 Pekerjaan

Keluarga dengan pendapatan terbatas mempunyai kemungkinan yang besar bahwa akan mengalami kekurangan dalam memenuhi kebutuhan makanannya sesuai dengan kebutuhan, setidaknya keanekaragaman bahan makanan kurang terjamin karena dengan uang yang terbatas tidak akan banyak pilihan. Selanjutnya menurut Sumarno Nurhayati, 2000 mengatakan bahwa hubungan semi logaritmik antara konsumsi energi dan protein dengan pendapatan yang artinya peningkatan pendapatan keluarga akan meningkatkan konsumsi energi. Namun, hal ini berbeda dengan penelitian Nurhayati 2000, yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara pendapatan orang tua dengan konsumsi zat gizi. Menurut Jahar, Djumadias dan Tarwotjo 1988, tidak adanya hubungan antara pendapatan orang tua dengan konsumsi zat gizi, kemungkinan berkaitan dengan kurangnya pengetahuan gizi dalam menyediakan makanan bagi anak sehingga pemanfaatan pendapatan untuk keperluan pangan menjadi kurang efisien.

2.3.3.3 Jumlah Keluarga

Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Hal ini dapat menyebabkan banyak anak-anak yang mengalami kurang gizi dan pola ini juga akan menjadi kebiasaan ketika mereka besar nanti sehingga sangat erat kaitannya dengan konsumsi makannya. Jadi jumlah anggota keluarga mempengaruhi konsumsi makan seseorang Suharjo, 1989.

2.3.3.4 Tingkat Sosial Pada Masyarakat

Tingkat sosial pada masyarakat mempengaruhi konsumsi makanan seseorang sebab tingkat sosial berkaitan erat dengan pekerjaan dan pendapatan. Pada orang yang memiliki tingkat sosial yang tinggi lebih cenderung memilih makanan yang mahal dan memiliki nilai zat gizi yang tinggi dan orang yang memiliki tingkat sosial yang rendah cenderung memilih bahan makanan yang murah dan tidak mementingkan zat gizinya hal ini diberkaitan dengan uang yang dimiliki Suhardjo, 1989.

2.3.3.5 Pengaruh Teman Sebaya Peer Groups

Menurut Sartiningsih 1993 bahwa pola konsumsi remaja sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi teman sebayanya. Pada umumnya remaja akan merasa senang apabila makan bersama dengan orang terdekat dan biasanya remaja lebih suka menghabiskan waktu mereka di luar bersama teman-teman sebayanya. Menurut Krummel 1996 dalam Rachmiaty 2009 remaja menghabiskan banyak waktu dengan teman sebayanya dan sering kali berkelompok, maka biasanya teman sebaya atau teman sekelompoknya menentukan apa yang diterima dalam kelompoknya dan membentuk perilaku standar sesuai yang diharapkan. Pada umumya remaja mendapatkan asupan energi dan protein tidak hanya dari makanan yang disediakan di rumah atau asrama tetapi juga dari jajanan yang mereka beli bersama dengan teman sebayanya. Pengaruh peer group adalah sangat penting selama masa remaja dan pada situasi tertentu pengaruh peer group lebih besar daripada pengaruh keluarga Gift et al, 1978 dan nurlock, 1980 dalam Ulfa, 1998. Menurut Gunarsa dalam Mumtamhanah 2002 mengatakan bahwa semakin sedikit anggota suatu kelompok akan semakin kuat pengaruh kelompok tersebut terhadap anggotanya, apalagi bila dibandingkan dengan suatu kelompok yang jumlah anggotanya besar dan tidak tetap. Dalam penelitian Elisa 2002 diketahui bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara peer group dengan konsumsi energi dan protein.

2.4 Metode Pengukuran Konsumsi Makan

Menurut Supariasa 2001 pengukuran konsumsi makan menghasilkan dua jenis data konsumsi yaitu kualitatif dan kuantitatif.

2.4.1 Metode kualitatif

Metode kualitatif ini digunakan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makan dan menggali informasi kebiasaan makan food habits. Metode pengukuran konsumsi makanan bersifat kualitatif yaitu frekuensi makan food frequency, dietary history, telepon, pendaftaran makanan food list.

2.4.2 Metode kuantitatif

Menurut Supariasa 2001 Metode ini digunakan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan membandingkan Daftar Konsumsi Bahan Makanan DKBM atau daftar lain. Metode kuantitatif terdiri dari: 1. Metode inventaris inventory method 2. Metode food account 3. Pencatatan makanan rumah tangga household food records 4. Metode recall 24 jam Mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Petugas menanyakan dan mencatat kembali semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga selama kurun waktu 24 jam yang lalu. Kelebihan dari metode ini yaitu mudah dilaksanakan, murah, cepat, dapat digunakan untuk responden yang buta huruf, memberikan gambaran nyata yang dikonsumsi responden Supariasa, 2001. 5. Estimated Food Record Pada metode ini responden diminta untuk mencatat semua yang dimakan dan minum setiap kali sebelum makan dalam ukuran rumah tangga atau menimbang dalam ukuran berat gram dalam periode tertentu 2-4 hari berturut-turut termasuk cara perisapan dan pengolahan. Adapun kelebihan dari metode ini yaitu murah, cepat, dapat menjangkau sampel dalam jumlah besar, dapat diketahui jumlah zat gizi sehari, dan relative lebih akurat. Namun kelemahan dari metode ini yaitu membebani responden, tidak cocok untuk responden yang buta huruf, dan sangat tergantung dari kejujuran responden dalam mencatat dan memperkirakan jumlah konsumsi Supariasa, 2001. 6. Penimbangan makanan Food Weighing Menurut Supariasa 2001 pada metode penimbangan makanan, responden atau petugas menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi responden selama satu hari. Bila terdapat sisa makanan setelah makan maka perlu juga ditimbang sisa tersebut untuk mengetahui jumlah sesungguhnya makanan yang dikonsumsi. Kelebihan dari metode ini adalah diperoleh data yang lebih akurat. Sedangkan kekurangannya adalah memerlukan waktu lama dan biaya cukup mahal, penimbangan yang dilakukan dalam periode cukup lama maka responden dapat merubah kebiasaan makan mereka, tenaga pengumpul data harus terlatih dan terampil serta memerlukan kerjasama yang baik dengan responden.

2.5 Penyelenggaraan Makanan Institusi

Menurut Moehyi 1992, penyelenggaraan makanan adalah suatu proses menyediakan makanan dalam jumlah besar dengan alasan tertentu. Sedangkan Depkes 2003, menjelaskan bahwa penyelenggaraan makanan adalah rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian makanan yang tepat dan termasuk kegiatan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi bertujuan untuk mencapai status kesehatan yang optimal melalui pemberian makan yang tepat . Menurut nursiah,dkk 1990, setiap pengelolaan makanan di berbagai institusi menganut tujuan yang hampir sama yaitu dengan tujuan agar institusi dapat menyediakan makanan yang berkualitas tinggi, dipersiapkan dan dimasak dengan baik, pelayanan cepat, tepat dan murah, gizi seimbang dengan menu yang bervariasi, harga tepat dan layak, fasilitas cukup dan nyaman, dan standar kebersihan dan sanitasi yang tinggi.

2.6 Pondok Pesantren